Bandung.
Mobil yang dikendarai Alfan akhirnya sampai di sebuah rumah sakit swasta yang lumayan besar dan terkenal. Dengan sedikit tergesa, Alfan berlari menuju ke ruangan ibu mertuanya.
Sedari tadi Zahra, sang istri terus saja menghubunginya. Panik, cemas dan takut adalah perasaan yang juga dirasakan Alfan. Ibu mertuanya sangat baik terhadapnya, bahkan ia sudah menganggapnya seperti ibu kandung sendiri.
Oleh sebab itu bahkan Alfan rela menerima perjodohan dengan Bulan sebab alasan yang egois.
Langkah kaki Alfan membuat seseorang yang ada di depan ruangan tersebut menoleh. Wajahnya sembab dengan bekas air mata yang masih basah di pipi.
Wanita bertubuh mungil dengan hijab berwarna biru itu berlari dan memeluknya. Menumpahkan isak tangis di dalam pelukannya.
“Aku takut, Mas.”
“Ibu akan baik-baik saja, Ra.” Sembari mengelus lembut punggung yang bergetar tersebut.
Masih dalam pelukannya, Alfan menuntun wanita itu untuk duduk bersama dengan yang lain. Di sana ada dua orang lainnya yang tak lain adalah kedua adik iparnya.
“Mas Alfan buru-buru ke sini. Maaf tidak membawakan kalian apa-apa.”
Dua adik iparnya menggeleng. “Ibu, Mas,” lirihnya kemudian terisak.
Alfan yang menjadi lelaki satu-satunya sandaran keluarga tersebut hanya bisa menenangkan mereka dengan kata ‘semoga ibu baik-baik saja’. Apalagi yang bisa dikatakan selain itu di saat seperti ini.
Tak lama dokter keluar dari ruangan dengan wajah tertunduk.
“Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?” tanya Zahra dengan cepat.
“Maaf, kami sudah berusaha semampu kami. Namun takdir Tuhan berkata lain,” ucap Dokter tersebut dengan wajah menyesal. “Ibu Rina telah meninggal dunia.”
Brug!
Zahra jatuh berlutut di lantai dengan tangisan yang menyayat hati. Kehilangan anggota keluarga yang sangat berharga dalam hidupnya adalah pukulan yang luar biasa.
Alfan mendekat dan memeluk Zahra. Ia sedih dan juga terpukul, namun tak boleh terlihat rapuh karena ada seseorang yang membutuhkan sandarannya.
Zahra dan kedua adiknya saling berpelukan sambil terisak.
Alfan kemudian meminta pihak rumah sakit untuk mengurus kepulangan jenazah ibu mertuanya.
Rumah duka telah ramai didatangi oleh tetangga dan kerabat jauhnya. Jenazah ibu mertuanya telah dimandikan dan juga telah dibungkus kain kafan.
Zahra dan kedua adiknya masih saja terisak.
Jenazah ibu mertuanya sudah diangkat ke dalam ambulans siap dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Tetangga juga beberapa kerabat dan yang lainnya mengikuti di belakang ambulans dengan kendaraan masing-masing.
Alfan dan Zahra berikut kedua adiknya berada di mobil milik Alfan. Mereka masih tak henti-hentinya menangis atas kehilangan orang tua satu-satunya.
“Ra, sudah. Ibu pasti sedih jika melihatmu seperti ini.” Alfan menoleh sekilas ke arah Zahra.
“Aku cuma punya ibu, Mas. Bagaimana aku akan sanggup melanjutkan hidup tanpa ibu sebagai penerang kehidupanku,” ujarnya dengan lirih.
“Kamu masih punya aku, Ra. Lihat, ada adikmu yang juga butuh kamu,” kata Alfan sambil melirik kaca tengah mobilnya. Melihat kedua adik iparnya terisak saling berpelukan.
Karena keadaan yang ruwet dan mumet, Alfan sampai melupakan istrinya yang lain. Semenjak kepergiannya, ia bahkan lupa mengabari Bulan.
Di atas gundukan tanah yang masih basah tersebut, Zahra terduduk sembari memeluk nisan ibunya dengan isak tangis yang belum bisa dihentikan.
Para tetangga dan kerabat jauh yang ikut mengantarkan ibunya telah kembali pulang. Langit yang tadinya terang mulai menggelap seakan tahu apa yang sedang terjadi.
“Bu, kenapa ibu meninggalkan kami secepat ini.”
Alfan menarik kemudian memeluk Zahra yang sedang dalam suasana hati yang buruk.
“Ikhlas, Ra. Doakan ibu supaya diberikan jalan yang mudah. Jangan seperti ini,” bisik Alfan di telinga Zahra.
“Aku tidak punya siapa pun lagi, Mas.”
“Kamu masih punya aku, Ra. Aku ada untukmu.”
Zahra membalas pelukan Alfan. “Jangan tinggalkan aku, Mas.”
“Aku janji!”
Setelah mengantarkan jenazah ibu mertuanya ke tempat istirahat terakhirnya. Seusai salat magrib, diadakan pengajian di rumah minimalis tersebut yang dihadiri para tetangga dekatnya.
Zahra dan kedua adiknya tak hentinya menangis meratapi kepergian ibunya. Satu-satunya orang tua yang selama ini dimiliki. Isak tangis mereka tentu saja menyayat hati karena sakitnya kehilangan, sakitnya ditinggal pergi untuk selamanya itu memang berat.
***
Setelah menyuruh kedua adik iparnya untuk pergi tidur, Alfan berjalan menuju kamar ibu mertuanya. Di sana ia melihat Zahra tengah menangis sesenggukan dengan memeluk foto ibunya.
Perlahan Alfan mendekat dan duduk di sisi ranjang yang kosong. Tangannya perlahan menyentuh kepala Zahra dan mengusap rambut yang masih tertutup dengan hijab tersebut.
“Sudah Ra, ikhlaskan ibu. Kita yang masih ada hanya bisa berdoa untuk membuka jalan ibu agar mendapatkan tempat terbaik di sana. Jangan halangi kepergian ibu dengan tangisanmu seperti ini. Ibu pasti sedih melihatnya,” ucap Alfan dengan lembut.
Zahra mengangguk dengan rapuh dan isak tangis yang masih terdengar.
“Semua manusia akan kembali pada sang pencipta. Hanya tinggal menunggu waktu saja,” sambungnya lagi.
“Aku tahu, Mas. Tapi kenapa harus secepat ini? Aku dan adikku masih butuh sosok ibu.” Dengan bibir bergetar Zahra menjawab.
“Dengar, Ra. Masih ada aku, aku akan selalu bersamamu. Kita adalah keluarga, kamu harus bisa kuat demi kedua adikmu. Mereka juga merasakan kehilangan yang sama.”
Tangisan Zahra terhenti ketika menyadari kedua adiknya. Perlahan ia duduk dan mengusap air matanya dengan kasar.
“Aku harus kuat demi adik,” gumamnya yang masih terdengar jelas di telinga Alfan.
Dan detik berikutnya Zahra langsung berhambur memeluk Alfan yang duduk di hadapannya.
“Terima kasih, Mas. Berjanjilah apa pun yang terjadi jangan meninggalkan aku. Aku sudah kehilangan ibu, aku tidak mau kehilangan kamu, Mas.”
Alfan mengangguk sambil mencium kening istrinya dengan kecupan singkat.
“Tidur ya, ini sudah malam,” ucap Alfan mengingatkan.
Zahra melepaskan diri dari pelukan Alfan kemudian turun dari ranjang.
“Aku mau lihat Zea dan Zain dulu, Mas,” jawab Zahra.
Zea dan Zain adalah nama kedua adiknya. Zea sudah duduk di bangku sekolah menengah ke atas, sedangkan Zain masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Alfan mengangguk sebagai jawaban.
Setelah kepergian Zahra, Alfan menyusul keluar dari kamar tersebut dan berjalan menuju teras rumah. Ia memilih duduk di teras untuk menghisap rokok untuk sedikit menghilangkan pusing di kepalanya.
Kepulan asap yang mengandung nikotin tersebut keluar dari mulut dan hidungnya. Tiba-tiba ia mengingat bahwa seharian ini belum memberikan kabar apapun pada istrinya, Bulan.
Maafkan aku Bulan, batinnya.
Alfan merogoh ponsel yang ada di saku celananya kemudian mencoba mengetikkan pesan pada istrinya yang jauh di sana.
[Alfan : Malam, Bulan. Kamu sudah tidur? Jika belum tolong balas pesanku.]
Hanya butuh waktu sekitar lima menit akhirnya ponselnya berbunyi tanda pesan masuk.
[Bulan : Malam, Mas. Aku belum tidur, lagi mengisi waktu dengan gambar gaun yang belum jadi. Ada apa ya, Mas?]
Alfan tersenyum tipis membaca balasan pesan dari Bulan. Kemudian ia memilih menelpon wanita itu saja seraya menjelaskan.
Dalam dua kali dering akhirnya panggilan tersebut diangkat juga.
“Ya, Mas Alfan?”
“Bulan, maaf aku baru bisa memberikan kabar. Ibu mertuaku sore tadi meninggal dunia. Aku sibuk mengurus banyak hal, maaf baru memberi kabar.”
“Aku turut berduka cita untuk kepergian ibu mertuamu, Mas. Kamu dan keluarga yang sabar ya. Tidak perlu menjelaskan apa pun, aku bisa mengerti.”
“Terima kasih, Bulan. Oh iya aku sekalian boleh minta tolong sama kamu?”
“Katakan saja, Mas. Jika aku bisa aku pasti membantumu.”
Alfan menghembuskan napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya.
“Aku akan berada di Bandung sampai tujuh hari. Bisa minta tolong berikan alasan yang logis kepada kedua orang tuaku? Maaf harus melibatkanmu lagi.”
Hening selama beberapa detik hingga suara Bulan kembali terdengar.
“Okay, Mas. Aku mengerti.”
Alfan bisa bernapas lega pada akhirnya.
“Terima kasih banyak Bulan. Maaf aku merepotkanmu lagi.”
“It’s okay, Mas. Don’t worry. Ada yang perlu disampaikan lagi? Jika tidak aku akan tidur.”
“Baiklah. Jaga dirimu di sana, Bulan. Maaf aku harus berada di sini sam—” ucapan Alfan belum selesai namun dipotong dengan Bulan.
“Tidak ada yang perlu dijelaskan. Sudah ya Mas. Hati-hati dan sampaikan salamku untuk istrimu. Bye, Mas.”
Panggilan terputus sebelum Alfan mengucapkan selamat malam.
Sedangkan sedari tadi Alfan tak menyadari bahwa Zahra mendengar obrolannya. Bahkan wanita itu terlihat penasaran dengan siapa suaminya berbicara di malam hari seperti ini.
“Mas Alfan telponan sama siapa ya?” gumamnya seperti bertanya pada dirinya sendiri.
To Be Continue ….
Setelah panggilan terputus Bulan melempar asal ponselnya ke atas ranjang. Tangannya menyahut kertas gambar yang tadi dipakai untuk menuangkan ide menggambarnya kemudian meremasnya dengan pelan dan melemparnya dengan mata yang berkaca-kaca. “Mampukah aku bertahan sementara hatiku saja terasa sesak seperti ini? Tuhan, kenapa takdir yang kau berikan harus serumit ini? Astaghfirullah,” gumam Bulan seraya menekan dadanya dengan pelan. Bulan memilih masuk ke kamar mandi dan berwudhu, lebih baik ia menyerahkan semuanya kepada sang pemberi kehidupan. Percuma saja mengeluh dan meratapi nasib, sekuat apa pun kita melawan takdir, jika Tuhan sudah menuliskan skenarionya, maka manusia hanya mampu menjalaninya. Setelah selesai melakukan salat, masih terlihat jelas jejak air mata di kedua pipinya yang masih basah. Perlahan Bulan menuju ranjang dan merebahkan tubuhnya berharap semuanya akan
Hari-hari dilewati oleh Bulan dan Alfan dengan tempat dan waktu yang berbeda juga situasi yang hampir delapan puluh persen berbeda. Jika Alfan sibuk dengan keluarga kecilnya, maka Bulan tengah menikmati liburannya walaupun seorang diri. Bulan pasrah dan menjalani apa yang memang harus dijalani hingga Tuhan berkata berhenti. Ia telah memasrahkan semuanya kepada sang pemberi kehidupan. Sosok Bulan masih menjadi wanita masa kini dengan penampilan yang sangat fashionable. Namun begitu ia tak pernah lupa menjalankan kewajiban sholat lima waktu disela kesibukannya selama ini. Keluarga Latief adalah mualaf, mereka berpindah agama sekitar sepuluh tahun yang lalu. Tidak memakai hijab bukan berarti mereka lupa menjalankan kewajiban. Jangan melihat seseorang hanya dari luarnya saja, karena dalamnya hati seseorang kita tak pernah tahu. Bulan menerima perjodohan dengan A
Alfan sudah sampai di Jakarta lebih dulu. Hanya memerlukan waktu sekitar dua setengah jam untuk sampai di Jakarta. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata mengingat ini malam minggu, ia tak ingin terjebak kemacetan di jalan. Matanya melirik ke arah jam di pergelangan tangan, ia memilih langsung menjemput Bulan karena ia yakin bahwa istrinya telah tiba. Perbedaan waktu Jakarta-Bali hanya satu jam. Seharusnya sekitar pukul lima atau setengah enam, Bulan sudah tiba. Alfan menunggu di pintu kedatangan. Sudah hampir dua puluh menit ia menunggu namun tak kelihatan kehadiran Bulan. Ia mengeluarkan ponsel berniat menghubungi istrinya ketika tepukan di bahu membuatnya terkejut. Segera saja ia menoleh dan melihat seorang wanita dengan jumpsuit panjang dengan rambut yang acak-acakan berdiri di hadapannya. Wajahnya tertutup masker hingga tak terlalu jelas terlihat.
Pagi itu Bulan sudah mandi dan bersiap turun ke lantai dua dengan membawa beberapa paper bag yang berisi oleh-oleh dari Bali. Dibantu oleh bibi asisten rumah tangga, Bulan membawa semua barang-barang itu ke ruang keluarga untuk dibagikan ke semua orang. “Bulan, kenapa repot-repot bawain mama oleh-oleh banyak begini.” Mama Silvi berkomentar saat ia masuk ke dalam ruang keluarga. “Tidak repot, Ma. Mumpung sekalian di Bali. Kapan-kapan belum tentu ada waktu buat liburan lagi,” jawab Bulan diiringi tawa ringan. Ia mulai bisa menyesuaikan diri dengan keluarga Alfan dengan berbicara santai. Mama Silvi ikut tertawa. Semua pekerja yang bekerja di rumah mendapatkan jatah semuanya tanpa terkecuali. Setelah keadaan hening, Mama Silvi menggenggam tangan Bulan dan menatapnya dengan intens penuh ketegasan. “Ada apa, Ma?”
Bulan turun ke meja makan lebih dulu setelah menyiapkan pakaian suaminya. Sejak semalam mereka tak banyak bicara seperti biasanya. Tak lama Alfan turun ke meja makan dengan pakaian rapi. Mereka berdua sudah kembali memulai aktivitas kembali seperti biasanya. Alfan sudah harus kembali bekerja di perusahaan papanya dan ia harus kembali mengurus butik yang sudah hampir dua minggu ini ditinggalkan. Setelah lelaki itu duduk, Bulan dengan penuh perhatian melayani suaminya. Walaupun bukan cinta setidaknya ia memberikan rasa hormatnya pada suaminya. “Apa yang kamu lakukan semalam, Bulan?” tanya Alfan membuat tangan Bulan menggantung di udara. “Apa maksudnya?” jawab Bulan yang belum paham inti dari ucapan suaminya. “Zahra,” sahutnya dengan pelan. Bulan meletakkan kembali tangannya kemudian menatap suaminya dengan datar. Kini ia paham apa maksud
Hari berganti, minggu berlalu, bulan berganti dan waktu terus berputar mengikuti bumi yang juga terus berputar. Semuanya mengalami perubahan namun tidak dengan hubungan antara Alfan dan Bulan. Hubungan sepasang suami-istri itu masih panas seperti saat terakhir kali mereka bertengkar. Sikap Bulan yang cuek membuat hubungan mereka terasa semakin dingin karena tidak ada komunikasi yang baik di antara keduanya. Bulan dan Alfan sama-sama memiliki sikap yang tak mudah dibelokkan sehingga keduanya sama-sama tidak ada yang mau mengalah. Alfan sudah mencoba bicara dengan Bulan namun selalu berujung dengan perdebatan. Alfan yang seharusnya hanya meminta maaf pada Bulan ternyata mengungkit sesuatu hal lain yang selalu membuat emosinya naik. Begitulah keduanya. Mereka tinggal bersama bahkan berbagi kamar yang sama namun bagaikan orang asing yang tidak saling mengenal. Asisten rumah tang
Masih berada di rumah yang sama namun kini keadaan kedua wanita itu sama-sama tak terkendali. Bulan mengayunkan tangannya menghampiri wajah Zahra yang tengah meluapkan emosinya. Kejadiannya sangat cepat hingga Alfan tak bisa mencegahnya. Tamparan Bulan sekaligus menghentikan ucapan Zahra. Wanita itu menatap Bulan dengan tatapan tidak percaya. Ia memegang pipinya yang terasa panas. “Jangan melimpahkan kesalahan hanya padaku. Jika ada yang harus disalahkan itu adalah kalian berdua. Kalian yang menyembunyikan pernikahan itu. Jika kamu menyebutku pelacur lalu apa bedanya denganmu yang mau dinikahi hanya secara siri?” balas Bulan dengan suara meninggi. Zahra dan Alfan sama-sama tersentak mendengar lengkingan suara Bulan yang penuh amarah. “Sudah cukup!” Alfan melerai di antara dua istrinya sebelum keduanya kembali memulai debat. Ia menoleh ke arah Zahra. “Sudah aku bilang, semuanya salahku. Bulan
Semenjak pertemuan antara Bulan dan Zahra, keadaan sedikit mulai membaik sebab mereka sudah saling tahu tentang apa yang terjadi. Alfan berusaha bersikap adil dengan membagi waktunya, tiga hari bersama dengannya dan tiga hari bersama Zahra. Sementara di hari minggu, Alfan meminta waktu untuk sendiri. Bulan menyetujui tanpa banyak protes, sementara Zahra terlihat beberapa kali tidak menerima keputusan Alfan. Bahkan wanita itu menuntut hari minggu Alfan harus bersamanya karena ia istri pertama. Jawaban Alfan membuat wanita itu terdiam dengan isak tangis. “Jangan menuntut terlalu banyak, Zahra. Istri pertama atau kedua tidak ada bedanya, kalian sama di mataku. Seharusnya kamu bersyukur kita bisa bertemu tiga kali dalam seminggu. Dulu kita hanya bertemu dua kali dalam sebulan. Kamu jangan terlihat serakah, Zahra.” Itulah ucapan Alfan yang saat itu terdengar di telinga Bulan. Begitu te
“Ternyata suamiku ini memiliki banyak pengagum. Bahkan ada yang melamar meski sudah tahu jika sudah memilki istri. Apakah aku harus bersyukur atau justru takut, ya. Bagaimana menurutmu, Mas?” sindir Ayesha.“Aku benar-benar tidak mengenal mereka. Tiba-tiba datang dan melamar begitu saja.” Meski sama-sama bergelut dalam dunia bisnis, sepertinya Alfan tak begitu mengenal pasangan suami istri tersebut. Mungkin karena ia baru melebarkan sayapnya di kota ini atau bagaimana, yang pasti wajah mereka tak terlalu populer hingga Alfan dengan mudah mengenalinya.“Mereka bahkan menawarimu sebuah perusahaan dan akan memastikan seluruh bisnismu akan maju. Tawaran yang menggiurkan. Apa wanita itu cantik?” kata Ayesha. Ia mendengus jengkel meski kedua orang tamu tidak tahu diri itu sudah meninggalkan ruangan.“Putri mereka yang mana saja aku pun juga tidak tahu. Benar-benar aneh,” bantah Alfan.“Jika putrinya menyukaimu sejak pandangan pertama artinya pernah ada interaksi di antara kalian, Mas. Kamu
Setelah beberapa minggu berlalu, akhirnya berita tentangnya dan sang suami mereda dan tergantikan oleh berita panas lainnya.Butiknya telah kembali buka. Bahkan kini lebih banyak pengunjung yang datang dari kalangan pejabat dan beberapa istri-istri pengusaha.Tentu saja mereka bukan hanya datang karena sekadar tertarik dengan rancangan pakaiannya. Namun, beberapa dari mereka ada yang mencoba menjalin pertemanan.Entah itu benar-benar tulus atau menginginkan hal lain.Beberapa kali juga ia mendapatkan undangan untuk masuk ke dalam group sosialita.Ayesha hanya menanggapinya dengan senyum tipis seperti biasa.Setelah ujian selalu ada kebahagiaan. Tidak akan ada kehidupan yang akan berjalan lurus dan mulus. Selalu ada rintangan dan halangan.Begitulah kehidupan.Ayesha yang baru saja mengambil air dari dapur, tidak sengaja mendengar suara Dewi yang sedang berbicara dengan seseorang melalui ponsel. Ia menajamkan pendengaran untuk mengetahui isi obrolan tersebut. Namun, saat berjalan mende
Keesokan paginya berita tentang kejadian semalam membuat namanya dan nama butiknya terseret dalam berita surat kabar.Saat membacanya Ayesha masih bisa bernapas lega karena apa yang terjadi padanya tidak sampai terekspos keluar. Bukan karena tidak ingin nama baiknya hancur, kini ia kembali menyandang nama Herlambang yang membuatnya harus menjaga nama baik suaminya juga.Alfan mengusap bahunya lembut dan mengatakan kalimat yang menenangkan, bahwa semuanya akan baik-baik saja.“Mom, kudengar semalam mommy keluar. Ke mana?” tanya Arzen duduk di meja makan.Remaja itu sama sekali tidak tahu bahwa ada polisi yang menghampiri ke rumah mereka. Karena kebiasaan Arzen memang setelah masuk kamar, ia jarang keluar jika tidak perlu sesuatu.“Ya, mommy ada urusan.”“Are you okay, Mom?”“Sure, Son.” Melemparkan senyum tipis yang tulus.“Kamu tidak perlu cemas. Berita itu tidak akan keluar,” bisik Alfan pelan.“Aku ha
Hi, boleh absen dong yang masih setia baca cerita ini? Komen di setiap bab agar aku tahu bahwa kalian masih ada di sini. Makasih.♡♡♡“Maaf, Nyonya. Di bawah ada polisi yang ingin bertemu Anda.”Polisi, batinnya bertanya-tanya.“Ya, bilang saja suruh tunggu sebentar. Aku ganti baju dulu,” kata Ayesha segera masuk kamar dan mengganti pakaian.Saat ia turun ke ruang tamu, benar ada dua polisi yang sudah menunggunya.“Selamat malam, Nyonya. Maaf jika kedatangan kami mengganggu Anda. Kami dari Polresta Denpasar mendapat surat perintah penggeledahan butik Anda untuk melengkapi bukti bahwa saudari Clara Adelin terlibat dalam kasus peredaran dan penjualan narkoba jenis sabu.”Deg!Jantung Ayesha berdebar dengan sangat keras. Ia terkejut sekaligus syok dengan apa yang baru saja didengar.“Maaf, Pak polisi. Izinkan saya bertanya lebih dulu.”Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya pe
Sebelum berangkat ia telah menghubungi suaminya dan meminta alamat kantor yang sampai saat ini belum diketahui.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, diiringi suara musik dari penyanyi favoritnya.Tidak sampai tiga puluh menit mobil yang dikendarai tiba di sebuah gedung tinggi bertuliskan HM Group. Ayesha segera memarkirkan mobilnya di basement dan menuju resepsionis.“Ruangan Tuan Alfan Fatih Herlambang di mana, ya?” tanya Ayesha sopan.“Maaf, apa Anda sudah membuat janji?” tanya wanita itu dengan ramah.“Apa seorang istri perlu membuat janji untuk bertemu suaminya?” Ayesha tersenyum, tetapi kata-katanya menegaskan bahwa ia adalah istrinya.“Ah, maaf. Anda Nyonya Ayesha.” Wanita itu menunduk dan meminta maaf berkali-kali.“Mari saya antar ke ruangan beliau,” ucapnya kemudian mengarahkannya menuju lift khusus.Suara denting lift menandakan mereka telah sampai di lantai yang dituju. Lantai sepuluh, gedung teratas
Langit gelap telah berganti terang. Matahari mulai tampak malu-malu menunjukkan sinarnya.Cuaca yang masih terasa dingin membuat dua sosok lelaki di ruangan yang berbeda kembali menggulung dirinya di dalam selimut tebal yang menghangatkan.Setelah urusan dapur usai, Ayesha bergegas naik ke lantai dua dan membangunkan sang anak. Beberapa kali remaja itu menggeliat dan bergumam, tetapi tak juga membuka mata.Ayesha yang kesal langsung menarik selimutnya dengan kasar dan membuka tirai. Membiarkan cahaya pagi menembus jendela dan mengusik si pemilik kamar.“Zen! Bangun! Mommy akan menyirammu dengan air jika kamu tidak segera bangun,” ancam Ayesha dengan suara rendah.“Oh, Mommy!” keluhnya dengan suara serak. Manik cokelat itu akhirnya mengerjap, menyesuaikan diri dengan cahaya sebelum akhirnya terbuka.“Sudah. Aku bangun,” lanjutnya, ia masih duduk di tepi ranjang. Menyahut segelas air di atas nakas dan meneguknya hingga tandas. Matanya menoleh ke arah jam dinding dan terkejut saat menyad
Empat hari kemudian, mereka resmi pindah ke rumah Alfan. Lelaki itu hanya meminta anak dan istrinya membawa pakaian dan surat-surat penting lainnya.Nena juga ikut serta bersama mereka. Sebab, Ayesha sudah menganggap wanita itu seperti saudarinya.Setelah hampir dua jam merapikan kamar, Ayesha memilih merebahkan tubuhnya di ranjang. Pindahan memang membutuhkan tenaga ekstra.Alfan yang baru masuk kamar bertanya, “Sudah selesai?”“Belum. Ruang ganti masih berantakan, aku lelah sekali.”Ayesha memang tidak mau dibantu asisten untuk merapikan kamar dan ruang ganti. Ia ingin merapikannya sendiri agar tahu di mana letak ia menyimpan barang-barangnya.Alfan berjalan ke ruang ganti dan melihatnya. Memang masih sangat berantakan, beberapa koper masih teronggok dengan isi yang sudah carut marut.“Istirahat saja. Masih ada waktu besok lagi, jangan memaksakan diri.”Ayesha mengangguk. “Aku tahu. Kamar Arzen sudah selesai?”“Sudah. Nena sedang merapikannya.”Beberapa hari yang lalu Alfan sudah ke
Seminggu telah berlalu dengan cepat. Hari ini menjadi perpisahan antara Ayesha dan kedua orang tuanya.Mereka mengantar keduanya sampai di bandara. Bahkan Arzen turut libur sekolah karena ingin mengantarkan oma dan grandpa kesayangannya.Isak tangis Ayesha sudah terdengar sejak mereka dalam perjalanan. Kini, semakin keras suara tangis itu saat kedua orang tuanya semakin tak terlihat lagi dalam pandangan.Alfan merengkuh tubuh sang istri dan mencoba menenangkannya. Setelah keadaannya berangsur tenang mereka meninggalkan bandara.“Mau mampir ke suatu tempat dulu?” tanya Alfan.“Langsung pulang saja,” balas Ayesha pelan, tak bersemangat.“Zen?” Menatap sang putra melalui kaca mobil. Remaja itu juga tampak tak bersemangat.“Ya, Dad.” Tatapannya kembali mengarah ke luar.Setelah sampai di rumah. Ibu dan anak itu mengurung diri di kamar sampai melewatkan makan malam.Alfan yang ada di meja makan sendirian menjadi tidak tenang. Ia meminta Nena menyiapkan makanan untuk dibawa ke kamar anak da
Masuk ke kamar sepasang suami istri itu kembali melanjutkan kegiatan yang tertunda. Kembali menyelami nikmatnya surga dunia. Mencapai nirwana tertinggi di iringi deru napas yang memburu.Dingin di luar sana sama sekali tak mendinginkan keduanya. Justru semakin memanas, bagaikan kobaran api yang baru saja disiram bensin.Membara.Peluh menetes, menjadi saksi betapa bersemangatnya mereka. Kerinduan, kasih sayang, gairah, semuanya melebur menjadi satu.Entah sudah berapa lama mereka melakukannya, Ayesha bahkan sampai tak bisa bernapas dengan lega karena terus-menerus dihabisi oleh sang suami.“Sudah, Mas. Aku lelah,” ucap Ayesha dengan suara lemah.Umur yang hampir menyentuh kepala empat sama sekali tak membuat Alfan melunak sedikit pun.Ingatan tentang saat pertama kali lelaki itu menjamah dirinya terlintas. Betapa buas dan sama sekali tak menahan diri.“Tahan sebentar lagi, Sayang,” bisik Alfan, mengecup lembut pelipis sang istri.Suara erangan panjang menjadi penutup kegiatan malam it