Ghani mengerjap.Kilat kemarahan di mata sang anak benar-benar tak pernah dia lihat sebelumnya. Dan mengapa sejak tadi Padma bicara tentang dirinya seorang dia adalah orang lain? Apa maksudnya?Lelaki berjas hitam itu adalah anak sulungnya, kan?"Dan kamu- Alfie beralih memandang lelaki yang lebih muda enam tahun darinya itu, "-sama menjijikkannya dengan perempuan di ujung sana." Alfie menunjuk Ghina."Tolong maafkan saya, Mas Padma." Lelaki muda itu menangkupkan kedua tangannya di depan mata sambil membungkukkan tubuhnya yang gemetar ketakutan."Ibu Ghina terus membujuk dan merayu saya. Dia juga berjanji akan membantu biaya kuliah adik saya. Tolong ampuni saya.""Fero!" Ghina melotot. "Apa-apaan ini? Jangan katakan apa-apa pada Padma!" serunya panik.Seringai kejam terbit di wajah Alfie. Dia tahu lelaki di hadapannya ini sedang berbohong. Sehari yang lalu, dia sempat menyelidiki latar belakang asisten pribadi ibunya.Sama seperti yang dia katakan, asisten baru ibunya itu tak lebih da
Viona meminta Bu Retno membawa Sabda ke kamarnya sendiri, sementara dia pergi mengecek suara pecahan kaca yang berasal dari ruang makan.Penerangan di ruang tengah sudah berubah remang-remang saat keluar dari kamar. Mungkin Bik Sari yang mematikan lampu sekaligus mengunci pintu depan.Mendadak terdengar suara tawa ganjil dari ruang makan, yang membuat tengkuk Viona meremang. Meski takut tetapi rasa penasarannya lebih dominan.Detak jantung Viona mulai berkejaran saat kakinya melangkah menuju ruang makan. Dilihatnya sesosok tubuh tertelungkup di meja makan sambil meracau tidak jelas.Didekatinya sosok itu sambil menelan ludah gugup. Dia berjaga-jaga akan kabur jika sosok itu adalah makhluk astral yang bisa saja sudah gentayangan di jam seperti ini dan menyaru menjadi manusia.Viona menghela napas lega setelah memastikan sosok yang menelungkup di meja adalah Padma. Lelaki itu terlihat kacau dengan rambut berantakan dan lengan kemeja yang digulung sampai ke siku. Sementara jasnya entah k
Pandangan Viona bergerak ke tangan Padma dan saat itulah Viona melihat buku-buku tangan kanan Padma terluka. Dia bangkit lalu meraih tangan kanan Padma dan mengamatinya lebih dekat."Kenapa tangan Mas Padma terluka?"Gumam tidak jelas keluar dari mulut Padma sehingga Viona terpaksa mengulangi pertanyaannya.Padma mengerang saat Viona menekan lukanya. "Aku tidak tahu, Viona Alfie mungkin menghajar beberapa orang di kelab malam. Dia memang mudah marah.""Aku ambil kotak obat dulu." Viona bergerak turun dari tempat tidur, tetapi lengan kekar Padma melingkari perut dan menahannya.Viona terpaku, Padma tidak akan tahu dia sedang hamil anaknya, kan?Janin delapan minggu belum bisa membuat gerakan di dalam perut, kan?"Jangan tinggalkan aku, Viona! Malam ini aku tidak mau tidur sendiri."Suara Padma terdengar memelas. "Tolong temani aku malam ini saja.""Aku hanya ingin mengambil kotak obat di bawah, Mas. Luka di tangan Mas Padma harus diobati.""Tidak perlu." Padma menarik Viona hingga pere
Padma mendongak dan ikut merasa sesak begitu melihat mata bulat Viona yang berkaca-kaca. "Maafkan aku, Viona Alfie benar-benar membuatku tidur hingga aku tidak tahu apa yang dia lakukan padamu."Saat aku berhasil mengambil alih tubuhku, aku baru tahu kita sudah menikah dan Alfie melecehkan kamu jauh sebelum itu. I was so stupid, right? Kesalahanku tidak akan pernah bisa dimaafkan."Nada sesal dalam suara Padma membuat Viona bisa merasakan beban apa yang menggelayuti pundak Padma selama dua bulan terakhir.Adik ipar yang seharusnya dia jaga, ternyata 'dirusak' oleh alter ego-nya sendiri. Sementara dia tidak bisa melakukan apa-apa.Kemarahan, kebencian dan dendam yang begitu kuat mengakar dalam dada Alfie membuatnya terlalu berkuasa atas tubuh Padma."Yang sudah terjadi biarlah terjadi, Mas," ucap Viona setelah mereka berdua sama-sama diam selama beberapa menit. "Yang terpenting sekarang kita tahu situasi yang sebenarnya."Jawaban bijak Viona menerbitkan harap di dalam dada Padma. "Apa
Paginya, Viona terbangun di kamarnya sendiri dengan kepala berdenyut dan perut mual. Susah payah dia menyeret dirinya ke toilet lalu memuntahkan isi perut.Saat membasuh wajahnya yang terasa hangat, Viona menatap pantulan dirinya sendiri di cermin. Sesosok perempuan berwajah sembap dengan lingkaran hitam di bawah mata balas menatapnya.Itu adalah gambaran dirinya. Rapuh, kalut, tetapi harus tetap berdiri tegak demi janin yang ada dalam kandungannya.Viona menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Menahan desakan cairan bening yang sudah menggenang di pelupuk mata. Tetapi saat benaknya teringat pada ucapan Alfie semalam, pertahanan Viona runtuh.Dia jongkok di kamar mandi lalu menangis tersedu-sedu sambil menenggelamkan wajahnya di kedua lutut. Kenapa hidupnya terasa rumit sekali?Isak tangis Viona baru berhenti saat telinganya mendengar tangisan Sabda yang melengking. Saat dia terbangun tadi, bayi tampan itu memang sudah dibawa Bu Retno untuk jalan-jalan pagi seperti biasanya.Mereka pasti
"Tapi bukankah Padma adalah suamimu? Dia lebih berhak dari Tirta, Viona." Suara itu muncul begitu saja dari dalam benaknya."Tapi Viona sendiri yang berjanji untuk setia pada Tirta" Satu suara lain menimpali."Seandainya Tirta bangun, apakah dia bisa menerima Viona yang sudah hamil dengan lelaki lain? Apa dia bisa menerima pernikahan Viona dengan Padma?"Pertarungan antara sisi baik dan buruk dalam benaknya membuat kepala Viona pening. Rasa penyesalan membuat dadanya sesak sekaligus mual di saat yang sama.Dia benar-benar frustrasi dan tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang. Posisinya benar-benar rumit saat ini.Di tengah kebingungannya, mendadak terdengar suara denting ponsel dari dalam ransel Viona. Dia bergegas mengambil benda pipih itu, lalu terkesiap saat melihat satu pesan yang masuk dari orang tua Tirta[Nduk, Bapak sama Ibu sudah dalam perjalanan ke tempat kos Tirta Nanti kamu ke sana juga, ya. Ibu bawa keripik belut sama geplak kesukaan kamu.]Ponsel Viona nyaris melunc
"Semuanya sudah kamu bereskan?" tanya Alfie pada orang kepercayaannya, yang pagi ini datang ke kantor untuk melapor."Sudah, Tuan. Jasad selingkuhan Nyonya Besar sudah disingkirkan. Kamar itu juga sudah disterilkan. Tidak akan ada orang yang tahu pernah terjadi pembunuhan di sana."Alfie mengetuk-ngetukkan jarinya di meja.Raung kesakitan Ghina masih terngiang-ngiang dengan jelas dan itu membuatnya sangat puas. Meski tentu saja itu tidak sebanding dengan kekejamannya pada Padma sewaktu kecil."Lalu pihak hotel dan keluarga lelaki peliharaan Ghina?""Mereka juga sudah dibungkam. Tidak akan ada yang berani membicarakan kasus ini lagi. Sepertinya Nyonya Besar juga sudah memberikan uang tutup mulut yang cukup besar pada pihak hotel."Tentu saja Ghina akan berusaha untuk menutupi skandalnya. Image-nya sebagai sosialita dan istri seorang anggota dewan harus tetap terjaga. Meski perilakunya sungguh jauh dari kata terhormat."Bagus,” gu
Viona melirik sedih pada orang tua Tirta yang terpaku di balik jendela kaca. Sejak lima belas menit yang lalu, posisi mereka sama sekali tidak berubah.Hanya ada tatapan penuh kesedihan bercampur tidak percaya saat mengetahui putra sulung mereka terbujur koma di rumah sakit selama satu bulan lebih.Meskipun sudah berkali-kali minta maaf pada orang tua Tirta karena menyembunyikan kabar ini sekian lama, Viona masih tak bisa berhenti menyalahkan dirinya.Seandainya hari itu dia langsung memutuskan Tirta karena Padma-alias Alfie-menyuruhnya, Tirta pasti tidak akan jadi sasaran kebencian dan balas dendam alter ego Padma yang kejam itu.Seandainya dia tidak menganggap remeh ancaman Alfie, Tirta pasti masih segar bugar, menyelesaikan skripsi, lalu wisuda bersamanya. Orang tua Tirta juga tidak akan sesedih sekarang.Mereka sudah mengorbankan banyak hal agar Tirta bisa kuliah di Jakarta. Besar harapan mereka agar kelak Tirta bisa sukses dan membantu mengang
Terdengar helaan napas yang begitu berat dari seberang. Viona tidak tahu apa yang membuat Alfie begitu lama mengatakan jawabannya. Tetapi anehnya dia tetap menunggu."Aku menyukaimu, Viona. I really do. Butuh waktu lama bagiku untuk mendefinisikan perasaan ini. Kamu sendiri sudah tahu bahwa segala hal tentangmu adalah rasa yang baru."Ada jeda lagi. Sementara Viona membeku di kursi begitu mendengar pernyataan Alfie."Tapi kemudian aku sadar satu hal, aku terpacu untuk berubah menjadi lebih baik setelah mengenal kamu. Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya."Aku bahkan tidak peduli jika seluruh dunia membenciku. Tapi aku sangat marah ketika kamu mengatakan muak dengan sikapku. Aku tidak ingin kamu memandangku seperti itu. Aku ingin kamu memandangku sebagai lelaki yang baik, Didit."Suara Alfie terdengar bergetar dan entah kenapa Viona makin merasakan kesepian, kesendirian dan kesedihan yang Alfie tanggung."Aku benar-benar serius saat mengatakan aku tidak suka melihatmu dengan
Kepalang tanggung. Meski tidak mengerti mengapa mulutnya mengucapkan ajakan untuk menikah lagi, Tetapi Alfie tidak bisa mundur sekarang.Kalimat itu mungkin terdengar impulsive bagi Alfie, tetapi setelah mengatakannya secara langsung di hadapan Viona, sakit di kepalanya mendadak menguap.Begitu juga dengan gelombang kemarahan yang membakar dirinya, kini mendadak surut begitu saja. Berganti dengan harapan semoga Viona mau kembali padanya.Viona mengerjap, lalu menggeleng beberapa kali sebagai tanda dia tidak percaya dengan ucapan Alfie. "Dan kamu pikir aku akan mengiakan permintaanmu?""Kenapa tidak? Sabda membutuhkanmu dan aku.... membutuhkanmu juga." Lidah Alfie terasa kelu saat mengucapkan tiga kata terakhir yang baru saja keluar dari mulutnya."Kita tidak harus menikah, Al." Viona mendesah lelah. "Pernikahan kita yang kemarin adalah sebuah bencana. Kamu terus menyakitiku dan aku makin benci padamu. Tidak bisakah kita tetap seperti ini?"Kalimat itu menohok Alfie hingga dia sempat m
Alfie terperangah.Tadi sore dia baru mendapatkan kabar dari pengacaranya bahwa gugatan perceraian yang dia ajukan dikabulkan oleh hakim. Secara hukum mereka resmi bercerai hari ini.Seharusnya Viona tidak tahu karena Alfie sama sekali tidak mengatakan apa-apa. Dia juga tidak pernah datang ke persidangan. Lalu siapa yang memberitahu Viona?"Pengacaramu yang memberitahuku." Viona menjawab pertanyaan yang belum sempat terlontar dari mulut Alfie. Dia bisa melihat kebingungan di wajah Alfie."Di mata agama dan hukum, kita sudah bukan suami istri lagi. Aku berhak dekat dan pergi dengan siapa pun juga. Jadi, berhenti mengancamku atau mengatakan aku adalah milikmu. Aku benar-benar muak dengan sikapmu, Al."Viona berbalik lalu meninggalkan Alfie yang masih mematung di depan gedung. Tetapi langkahnya terhenti ketika Alfie kembali mencekal lengannya, lalu menariknya pergi dari sana."Alfie, lepas!" Viona mencoba melepaskan cekalan tangan Alfie. "Kamu menyakitiku, Al!"Tak ada yang terjadi. Jang
Puluhan menit kemudian, mereka sampai di tempat resepsi. Pelataran parkir tampak dipenuhi oleh deretan mobil mewah, yang menunjukkan sang penyelenggara acara berasal dari kalangan berada."Shall we?"Viona menatap lengan Mandala yang disodorkan padanya. Atas dasar kesopanan, Viona menyelipkan tangannya di lengan Mandala sebelum melangkah masuk menuju lobi.Setelah masuk ke bagian dalam gedung, Mandala langsung mengajak Viona untuk bertemu dengan keluarganya yang duduk di area VVIP yang khusus diperuntukkan untuk keluarga.Pada keluarganya, Mandala mengenalkan Viona sebagai personal assistant. Tetapi Viona bisa menangkap pandangan berbeda yang dilayangkan keluarga Mandala, terutama kedua orang tuanya.“PA atau pacar, Mandala?" goda ibunya yang sejak tadi tak berhenti memandangi Viona dengan wajah semringah."PA, Ma," jawab Mandala sabar meski dia sudah mengatakannya tiga kali. "Daripada aku terus ditanya sama orang-orang kenapa aku kondangan sendirian, lebih baik aku ajak Viona.""Ya,
Pertengkaran dengan Alfie benar-benar merusak suasana hati Viona di sisa hari itu.Dia paham Alfie sangat bermasalah dengan emosi. Si Sumbu Pendek itu mudah meledak jika ada hal yang berjalan di luar keinginannya. Tetapi, apa dia harus selalu mengancam agar keinginannya terpenuhi?Belum lagi pilihan katanya sangat ambigu dan membuat Viona harus berpikir keras sepanjang sore. Sejak kapan dia adalah milik Alfie? Bukankah mereka sudah bercerai?"Ada masalah?"Suara Mandala membuyarkan lamunan Viona, yang tanpa sadar mematung di depan deretan gaun yang tergantung di rak. Perempuan itu menoleh dengan seulas senyum yang dipaksakan."Tidak ada, Pak," balasnya singkat."Kamu yakin? Sejak tadi kamu sering melamun."Senyum Viona kian lebar. Dia mengenyahkan berbagai macam gejolak dalam pikirannya dan mengangguk untuk meyakinkan Mandala. "Saya hanya memikirkan pekerjaan, Pak."Mandala mendekat lalu mengambil satu gaun yang sejak tadi menarik perhatiannya. Gaun peach selutut model off-shoulder de
Setelah itu dia keluar dan menuju ruangan Mandala. Ada yang harus dia tanyakan pada lelaki itu karena Mandala-lah yang pernah berkunjung ke aparteman Fira saat perempuan itu sakit.Begitu sampai di ruangan Mandala, dia mendengar lelaki itu sedang bicara pada Viona. Lewat pintu yang tidak tertutup rapat, Alfie bisa menangkap percakapan itu."Viona, nanti malam kamu ada acara?"Viona yang tengah mengecek jadwal Mandala untuk satu minggu ke depan sontak menoleh pada lelaki itu. "Tidak ada, Pak. Ada yang bisa saya bantu?""Kalau begitu temani saya ke resepsi pernikahan sepupu saya, ya? Saya tidak nyaman kalau datang sendiri. Selain itu ada beberapa vendor yang bekerja sama dengan Lion Capital yang diundang."Menganggap itu adalah bagian dari pekerjaannya sebagai PA, Viona mengangguk hormat. "Apa baju untuk nanti malam sudah disiapkan?""Belum. Nanti sore jadwal saya kosong, kan?"Viona melihat ke organizer-nya lalu mengangguk."Kalau begitu nanti sore temani saya memilih jas, ya. Sekalian
Alfie tidak langsung menjawab. Dia memajukan bar stool-nya hingga lutut mereka bersentuhan.Viona sontak memundurkan tubuh karena terlalu dekat dengan Alfie.Namun Alfie lebih dulu menarik lengannya hingga wajah mereka nyaris bersentuhan. Viona meneguk ludah gugup begitu mata kelam Alfie memakunya, lalu turun ke bibir dan berhenti di sana.Viona haya bisa memandang Alfie dengan waspada. Jaga-jaga kalau lelaki itu mendadak menciumnya tanpa aba-aba seperti beberapa hari yang lalu."Mungkin karena aku mulai mengenalmu,” balas Alfie sangat pelan hingga Viona sempat berpikir dia salah dengar. "Kamu tidak seburuk yang aku kira. Selama ini... aku mungkin sudah salah menilaimu."Suasana yang begitu lengang di dapur membuat Viona bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berdegup lebih kencang dari biasanya. Pengakuan Alfie yang sudah lama dia tunggu akhirnya tercetus juga dari mulut lelaki itu."Kalau begitu tarik semua tuduhanmu tentang aku!" tuntut Viona. "Termasuk tuduhan bahwa aku tidu
Kesal pada dirinya sendiri karena tak kunjung bisa mengenyahkan bayang-bayang Alfie, Viona mematikan TV lalu bangkit dan beranjak menuju kamar.Namun baru dua langkah, dia mendengar suara dari arah ruang tamu. Sepertinya ada yang membuka pintu depan. Tubuh Viona seketika menegang.Hal pertama yang terlintas dalam benaknya adalah suara itu adalah perampok yang mencoba masuk ke rumah ini. Tetapi dia kemudia ingat bahwa rumah ini punya penjagaan yang sangat ketat.Ada dua pengawal yang berjaga di depan. Ditambah security yang berjaga di pos keamanan yang ada di depan pagar. Seharusnya tidak ada perampok yang bisa menerobos masuk.Jika bukan perampok, lalu siapa?Viona baru akan berpikir tentang apa yang harus dia lakukan saat sebuah suara berat dan serak yang familiar menyapa telinganya."Viona, kamu baik-baik saja?"Viona tersentak. Dia mengerjap saat melihat Alfie berjalan ke arahnya dengan tergesa. Dia tidak salah lihat, kan? Bukankah seharusnya Alfie masih ada di Bandung?"Are you ok
Persetan! Kalau dengan membayangkan Viona bisa membuatnya bergairah dan turn on, maka dia akan melakukannya. Alfie benar-benar butuh pelampiasan malam ini.Tepat saat celananya meluncur turun, ponsel Alfie yang tadi dilempar Darla ke atas tempat tidur berdering nyaring.Mengabaikan Darla yang baru saja akan menyenangkan miliknya, Alfie bergerak menuju tempat tidur lalu menyambar benda pipih itu dengan tidak sabar. Siapa tahu Viona yang meneleponnya.Darla yang sudah terlanjur bergairah, mengikuti Alfie dan mendorongnya ke tempat tidur agar dia bisa melanjutkan 'pekerjaannya'."Ada apa?" sapa Alfie kasar karena panggilan itu bukan berasal dari Viona melainkan pengawal yang dia utus untuk mendampingi perempuan itu."Nona Viona sudah sampai di rumah sejak jam delapan malam, Tuan. Tetapi ada sebuah mobil yang mengikuti kami."Alis Alfie bertaut. "Kamu memotret plat mobilnya?""Tidak, Tuan. Mobil itu berada cukup jauh dari mobil kami, tapi saya yakin dia mengikuti kami. Begitu kami masuk g