"Semuanya sudah kamu bereskan?" tanya Alfie pada orang kepercayaannya, yang pagi ini datang ke kantor untuk melapor.
"Sudah, Tuan. Jasad selingkuhan Nyonya Besar sudah disingkirkan. Kamar itu juga sudah disterilkan. Tidak akan ada orang yang tahu pernah terjadi pembunuhan di sana."
Alfie mengetuk-ngetukkan jarinya di meja.
Raung kesakitan Ghina masih terngiang-ngiang dengan jelas dan itu membuatnya sangat puas. Meski tentu saja itu tidak sebanding dengan kekejamannya pada Padma sewaktu kecil.
"Lalu pihak hotel dan keluarga lelaki peliharaan Ghina?"
"Mereka juga sudah dibungkam. Tidak akan ada yang berani membicarakan kasus ini lagi. Sepertinya Nyonya Besar juga sudah memberikan uang tutup mulut yang cukup besar pada pihak hotel."
Tentu saja Ghina akan berusaha untuk menutupi skandalnya. Image-nya sebagai sosialita dan istri seorang anggota dewan harus tetap terjaga. Meski perilakunya sungguh jauh dari kata terhormat.
"Bagus,” gu
Viona melirik sedih pada orang tua Tirta yang terpaku di balik jendela kaca. Sejak lima belas menit yang lalu, posisi mereka sama sekali tidak berubah.Hanya ada tatapan penuh kesedihan bercampur tidak percaya saat mengetahui putra sulung mereka terbujur koma di rumah sakit selama satu bulan lebih.Meskipun sudah berkali-kali minta maaf pada orang tua Tirta karena menyembunyikan kabar ini sekian lama, Viona masih tak bisa berhenti menyalahkan dirinya.Seandainya hari itu dia langsung memutuskan Tirta karena Padma-alias Alfie-menyuruhnya, Tirta pasti tidak akan jadi sasaran kebencian dan balas dendam alter ego Padma yang kejam itu.Seandainya dia tidak menganggap remeh ancaman Alfie, Tirta pasti masih segar bugar, menyelesaikan skripsi, lalu wisuda bersamanya. Orang tua Tirta juga tidak akan sesedih sekarang.Mereka sudah mengorbankan banyak hal agar Tirta bisa kuliah di Jakarta. Besar harapan mereka agar kelak Tirta bisa sukses dan membantu mengang
Viona meneguk ludah gugup saat melihat ayah dan ibu Tirta menyambut Padma dengan ramah. Tetapi dia lega Padma tidak memperkenalkan diri sebagai suaminya. Dia tidak ingin membuat orang tua Tirta kian syok."Kami ayah dan ibu Tirta, pacar Viona,” balas Ibu Tirta tak kalah ramah. Tangannya masih menjabat tangan Padma sementara tatapannya dipenuhi kekaguma.Saat sang suami menyenggol lengannya, barulah Ibu Tirta melepaskan tangan sambil tersenyum malu-malu. Viona melongo. Bahkan perempuan paruh baya pun tidak kebal dari pesona Padma."Begitu." Padma mengangguk-angguk. Masih dengan senyum ramah yang bertahan di wajahnya. "Kalau boleh tau mengapa kalian ada di sini? Tirta sakit?"Viona sekarang yakin yang berdiri di sampingnya ini adalah Padma.Alfie tidak mungkin bersikap ramah dan simpatik. Sikap lelaki itu terlalu dingin dan tidak peduli pada orang lain. Lagipula, Alfie-lah yang mencelakai Tirta, Padma tidak tahu apa-apa tentang hal itu.
"Mas Padma gila!" sembur Viona saat Alfie menarik lengannya menuju tempat parkir.Tadinya dia menolak untuk mengikuti lelaki itu begitu melihat Ibu Tirta pingsan. Tetapi seperti biasa, Alfie menggunakan keselamatan Tirta sebagai ancaman jika dia tidak mau menurutinya.Maka dengan perasaan tidak karuan, Viona terpaksa meninggalkan Ibu Tirta yang sedang ditangani oleh perawat dan tersaruk-saruk mengikuti Padma yang menggila.Ah, dia bukan Padma. Viona yakin yang sedang menggila di hadapannya adalah Alfie-alter ego Padma.Begitu sampai di samping mobil Alfie, lelaki itu menyentak lengannya hingga Viona nyaris membentur body mobil jika tidak buru-buru menahan dengan tangannya."Aku memang gila!" Alfie mendesis di depan wajah Viona yang memerah. Dada perempuan itu bergerak naik turun menahan gelombang kemarahan yang menjalar dalam dirinya."Kamu tahu aku gila, tapi kamu tetap bermain-main denganku. Kamu pikir aku tidak akan tahu kamu memindahkan
"Are you okay?" Mandala menggeser kursinya lebih dekat dengan kepala Viona. Perutnya terasa mencelos saat melihat Viona ambruk setengah jam yang lalu.Mandala adalah orang pertama yang Viona lihat saat dia sadar. Disusul dengan kepalanya yang sangat berat dan nyeri di sekujur tubuhnya.Pada perawat yang menanganinya di UGD, Mandala meminta untuk dilakukan pemeriksaan di sekujur tubuh untuk memastikan apakah ada luka, lebam, memar atau sejenis itu.Dia tidak bisa diam saja jika sampai Alfie melakukan kekerasan fisik pada Viona. Perawat mengatakan tidak ada luka atau hal-hal yang mencurigakan.Mandala justru mendengar kabar yang lebih mengejutkan, Viona hamil.Mandala yakin itu adalah anak Alfie, bukan Padma. Masalahnya, dia juga tahu alter ego Padma itu sangat membenci bayi.Itu sebabnya Alfie tak pernah menyentuh Sabda sekali pun dan memilih menikahi Viona agar bisa menjadi ibu sambung yang merawat Sabda dengan penuh kasih layaknya ibu kandung."Siapa yang membawaku ke sini, Mas?" Vio
"Tapi aku tidak bisa melakukan itu sekarang, Mas. Mereka masih sangat terpukul."Jantung Viona terasa seperti diremas-remas melihat pemandangan pilu itu. Dia berbalik lalu menatap Mandala yang terlihat sedang sibuk memikirkan sesuatu."Apa aku bisa minta tolong? Hanya Mas Mandala yang bisa melakukan ini untukku."Mandala mengerjap. Rasa iba mendadak menelusup dalam dadanya melihat Viona yang tampak begitu ringkih dan rapuh. "Apa yang bisa aku lakukan untukmu?"Viona benar-benar berharap dia tidak minta tolong pada orang yang salah. Tetapi dia tidak tahu pada siapa lagi dia bisa menyandarkan harapan untuk masalah ini."Ini tentang Tirta. Bisakah Mas Mandala memindahkan Tirta ke tempat yang aman? Tempat yang tidak akan pernah bisa dilacak oleh Alfie?"Mata Mandala membulat.Seolah belum cukup, Viona melanjutkan ucapannya. "Dan satu lagi. Ini tentang Sabda."***Bik Sari yang semula sedang menyiram tanaman di halaman depan, langsung membanting selangnya begitu saja ke rumput, lalu mengha
"Semalam Padma tidak pernah ada, Viona. Sejak awal akulah yang ada di sana dan berpura-pura sebagai Padma. Aktingku benar-benar meyakinkan, bukan? Buktinya kamu percaya aku adalah Padma dan menelan mentah-mentah semua ucapanku." Alfie menyunggingkan senyum miring.Mulut Viona menganga, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari sana. Hanya ada embusan napas kasar karena perempuan itu tidak percaya dengan ucapan Alfie.Sandiwara katanya? Apanya yang sandiwara?Melihat Viona yang tercengang dengan manik bergoyang gelisah, Alfie tak kuasa menahan tawanya.Lelaki itu membalikkan tubuhnya lalu tertawa terbahak-bahak. Terdengar begitu puas karena berhasil mengelabui Viona yang malang.Setelah puas tertawa, Alfie kembali berbalik dan melempar tatapan mencemooh pada Viona yang masih terperangah tanpa mampu mengatakan apa-apa."Kamu benar-benar percaya Padma mencintaimu sejak delapan tahun yang lalu ? Hahaha. Seharusnya kamu melihat ekspresimu sekarang, Viona. Kamu betul-betul terlihat konyol
Tadinya dia tidak ingin mengambil keputusan ini karena dia masih ingin menemani Padma. Tetapi setelah tahu semalam hanyalah sandiwara, Viona membulatkan tekadnya.Dia tidak bisa terus menerus tinggal serumah bersama seorang iblis seperti Alfie. Seumur hidup terlalu lama untuk tinggal bersama lelaki yang salah.Lagipula tidak ada yang harus dia takutkan sekarang. Mandala sedang dalam perjalanan bersama Tirta dan keluarganya ke tempat yang aman.Sementara itu, dia juga akan membawa Sabda dengan bantuan Mandala. Rencananya sudah matang. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk mengeksekusinya.Masalah pengacara, dia berencana untuk menghubungi saudara ipar Biru-dosennya-yang berprofesi sebagai pengacara. Tidak ada kata untuk mundur sekarang.Dia lebih baik mati daripada melanjutkan hidup bersama Alfie."Kamu sangat percaya diri, hm?" geram Alfie yang kembali kesal karena Viona kian berani menentangnya."Tentu saja. Aku yakin hakim pasti akan mengabulkan gugatanku. Kamu selalu melakukan KD
Malam itu, Viona langsung mengemasi bajunya ke dalam tas besar. Beruntung baju-bajunya tidak terlalu banyak karena sebagian besar masih ada di rumahnya yang lama.Bukan hanya mengemas bajunya, Viona juga mengemas sebagian besar baju Sabda karena bayi itu akan ikut bersamanya.Dia memang berencana kabur malam ini. Mandala sudah berjanji akan mengirim orang untuk menjemputnya di depan rumah. Dia tahu lelaki itu tidak akan ingkar janji.Viona sengaja membawa Sabda juga karena dia tidak bisa meninggalkannya di sini. Bagaimana kalau Alfie menyakitinya? Tidak! Viona tidak akan mengambil resiko itu.Sesekali Viona menoleh ke tempat tidur untuk meyakinkan Sabda masih tidur pulas. Bibirnya refleks melengkungkan senyum melihat bayi itu terlelap dalam posisi miring sambil memeluk guling mungilnya.Setelah itu Viona kembali berkutat dengan tas dan baju, sampai suara ketukan di pintu menghentikan aktivitasnya. Viona bangkit dan menatap pintu kamarnya dengan penuh antisipasi.Apa Alfie menyusulnya
Terdengar helaan napas yang begitu berat dari seberang. Viona tidak tahu apa yang membuat Alfie begitu lama mengatakan jawabannya. Tetapi anehnya dia tetap menunggu."Aku menyukaimu, Viona. I really do. Butuh waktu lama bagiku untuk mendefinisikan perasaan ini. Kamu sendiri sudah tahu bahwa segala hal tentangmu adalah rasa yang baru."Ada jeda lagi. Sementara Viona membeku di kursi begitu mendengar pernyataan Alfie."Tapi kemudian aku sadar satu hal, aku terpacu untuk berubah menjadi lebih baik setelah mengenal kamu. Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya."Aku bahkan tidak peduli jika seluruh dunia membenciku. Tapi aku sangat marah ketika kamu mengatakan muak dengan sikapku. Aku tidak ingin kamu memandangku seperti itu. Aku ingin kamu memandangku sebagai lelaki yang baik, Didit."Suara Alfie terdengar bergetar dan entah kenapa Viona makin merasakan kesepian, kesendirian dan kesedihan yang Alfie tanggung."Aku benar-benar serius saat mengatakan aku tidak suka melihatmu dengan
Kepalang tanggung. Meski tidak mengerti mengapa mulutnya mengucapkan ajakan untuk menikah lagi, Tetapi Alfie tidak bisa mundur sekarang.Kalimat itu mungkin terdengar impulsive bagi Alfie, tetapi setelah mengatakannya secara langsung di hadapan Viona, sakit di kepalanya mendadak menguap.Begitu juga dengan gelombang kemarahan yang membakar dirinya, kini mendadak surut begitu saja. Berganti dengan harapan semoga Viona mau kembali padanya.Viona mengerjap, lalu menggeleng beberapa kali sebagai tanda dia tidak percaya dengan ucapan Alfie. "Dan kamu pikir aku akan mengiakan permintaanmu?""Kenapa tidak? Sabda membutuhkanmu dan aku.... membutuhkanmu juga." Lidah Alfie terasa kelu saat mengucapkan tiga kata terakhir yang baru saja keluar dari mulutnya."Kita tidak harus menikah, Al." Viona mendesah lelah. "Pernikahan kita yang kemarin adalah sebuah bencana. Kamu terus menyakitiku dan aku makin benci padamu. Tidak bisakah kita tetap seperti ini?"Kalimat itu menohok Alfie hingga dia sempat m
Alfie terperangah.Tadi sore dia baru mendapatkan kabar dari pengacaranya bahwa gugatan perceraian yang dia ajukan dikabulkan oleh hakim. Secara hukum mereka resmi bercerai hari ini.Seharusnya Viona tidak tahu karena Alfie sama sekali tidak mengatakan apa-apa. Dia juga tidak pernah datang ke persidangan. Lalu siapa yang memberitahu Viona?"Pengacaramu yang memberitahuku." Viona menjawab pertanyaan yang belum sempat terlontar dari mulut Alfie. Dia bisa melihat kebingungan di wajah Alfie."Di mata agama dan hukum, kita sudah bukan suami istri lagi. Aku berhak dekat dan pergi dengan siapa pun juga. Jadi, berhenti mengancamku atau mengatakan aku adalah milikmu. Aku benar-benar muak dengan sikapmu, Al."Viona berbalik lalu meninggalkan Alfie yang masih mematung di depan gedung. Tetapi langkahnya terhenti ketika Alfie kembali mencekal lengannya, lalu menariknya pergi dari sana."Alfie, lepas!" Viona mencoba melepaskan cekalan tangan Alfie. "Kamu menyakitiku, Al!"Tak ada yang terjadi. Jang
Puluhan menit kemudian, mereka sampai di tempat resepsi. Pelataran parkir tampak dipenuhi oleh deretan mobil mewah, yang menunjukkan sang penyelenggara acara berasal dari kalangan berada."Shall we?"Viona menatap lengan Mandala yang disodorkan padanya. Atas dasar kesopanan, Viona menyelipkan tangannya di lengan Mandala sebelum melangkah masuk menuju lobi.Setelah masuk ke bagian dalam gedung, Mandala langsung mengajak Viona untuk bertemu dengan keluarganya yang duduk di area VVIP yang khusus diperuntukkan untuk keluarga.Pada keluarganya, Mandala mengenalkan Viona sebagai personal assistant. Tetapi Viona bisa menangkap pandangan berbeda yang dilayangkan keluarga Mandala, terutama kedua orang tuanya.“PA atau pacar, Mandala?" goda ibunya yang sejak tadi tak berhenti memandangi Viona dengan wajah semringah."PA, Ma," jawab Mandala sabar meski dia sudah mengatakannya tiga kali. "Daripada aku terus ditanya sama orang-orang kenapa aku kondangan sendirian, lebih baik aku ajak Viona.""Ya,
Pertengkaran dengan Alfie benar-benar merusak suasana hati Viona di sisa hari itu.Dia paham Alfie sangat bermasalah dengan emosi. Si Sumbu Pendek itu mudah meledak jika ada hal yang berjalan di luar keinginannya. Tetapi, apa dia harus selalu mengancam agar keinginannya terpenuhi?Belum lagi pilihan katanya sangat ambigu dan membuat Viona harus berpikir keras sepanjang sore. Sejak kapan dia adalah milik Alfie? Bukankah mereka sudah bercerai?"Ada masalah?"Suara Mandala membuyarkan lamunan Viona, yang tanpa sadar mematung di depan deretan gaun yang tergantung di rak. Perempuan itu menoleh dengan seulas senyum yang dipaksakan."Tidak ada, Pak," balasnya singkat."Kamu yakin? Sejak tadi kamu sering melamun."Senyum Viona kian lebar. Dia mengenyahkan berbagai macam gejolak dalam pikirannya dan mengangguk untuk meyakinkan Mandala. "Saya hanya memikirkan pekerjaan, Pak."Mandala mendekat lalu mengambil satu gaun yang sejak tadi menarik perhatiannya. Gaun peach selutut model off-shoulder de
Setelah itu dia keluar dan menuju ruangan Mandala. Ada yang harus dia tanyakan pada lelaki itu karena Mandala-lah yang pernah berkunjung ke aparteman Fira saat perempuan itu sakit.Begitu sampai di ruangan Mandala, dia mendengar lelaki itu sedang bicara pada Viona. Lewat pintu yang tidak tertutup rapat, Alfie bisa menangkap percakapan itu."Viona, nanti malam kamu ada acara?"Viona yang tengah mengecek jadwal Mandala untuk satu minggu ke depan sontak menoleh pada lelaki itu. "Tidak ada, Pak. Ada yang bisa saya bantu?""Kalau begitu temani saya ke resepsi pernikahan sepupu saya, ya? Saya tidak nyaman kalau datang sendiri. Selain itu ada beberapa vendor yang bekerja sama dengan Lion Capital yang diundang."Menganggap itu adalah bagian dari pekerjaannya sebagai PA, Viona mengangguk hormat. "Apa baju untuk nanti malam sudah disiapkan?""Belum. Nanti sore jadwal saya kosong, kan?"Viona melihat ke organizer-nya lalu mengangguk."Kalau begitu nanti sore temani saya memilih jas, ya. Sekalian
Alfie tidak langsung menjawab. Dia memajukan bar stool-nya hingga lutut mereka bersentuhan.Viona sontak memundurkan tubuh karena terlalu dekat dengan Alfie.Namun Alfie lebih dulu menarik lengannya hingga wajah mereka nyaris bersentuhan. Viona meneguk ludah gugup begitu mata kelam Alfie memakunya, lalu turun ke bibir dan berhenti di sana.Viona haya bisa memandang Alfie dengan waspada. Jaga-jaga kalau lelaki itu mendadak menciumnya tanpa aba-aba seperti beberapa hari yang lalu."Mungkin karena aku mulai mengenalmu,” balas Alfie sangat pelan hingga Viona sempat berpikir dia salah dengar. "Kamu tidak seburuk yang aku kira. Selama ini... aku mungkin sudah salah menilaimu."Suasana yang begitu lengang di dapur membuat Viona bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berdegup lebih kencang dari biasanya. Pengakuan Alfie yang sudah lama dia tunggu akhirnya tercetus juga dari mulut lelaki itu."Kalau begitu tarik semua tuduhanmu tentang aku!" tuntut Viona. "Termasuk tuduhan bahwa aku tidu
Kesal pada dirinya sendiri karena tak kunjung bisa mengenyahkan bayang-bayang Alfie, Viona mematikan TV lalu bangkit dan beranjak menuju kamar.Namun baru dua langkah, dia mendengar suara dari arah ruang tamu. Sepertinya ada yang membuka pintu depan. Tubuh Viona seketika menegang.Hal pertama yang terlintas dalam benaknya adalah suara itu adalah perampok yang mencoba masuk ke rumah ini. Tetapi dia kemudia ingat bahwa rumah ini punya penjagaan yang sangat ketat.Ada dua pengawal yang berjaga di depan. Ditambah security yang berjaga di pos keamanan yang ada di depan pagar. Seharusnya tidak ada perampok yang bisa menerobos masuk.Jika bukan perampok, lalu siapa?Viona baru akan berpikir tentang apa yang harus dia lakukan saat sebuah suara berat dan serak yang familiar menyapa telinganya."Viona, kamu baik-baik saja?"Viona tersentak. Dia mengerjap saat melihat Alfie berjalan ke arahnya dengan tergesa. Dia tidak salah lihat, kan? Bukankah seharusnya Alfie masih ada di Bandung?"Are you ok
Persetan! Kalau dengan membayangkan Viona bisa membuatnya bergairah dan turn on, maka dia akan melakukannya. Alfie benar-benar butuh pelampiasan malam ini.Tepat saat celananya meluncur turun, ponsel Alfie yang tadi dilempar Darla ke atas tempat tidur berdering nyaring.Mengabaikan Darla yang baru saja akan menyenangkan miliknya, Alfie bergerak menuju tempat tidur lalu menyambar benda pipih itu dengan tidak sabar. Siapa tahu Viona yang meneleponnya.Darla yang sudah terlanjur bergairah, mengikuti Alfie dan mendorongnya ke tempat tidur agar dia bisa melanjutkan 'pekerjaannya'."Ada apa?" sapa Alfie kasar karena panggilan itu bukan berasal dari Viona melainkan pengawal yang dia utus untuk mendampingi perempuan itu."Nona Viona sudah sampai di rumah sejak jam delapan malam, Tuan. Tetapi ada sebuah mobil yang mengikuti kami."Alis Alfie bertaut. "Kamu memotret plat mobilnya?""Tidak, Tuan. Mobil itu berada cukup jauh dari mobil kami, tapi saya yakin dia mengikuti kami. Begitu kami masuk g