"Uhuk ... uhuk ...!" Hendry tersedak. Padahal ia belum menelan sebutir nasi pun.
Sinta memberikan segelas air putih pada suaminya. Dan menepuk-nepuk pelan punggung Hendry.
"Sisil, apa kau ingin membunuh ayahmu dengan mengatakan hal menjijikan seperti itu?" bentak Sinta langsung dengan suara sekeras mungkin. Hingga terdengar menggelegar memenuhi ruang makan. Padahal ia sudah sedikit menahan suaranya. Jika tidak ada Hendry di antara mereka, tentu suara Sinta bisa lebih nyaring lagi.
Baru saja Sinta senang atas sikap putrinya yang tampaknya sudah bisa melupakan Janu, sekarang Sisil malah meminta ayahnya untuk melamar Janu. Baru kali ini Sinta merasa putrinya sudah gila.
Sinta benar-benar sudah habis urat kesabarannya dalam menghadapi putrinya sendiri. Ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran Sisil. Sangat-sangat tidak masuk akal dan tidak realistis sama sekali.
Memangnya apa istimewanya Janu? Mungkin lelaki itu memang tampan dan sedikit pintar, tapi
Dalam batinnya Sisil tersenyum. Ia baru mengerti bahwa menjadi orang jahat tidaklah sulit. Ia hanya perlu pandai melihat situasi dan menekan rasa kepedulian terhadap orang lain. Sesudahnya, semua akan berjalan sesuai dengan yang diinginkan.Sisil beruntung karena ia terbiasa menangis dan ayahnya tidak pernah tega melihatnya mengeluarkan air mata. Kali ini ia harus bisa meyakinkan sang ayah untuk membalaskan sakit hatinya pada Smith."Tidak Ayah. Aku tidak menangis karena Tante Sheira. Beliau tidak bersalah. Aku memang yang salah karena menanyakan hal yang tidak diketahui oleh Tante Sheira. Bahkan juga memaksa beliau untuk menjawab. Padahal Tante Sheira sudah menjawab pertanyaanku," ucap Sisil yang bertingkah sok bijak."Lalu kenapa?" tanya Hendry sambil duduk kembali."Aku sudah tahu semua Ayah. Tadi malam saat aku menghampiri Ayah dengan wajah memar dan bibir berdarah, ada hal penting yang ingin aku katakan pada Ayah. Tapi ... ""Tapi apa?"
Hendry benar-benar dikuasai amarah. Tampak nyata dari wajahnya. Kedua matanya memerah dengan tatapan lurus ke depan nyaris tanpa berkedip. Juga gesturnya yang mengepalkan tangan erat-erat. Membuat Sinta dan Sisil kompak menyunggingkan senyum."Sisil sekarang katakan pada Ayah, apa yang ingin disembunyikan kakakmu dari Ayah?" tanya Hendry setelah beberapa saat hanya diam."Sebenarnya kebohongan besar itu tidak hanya disembunyikan dari Ayah, tapi dari kita semua, termasuk Janu," jawab Sisil sambil meletakkan tangannya di atas tangan Hendry yang terkepal.Sisil menatap mata ayahnya. Ia juga membiarkan matanya bocor seolah ingin menunjukkan simpati dan kesedihan atas kabar buruk yang hendak ia katakan pada sang ayah."Ayah, Smith tidak hamil. Aku mendengar sendiri dari mulutnya bahwa ia tidak hamil.""Apa?" pekik Hendry kedua alis yang hampir menyatu.Ada perasaan aneh yang muncul dalam diri Hendry. Ia tidak mengerti, apakah ia harus merasa sena
Bibi Ipah menekan bel dengan perasaan was-was. Ia tidak tahu siapa yang ada di dalam rumah. Juga tidak tahu siapa yang akan membuka pintu untuknya. Sedangkan ia merasa kata 'pulang' tidaklah cocok untuknya yang kembali ke rumah tempatnya bekerja.Walau bagaimanapun saat ini ia berdiri di depan pintu tempatnya mencari nafkah. Itu bukan tempat tinggal miliknya di mana ia bisa beristirahat semaunya tanpa rasa sungkan. Sedangkan ia dokter telah berpesan padanya untuk tidak melakukan pekerjaan dulu hingga rasa nyeri di punggungnya benar-benar hilang.Dalam pikiran perempuan tua itu orang-orang yang mungkin ada di dalam rumah itu bukanlah orang yang menganggapnya sebagai keluarga, melainkan hanya sebagai pembantu. Bibi Ipah sadar bahwa bagi majikannya, kesehatannya tidak menjadi hal berharga yang harus dijaga. Yang terpenting adalah ia harus menyelesaikan pekerjaan rumah. Majikan yang selama ini sangat peduli pada kesehatannya sedang ke luar semua. Keduanya bahkan mung
Sinta berdiri dengan semangat. Ia berjalan cepat menuju kamar Bibi Ipah. Perempuan itu bahkan ingin melompat kegirangan karena rencana yang disampaikan sang suami padanya sungguh sangat jenius. Tidak pernah terpikirkan olehnya. Sekali dayung, dua, tiga pulau terlampaui.Tok ... tok ... tok ....Sinta mengetuk pintu kamar Bibi Ipah. Membuat Bibi Ipah yang baru saja duduk, harus kembali berdiri setelah sedikit terjingkat.Bibi Ipah tidak boleh lelet karena orang yang mengetuk pintu kamarnya sudah berkoar-koar memanggil namanya. Bibi Ipah hafal benar dengan suara itu. Pemiliknya adalah orang yang hobi berteriak-teriak padanya. Nyonya Sinta Sasongko!"Iya, Nyonya," kata Bibi Ipah sesudah membuka pintu."Aduh ... Bi Ipah! Kenapa lama sekali? Membuka pintu kamar saja selama ini. Pantas, kamu sering membuatku sampai tidur di depan pintu rumah karena terlalu lama menunggu," semprot Sinta yang tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk memarahi Bibi Ipah. Bi
"Bibi Ipah tidak usah cemas. Saya tetap akan mengirimkan uang ke rekening Bibi setiap bulan. Jadi Bibi tidak perlu memikirkan keuangan lagi. Bibi bisa menikmati masa tua Bibi dengan tenang di panti bersama orang tua lainnya tanpa harus mengerjakan tugas rumah. Setelah ini Pak Jono akan mengantar Bibi. Maafkan saya karena tidak bisa ikut. Ada urusan pekerjaan yang harus saya selesaikan," jelas Hendry tanpa basa-basi.Bibi Ipah menggeser pandangannya pada Pak Jono yang sejak ia turun ke lantai bawah, telah berdiri di belakang Hendry. Membuat Pak Jono tidak tega untuk menuruti permintaan Hendry. Pak Jono tahu benar kalau Bibi Ipah tidak ingin pergi dari rumah itu. Bibi Ipah ingin tetap di sana bersama sang nona muda.Pak Jono adalah satu-satunya orang yang menjadi saksi kedekatan hubungan antara Bibi Ipah dan Smith. Ia paham benar bahwa keduanya saling menyayangi. Pak Jono yakin jika saat ini hati Bibi Ipah pasti hancur, batinnya tidak bisa menerima keputusan Tuan Hendry.
Perkuliahan telah selesai. Janu dan Smith pun ingin langsung pulang saja karena mencemaskan keadaan Bibi Ipah."Ayo Janu, kemudikan mobilnya cepat. Entah mengapa dari tadi firasatku tidak enak. Aku takut terjadi sesuatu pada Bibi Ipah. Kau tahu sendiri Tante Sinta seperti apa. Bagaimana kalau perempuan sint*ng itu menyuruh Bibi Ipah untuk melakukan ini dan itu. Haaah, aku melakukan kesalahan besar dengan membiarkan Bibi Ipah sendirian bersama perempuan sint*ng itu," gerutu Smith tanpa henti. Sejak tadi perasaannya sangat tidak enak. Tidak bisa berhenti memikirkan Bibi Ipah."Smith, kau sangat menyayangi Bibi Ipah ya?" tanya Janu yang telah memegang setir, tapi belum juga menyalakan mesin."Janu, aku mohon, tahan kesint*nganmu. Jangan kumat dulu. Kita harus segera pulang dan memastikan apakah Bibi Ipah baik-baik saja atau tidak. Mengerti?" kata Smith mengacungkan telunjuknya. Ia kadang tidak habis pikir pada suaminya yang kerap menanyakan hal-hal aneh di sa
Saat mobil yang dikemudikan Janu telah sampai di halaman rumah mewah Hendry Sasongko, Smith lekas-lekas membuka pintu mobil dan melompat ke luar. Ia harus bergegas melihat Bibi Ipah supaya hatinya menjadi tenang. Smith sungguh berharap firasat buruk yang sedari tadi berkutat di pikirannya hanya karena ia terlalu berlebihan memikirkan Bibi Ipah, dan semoga saja tidak terjadi.Smith bisa masuk dengan mudah karena pintu terbuka lebar. Sebenarnya hal itu sedikit aneh, tidak biasanya pintu rumah itu dibiarkan terbuka. Kecuali jika memang ada acara tertentu yang mengundang orang luar untuk datang atau mungkin ada tamu yang sedang ditunggu kedatangannya. Tapi siapa?"Di mana Bibi Ipah?" gumam Smith yang melihat ke kanan dan ke kiri sambil terus melangkah. Tempat pertama yang ingin ia tuju adalah kamar Bibi Ipah, tapi untuk itu ia akan memastikan dulu apakah Bibi Ipah ada di luar kamar atau tidak, apakah orang-orang menyuruh Bibi Ipah untuk bekerja atau tidak."Smith, t
Janu berlari cepat mengejar istrinya. Ia harus mencegah Smith menemui Hendry dalam keadaan emosi meledak. Kalau tidak, perang dunia benar-benar akan terjadi."Smith," kata Janu sambil memegang tangan Smith dan menahannya. Sudah barang tentu kalau Smith akan memberontak dan berusaha keras untuk melepaskan genggaman tangan suaminya. Tapi Janu tidak akan melepaskan tangan yang susah payah ia tangkap."Smith, tenanglah. Apa gunanya marah seperti ini? Kau hanya akan memperburuk suasana. Dengarkan aku, kau masih ingat dengan yang aku katakan padamu tadi, tentang niatan Ayah yang ingin membelikan Bibi Ipah rumah kan? Mungkin saja Bibi Ipah ada di rumah barunya sekarang," ujar Janu tanpa jeda.Smith berhenti memberontak. Apa yang dikatakan suaminya ada benarnya. Ia kemudian menghembuskan napas berat. Mungkin ia memang sudah sangat berlebihan dalam berprasangka buruk pada keluarganya sendiri.Prok ... prok ... prok ....Sinta berjalan menuju tangga sambil b
Janu menelan ludah setelah mengetahui yang sebenarnya terjadi. Ia menghembuskan napas panjang, menyayangkan kecelakaan yang sampai menewaskan Sinta."Janu, Ayah minta maaf. Kau benar, Ayah sudah melakukan kesalahan besar. Kini semua telah terungkap. Sinta sudah menunjukkan siapa dia sebenarnya.""Tidak, Ayah sudah keliru jika meminta maaf padaku. Ayah tidak punya salah padaku," kata Janu memasang senyum lebar. Sama sekali tidak menunjukkan adanya kemarahan apalagi dendam."Tapi Ayah sudah mengusirmu dari rumah.""Tidak Ayah. Sejak awal itu bukan rumahku. Tapi sejak kecil, Smith telah tinggal dan tumbuh besar di sana. Ada banyak kenangan manis di rumah itu. Jadi, akan lebih tepat jika Ayah meminta maaf pada Smith.""Benar, itu semua benar. Ayah tahu kesalahan Ayah pada Smith tidak akan termaafkan.""Tidak Ayah. Smith sudah berjanji untuk memaafkan Ayah."Janu pun ke luar untuk memanggil Smith. Sesaat kemudian Janu kembali dengan mengga
Bruaaakkk!"Mama!" jerit Sisil saat melihat mobil yang ditumpangi Sinta bertabrakan dengan mobil lain.Sontak saja jalanan sekitar menjadi sangat ramai. Orang-orang mulai berkerumun untuk melihat lebih dekat kecelakaan itu.Sementara itu, Smith masih berada dalam dekapan Janu. Peristiwa kecelakaan itu berada tepat di belakang mereka. Suara dua mobil yang bertubrukan itu terdengar begitu keras di telinga mereka. Kerasnya tabrakan yang terjadi bahkan sampai membuat salah satu mobil terbalik.Sisil langsung menghentikan mobilnya begitu saja, tanpa menepi dulu. Ia ke luar dengan berlinang air mata. Berlari mendekat untuk melihat keadaan mamanya."Mama ...!" jerit Sisil lebih lantang melihat mamanya mengeluarkan banyak darah dari kepala dan telinga.Smith dan Janu langsung menoleh. Mereka mengenal dengan baik suara perempuan yang berteriak itu. Smith dan Janu langsung terbelalak karena mengenal mobil yang terlibat kecelakaan lalu lint
Mendadak Smith dan Janu menjadi buronan banyak orang. Anak buah Hendry dan orang-orang Sinta sedang berusaha keras melacak keberadaan pasangan muda itu. Sedangkan Sisil, diam-diam mengikuti mamanya.Baik Hendry maupun Sinta sama-sama sibuk menghubungi nomor ponsel Smith, tapi jelas tidak tersambung karena ponsel Smith ikut terbakar. Mereka lantas menghubungi Janu, tapi tidak bisa juga. Ponsel Janu terjatuh ketika lelaki itu pingsan."Bangs*t! Lihat saja, kalau aku sampai menemukan kalian, aku pastikan kalian mamp*s!" umpat Sinta sambil mengendarai mobilnya. Sesekali ia menagih informasi hasil dari pencarian anak buahnya.***"Apa kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya Smith melihat suaminya yang masih tampak pucat."Aku baik-baik saja. Selama kau bersamaku, aku akan selalu baik," jawab Janu sambil memegang tangan istrinya. Ia juga menyunggingkan senyum yang membuat hati Smith leleh hingga tanpa sadar pipinya memerah.Di dalam angkot itu hanya a
Dengan dada hampir meledak, Hendry membuka pintu rumahnya. Tidak cukup sampai di situ, Hendry juga berteriak-teriak memanggil sang istri.Pak Jono yang melihat hal itu, menjadi sangat takut. Ia tahu majikannya sedang sangat murka setelah mendengarkan pengakuannya.Sejujurnya Pak Jono terhitung nekat. Sinta telah melarangnya untuk mengatakan pada siapa pun bahwa majikannya itu telah pergi ke lingkungan kost Smith. Tapi Pak Jono tidak bisa menyembunyikan apa yang ia ketahui. Tuan Hendry harus tahu semuanya, begitulah pikir Pak Jono."Ada apa, Ayah?" kata Sisil yang baru saja membuka kulkas di dapur untuk mengambil air dingin. Ia Langsung berlari menghampiri sang ayah yang terdengar murka menyebut nama mamanya."Di mana mamamu?" bentak Hendry dengan urat leher yang mencuat.Sisil menelan ludah. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya sampai membentak dirinya. Sisil merasa tidak melakukan suatu kesalahan apa pun."Mama ... Mama sedang ke luar, Ayah,"
Sudah barang tentu kalau wajah Hendry tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang luar biasa besar melihat lingkungan kost tempat Smith dan Janu tinggal telah hangus terbakar. Bahkan hingga kini api masih diusahakan untuk dipadamkan.Tanpa pikir panjang, Hendry langsung ke luar dari dalam mobilnya. Ia pun berlari mendekat, bertanya pada siapa saja yang ia temui terkait keberadaan putri dan menantunya. Tapi tentu saja semua yang ia tanyai menggeleng. Tidak ada satu pun yang mengenal orang bernama Smith dan Janu. Mereka bahkan tidak tahu siapa lelaki berkemeja hitam yang bertanya pada mereka.Benar, meski Hendry Sasongko adalah pengusaha sukses yang sering muncul dalam koran bisnis ataupun berita-berita di internet, bahkan televisi, kenyataannya sosoknya tidak menjadi penting dan berharga bagi orang-orang pinggiran di sana.Bagi mereka hidup adalah perjuangan tiada akhir. Tidak berjuang artinya tidak akan makan, sama dengan menggali lubang sendiri. Hal-hal terk
Janu melepas sendiri selang oksigen yang terpasang. Ia merasa kurang leluasa untuk berbicara. Tentu saja hal itu membuat Smith menanyakan kondisinya. Smith tampak sangat gusar melihat Janu yang masih pucat dan lemah."Tidak apa. Aku baik-baik saja. Melihatmu ada di hadapanku seperti ini membuatku langsung sembuh. Katakan padaku apa kau terluka? Apa ada tubuhmu yang terkena api?" kata Janu yang merasa seperti satu tahun tidak bertemu dengan istrinya."Sebagai orang yang baru sadar, kau terlalu banyak bicara," tukas Smith dengan wajah kesal, tapi hatinya sangat senang dan lega."Maafkan aku. Aku tidak bisa menahan diri. Selalu ingin berbicara saat bersamamu. Sekarang jawablah, apa kau terluka?""Tidak, aku baik-baik saja. Katakan padaku bagaimana dengan napasmu? Apa masih terasa sesak?" tanya Smith dengan jantung yang nyaris melompat ke luar."Tidak," jawab Janu yang kemudian menghela napas panjang untuk memastikan napasnya memang telah normal.
Smith terbatuk-batuk. Tidak dipungkiri kepulan asap membuat dadanya menjadi sangat sesak. Juga penglihatan yang menjadi sangat terbatas. Ia berkedip beberapa kali karena asap itu juga membuat matanya perih.Janu masih mengira bahwa Smith yang alergi debu menjadi sangat tersiksa karena asap yang memenuhi bilik kost mereka. Ia lekas-lekas mengambil dua pakaian dari dalam lemari dan mencelupkannya ke dalam bak air. Dengan sigap Janu menutupkan baju itu ke hidung istrinya.Dari luar, suara teriakan Pak Herman memberi peringatan pada Smith dan Janu yang masih terperangkap api. Pak Herman menjadi sangat was-was melihat dua sandal yang ada di depan pintu kost nomor empat. Asal tahu saja, bagian depan bilik, termasuk atap dan pintu telah dipenuhi api. Tidak ada jalan bagi Smith dan Janu untuk ke luar."Smith jangan biarkan kain ini lepas dari mulutmu. Aku akan mengambil selimut," kata Janu setengah berteriak. Ia bersicepat menarik selimut putih yang ada di atas ranjang.
Pagi-pagi sekali Sinta telah rapi. Ia mengendap diam-diam ke luar dari kamar, tidak ingin diketahui oleh Hendry. Sinta akan melakukan pekerjaan besar hari ini. Sebuah pekerjaan yang akan sangat menyenangkan jika sampai berhasil dilakukan.Dengan cepat Sinta berjalan menuju lantai dasar. Ia bahkan membuka pintu rumah dengan hati-hati agar tidak ada orang rumah yang mendengar.Sinta tersenyum lebar saat melihat Pak Jono sedang mengelap mobil. Ia pun bergegas menghampiri Pak Jono."Pak, cepat antarkan aku!" perintah Sinta tanpa basa-basi. Semakin cepat ia pergi, akan semakin baik."Ke mana Nyonya?" tanya Pak Jono keheranan. Biasanya majikannya itu lebih memilih untuk ke luar dengan mengemudikan mobil sendiri. Selain itu, hari masih terlalu pagi untuk Nyonya Sinta bangun.Satu-satunya alasan Sinta memilih untuk ke luar diantar Pak Jono adalah lantaran ia tidak tahu pasti lokasi yang dituju sebab belum pernah ke sana. Meski Sinta mengantungi alamatnya,
Pak Jono menghembuskan napas panjang, bingung dengan tujuan dari sang majikan yang memintanya mengantar ke satu tempat dan berpindah ke tempat lain, tanpa tahu apa yang ingin dilakukan.Pak Jono mengamati ekspresi wajah sang majikan yang tampak tetap berkerut dahinya. Ia juga bisa melihat gurat kecemasan yang membuat sang majikan menatap ke arah jendela mobil, memandang entah."Tuan ... " panggil Pak Jono akhirnya setelah tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya."Ada apa Pak Jono?" sahut Hendry masih dengan kening mengernyit."Apa ... tadi Tuan ingin menemui Bibi Ipah?""Ya," jawab Hendry cepat dan singkat. Seolah sebagai tanda tidak boleh ada dialog lagi sesudahnya.Entah mengapa jawaban Hendry itu membuat Pak Jono menelan ludah. Sejujurnya Pak Jono ingin bertanya lebih lanjut menyoal tujuan majikannya itu menemui Bibi Ipah padahal hari sudah larut dan semestinya majikannya itu tahu kalau panti tentu sudah tutup.Pak Jono j