"Iya pisau yang tertancap harus segera dikeluarkan melalui tindakan operasi sedangkan luka tusuk yang satunya yang membuat pasien pendarahan."Lakukan apapun yang terbaik untuk suamiku Dokter, selamatkan nyawanya," ujar Arandita dengan panik."Baik Nyonya, kami pasti berusaha memberikan yang terbaik, mohon doanya." Setelah mengatakan itu dokter kembali masuk ke dalam ruangan.Arandita menghembuskan nafas berat kemudian duduk di tempat Rafi tadi."Nyonya makan ya! Wajah Nyonya sangat pucat. Saya akan keluar untuk membeli makanan," ujar Rafi menawarkan diri."Tidak Pak Rafi saya tidak lapar. Bagaimana mungkin saya makan sementara suami saya dalam keadaan kritis," tolak Arandita.Rafi mendesah kasar. "Tapi Nyonya harus sehat agar bisa merawat Pak Bastian."Arandita menggeleng dan berkata, "Saya tidak selera.""Maaf Tuan, Nyonya, tolong administrasinya diurus ya," ujar seorang suster seraya mendekati keduanya.Rafi menatap Arandita."Biar saya yang urus saja," ujar Rafi lalu berjalan bers
"Dasar wanita tak tahu diri!Plak."Nyonya, apa yang Nyonya besar lakukan?" tanya Rafi lalu berlari menghampiri Arandita yang kini tersungkur di lantai lalu mengulurkan tangan dan membantu Arandita bangkit."Bawa wanita itu pergi dari sini aku tidak sudi melihat mukanya lagi!" Nenek menuding wajah Arandita."Nyonya, Aran ini istri Pak Bastian!" seru Rafi tak terima istri atasannya dipermalukan di tempat umum."Aku tak perduli, dia hanya istri di atas kertas!"Arandita menyentuh dadanya, sesak, sangat sesak. Ucapan wanita tua itu langsung menancap ke dalam jantung."Nyonya Aran, ebih baik Anda meninggalkan tempat ini untuk sementara," bisik Rafi agar nyonya besarnya tidak semakin murka. Dia tahu sikap wanita itu jika sedang marah, takkan berhenti mengata-ngatai orang yang dianggapnya salah sampai puas dan tingkat kepuasannya tidak ada yang tahu.Arandita menggeleng."Please Nyonya Aran, ini demi kebaikanmu juga," ujar Rafi sedikit memaksa."Saya tidak akan pergi sebelum mendengar kabar
Mendengar teriakan seseorang yang menyebut nama Bastian, Rafi langsung mengangkat wajah dan mencari datangnya suara."Nyonya?" gumam Rafi lalu berjalan cepat ke arah Arandita."Ada apa Nyonya?""Mengapa tidak mengabari aku kalau Mas Bastian sudah pergi untuk selama-lamanya. Hiks ... kenapa Pak Rafi tega?" Arandita mengusap air mata dengan tangannya."Pak Bastian belum ada kabar apa-apa Nyonya, dokter masih berjuang di dalam. Semoga setelah keluar nanti memberikan kabar baik untuk kita semua.""Jadi yang meninggal itu siapa?""Seorang pria muda yang diduga dirampok dan dibacok oleh begal.""Oh syukurlah, aku pikir–""Kau pikir apa? Cucuku Bastian akan meninggal begitu saja? Memalukan, lihatlah penampilanmu yang miris ini menjadi sorotan semua orang. Kasihan cucuku, pasti sangat sedih harus mempunyai istri rendahan sepertimu. Ya ... walaupun katanya sih hanya pernikahan kontrak, tetapi orang-orang kan tidak tahu? Seorang presdir harus menikah dengan gadis miskin dan kampungan, sungguh s
"Mama! Friska! Tunggu!" panggil Bastian.Sang nenek langsung menggenggam tangan cucu kesayangannya. "Jangan Nak jangan ikut mereka, mereka sudah berada di alam yang berbeda dengan kita."Deg.Arandita baru sadar dengan apa yang terjadi dengan diri Bastian. Pria itu memanggil orang-orang tersebut karena memang melihat mereka di alam bawah sadar."Tidak, Mas Bastian tidak boleh pergi menyusul mereka." Arandita benar-benar tidak ikhlas jika sang suami meninggalkan dirinya dalam keadaan seperti ini. Ia kembali mendekatkan bibirnya ke telinga Bastian."Mas sadarlah! Aku, nenek dan Pak Rafi menunggumu disini. Jangan tinggalkan kami!" pintu Arandita.Tidak ada respon dari Bastian bahkan wajah pria itu sekarang mengucur keringat deras. Wajahnya bergetar seolah menyiratkan ketakutan yang mendalam."Mas! Arandita panik, bahkan sekarang sekujur tubuh Bastian nampak bergetar seperti orang kejang."Pak Rafi panggil Dokter, cepat!" seru Arandita tak sabaran. Dia tidak ingin kehilangan Bastian padaha
"Kita berhenti di restoran dulu ya Nyonya?""Ngapain?""Ya, untuk makan sebentar, Nyonya. Sepertinya Nyonya Aran lapar karena sejak semalam tidak menyentuh makanan sedikitpun bahkan makanan yang saya bawa Nyonya abaikan, jadi Nyonya sensitif, daripada Nyonya makan orang mending kita mampir di restoran dulu."Arandita menatap tajam mata Rafi membuat pria itu langsung menunduk."Ogah mau pulang saja," tolak Arandita. Mood-nya pagi ini benar-benar berantakan hanya karena satu kalimat yang dilontarkan oleh Bastian."Baiklah Nyonya," ucap Rafi pasrah kemudian fokus menyetir.Senyap, tak ada yang bicara lagi dalam mobil, hanya deru suara mesin mobil yang memecah kesunyian pagi.Beberapa saat kemudian mereka sampai juga di rumah Bastian."Saya pamit pergi Nyonya," ucap Rafi setelah mengantar Arandita ke depan pintu rumah atasannya."Silahkan, terima kasih sudah meluangkan waktu mengantar saya."Rafi mengangguk lalu berbalik."Oh ya Pak Rafi, maaf ya jika tadi saya sedikit lancang pada Pak Ra
Namun, kecelakaan sudah tidak dapat terelakkan lagi. Mau tidak mau mereka harus bertanggung jawab, terutama Rafi sebagai sopir."Bagaimana ini Pak?" Arandita sudah nampak ketar-ketir."Tenanglah ini tanggung jawabku," ujar Rafi agar Arandita tidak panik lagi seperti kemarin.Rafi membuka pintu mobil dan langsung memeriksa keadaan korban kecelakaan sebelum polisi menyentuh pria itu. Rafi menyentuh bahu korban yang kebetulan posisinya tengkurap."Jangan bergerak! Anda tidak bisa kabur lagi!" Beberapa polisi langsung mengepung korban dan Rafi.Bukan hanya Rafi, Arandita yang berada di dalam mobil pun terkejut."Saya tidak akan lari Pak, saya pasti akan bertanggung jawab," ujar Rafi agar para polisi tidak salah paham."Maaf Pak Rafi kami bukan bicara dengan Anda melainkan penjahat ini!" tunjuk polisi ke arah korban membuat Rafi terbelalak kaget demikian juga Arandita."Penjahat?" tanya kedua serempak."Ya, tampak beberapa polisi membalikkan badan korban yang sudah kehilangan kesadaran."D
"Ah iya, kamu bicara apa tadi?" Ekspresi Bastian kembali datar."Tidak, hanya meminta Mas Bastian jangan bicara, selesaikan makan dulu!""Oh, oke."Selajutnya Bastian menerima suapan demi suapan yang disodorkan Arandota tanpa bicara sedikitpun. Senyap, hanya suara denting sendok beradu piring yang terdengar di dalam ruangan."Kau makanlah, aku sudah kenyang," ujar Bastian lalu tangannya susah payah menyentuh air minum.Arandita mengangguk dan mencegah, "Jangan banyak gerak, biar aku yang ambilkan!"Bastian pun menjawab dengan anggukan lalu Arandita bangkit dan mengambil gelas berisi air putih di atas meja. Setelahnya membantu Bastian minum. Bastian menatap wajah Arandita yang begitu tulus melayaninya. Arandita juga sama, menatap wajah Bastian. Tatapan mata mereka bertemu dan mereka terkesiap untuk sesaat.Arandita langsung menunduk, tak tahan dengan pandangan Bastian yang begitu dalam. Jantungnya langsung berdebar kencang tak terkendali. Bastian sendiri hanya tersenyum tipis lalu meng
"Jangan ngaco kamu Gres! Mana mungkin mereka melakukan hal aneh di rumah sakit!" protes Bobby.Bobby tidak suka Agresia bicara seenaknya tentang Arandita. Arandita bukan wanita sembarangan dan tidak tahu malu seperti yang dituduhkan Agresia. Lima tahun berpacaran dengan Arandita, wanita itu bahkan tidak pernah membiarkan Bobby menyentuhnya lebih seperti kekasih Bobby yang lain, apalagi Bastian yang hanya sekedar suami kontrak. Bagaimana pun Bobby masih percaya Arandita tidak mencintai Bastian dan dia juga berharap sebaliknya, Bastian tidak memcunta Arandita sehingga apa yang dikatakan Agresia itu hanyalah omongan kosong belaka."Tutup mata Aran!" seru Bastian di dalam kamar mandi."Aku sudah tidak melihat Mas," balas Arandita akan protes Bastian. Pria itu melirik dan ternyata Arandita menghadap arah yang berlawanan sambil menutup mata dengan tangan kirinya. Bastian menghembuskan nafas lega."Tuh dengar! Terus kalau tidak berbuat mesum di kamar mandi ngapain mereka berlama-lama berduaa
Apa iya air susunya tidak enak? Kalau iya kenapa baru sekarang hal ini terjadi? Kenapa tidak sebelumnya Brian menolak ASI-nya? "Sabar Non, Nyonya besar hanya salah bicara, beliau tidak bermaksud membuat Non Aran sedih." "Iya Bik." Arandita mencoba tersenyum meskipun wajahnya masih terlihat pias. Bagaimanapun dia tidak bisa menyembunyikan raut kekecewaannya. "Kalau masih menyusui jangan makan sembarangan, itu ngaruh pada kesehatan anak," ucap nenek lagi dan Arandita hanya manggut-manggut tanpa mau protes sedikitpun. "Atau kamu masuk angin? Bik tolong ambil kerokan dan minyak kayu putih! Biasanya kalau Bastian memuntahkan air susu waktu kecil Amira meminta tolong untuk dikerokin dan akhirnya Bastian mau menyusu lagi." "Oh jadi Mas Bastian juga pernah begini Nek?" Anggukan nenek membuat Arandita dapat menghembuskan nafas lega. Baginya mungkin Brian menurun dari papanya. Bik Lin datang dengan tergesa-gesa dengan benda yang diminta oleh nenek. "Ayo dibuka bajunya biar Brian di
Agresia tidak menggubris seruan Arandita dan malah bergerak cepat menuju pagar rumah yang terbuka lebar. "Cegah dia jangan sampai kabur!" perintah Bastian pada beberapa anak buahnya. Tidak menunggu lama pintu pagar sudah ditutup dan Agresia kebingungan untuk keluar dari pekarangan rumah tersebut. "Gres tunggu!" Akhirnya Arandita bisa menangkap tangan Agresia. "Apa kabar kamu?" "Seperti yang kamu lihat Aran, maaf kalau aku ikut numpang makan di tempat ini. Aku tidak tahu kalau ini adalah rumahmu. Aku pikir kamu masih tinggal di rumah papa." Agresia menunduk dan meremas kedua tangannya. "Tidak masalah siapapun bebas makan di tempat ini karena ini adalah acara syukuran anak pertama kami. makanya pintu pagar kami dibiarkan terbuka lebar biar siapa saja boleh masuk." "Oh ya, selamat ya!" "Makasih." "Jangan pergi, bergabunglah dengan kami semua." "Maafkan atas semua kesalahanku di masa lalu Aran, Aku menyesal sekarang." Arandita menatap Agresia dengan pandangan iba kemudia
"Bastian!" Leo menatap wajah Bastian dengan tatapan sendu. "Maaf aku baru bisa kemari. Istriku melahirkan dan baru saja sadar dari pingsannya." "Arandita pingsan?" Bastian mengangguk. "Tapi sudah enakan." "Lebih baik kamu nggak usah kemari, jangan tinggalkan Arandita sendirian, nanti kalau ada apa-apa bagaimana?" "Ada Bik Lin dan juga papa." Leo menatap Bastian kemudian pada Bobby yang mengangguk kecil. "Paman Pramoedya ... tolong sampaikan maafku pada beliau atas kesalahan Mommy. Semasa hidup Mommy mengatakan ingin meminta maaf langsung pada Paman Pram, sayangnya beliau tidak mau datang menemui Mommy. Saat kami mencoba menemui, beliau selalu menghindar. Aku mengerti beliau masih marah sama perbuatan mommy. Selama tinggal bersamaku mommy mengatakan menyesal melakukan itu semua. Tolong ya Bas bujuk paman Pram agar mau memaafkan mommy biar jenasahnya bisa tenang." Bastian menepuk bahu Leo. "Nanti aku sampaikan. Kamu tidak perlu memikirkan yang lain urus saja pemakaman mom
Saat dokter sedang memeriksa Arandita tangis bayinya mereda. Hal itu membuat suster langsung menaruh bayinya ke dalam box bayi. Namun hal itu tidak membuat otot-otot Bastian yang tegang kembali rileks. Dia masih belum bisa bernafas dengan tenang selama kondisi istrinya belum dinyatakan membaik. "Bagaimana Dokter?" tanya Bastian masih dengan wajah pucat karena rasa khawatir yang berlebihan. "Tuan tenang saja sebentar lagi Nyonya Arandita akan sadar." "Saya tidak bisa tenang jika Istri saya belum siuman," ucap Bastian kesal. Bagaimana mungkin dokter menyuruh dirinya tenang sementara Arandita masih belum sadar dari pingsannya. "Sebentar lagi, tidak ada yang serius pada diri pasien mungkin hanya kelelahan saja." Bastian tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Dia hanya menelpon Bik Lin dan memintanya untuk datang ke rumah sakit. Dia perlu teman untuk menunggui Arandita dan bayinya. Saat Bik Lin meminta sopir untuk mengantarkan dirinya ke rumah sakit Pramoedya mendengarnya lalu me
"Sudah apanya?" tanya Bastian tidak sadar. "Sudah dijahit," jawab dokter seraya tersenyum ramah. "Oh." Bastian manggut-manggut. "Ini Tuan putranya, silahkan diadzani," ucap suster menyerahkan bayi yang baru lahir itu ke tangan Bastian. Ternyata bayinya sudah selesai dibersihkan. Bastian menerima bayi tersebut dan mengadzaninya. Selama melantunkan kalimat adzan Arandita terdiam menghayati kalimat tersebut. Ia terharu sampai menitikkan air mata karena telah dipercayakan oleh Tuan untuk merawat seorang anak yang lahir dari rahimnya sendiri. Sungguh itu adalah rezeki yang tidak terkira. Ditambah lantunan suara adzan dari bibir Bastian mengalun merdu dan syahdu. Arandita tidak menyangka suara Bastian begitu indah dan lembut menyentuh pendengaran. Suaminya itu seolah muadzin yang kerapkali mengumandangkan adzan di masjid-masjid. Setelah selesai Bastian mengecup kening putranya. "Selama datang jagoan Ayah! Selamat bergabung di keluarga kecil kita." "Sekarang dia harus di IMD Tuan,"
"Pasti, kami akan berusaha semaksimal mungkin Tuan. Tuan tenang saja saya lihat keadaan istri Anda tidak ada masalah dengan kesehatan maupun kandungannya. Jadi insyaallah proses persalinannya akan berjalan lancar." "Aaamiin ya Allah. Saya boleh menemani istri saya Dok?" "Oh tentu saja boleh, ini bisa menjadi semangat juga untuk istri Anda." Bastian mengangguk dan dokter mempersilahkan Bastian untuk ikut masuk sebelum akhirnya menutup pintu. Kini Bastian dan Arandita berada dalam ruang persalinan dibantu oleh seorang dokter dan seorang perawat. Arandita meringis kesakitan kala perutnya mengalami kontraksi kembali. "Aduh sakit Mas," rintihnya lalu kembali turun dari tempat tidur dan berjalan ke sana kemari sambil menahan rasa sakit. "Rasanya aku nggak tahan dengan sakitnya," keluh Arandita, bahkan perempuan itu duduk berdiri duduk berdiri untuk meminimalisir rasa sakit. "Kalau sakit itu tandanya normal karena ada pergerakan dari bayinya. Justru kalau tidak sakit itu yang perlu
Beberapa bulan kemudian Bastian baru pulang ke rumah setelah malam sudah semakin larut. "Kemana aja sih Mas, baru pulang. Dari tadi perutku sakit terus ini," protes Arandita sambil menyalami tangan Bastian lalu membantu membuka jas suaminya. "Biar aku yang naruh tasnya. Sekarang masih sakit?" "Nggak, mungkin karena sudah melihat papanya datang anak kita kembali anteng." "Ternyata kangen juga dia sama papanya ini. Sorry ya Sayang tadi lupa ngabarin, tadi aku sibuk banget. Abis nganterin Rafi ke panti asuhan terus ke rumah sakit," jelas Bastian lalu mencium perut istrinya yang buncit. "Papa kangen sama kamu. Jangan nakal sama mama, kasihan dia sudah gendong kamu selama 8 bulan lebih." Bastian lalu mengusap perut Arandita dengan lembut. "Waduh dia nendang Sayang, mungkin kesal dan mau ikutan protes karena papanya pulang telat," ucap Bastian lalu terkekeh. "Mas ke panti asuhan jenguk putranya Friska?" Bastian mengangguk. "Rafi mau menjemput dia kembali setelah dititipkan pada
Akibat janjinya pada Arandita akhirnya Bastian mengalah dan memilih tinggal di rumah Pramoedya untuk beberapa hari ke depan sebab di sana banyak orang yang bisa dimintai tolong untuk mengawasi istrinya yang hamil selama dia pergi ke kantor. Jangan lupakan bahwa Arandita menginginkan makan masakan Bobby setiap hari dan Bastian sudah menyetujuinya dalam waktu 7 hari saja. Oleh karena itu agar lebih mudah dalam mengabulkan permintaan Arandita Bastian memilih tinggal di rumah lamanya ini. "Abang yang punya istri kok saya yang dipaksa masak terus?" Kadang Bobby juga protes saat Bastian meminta Bobby menyiapkan makanan untuk Arandita di pagi-pagi buta padahal pria itu masih mengantuk. "Ya mau gimana lagi orang itu ponakan kamu yang menginginkan, mau punya ponakan ileran?!" Begitulah selalu jawaban Bastian yang membuat Bobby mendesah kasar lalu melakukan apa yang diminta oleh Bastian. Selama Bobby memasak Bastian menemani di dapur bahkan terkadang keduanya bekerjasama jika dirasa Bobby sa
"Ya Allah Sayang, aku jadi bingung harus bahagia atau sedih ini?" Bastian benar-benar bingung, di satu sisi dia senang akan segera mendapatkan momongan Namun, di sisi lainnya dia juga sedih karena dengan kehamilan Arandita membuat dirinya harus menjauh dari sang istri. Sepertinya bayi dalam kandungan Arandita tidak menyukai ayahnya sendiri karena selalu merasa bau saat berdekatan dengannya. "Pokoknya Mas tunggu di situ aja, nggak usah masuk kamar mandi!" Arandita menunjuk ke sisi Bastian. Bastian langsung tidak bergerak. Arandita masuk ke dalam kamar mandi dan muntah-muntah di sana. Bastian menatap punggung Arandita dengan rasa iba. Ia ingin berbuat seperti suami yang lainnya yang siap siaga dan memijit belakang leher istrinya yang sedang muntah, tetapi apa daya Arandita malah melarangnya dan Bastian sendiri tidak mau Arandita semakin muntah jika dirinya mendekat. Saat selesai muntah Arandita mengibaskan tangan agar Bastian menyingkir dari tempatnya berdiri saat ini. "Ngenes ama