"Ah iya, kamu bicara apa tadi?" Ekspresi Bastian kembali datar."Tidak, hanya meminta Mas Bastian jangan bicara, selesaikan makan dulu!""Oh, oke."Selajutnya Bastian menerima suapan demi suapan yang disodorkan Arandota tanpa bicara sedikitpun. Senyap, hanya suara denting sendok beradu piring yang terdengar di dalam ruangan."Kau makanlah, aku sudah kenyang," ujar Bastian lalu tangannya susah payah menyentuh air minum.Arandita mengangguk dan mencegah, "Jangan banyak gerak, biar aku yang ambilkan!"Bastian pun menjawab dengan anggukan lalu Arandita bangkit dan mengambil gelas berisi air putih di atas meja. Setelahnya membantu Bastian minum. Bastian menatap wajah Arandita yang begitu tulus melayaninya. Arandita juga sama, menatap wajah Bastian. Tatapan mata mereka bertemu dan mereka terkesiap untuk sesaat.Arandita langsung menunduk, tak tahan dengan pandangan Bastian yang begitu dalam. Jantungnya langsung berdebar kencang tak terkendali. Bastian sendiri hanya tersenyum tipis lalu meng
"Jangan ngaco kamu Gres! Mana mungkin mereka melakukan hal aneh di rumah sakit!" protes Bobby.Bobby tidak suka Agresia bicara seenaknya tentang Arandita. Arandita bukan wanita sembarangan dan tidak tahu malu seperti yang dituduhkan Agresia. Lima tahun berpacaran dengan Arandita, wanita itu bahkan tidak pernah membiarkan Bobby menyentuhnya lebih seperti kekasih Bobby yang lain, apalagi Bastian yang hanya sekedar suami kontrak. Bagaimana pun Bobby masih percaya Arandita tidak mencintai Bastian dan dia juga berharap sebaliknya, Bastian tidak memcunta Arandita sehingga apa yang dikatakan Agresia itu hanyalah omongan kosong belaka."Tutup mata Aran!" seru Bastian di dalam kamar mandi."Aku sudah tidak melihat Mas," balas Arandita akan protes Bastian. Pria itu melirik dan ternyata Arandita menghadap arah yang berlawanan sambil menutup mata dengan tangan kirinya. Bastian menghembuskan nafas lega."Tuh dengar! Terus kalau tidak berbuat mesum di kamar mandi ngapain mereka berlama-lama berduaa
"Maaf aku tidak bermaksud berdebat denganmu. Mari aku bantu Mas Bastian merebahkan tubuh kembali," ujar Arandita dengan suara pelan . Tangannya kembali sigap menuntun sang suami hingga pria itu kembali dalam posisi terbaring.Bastian menghela nafas panjang berharap dengan begitu bisa menetralkan emosinya."Mas Bastian harus bisa mengendalikan emosi, saya tidak ingin terjadi sesuatu dengan Mas Bastian. Emosi bisa mengguncang dada dan perutmu, jangan sampai malah menjadi masalah pada perutmu yang dijahit."Bastian tidak menjawab, hanya memejamkan mata. Tak dapat dipungkiri saat ini dadanya kembang kempis menahan gejolak amarah. Arandita mengembuskan napas berat lalu tangannya meraih selimut dan menarik hingga ujungnya menyentuh pinggang Bastian tepat di bawah luka bekas tusukan."Tidurlah! Mas Bastian harus banyak istirahat agar cepat pulih."Masih tidak ada respon dari Bastian, meskipun mata pria itu dalam keadaan terpejam, tetapi Arandita paham Bastian masih marah. Sepertinya Arandit
"Esok hari setelah kondisi Bastian dicek oleh dokter pria itu diperkenankan untuk pulang. Rafi dan Pramoedya sudah siap di depan pintu ruangan kala Arandita menuntun Bastian keluar dari ruang rawat."Pelan-pelan, jangan sampai perutmu terguncang," ucap Arandita, terlalu khawatir, paranoid.Seperti biasa Bastian tidak akan menjawab sekiranya apa yang diungkapkan orang lain bukanlah kalimat tanya."Pak Rafi administrasinya?""Sudah selesai Nyonya Aran, kita langsung pulang sekarang," sahut Rafi dan Arandita menanggapi dengan anggukan.Rafi mengambil alih tugas Arandita, menggantikan menuntun Bastian melangkah ke arah mobil terparkir dan membantunya hingga masuk dan duduk di dalam. Setelah itu mengemudikan mobilnya dengan pelan.Mereka berempat pun pulang ke rumah Pramoedya. Sampai di rumah itu, Rafi turut mengantar Bastian ke dalam kamar sedangkan Pramoedya terpaksa mengurungkan niatnya untuk masuk karena mendapat telepon mendadak dari kantor."Papa tinggal dulu ya Bas, Nak Aran!""Baik
Jam 2 dini hari Arandita merasakan perutnya keroncongan. Ia pun langsung membuka mata dan mendapati Bastian tidur di kasur yang sama dengan dirinya. Hanya saja pria itu memunggungi karena takut perutnya tergesek pada tubuh Arandita apabila wanita itu sampai banyak gerak."Apa aku nggak salah lihat, dia tidur di sini?" Arandita mengucek matanya karena berpikir ia salah lihat. Bastian balik badan sehingga Arandita bisa melihat dengan jelas wajah sang suami. Ia terbelalak. "Benar Mas Bastian?" tanya Arandita sambil mencubit-cubit pipinya sendiri barangkali dirinya bermimpi. Dia langsung duduk di tepian ranjang dan mencoba mengingat kejadian sebelum dirinya tidur. Barangkali Bastian memang tidur di kasur itu dan dirinya yang salah tempat."Aku masih ingat dia tidur di atas ranjang. Kenapa pindah ke sini? Ah sudahlah, ini kan memang tempat tidurnya sekarang." Arandita berdiri lalu pergi ke dapur untuk mencari makanan yang bisa mengurangi rasa lapar. Arandita membuka kulkas, masih ada sis
Beberapa menit kemudian Bastian keluar dengan wajah yang sudah basah dengan air wudhu."Mandilah, kita shalat subuh berjamaah!" perintah Bastian pada Arandita yang masih duduk termangu tanpa melihat langsung wajah sang istri. Ia hanya melirik dengan ekor matanya."Arandita!" seru Bastian membuat Arandita yang tidak bergeming langsung menatap wajah Bastian dengan ekspresi bingung."Mandilah!" Arandita mengangguk sebelum akhirnya bangkit berdiri, meraih handuk lalu melangkah ke dalam kamar mandi dengan langkah cepat.Bastian sendiri langsung memasang sarung dan baju koko dilengkapi dengan kopiah. Pria itu menghampar sajadah lalu duduk di atasnya sembari menunggu Arandita selesai dengan aktivitasnya di dalam kamar mandi."Maaf Mas membuatmu menunggu lama," ucap Arandita lalu bersiap-siap untuk shalat. Tak ada jawaban dari Bastian, pria itu hanya mengawasi gerak-gerik sang istri hingga wanita itu sudah berdiri di belakangnya dalam keadaan yang telah mengenakan mukena."Sudah siap?"Arand
"Apa! Pak sopir tidak ada di rumah?" Arandita kebingungan saat Bik Mina memberitahukan tentang pak sopir yang pulang ke rumahnya."Iya Non, beliau sudah izin kok sama Den Bastian. Sekarang istri pak sopir mau melahirkan," terang Bik Mina."Papa ada Bik?" "Tidak ada juga Non, beliau sudah pergi pagi-pagi buta katanya ada keperluan yang sangat penting.""Hah!" Arandita menghembuskan nafas kasar.Bik Mina mengernyit, ekspresi Arandita tidak seperti biasanya. "Mas Bastian keluar darah Bik dari jahitan di perutnya. Dia harus cepat dibawa ke rumah sakit untuk dikontrol oleh dokter. Bagaimana ya? Apakah harus dibonceng dengan motor?" Saking paniknya Arandita kembali ke kamar dengan berlari sambil mengacak rambutnya sendiri."Mobil Den Bastian ada Non, Non Aran bisa membawanya!" seru Bik Mina. Arandita yang sudah sampai di lantai dua rumahnya menoleh dan tersenyum kaku."Aran tidak bisa bawa mobil Bik!" teriaknya dari lantai atas lalu berlari lagi menuju kamarnya yang ada di lantai tiga."M
"Dokter Dirga cepat sekali?" Bastian keheranan. Pasalnya belum ada lima belas menit dirinya menelpon dan dokter tersebut sudah sampai di sisinya."Kebetulan aku sedang di jalan saat kamu menelpon.""Oh, jadi Mas Bastian yang menelpon? Kalau tahu gini ngapain aku panik sampai lari-lari ke bawah tadi," batin Arandita."Kenapa bisa mengeluarkan darah?" tanya dokter Dirga seraya menatap perut Bastian dengan seksama.Bastian tersenyum sedangkan Arandita hanya menatap dokter Dirga tanpa kata."Kenapa malah diam semua?""Oh itu, Mas Bastian–" Arandita nampak ragu untuk bicara jujur. Wanita itu melirik Bastian dan memilih menggantung ucapannya."Aku tadi kesal dan memukul meja, lalu tidak sengaja mengenai pembalut luka ini," jelas Bastian."Dia pembalut lukamu?" tunjuk dokter pada Arandita bermaksud untuk bercanda dan seperti sebelumnya Bastian hanya tersenyum kaku."Kau persis mamamu, emosian," ujar pria dengan jas putih itu."Bukan Dok, tapi mungkin persis nenek." Bastian meralat ucapan dok
Apa iya air susunya tidak enak? Kalau iya kenapa baru sekarang hal ini terjadi? Kenapa tidak sebelumnya Brian menolak ASI-nya? "Sabar Non, Nyonya besar hanya salah bicara, beliau tidak bermaksud membuat Non Aran sedih." "Iya Bik." Arandita mencoba tersenyum meskipun wajahnya masih terlihat pias. Bagaimanapun dia tidak bisa menyembunyikan raut kekecewaannya. "Kalau masih menyusui jangan makan sembarangan, itu ngaruh pada kesehatan anak," ucap nenek lagi dan Arandita hanya manggut-manggut tanpa mau protes sedikitpun. "Atau kamu masuk angin? Bik tolong ambil kerokan dan minyak kayu putih! Biasanya kalau Bastian memuntahkan air susu waktu kecil Amira meminta tolong untuk dikerokin dan akhirnya Bastian mau menyusu lagi." "Oh jadi Mas Bastian juga pernah begini Nek?" Anggukan nenek membuat Arandita dapat menghembuskan nafas lega. Baginya mungkin Brian menurun dari papanya. Bik Lin datang dengan tergesa-gesa dengan benda yang diminta oleh nenek. "Ayo dibuka bajunya biar Brian di
Agresia tidak menggubris seruan Arandita dan malah bergerak cepat menuju pagar rumah yang terbuka lebar. "Cegah dia jangan sampai kabur!" perintah Bastian pada beberapa anak buahnya. Tidak menunggu lama pintu pagar sudah ditutup dan Agresia kebingungan untuk keluar dari pekarangan rumah tersebut. "Gres tunggu!" Akhirnya Arandita bisa menangkap tangan Agresia. "Apa kabar kamu?" "Seperti yang kamu lihat Aran, maaf kalau aku ikut numpang makan di tempat ini. Aku tidak tahu kalau ini adalah rumahmu. Aku pikir kamu masih tinggal di rumah papa." Agresia menunduk dan meremas kedua tangannya. "Tidak masalah siapapun bebas makan di tempat ini karena ini adalah acara syukuran anak pertama kami. makanya pintu pagar kami dibiarkan terbuka lebar biar siapa saja boleh masuk." "Oh ya, selamat ya!" "Makasih." "Jangan pergi, bergabunglah dengan kami semua." "Maafkan atas semua kesalahanku di masa lalu Aran, Aku menyesal sekarang." Arandita menatap Agresia dengan pandangan iba kemudia
"Bastian!" Leo menatap wajah Bastian dengan tatapan sendu. "Maaf aku baru bisa kemari. Istriku melahirkan dan baru saja sadar dari pingsannya." "Arandita pingsan?" Bastian mengangguk. "Tapi sudah enakan." "Lebih baik kamu nggak usah kemari, jangan tinggalkan Arandita sendirian, nanti kalau ada apa-apa bagaimana?" "Ada Bik Lin dan juga papa." Leo menatap Bastian kemudian pada Bobby yang mengangguk kecil. "Paman Pramoedya ... tolong sampaikan maafku pada beliau atas kesalahan Mommy. Semasa hidup Mommy mengatakan ingin meminta maaf langsung pada Paman Pram, sayangnya beliau tidak mau datang menemui Mommy. Saat kami mencoba menemui, beliau selalu menghindar. Aku mengerti beliau masih marah sama perbuatan mommy. Selama tinggal bersamaku mommy mengatakan menyesal melakukan itu semua. Tolong ya Bas bujuk paman Pram agar mau memaafkan mommy biar jenasahnya bisa tenang." Bastian menepuk bahu Leo. "Nanti aku sampaikan. Kamu tidak perlu memikirkan yang lain urus saja pemakaman mom
Saat dokter sedang memeriksa Arandita tangis bayinya mereda. Hal itu membuat suster langsung menaruh bayinya ke dalam box bayi. Namun hal itu tidak membuat otot-otot Bastian yang tegang kembali rileks. Dia masih belum bisa bernafas dengan tenang selama kondisi istrinya belum dinyatakan membaik. "Bagaimana Dokter?" tanya Bastian masih dengan wajah pucat karena rasa khawatir yang berlebihan. "Tuan tenang saja sebentar lagi Nyonya Arandita akan sadar." "Saya tidak bisa tenang jika Istri saya belum siuman," ucap Bastian kesal. Bagaimana mungkin dokter menyuruh dirinya tenang sementara Arandita masih belum sadar dari pingsannya. "Sebentar lagi, tidak ada yang serius pada diri pasien mungkin hanya kelelahan saja." Bastian tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Dia hanya menelpon Bik Lin dan memintanya untuk datang ke rumah sakit. Dia perlu teman untuk menunggui Arandita dan bayinya. Saat Bik Lin meminta sopir untuk mengantarkan dirinya ke rumah sakit Pramoedya mendengarnya lalu me
"Sudah apanya?" tanya Bastian tidak sadar. "Sudah dijahit," jawab dokter seraya tersenyum ramah. "Oh." Bastian manggut-manggut. "Ini Tuan putranya, silahkan diadzani," ucap suster menyerahkan bayi yang baru lahir itu ke tangan Bastian. Ternyata bayinya sudah selesai dibersihkan. Bastian menerima bayi tersebut dan mengadzaninya. Selama melantunkan kalimat adzan Arandita terdiam menghayati kalimat tersebut. Ia terharu sampai menitikkan air mata karena telah dipercayakan oleh Tuan untuk merawat seorang anak yang lahir dari rahimnya sendiri. Sungguh itu adalah rezeki yang tidak terkira. Ditambah lantunan suara adzan dari bibir Bastian mengalun merdu dan syahdu. Arandita tidak menyangka suara Bastian begitu indah dan lembut menyentuh pendengaran. Suaminya itu seolah muadzin yang kerapkali mengumandangkan adzan di masjid-masjid. Setelah selesai Bastian mengecup kening putranya. "Selama datang jagoan Ayah! Selamat bergabung di keluarga kecil kita." "Sekarang dia harus di IMD Tuan,"
"Pasti, kami akan berusaha semaksimal mungkin Tuan. Tuan tenang saja saya lihat keadaan istri Anda tidak ada masalah dengan kesehatan maupun kandungannya. Jadi insyaallah proses persalinannya akan berjalan lancar." "Aaamiin ya Allah. Saya boleh menemani istri saya Dok?" "Oh tentu saja boleh, ini bisa menjadi semangat juga untuk istri Anda." Bastian mengangguk dan dokter mempersilahkan Bastian untuk ikut masuk sebelum akhirnya menutup pintu. Kini Bastian dan Arandita berada dalam ruang persalinan dibantu oleh seorang dokter dan seorang perawat. Arandita meringis kesakitan kala perutnya mengalami kontraksi kembali. "Aduh sakit Mas," rintihnya lalu kembali turun dari tempat tidur dan berjalan ke sana kemari sambil menahan rasa sakit. "Rasanya aku nggak tahan dengan sakitnya," keluh Arandita, bahkan perempuan itu duduk berdiri duduk berdiri untuk meminimalisir rasa sakit. "Kalau sakit itu tandanya normal karena ada pergerakan dari bayinya. Justru kalau tidak sakit itu yang perlu
Beberapa bulan kemudian Bastian baru pulang ke rumah setelah malam sudah semakin larut. "Kemana aja sih Mas, baru pulang. Dari tadi perutku sakit terus ini," protes Arandita sambil menyalami tangan Bastian lalu membantu membuka jas suaminya. "Biar aku yang naruh tasnya. Sekarang masih sakit?" "Nggak, mungkin karena sudah melihat papanya datang anak kita kembali anteng." "Ternyata kangen juga dia sama papanya ini. Sorry ya Sayang tadi lupa ngabarin, tadi aku sibuk banget. Abis nganterin Rafi ke panti asuhan terus ke rumah sakit," jelas Bastian lalu mencium perut istrinya yang buncit. "Papa kangen sama kamu. Jangan nakal sama mama, kasihan dia sudah gendong kamu selama 8 bulan lebih." Bastian lalu mengusap perut Arandita dengan lembut. "Waduh dia nendang Sayang, mungkin kesal dan mau ikutan protes karena papanya pulang telat," ucap Bastian lalu terkekeh. "Mas ke panti asuhan jenguk putranya Friska?" Bastian mengangguk. "Rafi mau menjemput dia kembali setelah dititipkan pada
Akibat janjinya pada Arandita akhirnya Bastian mengalah dan memilih tinggal di rumah Pramoedya untuk beberapa hari ke depan sebab di sana banyak orang yang bisa dimintai tolong untuk mengawasi istrinya yang hamil selama dia pergi ke kantor. Jangan lupakan bahwa Arandita menginginkan makan masakan Bobby setiap hari dan Bastian sudah menyetujuinya dalam waktu 7 hari saja. Oleh karena itu agar lebih mudah dalam mengabulkan permintaan Arandita Bastian memilih tinggal di rumah lamanya ini. "Abang yang punya istri kok saya yang dipaksa masak terus?" Kadang Bobby juga protes saat Bastian meminta Bobby menyiapkan makanan untuk Arandita di pagi-pagi buta padahal pria itu masih mengantuk. "Ya mau gimana lagi orang itu ponakan kamu yang menginginkan, mau punya ponakan ileran?!" Begitulah selalu jawaban Bastian yang membuat Bobby mendesah kasar lalu melakukan apa yang diminta oleh Bastian. Selama Bobby memasak Bastian menemani di dapur bahkan terkadang keduanya bekerjasama jika dirasa Bobby sa
"Ya Allah Sayang, aku jadi bingung harus bahagia atau sedih ini?" Bastian benar-benar bingung, di satu sisi dia senang akan segera mendapatkan momongan Namun, di sisi lainnya dia juga sedih karena dengan kehamilan Arandita membuat dirinya harus menjauh dari sang istri. Sepertinya bayi dalam kandungan Arandita tidak menyukai ayahnya sendiri karena selalu merasa bau saat berdekatan dengannya. "Pokoknya Mas tunggu di situ aja, nggak usah masuk kamar mandi!" Arandita menunjuk ke sisi Bastian. Bastian langsung tidak bergerak. Arandita masuk ke dalam kamar mandi dan muntah-muntah di sana. Bastian menatap punggung Arandita dengan rasa iba. Ia ingin berbuat seperti suami yang lainnya yang siap siaga dan memijit belakang leher istrinya yang sedang muntah, tetapi apa daya Arandita malah melarangnya dan Bastian sendiri tidak mau Arandita semakin muntah jika dirinya mendekat. Saat selesai muntah Arandita mengibaskan tangan agar Bastian menyingkir dari tempatnya berdiri saat ini. "Ngenes ama