Agresia tidak menggubris seruan Arandita dan malah bergerak cepat menuju pagar rumah yang terbuka lebar. "Cegah dia jangan sampai kabur!" perintah Bastian pada beberapa anak buahnya. Tidak menunggu lama pintu pagar sudah ditutup dan Agresia kebingungan untuk keluar dari pekarangan rumah tersebut. "Gres tunggu!" Akhirnya Arandita bisa menangkap tangan Agresia. "Apa kabar kamu?" "Seperti yang kamu lihat Aran, maaf kalau aku ikut numpang makan di tempat ini. Aku tidak tahu kalau ini adalah rumahmu. Aku pikir kamu masih tinggal di rumah papa." Agresia menunduk dan meremas kedua tangannya. "Tidak masalah siapapun bebas makan di tempat ini karena ini adalah acara syukuran anak pertama kami. makanya pintu pagar kami dibiarkan terbuka lebar biar siapa saja boleh masuk." "Oh ya, selamat ya!" "Makasih." "Jangan pergi, bergabunglah dengan kami semua." "Maafkan atas semua kesalahanku di masa lalu Aran, Aku menyesal sekarang." Arandita menatap Agresia dengan pandangan iba kemudia
Apa iya air susunya tidak enak? Kalau iya kenapa baru sekarang hal ini terjadi? Kenapa tidak sebelumnya Brian menolak ASI-nya? "Sabar Non, Nyonya besar hanya salah bicara, beliau tidak bermaksud membuat Non Aran sedih." "Iya Bik." Arandita mencoba tersenyum meskipun wajahnya masih terlihat pias. Bagaimanapun dia tidak bisa menyembunyikan raut kekecewaannya. "Kalau masih menyusui jangan makan sembarangan, itu ngaruh pada kesehatan anak," ucap nenek lagi dan Arandita hanya manggut-manggut tanpa mau protes sedikitpun. "Atau kamu masuk angin? Bik tolong ambil kerokan dan minyak kayu putih! Biasanya kalau Bastian memuntahkan air susu waktu kecil Amira meminta tolong untuk dikerokin dan akhirnya Bastian mau menyusu lagi." "Oh jadi Mas Bastian juga pernah begini Nek?" Anggukan nenek membuat Arandita dapat menghembuskan nafas lega. Baginya mungkin Brian menurun dari papanya. Bik Lin datang dengan tergesa-gesa dengan benda yang diminta oleh nenek. "Ayo dibuka bajunya biar Brian di
"Menikah dengan dia?" Arandita menunjuk ke arah Bastian yang tengah fokus bicara dengan Pramoedya dengan tangan kanan yang gemetar sedangkan salah satu tangan memegangi ujung belakang gaunnya. Wajah gadis itu sudah tampak basah dengan air mata.30 menit yang lalu saat pengantin pria hendak mengucapkan kalimat qabul, seorang wanita dengan bayi merah dalam pangkuan menghentikan acara tersebut dan mengaku bahwa ayah biologis dari putrinya adalah pengantin pria."Iya Aran, semoga saja dia tidak keberatan," ujar sang ibu sambil mengelus pundak putrinya."Iya Bas, adikmu bermasalah hingga tidak mungkin meneruskan pernikahan ini, sementara para tamu penting sudah mulai berdatangan. Sepertinya ini jalan satu-satunya untuk menyelamatkan reputasi keluarga kita, Papa harap kamu setuju. Dengan begini, kamu juga bisa membuktikan pada semua orang bahwa kabar yang beredar itu tidak benar," ucap Pramoedya dan Bastian menghembuskan nafas berat lalu mengusap gusar wajahnya.Bastian melirik ke segala ara
Ya, walaupun Arandita tahu pernikahan mereka ada karena keterpaksaan, paling tidak Bastian tidak harus memperjelas status mereka dengan cara demikian. Arandita merasa terhina dengan adanya surat itu karena merasa Bastian seolah menganggap dirinya pengemis cinta."Ya, anggap saja pernikahan kita hanyalah pernikahan kontrak. Setelah setahun, kontrak itu akan berakhir dan kita bercerai."Mendengar itu semua jantung Arandita meletup-letup. Ia merasa dipermainkan oleh keluarga Pramoedya. "Kalau ujung-ujungnya pernikahan kita akan berakhir juga, kenapa harus ada tenggat waktu yang ditentukan? Kenapa tidak sekarang juga?" tanya Arandita. Bastian harus tahu, Arandinta lebih tidak menginginkan pernikahan ini dibandingkan dirinya."Semua ada alasannya, dan suatu saat kau akan mengerti.""Ternyata adik dan kakak sama saja, suka mempermainkan wanita," geram Arandita sambil mengepalkan tangan. Entah kenapa dia tidak suka dengan jalan pikiran Bastian, meskipun dia masih belum bisa mencintai pria it
"Oke," ujar Arandita berusaha untuk cuek dengan apapun yang akan dilakukan oleh Bastian selama tidak merugikan dirinya, terutama cuek pada wanita yang membawakan minuman untuk Bastian sambil menatap dirinya dengan pandangan meremehkan. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Arandinta tahu bahwa wanita dengan penampilan seksi itu sama sekali tidak menyukai dirinya."Kalau dari penampilan kayaknya dia bukan OB di sini deh. Ah biarkan saja, bodoh amat dengan manusia-manusia yang tidak suka denganku. Yang penting aku tidak pernah berbuat jahat pada orang lain," lirih Arandita lalu mengalihkan perhatiannya pada pemandangan luar lewat dinding kaca di ruangan tersebut.Pemandangan luar yang sangat menakjubkan dilihat dari atas membuat Arandita tidak mau berpaling. Dia juga tidak ingin tahu apa yang dibicarakan Bastian dengan bawahannya itu."Ayo ikut aku!" Tiba-tiba wanita yang melangkah ke arah Bastian tadi menarik tangan Arandita. Arandita melirik ke kursi kebesaran Bastian, tenyata pria itu su
Seperginya Bik Lin, Arandita langsung makan karena tubuhnya memang sudah sangat lapar. Dia butuh energi untuk melanjutkan hidup yang entah ke depannya akan seperti apa.Belum selesai makan, tiba-tiba Bobby duduk di hadapan dan membalik piring. Ia ikut makan bersama Arandita dan wanita itu terlihat acuh tak acuh dengan keberadaan Bobby di dekatnya."Aran!" panggil Bobby di sela-sela makan mereka, tetapi Arandita tidak menjawab."Aran!" panggilnya dengan suara lebih keras."Orang makan tidak boleh bicara!" ketus Arandita lalu meneguk segelas air putih sebab langsung kehilangan selera makan. Ia kemudian bangkit dari duduknya.Bobby segera menangkap tangan Arandita lalu menggenggam. "Aku mencintaimu Aran, berikan aku kesempatan," ucap Bobby dengan tatapan penuh harap."Kesempatan? Setelah kabur dan mempermalukanku di hadapan orang banyak? Lepaskan tanganmu Bob, status kita sudah berbeda. Aku harap kau menghargaiku sebagai kakak ipar!" Arandita mencoba melepaskan pegangan tangan Bobby dan p
Tak perduli hari sudah menjelang malam. Bastian kembali ke kantor. Sampai di sana Bastian menghempaskan tubuhnya di atas kursi kebesaran.Menghela nafas panjang sebelum akhirnya bersandar dan memutar-mutar kursi tersebut. Sesekali ia memejamkan mata, mencoba menghalau rasa tidak nyaman dalam dirinya."Seharusnya aku tidak begini, mereka berdua saling mencintai. Ah tidak, Bobby terlalu pengecut untuk disandingkan dengan Arandita. Bagaimanapun dia istriku, apa kata orang-orang jika melihat mereka akrab kembali sedangkan mereka adalah pasangan yang gagal menikah? Bukan hanya nama mereka, namaku juga akan tercoreng di hati orang-orang," batin Bastian."Rafli bagaimana perkembangan berita itu?" Sang asisten yang bersiap untuk pulang akhirnya berjalan pelan ke arahnya."Sedikit mulai meredup Pak, tapi orang-orang masih banyak yang curiga bahwa pernikahan Pak Bastian dengan Nona Arandita hanya sebagai kedok saja. Mungkin kalau kalian sudah punya anak, orang-orang baru akan percaya bahwa Bapa
"Cck, aku ini istrinya atau pembantu sih?" keluh Arandita membuat Bastian langsung menatap tajam mata sang istri."Iya-iya, aku akan lakukan," ucap Arandita lalu mengusap tengkuknya yang tiba-tiba terasa dingin sebelum akhirnya mengulurkan tangan untuk membuka sepatu Bastian. Wanita itu celingukan lalu menaruh sepatu tersebut ke tempatnya.Bastian sendiri membuka kancing bagian atas kemeja kemudian melepaskan dasi. Pria itu langsung menjatuhkan tubuh di atas kasur dan menghembuskan nafas panjang."Maaf, aku siapkan air panas dulu," ucap Arandita sebelum akhirnya meninggalkan Bastian seorang diri. Beberapa saat kemudian wanita itu langsung memberitahukan pada Bastian bahwa air panasnya sudah siap. Bastian hanya merespon dengan anggukan lalu masuk ke dalam kamar mandi.Di kamar Arandita tampak gelisah, ingin tidur takut Bastian masih membutuhkan dirinya."Apa yang harus aku lakukan sekarang? Nawarin dia makan malam atau tinggalkan saja dia tidur?" Wanita itu mondar-mandir tak karuan."Ah
Apa iya air susunya tidak enak? Kalau iya kenapa baru sekarang hal ini terjadi? Kenapa tidak sebelumnya Brian menolak ASI-nya? "Sabar Non, Nyonya besar hanya salah bicara, beliau tidak bermaksud membuat Non Aran sedih." "Iya Bik." Arandita mencoba tersenyum meskipun wajahnya masih terlihat pias. Bagaimanapun dia tidak bisa menyembunyikan raut kekecewaannya. "Kalau masih menyusui jangan makan sembarangan, itu ngaruh pada kesehatan anak," ucap nenek lagi dan Arandita hanya manggut-manggut tanpa mau protes sedikitpun. "Atau kamu masuk angin? Bik tolong ambil kerokan dan minyak kayu putih! Biasanya kalau Bastian memuntahkan air susu waktu kecil Amira meminta tolong untuk dikerokin dan akhirnya Bastian mau menyusu lagi." "Oh jadi Mas Bastian juga pernah begini Nek?" Anggukan nenek membuat Arandita dapat menghembuskan nafas lega. Baginya mungkin Brian menurun dari papanya. Bik Lin datang dengan tergesa-gesa dengan benda yang diminta oleh nenek. "Ayo dibuka bajunya biar Brian di
Agresia tidak menggubris seruan Arandita dan malah bergerak cepat menuju pagar rumah yang terbuka lebar. "Cegah dia jangan sampai kabur!" perintah Bastian pada beberapa anak buahnya. Tidak menunggu lama pintu pagar sudah ditutup dan Agresia kebingungan untuk keluar dari pekarangan rumah tersebut. "Gres tunggu!" Akhirnya Arandita bisa menangkap tangan Agresia. "Apa kabar kamu?" "Seperti yang kamu lihat Aran, maaf kalau aku ikut numpang makan di tempat ini. Aku tidak tahu kalau ini adalah rumahmu. Aku pikir kamu masih tinggal di rumah papa." Agresia menunduk dan meremas kedua tangannya. "Tidak masalah siapapun bebas makan di tempat ini karena ini adalah acara syukuran anak pertama kami. makanya pintu pagar kami dibiarkan terbuka lebar biar siapa saja boleh masuk." "Oh ya, selamat ya!" "Makasih." "Jangan pergi, bergabunglah dengan kami semua." "Maafkan atas semua kesalahanku di masa lalu Aran, Aku menyesal sekarang." Arandita menatap Agresia dengan pandangan iba kemudia
"Bastian!" Leo menatap wajah Bastian dengan tatapan sendu. "Maaf aku baru bisa kemari. Istriku melahirkan dan baru saja sadar dari pingsannya." "Arandita pingsan?" Bastian mengangguk. "Tapi sudah enakan." "Lebih baik kamu nggak usah kemari, jangan tinggalkan Arandita sendirian, nanti kalau ada apa-apa bagaimana?" "Ada Bik Lin dan juga papa." Leo menatap Bastian kemudian pada Bobby yang mengangguk kecil. "Paman Pramoedya ... tolong sampaikan maafku pada beliau atas kesalahan Mommy. Semasa hidup Mommy mengatakan ingin meminta maaf langsung pada Paman Pram, sayangnya beliau tidak mau datang menemui Mommy. Saat kami mencoba menemui, beliau selalu menghindar. Aku mengerti beliau masih marah sama perbuatan mommy. Selama tinggal bersamaku mommy mengatakan menyesal melakukan itu semua. Tolong ya Bas bujuk paman Pram agar mau memaafkan mommy biar jenasahnya bisa tenang." Bastian menepuk bahu Leo. "Nanti aku sampaikan. Kamu tidak perlu memikirkan yang lain urus saja pemakaman mom
Saat dokter sedang memeriksa Arandita tangis bayinya mereda. Hal itu membuat suster langsung menaruh bayinya ke dalam box bayi. Namun hal itu tidak membuat otot-otot Bastian yang tegang kembali rileks. Dia masih belum bisa bernafas dengan tenang selama kondisi istrinya belum dinyatakan membaik. "Bagaimana Dokter?" tanya Bastian masih dengan wajah pucat karena rasa khawatir yang berlebihan. "Tuan tenang saja sebentar lagi Nyonya Arandita akan sadar." "Saya tidak bisa tenang jika Istri saya belum siuman," ucap Bastian kesal. Bagaimana mungkin dokter menyuruh dirinya tenang sementara Arandita masih belum sadar dari pingsannya. "Sebentar lagi, tidak ada yang serius pada diri pasien mungkin hanya kelelahan saja." Bastian tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Dia hanya menelpon Bik Lin dan memintanya untuk datang ke rumah sakit. Dia perlu teman untuk menunggui Arandita dan bayinya. Saat Bik Lin meminta sopir untuk mengantarkan dirinya ke rumah sakit Pramoedya mendengarnya lalu me
"Sudah apanya?" tanya Bastian tidak sadar. "Sudah dijahit," jawab dokter seraya tersenyum ramah. "Oh." Bastian manggut-manggut. "Ini Tuan putranya, silahkan diadzani," ucap suster menyerahkan bayi yang baru lahir itu ke tangan Bastian. Ternyata bayinya sudah selesai dibersihkan. Bastian menerima bayi tersebut dan mengadzaninya. Selama melantunkan kalimat adzan Arandita terdiam menghayati kalimat tersebut. Ia terharu sampai menitikkan air mata karena telah dipercayakan oleh Tuan untuk merawat seorang anak yang lahir dari rahimnya sendiri. Sungguh itu adalah rezeki yang tidak terkira. Ditambah lantunan suara adzan dari bibir Bastian mengalun merdu dan syahdu. Arandita tidak menyangka suara Bastian begitu indah dan lembut menyentuh pendengaran. Suaminya itu seolah muadzin yang kerapkali mengumandangkan adzan di masjid-masjid. Setelah selesai Bastian mengecup kening putranya. "Selama datang jagoan Ayah! Selamat bergabung di keluarga kecil kita." "Sekarang dia harus di IMD Tuan,"
"Pasti, kami akan berusaha semaksimal mungkin Tuan. Tuan tenang saja saya lihat keadaan istri Anda tidak ada masalah dengan kesehatan maupun kandungannya. Jadi insyaallah proses persalinannya akan berjalan lancar." "Aaamiin ya Allah. Saya boleh menemani istri saya Dok?" "Oh tentu saja boleh, ini bisa menjadi semangat juga untuk istri Anda." Bastian mengangguk dan dokter mempersilahkan Bastian untuk ikut masuk sebelum akhirnya menutup pintu. Kini Bastian dan Arandita berada dalam ruang persalinan dibantu oleh seorang dokter dan seorang perawat. Arandita meringis kesakitan kala perutnya mengalami kontraksi kembali. "Aduh sakit Mas," rintihnya lalu kembali turun dari tempat tidur dan berjalan ke sana kemari sambil menahan rasa sakit. "Rasanya aku nggak tahan dengan sakitnya," keluh Arandita, bahkan perempuan itu duduk berdiri duduk berdiri untuk meminimalisir rasa sakit. "Kalau sakit itu tandanya normal karena ada pergerakan dari bayinya. Justru kalau tidak sakit itu yang perlu
Beberapa bulan kemudian Bastian baru pulang ke rumah setelah malam sudah semakin larut. "Kemana aja sih Mas, baru pulang. Dari tadi perutku sakit terus ini," protes Arandita sambil menyalami tangan Bastian lalu membantu membuka jas suaminya. "Biar aku yang naruh tasnya. Sekarang masih sakit?" "Nggak, mungkin karena sudah melihat papanya datang anak kita kembali anteng." "Ternyata kangen juga dia sama papanya ini. Sorry ya Sayang tadi lupa ngabarin, tadi aku sibuk banget. Abis nganterin Rafi ke panti asuhan terus ke rumah sakit," jelas Bastian lalu mencium perut istrinya yang buncit. "Papa kangen sama kamu. Jangan nakal sama mama, kasihan dia sudah gendong kamu selama 8 bulan lebih." Bastian lalu mengusap perut Arandita dengan lembut. "Waduh dia nendang Sayang, mungkin kesal dan mau ikutan protes karena papanya pulang telat," ucap Bastian lalu terkekeh. "Mas ke panti asuhan jenguk putranya Friska?" Bastian mengangguk. "Rafi mau menjemput dia kembali setelah dititipkan pada
Akibat janjinya pada Arandita akhirnya Bastian mengalah dan memilih tinggal di rumah Pramoedya untuk beberapa hari ke depan sebab di sana banyak orang yang bisa dimintai tolong untuk mengawasi istrinya yang hamil selama dia pergi ke kantor. Jangan lupakan bahwa Arandita menginginkan makan masakan Bobby setiap hari dan Bastian sudah menyetujuinya dalam waktu 7 hari saja. Oleh karena itu agar lebih mudah dalam mengabulkan permintaan Arandita Bastian memilih tinggal di rumah lamanya ini. "Abang yang punya istri kok saya yang dipaksa masak terus?" Kadang Bobby juga protes saat Bastian meminta Bobby menyiapkan makanan untuk Arandita di pagi-pagi buta padahal pria itu masih mengantuk. "Ya mau gimana lagi orang itu ponakan kamu yang menginginkan, mau punya ponakan ileran?!" Begitulah selalu jawaban Bastian yang membuat Bobby mendesah kasar lalu melakukan apa yang diminta oleh Bastian. Selama Bobby memasak Bastian menemani di dapur bahkan terkadang keduanya bekerjasama jika dirasa Bobby sa
"Ya Allah Sayang, aku jadi bingung harus bahagia atau sedih ini?" Bastian benar-benar bingung, di satu sisi dia senang akan segera mendapatkan momongan Namun, di sisi lainnya dia juga sedih karena dengan kehamilan Arandita membuat dirinya harus menjauh dari sang istri. Sepertinya bayi dalam kandungan Arandita tidak menyukai ayahnya sendiri karena selalu merasa bau saat berdekatan dengannya. "Pokoknya Mas tunggu di situ aja, nggak usah masuk kamar mandi!" Arandita menunjuk ke sisi Bastian. Bastian langsung tidak bergerak. Arandita masuk ke dalam kamar mandi dan muntah-muntah di sana. Bastian menatap punggung Arandita dengan rasa iba. Ia ingin berbuat seperti suami yang lainnya yang siap siaga dan memijit belakang leher istrinya yang sedang muntah, tetapi apa daya Arandita malah melarangnya dan Bastian sendiri tidak mau Arandita semakin muntah jika dirinya mendekat. Saat selesai muntah Arandita mengibaskan tangan agar Bastian menyingkir dari tempatnya berdiri saat ini. "Ngenes ama