Keyla terus mencari kertas catatan rekam medis pasien di ruang kerja Arial. Ia sudah mencarinya di meja, di rak, hingga laci, tapi tidak kunjung menemukannya.
“Key, cari apa sih?” Arial baru masuk ruangannya, ia menyimpan ponselnya di atas meja. “Catatan medis pasien gak ada, kak.” “Bukannya tadi kamu taruh atas meja?” Keyla belum berhenti mengecek setiap laci, “Iya, tapi gak ada. Gimana dong?” Arial berjongkok membantu mencari, “Kamu salah naro kali.” “Ih, kakak ‘kan liat waktu aku taro di atas meja. Jadi gak mungkin hilang, kecuali—” Arial melirik Keyla, “Kecuali apa?” “Kecuali kakak yang sembunyiin.” Arial berdiri, “Gak ada kerjaan banget kalo aku beneran sembunyiin catatan kamu, gak penting tahu gak.” “Terus catatan aku kemana?” “Kamu ‘kan yang duluan kesini, kenapa malah tanya aku?” Keyla membuang nafas kesal. Ia berdiri dan kembali mencari di setiap pojok ruArial menghampiri Keyla di rooftop rumah sakit saat semua pekerjaannya sudah selesai hari ini. Langit berhias jingga. Cahaya kemerahannya menemani kegundahan hati Keyla.Semenjak selesai menemani tugas di poli Keyla banyak diam. Saat di goda Arial dan Rocky pun ia tak banyak menjawab.“Kenapa?”Keyla menoleh, “Pasien yang tadi bakal selamat ‘kan, kak?”“Pasien yang mana?”“Yang kena Kanker Hati.”Arial tak menjawab. Ia berdiri disamping Keyla dan menatap lurus jalanan ibu kota yang padat merayap, “Cuma Tuhan yang tahu.”“Kenapa pasien tadi bilang mau lahiran lebih cepet?”“Masa kamu gak ngerti.”“Hm?” Keyla menatap Arial, “Kan belum waktunya. Pasien pasti tahu kalau melahirkan di bawah usia tiga puluh dua minggu resikonya sangat besar buat janin, karena berat dan panjang janin belum sempurna.”Arial mengubah posisi menatap Keyla, “Ibu hamil yang terkena Kanker Hati memiliki resiko yan
Keyla sudah tertidur nyenyak setelah Arial kembali dari ruang makan. Ia tidak ikut makan malam bersama, karena selama di mobil pun ia sudah tidur. Papa yang tahu itu mengatakan biarkan saja menantunya tidur. Nanti kalau tengah malam lapar Arial tinggal bantu menghangatkan makanannya.“Key, kamu belum laper? Hm?"Tidak ada jawaban tentu saja. Keyla si makhluk setengah kebo ini akan lebih memilih tidur dibanding mengisi perutnya yang tidak begitu lapar.“Keyla-Keyla, secapek itu ya hari ini?” Arial bicara sendiri sambil membuka laptopnya di sofa.Arial larut bekerja di depan laptop, membuat jurnal penelitian dan melihat kasus-kasus pasien yang akan di operasinya pekan depan. Banyak kasus yang cukup serius sehingga ia sangat berhati-hati mencari tindakan yang pas untuk diberikan.“Pegel.” gumam Keyla. Arial menoleh, “Key?”“Kak, bisa pesenin tukang urut gak sih, badan aku pegel sebadan-badan.” keluhnya sambil bangun
Keyla merasakan hidupnya sedikit hampa sejak ia harus standby menemani Rocky praktek rawat jalan hari ini. Setelah ini mereka akan makan siang bersama dan lanjut menemani pasien melakukan Inseminasi buatan.“Oke, kita bertemu lagi satu minggu dari sekarang ya, bu, pak. Semoga hasilnya memuaskan.”“Terima kasih, dokter. Mari.”“Mari.”Rocky tersenyum amat lebar saat menatap Keyla yang berdiri disebelahnya, “Dokter Key, kita lunch sekarang yuk. Terus nanti kita ke ruang rapat sebentar untuk ketemu dokter Qairo.”“Hm? Ketemu dokter Qairo?”Rocky mengangguk, “Tapi kita makan siang dulu.”“Oh, iya.”“Sus, saya makan siang dulu ya. Nanti kalau ada yang cari saya, langsung telpon aja.”“Baik, dok. Saya gak boleh gabung makan siang sama kalian ya?”Rocky menggeleng kencang, “Lain kali, mungkin tahun depan hehe.”Asisten pribadi Rocky itu manyun, “Yah, tahun depan mah saya keburu lupa, dok.”“Gak papa, bukan saya yang rugi. Hehe.” Rocky bangkit, “Ayo dokter Keyla.”Keyla menganggu
Rocky baru selesai menyuntikkan sampel sperma ke dalam rahim pasien Inseminasi buatan. Dibantu dengan pengecekkan USG, Keyla yang ikut terlibat merasa deg-degan dengan proses ini. “Oke, aman ya.” tutur Rocky saat matanya fokus menatap layar monitor, “Posisinya udah oke.” “Ah, syukurlah.” pasien yang masih terbaring ikut melirik ke arah layar monitor USG. Rocky bergerak mendekati area bawah pasien untuk mengeluarkan kateter dan melepaskan spekulum, “Nanti dalam satu atau dua hari, mungkin ibu bakal menemukan flek ya, dan itu relatif normal. Dan nanti setelah dua minggu, ibu bisa cek kehamilan secara mandiri dirumah.” Pasien mengangguk tersenyum, “Baik, dok.” Rocky berjalan menuju meja, “Ibu tunggu dalam posisi itu lima menit. Gak papa, bu, ngobrol aja dulu sama suaminya, gak usah malu sama saya. Anggep aja saya ada dan tiada.” Pasien dan suaminya itu terbahak. Perawat yang membantu apalagi. Rocky memang sering membuat mereka tertawa. “Saya resepkan obat oral Progesteron
Tanpa meminta izin Arial langsung masuk ke dalam ruang pribadi Qairo. Ia membangunkan Keyla, “Key, bangun. Kita pulang.” “Gak mau, aku mau tidur disini.” jawab Keyla tanpa membuka matanya. Ia menarik jaket Qairo yang dijadikan selimut. “Yang bener aja, masa kamu mau tidur disini.” “Udah sana pergi.” usir Keyla. Arial menatap Qairo datar, “Kamu gak takut di apa-apain kalo tidur disini?” Qairo tersenyum, “Lo nuduh gue punya niat jahat sama Keyla?” “Waspada itu perlu ‘kan?” “Keyla biar aja tidur disini. Gue biar tunggu diruang piket.” Arial tertawa, “Gak usah jadi pahlawan kesiangan, Qai. Lo juga gak perlu ikut campur sama urusan kita.” Qairo mendekati Arial, “Gue gak ikut campur sama urusan kalian. Gue cuma nemenin Keyla saat lo gak bisa nepatin janji lo sendiri.” Arial diam. Ia baru ingat memiliki janji akan mengajak Keyla ke mall hanya sekedar untuk belanja dan window shopp
Pagi ini Rocky ada prosedur IVF atau In Vitro Fertilitazion di lab khusus. Ia masih menunggu pasien tersebut melakukan praktek rawat jalan di poli lain. Keyla masih disini menjadi asistennya. Moodnya sudah membaik karena sikap Arial yang lebih memilihnya dari ada Sarah tadi pagi. “Dok, pasien pertama bu Adel.” kata suster saat Rocky masih bersiap memakai jas dokternya. “Oh iya, udah tiga minggu ya semenjak Inseminasi.” “Betul, dok.” “Pasien udah boleh masuk.” “Baik, dok.” perawat membuka pintu dan mempersilakan pasien masuk. Pasien berusia dua puluh empat tahun dengan suaminya yang sepuluh tahun lebih tua itu duduk dihadapan Rocky. “Pagi, bu, pak. Gimana kabarnya hari ini?” Pasien itu tampak murung. Keyla dan perawat saling lirik. “Kabar kami kurang baik, dok.” sang suami mewakili. Rocky yang tengah tersenyum mendadak khawatir, “Ada yang harus saya tahu?” Suami pasien mengelus punggung tangan istrinya, “Gak papa, sayang.” “Bu Adel?” “Hasil pemeriksaan hCG say
Arial berdiri dan bersikap seolah tidak ada apa-apa. Ia berjalan menuju meja dan pura-pura sibuk mencatat, “Antar bu Dian ke ruang perawatan sekarang. Langsung berikan obat Indomethacin 75 mg.” katanya entah pada siapa. Suster Rina mengangguk dan membantu pasien untuk diantarkan ke ruang perawatan. Suami pasien berjalan membuntut dan pamitan pada Arial. Sedangkan Keyla menutup matanya kesal karena Arial begitu gegabah mengatakan status pernikahan mereka kepada pasien yang berujung bocornya fakta itu pada Jasmine dan suster Rina. “Jasmine tolong panggil pasien berikutnya.” “Ba-baik, dok.” Arial menatap Keyla, “Keyla bisa kembali ke ruangan dokter Rocky.” Keyla mengangguk. Ia membereskan peralatan USG. Jasmine berdiri didekat pintu, “Pasien masih di toilet, dok.” “Oh, iya. Tunggu aja.” Arial melirik Keyla yang akan keluar ruangan, “Keyla jangan geer. Saya bilang gitu tadi biar gak di jodoh-jodohin dengan kelu
Sore selepas jam praktek rawat jalan selesai, Keyla membuntuti Rocky ke ruang rapat. Mereka akan mengadakan diskusi terkait kelahiran salah satu pasien yang mengalami komplikasi serius. “Nanti yang rapat siapa aja, kak? Banyakkan?” tanya Keyla seraya berjalan beriringan dengan Rocky. “Cuma sama dokter obgyn dan bedah anak aja sih.” Keyla tersenyum, “Dokter Qairo?” “Iya.” Rocky membuka ruang rapat. Ia mempersilakan Keyla untuk masuk duluan. Ketika Keyla masuk, matanya langsung berbinar. Senyumnya merekah kala melihat Qairo yang menyambutnya dengan senyuman. Saat Rocky baru akan menutup pintu, orang diluar menahannya, “Al?” “Sore, dokter Rocky.” sapa Arial dingin sambil berjalan cepat menyusul Keyla. Ia dengan cepat merebut tempat dan duduk disampingnya. Keyla menatap Arial, “Sore, dokter.” “Sore.” Mereka harus menjaga sikap profesionalitas kerja satu sama lain karena ada dokt