Pov Sarah
Malam tadi. “Qai, lagi sibuk ya?” tanya Sarah pada Qairo yang terus memperhatikan laya komputer diruang pribadinya. Qairo mengangkat wajahnya dan sedikit terkejut melihat ada Sarah berdiri didepan meja, “Eh, Sar, udah lama disini?” Sarah tersenyum kecut, “Udah ada lima menit.” “Sori, aku pikir gak ada siapa-siapa. Duduk, Sar.” Sarah duduk di sofa membawa sebuah bingkisan berukuran sedang. Qairo bangkit dari kursi kerjanya, “Mau kopi?” “Boleh.” Qairo bergerak menuju meja serabagunanya. Ia menyalakan water heater untuk membuat kopi untuknya dan Sarah, “Kamu kok belum pulang?” “Iya, sebentar lagi.” Qairo mengaduk kopi dalam mug polos dan memberikannya pada Sarah. “Makasih.” Qairo duduk disebelah Sarah, “Kamu udah nyamperin Arial? Kamu tenangin dia, kasian. Pasti kejadian penangkapan tadi bikin dia agak stress.” “Iya, habis ini aku kesanKeyla terus mencari kertas catatan rekam medis pasien di ruang kerja Arial. Ia sudah mencarinya di meja, di rak, hingga laci, tapi tidak kunjung menemukannya.“Key, cari apa sih?” Arial baru masuk ruangannya, ia menyimpan ponselnya di atas meja.“Catatan medis pasien gak ada, kak.”“Bukannya tadi kamu taruh atas meja?”Keyla belum berhenti mengecek setiap laci, “Iya, tapi gak ada. Gimana dong?”Arial berjongkok membantu mencari, “Kamu salah naro kali.”“Ih, kakak ‘kan liat waktu aku taro di atas meja. Jadi gak mungkin hilang, kecuali—”Arial melirik Keyla, “Kecuali apa?”“Kecuali kakak yang sembunyiin.”Arial berdiri, “Gak ada kerjaan banget kalo aku beneran sembunyiin catatan kamu, gak penting tahu gak.”“Terus catatan aku kemana?”“Kamu ‘kan yang duluan kesini, kenapa malah tanya aku?”Keyla membuang nafas kesal. Ia berdiri dan kembali mencari di setiap pojok ru
Arial menghampiri Keyla di rooftop rumah sakit saat semua pekerjaannya sudah selesai hari ini. Langit berhias jingga. Cahaya kemerahannya menemani kegundahan hati Keyla.Semenjak selesai menemani tugas di poli Keyla banyak diam. Saat di goda Arial dan Rocky pun ia tak banyak menjawab.“Kenapa?”Keyla menoleh, “Pasien yang tadi bakal selamat ‘kan, kak?”“Pasien yang mana?”“Yang kena Kanker Hati.”Arial tak menjawab. Ia berdiri disamping Keyla dan menatap lurus jalanan ibu kota yang padat merayap, “Cuma Tuhan yang tahu.”“Kenapa pasien tadi bilang mau lahiran lebih cepet?”“Masa kamu gak ngerti.”“Hm?” Keyla menatap Arial, “Kan belum waktunya. Pasien pasti tahu kalau melahirkan di bawah usia tiga puluh dua minggu resikonya sangat besar buat janin, karena berat dan panjang janin belum sempurna.”Arial mengubah posisi menatap Keyla, “Ibu hamil yang terkena Kanker Hati memiliki resiko yan
Keyla sudah tertidur nyenyak setelah Arial kembali dari ruang makan. Ia tidak ikut makan malam bersama, karena selama di mobil pun ia sudah tidur. Papa yang tahu itu mengatakan biarkan saja menantunya tidur. Nanti kalau tengah malam lapar Arial tinggal bantu menghangatkan makanannya.“Key, kamu belum laper? Hm?"Tidak ada jawaban tentu saja. Keyla si makhluk setengah kebo ini akan lebih memilih tidur dibanding mengisi perutnya yang tidak begitu lapar.“Keyla-Keyla, secapek itu ya hari ini?” Arial bicara sendiri sambil membuka laptopnya di sofa.Arial larut bekerja di depan laptop, membuat jurnal penelitian dan melihat kasus-kasus pasien yang akan di operasinya pekan depan. Banyak kasus yang cukup serius sehingga ia sangat berhati-hati mencari tindakan yang pas untuk diberikan.“Pegel.” gumam Keyla. Arial menoleh, “Key?”“Kak, bisa pesenin tukang urut gak sih, badan aku pegel sebadan-badan.” keluhnya sambil bangun
Keyla merasakan hidupnya sedikit hampa sejak ia harus standby menemani Rocky praktek rawat jalan hari ini. Setelah ini mereka akan makan siang bersama dan lanjut menemani pasien melakukan Inseminasi buatan.“Oke, kita bertemu lagi satu minggu dari sekarang ya, bu, pak. Semoga hasilnya memuaskan.”“Terima kasih, dokter. Mari.”“Mari.”Rocky tersenyum amat lebar saat menatap Keyla yang berdiri disebelahnya, “Dokter Key, kita lunch sekarang yuk. Terus nanti kita ke ruang rapat sebentar untuk ketemu dokter Qairo.”“Hm? Ketemu dokter Qairo?”Rocky mengangguk, “Tapi kita makan siang dulu.”“Oh, iya.”“Sus, saya makan siang dulu ya. Nanti kalau ada yang cari saya, langsung telpon aja.”“Baik, dok. Saya gak boleh gabung makan siang sama kalian ya?”Rocky menggeleng kencang, “Lain kali, mungkin tahun depan hehe.”Asisten pribadi Rocky itu manyun, “Yah, tahun depan mah saya keburu lupa, dok.”“Gak papa, bukan saya yang rugi. Hehe.” Rocky bangkit, “Ayo dokter Keyla.”Keyla menganggu
Rocky baru selesai menyuntikkan sampel sperma ke dalam rahim pasien Inseminasi buatan. Dibantu dengan pengecekkan USG, Keyla yang ikut terlibat merasa deg-degan dengan proses ini. “Oke, aman ya.” tutur Rocky saat matanya fokus menatap layar monitor, “Posisinya udah oke.” “Ah, syukurlah.” pasien yang masih terbaring ikut melirik ke arah layar monitor USG. Rocky bergerak mendekati area bawah pasien untuk mengeluarkan kateter dan melepaskan spekulum, “Nanti dalam satu atau dua hari, mungkin ibu bakal menemukan flek ya, dan itu relatif normal. Dan nanti setelah dua minggu, ibu bisa cek kehamilan secara mandiri dirumah.” Pasien mengangguk tersenyum, “Baik, dok.” Rocky berjalan menuju meja, “Ibu tunggu dalam posisi itu lima menit. Gak papa, bu, ngobrol aja dulu sama suaminya, gak usah malu sama saya. Anggep aja saya ada dan tiada.” Pasien dan suaminya itu terbahak. Perawat yang membantu apalagi. Rocky memang sering membuat mereka tertawa. “Saya resepkan obat oral Progesteron
Tanpa meminta izin Arial langsung masuk ke dalam ruang pribadi Qairo. Ia membangunkan Keyla, “Key, bangun. Kita pulang.” “Gak mau, aku mau tidur disini.” jawab Keyla tanpa membuka matanya. Ia menarik jaket Qairo yang dijadikan selimut. “Yang bener aja, masa kamu mau tidur disini.” “Udah sana pergi.” usir Keyla. Arial menatap Qairo datar, “Kamu gak takut di apa-apain kalo tidur disini?” Qairo tersenyum, “Lo nuduh gue punya niat jahat sama Keyla?” “Waspada itu perlu ‘kan?” “Keyla biar aja tidur disini. Gue biar tunggu diruang piket.” Arial tertawa, “Gak usah jadi pahlawan kesiangan, Qai. Lo juga gak perlu ikut campur sama urusan kita.” Qairo mendekati Arial, “Gue gak ikut campur sama urusan kalian. Gue cuma nemenin Keyla saat lo gak bisa nepatin janji lo sendiri.” Arial diam. Ia baru ingat memiliki janji akan mengajak Keyla ke mall hanya sekedar untuk belanja dan window shopp
Pagi ini Rocky ada prosedur IVF atau In Vitro Fertilitazion di lab khusus. Ia masih menunggu pasien tersebut melakukan praktek rawat jalan di poli lain. Keyla masih disini menjadi asistennya. Moodnya sudah membaik karena sikap Arial yang lebih memilihnya dari ada Sarah tadi pagi. “Dok, pasien pertama bu Adel.” kata suster saat Rocky masih bersiap memakai jas dokternya. “Oh iya, udah tiga minggu ya semenjak Inseminasi.” “Betul, dok.” “Pasien udah boleh masuk.” “Baik, dok.” perawat membuka pintu dan mempersilakan pasien masuk. Pasien berusia dua puluh empat tahun dengan suaminya yang sepuluh tahun lebih tua itu duduk dihadapan Rocky. “Pagi, bu, pak. Gimana kabarnya hari ini?” Pasien itu tampak murung. Keyla dan perawat saling lirik. “Kabar kami kurang baik, dok.” sang suami mewakili. Rocky yang tengah tersenyum mendadak khawatir, “Ada yang harus saya tahu?” Suami pasien mengelus punggung tangan istrinya, “Gak papa, sayang.” “Bu Adel?” “Hasil pemeriksaan hCG say
Arial berdiri dan bersikap seolah tidak ada apa-apa. Ia berjalan menuju meja dan pura-pura sibuk mencatat, “Antar bu Dian ke ruang perawatan sekarang. Langsung berikan obat Indomethacin 75 mg.” katanya entah pada siapa. Suster Rina mengangguk dan membantu pasien untuk diantarkan ke ruang perawatan. Suami pasien berjalan membuntut dan pamitan pada Arial. Sedangkan Keyla menutup matanya kesal karena Arial begitu gegabah mengatakan status pernikahan mereka kepada pasien yang berujung bocornya fakta itu pada Jasmine dan suster Rina. “Jasmine tolong panggil pasien berikutnya.” “Ba-baik, dok.” Arial menatap Keyla, “Keyla bisa kembali ke ruangan dokter Rocky.” Keyla mengangguk. Ia membereskan peralatan USG. Jasmine berdiri didekat pintu, “Pasien masih di toilet, dok.” “Oh, iya. Tunggu aja.” Arial melirik Keyla yang akan keluar ruangan, “Keyla jangan geer. Saya bilang gitu tadi biar gak di jodoh-jodohin dengan kelu
Keyla berjalan cepat dari dalam rumah melewati papa dan tante Puri.“Key, kamu mau kemana?” kejar papa.Keyla berlari keluar gerbang tanpa menggubris panggilan papa. Ia menghampiri Qairo, “Kak, tolong lupain masalah apapun yang lagi kakak hadepin. Anterin aku ke rumah kak Sarah sekarang!”“Sarah? Kamu mau apa kesana?”“Udah, ayo cepet.”Keyla masuk ke dalam mobil Qairo. Papa dan tante Puri menyusul. “Key, ada apa?”Keyla menangis dalam, “Jasmine bilang aku harus kesana untuk tahu sesuatu.”“Jasmine? Key, orang yang posting di web rumah sakit tentang kita udah pasti dia. Kamu ngapain percaya sama dia?”Keyla memutar suara voice note whatsapp dari Jasmine, “Key, gue tahu lo marah sama gue, lo benci sama gue atas semua yang gue lakuin ke elo. Tapi gue mohon sekarang lo ke rumah dokter Sarah untuk tahu kelakuan dokter Arial yang sebenarnya.”“Key, Jasmine paling cuma mau cari masalah baru. Dia gak bener-bener akan buktiin omongannya.”“Udah, kak, ngebut aja. Kita harus sampe k
Sudah jam sembilan malam tapi Arial tak kunjung pulang. Keyla sudah menanyakan pada kepala suster, apakah Arial ada panggilan darurat, kepala suster mengatakan tidak. Arial katanya sudah pulang setelah ujian anak ko-as selesai. Itu berarti sudah dari sore ‘kan? “Key, mungkin Arial masih di jalan. Atau dia makan dulu sama Rocky.” Papa berusaha menenangkan hati menantunya yang khawatir. “Iya, pa. Mungkin.” Mbok Darmi menghampiri Keyla dan papa yang berdiri di samping kolam renang, “Permisi, pak. Ada bu Puri dan den Qairo di depan. Katanya mau ketemu bapak.” “Qairo?” “Kak Qai? Pa, aku ikut ya?” “Jangan sayang, nanti dulu. Nanti begitu papa sudah bicara dengan Qairo dan tante Puri, mbok akan panggil kamu disini ya. Papa... ada pembicaraan khusus sama tante Puri. Satu minggu ini tante Puri terus bilang ada hal penting yang mau dikasih tahu, tapi dia gak bicara terus.” “Oh, iya, pa.” Papa masuk ke dalam rumah disusul mbok Darmi. “Pur, Qairo?” “Pras.” Papa terkejut meli
Keyla mengejar Qairo. Ia ingin menjelaskan bahwa kejadian malam itu tidak seperti dugaannya. Syukur-Syukur Qairo sudah melihat postingan klarifikasi Yoga yang menyebutkan jika ia adalah dalang dari semuanya. Ia juga menjelaskan bahwa Qairo dan Keyla tidak melakukan apapun. “Kak Qai kok malah pergi sih?” Keyla balik badan untuk mempersiapkan ujiannya. Ia tidak punya banyak waktu dan harus menunggu gilirannya berhadapan dengan dokter konsulen stase kandungan. Saat berjalan ke arah poli kandungan, Keyla mendadak terdiam. “Key?” “Kak Rocky?” “Kamu ngapain disini? Bukannya hari ini kamu ada ujian?” “Aku... mendadak mual, kak.” “Mual? Kamu masuk angin?” “Kayaknya sih.” “Ya udah ke ruangan aku dulu yuk, aku ada minuman pereda masuk angin.” Keyla mengangguk. Ia berjalan beriringan dengan Rocky. Qairo yang sembunyi di balik meja jaga UGD, mengikuti Keyla. Sepanjang jalan ia berpikir kenapa Keyla mual tiba-tiba, “Apa jangan-jangan Keyla ... hamil?” Qairo semakin frust
Bu Fatma menggeleng. Tante Puri diam sejenak, “Sebentar. Sewaktu menyimpan Karenina, saya pakaikan dia kalung Mutiara. Jadi...” beliau menutup mulutnya tak percaya, “Karenina itu... Keyla, bu?” Bu Fatma mengangguk. Tante Puri menangis bahagia begitu mengetahui bahwa Karenina Adriana, anaknya, adik Qairo adalah Keyla, anak panti asuhan yang dulu dibencinya dan sempat diancam akan di akhiri hidupnya. Dunia ternyata begitu sempit untuk berjarak dengan darah dagingnya sendiri. “Saya baru tahu semalam begitu mendapati foto ini di laci. Dibelakang foto itu ada coretan nama Karenina Adriani dan diganti Keyla Natania. Itu adalah tulisan ibu panti sebelumnya.” Tante Puri membalikkan fotonya, beliau mendapati apa yang dimaksud bu Fatma, “Bu, anak saya... Keyla? Ya ampun, saya senang sekali mendengarnya.” Bu Fatma ikut menangis, “Keyla pasti senang sekali jika tahu ibu kandungnya adalah ibu.” Mereka berpelukkan, “Tolong temani saya mengatakan hal ini pada Keyla, bu.” Bu Fatma
Tante Puri mengedarkan lagi matanya ke arah taman yang tak jauh dari panti asuhan Kasih Ibu berada. Waktu kecil Qairo sering kesini untuk main. Barangkali ia datang kesini. “Qai, kamu kemana sih?” Bu Fatma yang masih merasakan kakinya kaku setelah terkena stroke kemarin, selalu rutin jalan-jalan ke arah sini. Beliau tidak sengaja melihat tante Puri yang ditemani supirnya berdiri di salah satu spot taman. “Kenapa ya bu Puri ada disini? Aku samperin aja ah.” Bu Fatma berjalan bersusah payah menaiki tangga taman, “Bu Puri.” “Bu Fatma?” tante Puri membantu bu Fatma untuk naik tangga, “Saya bantu. Kita duduk di kursi ya, bu, ayo.” Mereka duduk di kursi besi taman. Begitu mereka duduk, supir bu Puri pergi menjauhi untuk memberikan pri “Bu Puri lagi apa disini?” “Saya lagi cari Qairo, bu.” “Loh, memang nak Qairo kemana?” Bu Puri membuang nafas pelan. Bu Fatma tentu tidak akan tahu kasus Keyla dan Qairo yang tersebar luas di web rumah sakit, “Itu... ada foto dan video Qai
“Aku ada panggilan darurat dari rumah sakit. Kamu sama papa makan duluan aja. Kalo sempet aku pasti pulang.” “Ya udah. Nanti pulangnya hati-hati ya, mas.” “I-iya.” “Kok tegang gitu?” “Aku cuma belum biasa. Ya udah aku tutup ya.” “Oke, mas Arial. Love you.” Arial melirik Sarah, “Love you too.” Sarah menunduk begitu Arial membalas ucapan cinta dari Keyla. Ia tak seharusnya ada disini. Ia seharusnya menolak ajakan Arial tadi dan pergi saja ke rumah sakit. Ia akan mengunci diri di ruang pribadinya. “Sar, maaf.” “Buat?” “Aku gak bilang kalo Keyla istri aku.” Sarah tersenyum. “Kok senyum?” “Gak papa.” “Aku bener-bener brengsek.” Sarah tak menjawab. Arial menggeser posisi duduknya jadi menghadap Sarah, “Awalnya pernikahan aku sama Keyla cuma kontrak. Kita gak bener-bener mau menikah. Tapi papa—maksa.” “Om Pras sayang banget sama Keyla. Beliau selalu muji Keyla dibanyak kesempatan. Aku ngerti sekarang, kenapa om Pras ngelakuin itu. Karena Keyla bukan cuma a
Malam ini juga, Arial datang ke rumah Sarah untuk memutuskan hubungan mereka. Ia yakin pacarnya itu tahu kalau ia dan Keyla sebenarnya sudah menikah. Ia sudah menyiapkan mental dan jawaban ketika Sarah marah. Ia juga siap minta maaf pada Sarah dan kedua orang tuanya, karena itu memang murni kesalahannya. Sarah hari ini tidak datang ke rumah sakit. Ia cuti dadakan entah dengan keperluan apa. Arial yang tidak ada jadwal jaga malam memanfaatkan waktu ini untuk memenuhi janjinya pada Keyla. Arial baru sampai depan rumah Sarah yang besar. Ketika sampai teras, terdengar suara teriakan. “Itu suara apa?” “Kamu gak perlu repot-repot mikirin Arial yang udah nikah sama si anak panti asuhan itu. Ini bukan urusan kamu.” suara papih menggema sampai keluar. “Papimu bener. Kamu pura-pura gak tahu aja. Kamu lebih berhak menjadi istrinya dari pada si Keyla itu.” suara mami tak kalah menggema. “Tapi mi, pi, aku gak mungkin rebut Arial.” “Kalo perlu, rebut! Papi dan mami gak mau tahu, kamu
Arial dan Keyla baru saja memposting pernyataan bahwa mereka adalah suami istri yang disebarkan luas ke semua grup chat poli. Semua staf rumah sakit harus tahu agar tidak ada lagi berita aneh yang akan menyudutkan Keyla. Kini mereka baru sampai rumah sakit. Rocky yang menunggu di depan lift hanya menampilkan wajah cemberut. “Ky, lo kok gak masuk? Bentar lagi jam praktek lo ‘kan?” Rocky menatap tangan Arial dan Keyla yang bertaut. Kenapa selama ini ia tidak peka ya, bahwa mereka adalah suami istri? “Udah jangan cemberut terus. Perempuan masih banyak.” Rocky menatap Arial kesal, “Diem lo.” “Biar lo gak cemburu, gue sama Keyla duluan ya. Gue tunggu hadiah pernikahan dari lo.” Arial berjalan melewati Rocky. “Kak, duluan ya.” Rocky hanya mengangguk pelan. Patah hatinya cukup parah setelah tahu kalau perempuan yang ia impikan jadi istrinya adalah istri sahabatnya, “Al, gue mau ngomong sama lo nanti. Harus pokoknya.” “Gampang.” Arial dan Keyla melewati banyak orang di lo
Arial tak mendapati papa ada di meja makan. Di cari di kamarnya pun tidak ada. “Den Arial cari bapak?” tanya mbok Darmi. “Iya, mbok. Papa mana ya?” “Bapak di depan, den. Bapak katanya mau menginap di rumah ibu Mira di Bogor.” “Kenapa tiba-tiba?” “Semalaman bapak gak tidur dan menangis dipinggir kolam, den, ditemani pak Udin. Menurut mbok memang lebih baik bapak menenangkan diri dulu di rumah bu Mira.” “Papa masih di depan ‘kan, mbok?” “Masih, den.” Arial berjalan cepat menuju depan rumah. Papa sedang memantau pak Udin yang sedang memasukkan beberapa koper ke dalam bagasi. “Pa,” “Rial?” “Pa, aku mau bicara sebentar.” Papa melirik ke dalam rumah, “Keyla mana?” Arial berusaha menahan senyumnya, “Masih tidur.” “Papa mau pergi sebelum Keyla bangun. Papa—butuh waktu untuk menerima semua ini.” “Keyla bangunnya pasti akan telat, pa. Jadi aku mohon kita bicara dulu.” Papa menatap bagasi mobil yang sudah ditutup dan pak Udin yang masuk ke dalam mobil. “Pak Udin