Keyla meregangkan ototnya di meja jaga ponek. Ia sudah menghabiskan dua gelas kopi untuk membuatnya terus terjaga di jam dua dini hari ini. “Pembukaannya masih stay di bukaan lima?”“Iya, dok.”Dokter residen itu mengangguk, “Kamu masih sempet buat tidur sebentar kok.”Keyla mengangguk, “Makasih, dok.”“Iya.”Keyla yang baru akan duduk dibelakang meja menatap Cika yang berlari kencang ke arahnya, “Cika? Kamu kenapa?”“Key, panti asuhan kamu... kebakaran.” pekik Cika sambil ngos-ngosan.“Hah? Kok bisa?”“Aku gak tahu. Aku liat dari live warga sekitar yang ternyata aku follow di instagram.”“Ya ampun gimana dong, Cik?”Papa berlari dari arah pintu masuk ponek, “Sayang, panti asuhan kebakaran. Ayo kita kesana.”“Pa? Kok bisa sih?”“Papa juga gak tahu. Papa dapet kabar, panti kebakar dua jam tadi.”“Ya ampun, pa, gimana dong?” Keyla sudah menangis ketakutan.“Gak papa, sayang, kita kesana sekarang ya. Ayo.”Keyla melepas stetoskop yang melingkar dilehernya. Ia berlari mem
Keyla meregangkan ototnya di meja jaga ponek. Ia sudah menghabiskan dua gelas kopi untuk membuatnya terus terjaga di jam dua dini hari ini. “Pembukaannya masih stay di bukaan lima?”“Iya, dok.”Dokter residen itu mengangguk, “Kamu masih sempet buat tidur sebentar kok.”Keyla mengangguk, “Makasih, dok.”“Iya.”Keyla yang baru akan duduk dibelakang meja menatap Cika yang berlari kencang ke arahnya, “Cika? Kamu kenapa?”“Key, panti asuhan kamu... kebakaran.” pekik Cika sambil ngos-ngosan.“Hah? Kok bisa?”“Aku gak tahu. Aku liat dari live warga sekitar yang ternyata aku follow di instagram.”“Ya ampun gimana dong, Cik?”Papa berlari dari arah pintu masuk ponek, “Sayang, panti asuhan kebakaran. Ayo kita kesana.”“Pa? Kok bisa sih?”“Papa juga gak tahu. Papa dapet kabar, panti kebakar dua jam tadi.”“Ya ampun, pa, gimana dong?” Keyla sudah menangis ketakutan.“Gak papa, sayang, kita kesana sekarang ya. Ayo.”Keyla melepas stetoskop yang melingkar dilehernya. Ia berlari mem
“Lihat lebih dekat.” ujar seorang dokter utama obgyn yang sedang memeriksa jaringan dalam rahim pasien yang sedang di operasinya.Lima dari dokter ko-as mendekati meja operasi. Mereka saling mengangguk saat melihat bersama-sama bagaimana kondisi rahim pasien.“Bangunin Keyla.” titah Arial tanpa melirik pada kerumunan dokter ko-as, apalagi pada orang yang bernama Keyla.Semua dokter ko-as serempak mundur. Dua diantaranya menggoyangkan tubuh Keyla. “Key, bangun.” bisik salah satu dari mereka. “Hm?” gumam Keyla. Ia yang amat kelelahan sehingga bisa tidur dalam keadaan berdiri diruang operasi.Ke-lima dokter ko-as yang satu kelompok dengan Keyla memberi kode bahwa ia dipanggil dokter utama operasi hari ini. “Dokter panggil saya?” tanya Keyla dengan suara pelan.“Maju kesini.”Keyla maju dua langkah. Ia kini berdiri disamping Arial dan dokter residen yang sedang melakukan pengangkatan rahim.“Kamu tahu kondisi apa yang dialami pasien?” tanya Arial. Wajahnya tetap fokus menatap r
Keyla menangis sesenggukan memeluk koper dan beberapa dus berisi barang-barang miliknya didepan sebuah ruko yang sudah tutup. Ia tidak tahu harus pergi kemana tengah malam begini. "Aku harus pergi kemana lagi Tuhaaaan. Aku gak mungkin balik lagi ke panti." Keyla menangis semakin dalam kala menyebut nama panti. Tadi begitu mendapat telpon dari nomor asing, Keyla langsung terkejut kala mengetahui kalau uang yang harusnya dibayarkan pada pemilik kos raib diambil oleh teman sesama panti-nya. Ia tidak menyangka teman sesama nasibnya tega melakukan itu. "Aku gak mungkin tinggal diruang piket, apalagi ada dokter residen. Gimana ya, heu heu heu." Kepala Keyla terangkat. Ia merogoh ponsel dari saku tas ranselnya. Ia mencari nomor Bu Fatma, ibu panti yang pasti akan membantunya disaat sulit seperti ini. "Enggak-enggak, aku udah terlalu sering nyusahin ibu. Aku bahkan dapet uang simpanan paling besar karena ibu tambahin." Keyla mematikan ponselnya. Ia memasukkan ponselnya kembali
Kayla melongo saat mobil berhenti didepan fasad rumah bergaya American Classic yang berdiri megah dihadapannya. Mulutnya melongo karena tidak menyangka rumah pak Pras bisa sebesar ini.“Ayo masuk, Key.” ajak pak Pras.“I-iya, pak.”Pak Pras mempersilakan Keyla berjalan lebih dulu. Pintu dibuka oleh asisten rumah tangga yang sudah tahu jadwal kepulangannya, “Nanti barang-barang kamu langsung diantar supir ke kamar. Lebih baik sekarang kamu makan dulu.”Keyla mengangguk. Kebetulan perutnya lapar sekali. Ia begitu senang karena pak Pras bisa mengerti situasi dan kondisi perutnya.“Kamu makan aja duluan. Pasti belum makan dari tadi ‘kan?”“Hehe, iya, pak.”“Saya mau panggilkan anak saya,” Pak Pras menatap asisten rumah tangga yang mengikutinya dari ruang tamu, “Mbok, tolong antar Keyla ke ruang makan.”“Baik, pak.”Pak Pras berjalan cepat dan penuh semangat menuju sebuah ruangan yang terletak didekat ruang keluarga. Keyla sempat melihatnya dan sangat penasaran dengan sosok anak t
Keyla tertawa saat sarapan bersama pak Pras. Mereka layaknya ayah dan anak yang baru bertemu kembali. Tawa keduanya terdengar sampai ke tangga, dimana Arial baru menuruninya.“Pa, aku langsung berangkat.” Arial berpamitan tanpa menghampiri pak Pras.“Loh, kamu gak sarapan dulu?” pak Pras menghentikan sarapannya saat melihat Arial memalingkan wajah saat sampai diujung tangga.“Nanti aja dirumah sakit.”“Ada pasien darurat?”Arial menggeleng.“Kenapa buru-buru?”Tak ada jawaban. Keyla yang merasa kehadirannya membuat Arial yang mungkin selalu sarapan menjadi enggan, berdiri. Pak Pras pun menatap Keyla yang berubah diam.“Key, kamu udah makannya?”“Udah, pak. Eh, maksudnya papa.”Pak Pras menatap Arial, “Oh ya sudah, kalian berangkat bareng aja.”Arial mendelik, “Bareng aja sama papa, aku buru-buru.”Pak Pras berjalan sambil mendorong Keyla pelan, “Rial, jangan gitu dong. Keyla ini sekarang adik kamu. Kalian juga satu rumah sakit, dan Key kebetulan sedang ko-as di stase obgy
Pagi ini tugas Keyla adalah menemani Arial praktek konsultasi rawat jalan. Arial dengan jelas bisa melihat mata Keyla sembab dan merah. Ia pasti sudah menangis hebat setelah turun dari mobilnya. “Sus, masih ada pasien?” Perawat menggeleng dan tersenyum, “Akhirnya kita selesai lebih awal dari biasanya, dok.” “Iya.” “Kalau begitu saya permisi, dok.” “Silakan.” Suster mengangguk sopan pada Arial dan Keyla, “Mari, dok.” “Mari.” jawab Arial dan Keyla bersamaan. Setelah suster keluar dari ruang praktek, Keyla juga ikut menyusul. Tapi tangan Arial bergerak cepat sehingga lengannya bisa menahan Keyla. “Tunggu dulu.” Keyla membalikkan badan, “Dokter mau ngatain saya apa lagi? Saya bener-bener janji akan keluar dari rumah keluarga dokter.” “Bukan itu. Saya cuma mau tahu apa yang kamu bilang sama papa sehingga kamu bisa dapet apartemen secara cuma-cuma?” “Loh, kenapa gak dokter tanya aja sama pak Pras sendiri? Kan beliau yang berniat kasih itu untuk saya.” Arial membuang
“Papa bisa bukttiin dengan cara menikahkan kalian,” Pak Pras menatap Arial dan Keyla silih berganti. “Gimana?” “Pa!” bentak Arial. “Pak...” Keyla berkata lirih. “Cuma cara itu yang bisa papa buktiin kalau Keyla bukan perempuan simpanan apalagi anak haram papa. Iya ‘kan?” “Tapi ‘kan—” protes Arial. “Papa tidak mau dengar protes kamu.” Arial menutup matanya, “Pa, aku janji gak akan nuduh Keyla macem-macem lagi. Papa mau adopsi dia pun aku gak masalah.” Pak Pras menggeleng, “Keputusan papa sudah bulat. Kalian harus menikah.” “Pa, tapi menikah itu gak boleh cuma untuk membuktikan sesuatu. Pernikahan terlalu sakral untuk dipermainkan.” Arial berusaha mempertahankan protesnya. Pak Pras tertawa, “Kamu ini lucu ya. Tadi kamu bersikeras minta papa buktikan. Setelah papa buktikan kamu malah menolak.” Arial menatap Keyla kesal, “Key, ngomong dong, jangan diem terus!” Keyla melirik Arial lalu menatap pak Pras, “Ucapan dokter Arial bener, pak. Pernikahan terlalu sakral hanya u