Semalam Arial mengusirnya dari ruangan. Sifat ketusnya, tatapan matanya, nada suaranya kembali seperti ketika Keyla memutuskan untuk pergi dari rumah karena mendapat tuduhan tidak enak. Ia menangis semalaman karena merasa hidupnya yang baru bahagia kembali merana. Tidak ada tempat untuknya mengadu. Pagi ini, ia yang tidak sempat bertemu Cika semalam untuk memberikan kado ulang tahun padanya, mencarinya ke poli Kesehatan Anak. Ia berusaha menyamarkan matanya yang sembab agar tidak perlu ada yang bertanya. “Key?” Cika yang baru mandi menghampirinya yang berdiri diluar ruang piket. “Cik, selamat ulang tahun ya. Doa dan harapan terbaik kamu semoga menjadi nyata. Bahagia selalu sahabat akuuuu.” Keyla memeluk Cika erat. “Makasih ya, Key. Semoga doa yang sama juga kembali ke kamu.” Pelukkan mereka terlepas. “Aku ada sedikit hadiah kecil buat kamu. Hadiah ini gak akan pernah bisa gantiin semua hadiah kamu ke aku sih, hehe. Smoga kamu suka.” Keyla memberikan paper bag berwarna pink
Keyla menyibukkan dirinya di ponek dan ruang perawatan. Ia tidak akan menengok Arial lagi karena kondisinya belum senormal biasanya. Maka dari itu lebih baik ia menghindar, sebelum papa mulai curiga dan bertanya kenapa ia tidak ada diruangan menemani suaminya. “Sus, untuk pasien yang pembukaan empat nanti persalinannya sama siapa?” “Oh bu Anita, itu pasien dokter Arial. Beliau maksa pengen lahiran sama dokter Arial. Sudah saya jelaskan beberapa kali kalau dokter Arial sedang cuti karena berantem dengan preman, beliau keukeuh gak mau ganti dokter utama sampe dokter Rocky nyamperin.” “Jadinya sama dokter Rocky?” “Betul.” “Kira-kira pasien akan melahirkan jam berapa?” “Ini persalinan keduanya, waktu persalinan pertamanya kontraksinya cepet. Yang sekarang juga mungkin sekitar dua jam lagi.” Keyla mengangguk, “Kalau begitu saya masih sempet makan malem dulu ya, sus?” “Kamu belum makan?” Keyla menggeleng. “Ya ampun, ya udah sana makan dulu.” “Tapi tadi pasiennya bilang
“Tapi, pa—” Papa meminta Arial pergi tanpa kata. Tak ada pilihan, Arial membalikkan badannya perlahan dan pergi. Setelah Arial pergi, papa menatap Sarah, “Langsung aja, Sar, om gak akan basa-basi. Tolong kamu jangan ganggu Arial lagi.” Sarah tak menjawab. “Saat Arial dan kamu bertengkar, hubungan Arial dan Keyla baik-baik saja. Arial tidak pernah lalai menjaga Keyla, dan tidak pernah ada hal-hal yang terjadi diluar kendali. Tapi setelah kalian baikkan, selalu ada saja masalah yang mereka hadapi.” Sarah menatap papa, “Om, maaf, aku sama sekali gak pernah minta Arial untuk melalaikan Keyla saat bersama aku.” “Iya, tentu aja om tahu itu. Tapi—Sar, om masih akan mengusahakan agar Qairo mau menerima perjodohan ini. Kamu tenang aja. Om juga udah izin ke mami papimu. Mereka seneng banget dengernya. Mereka setuju kamu dijodohkan dengan Qairo.” “Tapi enggak sama Qairo, om. Sampe kapanpun dia gak akan mau sama aku.” Papa diam. “Qairo mencintai perempuan lain, om. Aku gak ak
Keyla duduk bersila diantara Qairo dan Rocky yang sibuk memakan ciki-cikian dibelakang rumah. Papa sudah berangkat ke Singapore sejak kemarin malam. Arial yang baru sembuh pun memilih untuk menyelesaikan pekerjaannya di rumah sakit setelah mulai membuka praktik rawat jalan setengah hari. “Key, cobain deh, ini enak banget.” Rocky menawari ciki yang sedang dipegangnya. Keyla mencobanya. Moodnya yang tidak terlalu bagus membuatnya sedikit malas mencicipinya, tapi ia tidak mau membuat keadaan menjadi keruh, “Hm, enak, kak.” “Iya ‘kan? Nih masih banyak. Kamu ambil aja.” Rocky memberikan Keyla beberapa bungkus snack berukuran besar. “Gak usah banyak-banyak, kak, udah satu aja.” “Gak papa, buat kamu semua ciki di dunia ini aku kasih ke kamu.” Keyla tertawa. Qairo menikmati tawa Keyla yang baru terlihat lagi. Luka dipipi dan lehernya sudah mula memudar karena rutin memakai salep. Ia senang Keyla yang sejak menjadi korban penjambretan selalu murung kini kembali ceria. “Qai, kit
"Kita pergi dulu. Kalo kalian masih mau disini ya gak papa.” Arial menutup pintu mobil setelah Keyla duduk dengan nyaman di kursi penumpang depan. “Ah, ngapain, kita balik sekarang. Gue mau tidur seharian, ini nih kalo dokter Qairo paling langsung ke rumah sakit.” Rocky melirik Qairo, “Mau deketin Sarah lo?” “Gue juga langsung pulang kok.” “Karena ada Sarah di rumah sakit?” “Apaan sih lo.” Qairo masuk ke dalam rumah untuk membawa barang-barangnya. “Gue duluan, Ky.” “Iya, hati-hati.” Dalam perjalanan menuju Bogor, saat Keyla tengah mengecek jadwalnya besok untuk jaga di Ponek, Arial mengambil sesuatu dari saku celananya. Ia membuka telapak tangannya dan menunjukkan itu pada Keyla. Keyla menengok. Ia yang sedang menggenggam ponselnya langsung menyimpan dan melotot kaget menatap kalung Mutiara yang dua hari lalu diambil preman yang paling ia benci sedunia. “Kak?” “Ambil.” Keyla mengambilnya. Ia menatap kalung itu sambil menangis, “Kok kalungnya ada di kakak?” “A
“Tante Puri?” “Kalian... kapan nikah?” tanya tante Puri berusaha tenang. “Eh, Pur.” Tante Mira melenggang dari dalam rumah. Beliau langsung menghampiri tante Puri dan mencium pipi kanan-kirinya, “Apa kabar, jeng?” “Ba-baik, Mir. Mir, Arial... keponakan kamu?” Tante Mira melirik Arial yang berdiri tegang sebelah Keyla, “Iya, dia anak kakak sepupuku. Kamu kenal sama Arial?” “Aku temenan sama Pras. Dia jadi Direktur di rumah sakit ku.” Tante Mira melongo, “Kamu... pemilik saham Health Center? Pur, kenapa kamu gak bilang? Aku pikir rumah sakit kamu itu bukan Health Center.” “Arial sama Keyla—benar suami istri?” Tante Mira melirik Keyla dan Arial yang menunduk karena ketahuan. Tante Mira sudah tahu semuanya dari papa, kalau Arial belum mau orang-orang tahu status pernikahannya. Tante Puri juga pasti salah satu orang yang tidak tahu mengenai mereka yang sudah menikah. Tante Mira diam saja. Beliau tidak mau ikut campur pada urusan keponakannya. “Pur, aku udah masak banyak
Arial membuka pintu ruang kerja papa disaat istirahat jam makan siang. Ia sudah istirahat lebih dulu dibanding Keyla yang masih sibuk di Ponek. Sebentar lagi pasti ia kesini kalau sempat. “Pa, gimana hasil pemeriksaannya?” Papa yang sedang menandatangani beberapa berkas tersenyum kecil, “Baik, semua baik.” “Mana? Aku mau liat.” “Gak usah. Gak ada apa-apa kok.” Arial tak mengindahkan ucapan papa, ia membuka laci dan menemukan berkas bernama rumah sakit International Singapore Hospital Plus didepannya. “Arial, gak usah dilihat lah.” Arial tetap membuka berkas itu dan melihat hasil rontgent, ECG, EEG, EKG dan hasil tes lain. Ia menatapnya serius dan menatap papa, “Pa? Ada yang mau jelasin?” Papa membuka kaca matanya. Beliau bangkit dari kursi kerjanya dan berdiri menatap jendela besar yang menghadap jalanan depan gedung rumah sakit. Arial menutup matanya. Ia menunduk menutup jilid berkas dan mendekati papa, “Papa gak perlu kerja lagi, aku yang akan urus surat pengundura
Kondisi Ponek tidak begitu ramai, hal itu membuat Keyla memiliki waktu untuk makan siang di kantin. Ia bertemu Cika, jadinya mereka makan bersama. Jasmine pun baru datang. Ia terkejut melihat Keyla memakai kalung Mutiara itu. “Key, itu kalung lo... ada?” Keyla memegang Mutiaranya sambil tersenyum, “Iya nih, Min, kak Arial ternyata bisa ambil kalungnya dari preman itu.” “Kok bisa?” tanya Jasmine cepat. “Min, kamu apasih, harusnya kamu seneng dokter Arial bisa bawa kalung itu balik dari premannya.” kata Cika ketus. Jasmine gelagapan, “Iya, gue seneng, maksud gue—kok bisa gitu? Premannya ‘kan pasti galak-galak banget.” “Itu namanya perjuangan. Seorang—kakak pasti akan ngelakuin apapun untuk adiknya.” untungnya Cika tidak keceplosan. Jasmine tak menjawab lagi. Ia yang baru datang beranjak dari kursi untuk memesan makan siangnya. “Key, gimana? Kamu udah baikkan ‘kan sama dokter Arial?” Keyla mengangguk, “Udah, Cik.” “Aku ikut seneng. Jangan berantem-berantem terus ya.