"Kita pergi dulu. Kalo kalian masih mau disini ya gak papa.” Arial menutup pintu mobil setelah Keyla duduk dengan nyaman di kursi penumpang depan. “Ah, ngapain, kita balik sekarang. Gue mau tidur seharian, ini nih kalo dokter Qairo paling langsung ke rumah sakit.” Rocky melirik Qairo, “Mau deketin Sarah lo?” “Gue juga langsung pulang kok.” “Karena ada Sarah di rumah sakit?” “Apaan sih lo.” Qairo masuk ke dalam rumah untuk membawa barang-barangnya. “Gue duluan, Ky.” “Iya, hati-hati.” Dalam perjalanan menuju Bogor, saat Keyla tengah mengecek jadwalnya besok untuk jaga di Ponek, Arial mengambil sesuatu dari saku celananya. Ia membuka telapak tangannya dan menunjukkan itu pada Keyla. Keyla menengok. Ia yang sedang menggenggam ponselnya langsung menyimpan dan melotot kaget menatap kalung Mutiara yang dua hari lalu diambil preman yang paling ia benci sedunia. “Kak?” “Ambil.” Keyla mengambilnya. Ia menatap kalung itu sambil menangis, “Kok kalungnya ada di kakak?” “A
“Tante Puri?” “Kalian... kapan nikah?” tanya tante Puri berusaha tenang. “Eh, Pur.” Tante Mira melenggang dari dalam rumah. Beliau langsung menghampiri tante Puri dan mencium pipi kanan-kirinya, “Apa kabar, jeng?” “Ba-baik, Mir. Mir, Arial... keponakan kamu?” Tante Mira melirik Arial yang berdiri tegang sebelah Keyla, “Iya, dia anak kakak sepupuku. Kamu kenal sama Arial?” “Aku temenan sama Pras. Dia jadi Direktur di rumah sakit ku.” Tante Mira melongo, “Kamu... pemilik saham Health Center? Pur, kenapa kamu gak bilang? Aku pikir rumah sakit kamu itu bukan Health Center.” “Arial sama Keyla—benar suami istri?” Tante Mira melirik Keyla dan Arial yang menunduk karena ketahuan. Tante Mira sudah tahu semuanya dari papa, kalau Arial belum mau orang-orang tahu status pernikahannya. Tante Puri juga pasti salah satu orang yang tidak tahu mengenai mereka yang sudah menikah. Tante Mira diam saja. Beliau tidak mau ikut campur pada urusan keponakannya. “Pur, aku udah masak banyak
Arial membuka pintu ruang kerja papa disaat istirahat jam makan siang. Ia sudah istirahat lebih dulu dibanding Keyla yang masih sibuk di Ponek. Sebentar lagi pasti ia kesini kalau sempat. “Pa, gimana hasil pemeriksaannya?” Papa yang sedang menandatangani beberapa berkas tersenyum kecil, “Baik, semua baik.” “Mana? Aku mau liat.” “Gak usah. Gak ada apa-apa kok.” Arial tak mengindahkan ucapan papa, ia membuka laci dan menemukan berkas bernama rumah sakit International Singapore Hospital Plus didepannya. “Arial, gak usah dilihat lah.” Arial tetap membuka berkas itu dan melihat hasil rontgent, ECG, EEG, EKG dan hasil tes lain. Ia menatapnya serius dan menatap papa, “Pa? Ada yang mau jelasin?” Papa membuka kaca matanya. Beliau bangkit dari kursi kerjanya dan berdiri menatap jendela besar yang menghadap jalanan depan gedung rumah sakit. Arial menutup matanya. Ia menunduk menutup jilid berkas dan mendekati papa, “Papa gak perlu kerja lagi, aku yang akan urus surat pengundura
Kondisi Ponek tidak begitu ramai, hal itu membuat Keyla memiliki waktu untuk makan siang di kantin. Ia bertemu Cika, jadinya mereka makan bersama. Jasmine pun baru datang. Ia terkejut melihat Keyla memakai kalung Mutiara itu. “Key, itu kalung lo... ada?” Keyla memegang Mutiaranya sambil tersenyum, “Iya nih, Min, kak Arial ternyata bisa ambil kalungnya dari preman itu.” “Kok bisa?” tanya Jasmine cepat. “Min, kamu apasih, harusnya kamu seneng dokter Arial bisa bawa kalung itu balik dari premannya.” kata Cika ketus. Jasmine gelagapan, “Iya, gue seneng, maksud gue—kok bisa gitu? Premannya ‘kan pasti galak-galak banget.” “Itu namanya perjuangan. Seorang—kakak pasti akan ngelakuin apapun untuk adiknya.” untungnya Cika tidak keceplosan. Jasmine tak menjawab lagi. Ia yang baru datang beranjak dari kursi untuk memesan makan siangnya. “Key, gimana? Kamu udah baikkan ‘kan sama dokter Arial?” Keyla mengangguk, “Udah, Cik.” “Aku ikut seneng. Jangan berantem-berantem terus ya.
Pov Arial Arial memijat dahinya yang berkedut hebat setelah membantu proses persalinan. Tubuhnya yang belum kembali fit merasa butuh istirahat barang satu hari lagi sebelum bertempur dengan pasiennya yang kian hari makin bertambah. Drrrt~ Dengan malas Arial mengangkat telponnya, “Halo?” “Sore, dok. Lapor, ada pasien baru, kehamilan tiga puluh lima minggu, tensi 180/90 mmHg, protein urinnya plus dua, ada keluhan nyeri Ulu Hati.” “Segera berikan Nifedipin 10mg, Magnesium Sulfat Loading dan Maintenance Dose. Cek darah lengkap dan CTGnya. Tiga puluh menit lagi tolong lapor ulang.” “Baik, dok, terima kasih.” “Iya.” Ceklek. “Pa?” Papa langsung masuk, “Kamu lagi sibuk?” “Lumayan. Kenapa, pa?” Papa duduk di kursi pasien, “Papa ada hal penting yang mau di omongin ke kamu, tapi belum sempat terus karena kamu sibuk.” “Bentar, pa.” Arial mengambil Ibuprfen 200mg dari dalam lacinya. Ia meminum obat itu lalu mengatur nafasnya perlahan, “Soal apa?” “Kamu masih belum fit? B
“Key, ayo bangun.” tante Puri membantu Keyla berdiri, “Kamu kenapa?” Keyla tak menjawab, ia malah menunduk. Ia tidak berani menatap wajah tante Puri. Karena penasaran, tante Puri menatap kaca transparan pintu ruangan Arial. Beliau melotot kaget, “Arial dan Sarah—keterlaluan mereka.” Saat tante Puri akan membuka pintu, Keyla menarik tubuhnya, “Jangan, tante.” “Key, mereka udah keterlaluan. Kamu labrak dong mereka.” Keyla malah menangis semakin terisak. Tante Puri tidak tega melihatnya. Beliau memeluk tubuh Keyla. Keyla merasakan hatinya begitu damai ketika berada dalam pelukkan tante Puri. Ia merasa baik-baik saja meski seluruh hatinya remuk melihat Arial dan Sarah bermesraan. Meski tak bicara apapun, tante Puri berhasil membuat Keyla berhenti menangis, “Kita ke ruangan Qairo ya. Dia lagi ada operasi darurat, jadi kamu bisa menenangkan diri disana.” Pelukkan mereka terlepas. Keyla mengangguk menurut. Begitu duduk di sofa ruangan Qairo, tante Puri langsung memberikan
Satu minggu berlalu. Keyla dan Qairo kembali menjadi sepasang kekasing, Arial dan Sarah pun jadi sepasang kekasih baru. Tidak ada yang tahu selain mereka, karena kalau ada orang yang tahu akan habis. Masing-masing pasti mendapatkan teguran keras dari papa dan tante Puri. Sekarang, saat malam minggu, dan Arial sudah memastikan tidak ada pasiennya yang akan melahirkan, ia merencanakan liburan ke vila keluarganya di Bogor mengajak Keyla. “Kok dadakkan sih, Al? Papa bisa loh mempersiapkan semuanya kalo kamu bilang lebih awal.” Arial yang sedang mempacking baju-bajunya serta Keyla tersenyum melirik papa yang berdiri di lawang pintu kamarnya, “Namanya juga dokter, pa. Tadi sore aja aku masih ada tindakan. Mumpung besok libur, aku mau bawa Keyla—ya sebut aja honey moon.” Papa tersenyum, “Kamu udah bicarain soal permintaan papa belum sama istrimu?” Arial diam sebentar, lalu mengangguk ragu, “Udah, pa.” “Gimana katanya?” papa menghampiri Arial, “Keyla setuju ‘kan untuk kasih papa
Arial menyalakan api unggun dibantu Qairo. Sedang Keyla dan Sarah sibuk menata makanan di karpet yang digelar dekat api unggun. “Bisa gak sih nyalainnya? Lama banget!” tanya Keyla kesal karena sudah sepuluh menit tapi tak ada percikap api sedikitpun yang membakar kayu bakar susun api unggun. “Bentar dong, bawel banget sih!” hardik Arial kesal. Ia tidak pernah menyalakan api unggun sebelumnya, sehingga begitu kesulitan untuk menyalakan api. “Bentar lagi, sayang.” tutur Qairo lembut. Keyla mendelik sambil menyusun kaleng soft drink, “Bilang aja kalo gak bisa, sok banyak gaya banget sih.” Sarah tertawa, “Mereka mana pernah sih bikin api unggun, jadi pasti lama.” “Tangan ajaib mereka emang khusus buat di meja operasi aja, gak bisa dibawa ke alam begini.” “Iya.” Keyla bangkit dari duduk silanya, ia mendorong Arial dan Qairo, “Enyah kalian.” “Mau ngapain?” Arial mengernyit keheranan. “Ini udah mau jam dua belas, kalo kita nunggu kalian yang nyalain api unggun, bisa-bisa