“Minum obat yang rajin, Om.” Saga menimpali. “Biar bisa cepat pulang.” “Tentu saja, kalian nggak usah khawatir. Om pasti pulang, apa pun keadaannya.” Cilla dan Saga saling pandang kembali. Sebelum pergi, Cilla menoleh dan melihat Pasha menutupi wajahnya dengan tangan. “Om Pasha!” Sontak Cilla berbalik dan memeluk Pasha hingga dia terperanjat. “Aku mau punya ayah lagi, Om Pasha harus sembuh dan pulang!” Pasha terperanjat ketika Cilla tersedu di pundaknya. Melihat itu Saga jadi tersentuh hatinya, selama ini sang adik seperti kehilangan perhatian sejak ayah dan ibu mereka berpisah. “Om usahakan nurut sama dokter, kamu jangan khawatir ya ....” “Ayah ... Ayah harus sembuh!” Pasha tertegun. “Kamu panggil om apa, Cilla?” “Ayah ... Om Pasha ayah aku juga, kan?” Mendengar jawaban putri sambungnya, mata Pasha memanas. Selama ini dia tidak pernah mempermasalahkan jika Cilla dan Saga belum bisa memanggilnya dengan sebutan ayah. Namun, hari ini ternyata Cilla sendiri yang memilih untuk
Siska menarik napas, sayang sekali sebenarnya kalau Lisa tidak ikut dihubungi mengingat mereka sempat bersahabat cukup lama. “Apa kamu berpikir kalau Lisa masih ada perasaan sama kamu, Sha?” tanya Siska ingin tahu. “Mungkin saja kan kalau dia sudah menikah dan punya anak?” Pasha meletakkan ponselnya di meja dan memandang Siska. “Boleh, kalau dia udah punya suami dan anak.” Dia menegaskan. “Tapi kalau dia masih lajang, sebaiknya jangan. Aku takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, kamu paham apa maksud aku?” Siska mengangguk mengerti. “Lisa dulu sangat menyukai kamu, sampai menganggap aku sebagai ancaman di dekatnya.” Dia terkenang kembali dengan masa lalu. “Pertemanan kalian rusak karena perasaan satu sama lain ...” “Kita tidak bisa memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta,” ungkap Pasha. “Aku ingat terus sama kata-kata kamu yang satu ini.” Siska tersenyum dan membiarkan Pasha berbaring untuk istirahat. “Besok aku harus ambil daftar nilai Runa di sekolah,” ujar Siska mem
“Tanya saja, aku juga bisa tanya sama Dokter Arjun.” Siska membalas sambil melipat kedua tangannya di dada. “Biarpun aku harus maksa-maksa dokternya dulu ...”“Jangan seperti ini, Sis.” Pasha menegur Siska sambil menangkup wajahnya dengan kedua tangan dan menatapnya lembut. “Maksud aku tidak apa-apa itu aku tidak keberatan menjalani semua proses pengobatan ini. Aku mengerti kalau kamu sudah lelah lihat aku begini, tapi ... aku akan berusaha demi kamu, Sis.”Siska balas memandang Pasha yang menurutnya tidak bisa memahami apa yang dia inginkan.“Apa susahnya sih bagi kamu untuk memberi tahu yang sebenarnya sama aku?” tanya Siska serius. “Aku ini istri kamu, Sha ... Aku bukan orang lain. Masa sebagai istri, aku sampai tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi sama kamu, Sha?”“Tidak cuma kamu, orang tua kandung aku saja tidak aku beri tahu.” Pasha berusaha meyakinkan Siska. “Bukan apa-apa, Sis ... Seperti alasan semula, aku cuma tidak mau kalian kepikiran dan auranya sedih terus saat bertem
“Dugaan ada banyak, tapi saya tidak mau asal menduga.” Ezra menggelengkan kepalanya. “Saya tetap percaya kalau Dokter Arjun akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyembuhkan Pasha.” “Tapi Pak ... Apa kita mau sampai seterusnya tidak tahu apa-apa soal penyakit Pasha?” tanya Siska murung. “Terpaksa, asalkan Pasha benar-benar ditangani dengan sangat baik.” Ezra terpaksa menganggukkan kepalanya. “Dokter Arjun pernah bilang kalau Pasha tidak akan mau meneruskan pengobatannya kalau sampai informasi penyakitnya diketahui publik, meskipun itu oleh keluarganya sendiri.” Kali ini Siska yang menarik napas. “Kita percaya saja sama Pasha. Yang terpenting sekarang adalah kita tidak boleh menekan Pasha sedikitpun biar dia tidak kepikiran dan justru malah menghambat kesembuhannya,” kata Ezra panjang lebar. “Iya Pak, sekali lagi saya minta maaf.” Siska mengakui kesalahan yang telah dilakukannya. “Bukan salah kamu,” tepis Ezra. “Apa pun keinginan Pasha sekarang, lebih baik kita turuti saja.”
Namun, tidak berapa lama kemudian Pasha meletakkan ponselnya dan berbaring sambil memejamkan mata. “Kenapa, Sha?” tanya Siska khawatir. “Apa yang sakit?” “Kepalaku pusing,” jawab Pasha pelan. “Kamu benar Sis, mungkin tidak seharusnya aku jalan-jalan dulu.” “Aku panggil Dokter Arjun, ya?” kata Siska dengan wajah khawatir. “Tidak usah,” cegah Pasha. “Aku mau kamu tetap di samping aku sampai kapanpun.” Siska tidak menolak dan memilih untuk tetap menemani Pasha seperti permintaannya. “Aku sangat berharap supaya kamu cepat sembuh,” katanya dengan tenggorokan tercekat. Dia sendiri tidak tahu kenapa dirinya mendadak merasa terpukul tanpa sebab. “Aku menghargai doa kamu,” sahut Pasha sambil membelai kepala Siska. “Siapa tahu sebentar lagi aku akan terbebas dari penyakit ini.” Siska tidak berkomentar apa-apa. “Aku mau menghabiskan waktu sama kamu,” pinta Pasha sembari menunjuk tempat di sebelahnya. “Duduk sini.” Siska menggeser tubuhnya dan duduk bersandar di samping Pasha. “Peg
Tertangkap oleh pandangan mata Pasha bagaimana Siska mengatupkan bibirnya rapat-rapat dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca, dan dia menggeleng perlahan untuk mencegahnya menangis di depan Aruna. Setelah puas memeluknya, Pasha segera melepas putri sambungnya. “Nanti kalau mainannya sudah ayah beli, biar kakaknya ayah yang antar ke kamu,” ujar Pasha sambil tersenyum. “Sekarang ayah mau pamit istirahat, soalnya ayah nggak boleh lama-lama duduk sambil ngobrol.” “Ayah masih harus istirahat, ya?” tanya Aruna ingin tahu. “Dokter yang suruh?” “Pintar kamu,” angguk Pasha sambil tersenyum tipis. “Sekarang kamu ikut Ayah Roni lagi, ya?” Aruna menganggukkan kepala seraya turun dari pembaringan ayah sambungnya. Siska lantas mengantarnya kembali kepada Roni yang masih duduk menunggu di luar. “Aku titip Runa lagi,” ujar Siska dengan suara berat. Roni mendongak dan heran mendapati wajah Siska yang terlihat sedih. “Kamu kenapa, apa terjadi sesuatu sama Pasha?” tanya Roni, dalam hati d
Siska termenung lama sembari menghitung setiap detik waktu yang pergi tanpa suara. Dia bahkan tidak tahu kapan senja merayap turun ke bumi untuk menggantikan siang. Biasanya Ezra akan mampir ke rumah sakit setelah pekerjaan di kantornya selesai. Siska bahkan tidak tahu pasti sudah jam berapa sekarang, dia hanya tahu bahwa sebentar lagi seharusnya ada suster yang masuk untuk mengantar makanan. Sampai kemudian Siska tersadar, saat dia tidak lagi merasakan udara hangat yang berembus di permukaan kulitnya. Saat genggaman tangan Pasha perlahan-lahan berubah menjadi sedingin es. Sampai kemudian Siska tersadar, saat dia tidak lagi merasakan udara hangat yang berembus di permukaan kulitnya. Saat genggaman tangan Pasha perlahan-lahan berubah menjadi sedingin es. “Pasha?” panggil Siska pelan. “Kamu ... masih tidur?” Tidak ada jawaban, membuat berbagai dugaan mulai menari-nari di pikiran Siska. “Sha?” panggil Siska lagi seraya menggerakkan jari-jari tangan Pasha yang masih dia genggam.
“Ayah!”“Ayah Pasha!”Siska dan yang lain menoleh ketika anak-anaknya muncul diikuti Roni di belakang mereka.“Saga? Cilla?”Kedua anak Siska langsung mendekat ke tempat tidur Pasha.“Ayah Pasha, jangan tinggalkan Ibu kami!” isak Cilla dengan kedua bahu berguncang hebat.“Ibu cuma bahagia sama Ayah Pasha! Bangun, Yah!” Saga menimpali. “Ayah harus sembuh!”Hati Roni terasa tercabik-cabik ketika menyaksikan bagaimana anak-anaknya memanggil-manggil nama Pasha dan menangisi kepergiannya.“Ayah Pasha, jangan pergi ...!”“Bangun, Yah! Jangan tinggalkan kami!”Di saat dirinya juga memukul kesedihan yang sama, Siska tetap memaksa untuk terlihat kuat.“Cilla, Saga ... biarkan Ayah Pasha diurus pihak rumah sakit, ya? Kita sebaiknya keluar dulu ...” ucap Siska dengan suara bergetar. “Jangan sampai Ayah Pasha menunggu lama.”“Tapi, Bu ...” Cilla kebingungan ketika beberapa petugas medis muncul untuk melakukan tugas mereka terhadap pasien yang sudah tidak terselamatkan lagi.“Kalian harus kuat, ki