Namun, tidak berapa lama kemudian Pasha meletakkan ponselnya dan berbaring sambil memejamkan mata. “Kenapa, Sha?” tanya Siska khawatir. “Apa yang sakit?” “Kepalaku pusing,” jawab Pasha pelan. “Kamu benar Sis, mungkin tidak seharusnya aku jalan-jalan dulu.” “Aku panggil Dokter Arjun, ya?” kata Siska dengan wajah khawatir. “Tidak usah,” cegah Pasha. “Aku mau kamu tetap di samping aku sampai kapanpun.” Siska tidak menolak dan memilih untuk tetap menemani Pasha seperti permintaannya. “Aku sangat berharap supaya kamu cepat sembuh,” katanya dengan tenggorokan tercekat. Dia sendiri tidak tahu kenapa dirinya mendadak merasa terpukul tanpa sebab. “Aku menghargai doa kamu,” sahut Pasha sambil membelai kepala Siska. “Siapa tahu sebentar lagi aku akan terbebas dari penyakit ini.” Siska tidak berkomentar apa-apa. “Aku mau menghabiskan waktu sama kamu,” pinta Pasha sembari menunjuk tempat di sebelahnya. “Duduk sini.” Siska menggeser tubuhnya dan duduk bersandar di samping Pasha. “Peg
Tertangkap oleh pandangan mata Pasha bagaimana Siska mengatupkan bibirnya rapat-rapat dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca, dan dia menggeleng perlahan untuk mencegahnya menangis di depan Aruna. Setelah puas memeluknya, Pasha segera melepas putri sambungnya. “Nanti kalau mainannya sudah ayah beli, biar kakaknya ayah yang antar ke kamu,” ujar Pasha sambil tersenyum. “Sekarang ayah mau pamit istirahat, soalnya ayah nggak boleh lama-lama duduk sambil ngobrol.” “Ayah masih harus istirahat, ya?” tanya Aruna ingin tahu. “Dokter yang suruh?” “Pintar kamu,” angguk Pasha sambil tersenyum tipis. “Sekarang kamu ikut Ayah Roni lagi, ya?” Aruna menganggukkan kepala seraya turun dari pembaringan ayah sambungnya. Siska lantas mengantarnya kembali kepada Roni yang masih duduk menunggu di luar. “Aku titip Runa lagi,” ujar Siska dengan suara berat. Roni mendongak dan heran mendapati wajah Siska yang terlihat sedih. “Kamu kenapa, apa terjadi sesuatu sama Pasha?” tanya Roni, dalam hati d
Siska termenung lama sembari menghitung setiap detik waktu yang pergi tanpa suara. Dia bahkan tidak tahu kapan senja merayap turun ke bumi untuk menggantikan siang. Biasanya Ezra akan mampir ke rumah sakit setelah pekerjaan di kantornya selesai. Siska bahkan tidak tahu pasti sudah jam berapa sekarang, dia hanya tahu bahwa sebentar lagi seharusnya ada suster yang masuk untuk mengantar makanan. Sampai kemudian Siska tersadar, saat dia tidak lagi merasakan udara hangat yang berembus di permukaan kulitnya. Saat genggaman tangan Pasha perlahan-lahan berubah menjadi sedingin es. Sampai kemudian Siska tersadar, saat dia tidak lagi merasakan udara hangat yang berembus di permukaan kulitnya. Saat genggaman tangan Pasha perlahan-lahan berubah menjadi sedingin es. “Pasha?” panggil Siska pelan. “Kamu ... masih tidur?” Tidak ada jawaban, membuat berbagai dugaan mulai menari-nari di pikiran Siska. “Sha?” panggil Siska lagi seraya menggerakkan jari-jari tangan Pasha yang masih dia genggam.
“Ayah!”“Ayah Pasha!”Siska dan yang lain menoleh ketika anak-anaknya muncul diikuti Roni di belakang mereka.“Saga? Cilla?”Kedua anak Siska langsung mendekat ke tempat tidur Pasha.“Ayah Pasha, jangan tinggalkan Ibu kami!” isak Cilla dengan kedua bahu berguncang hebat.“Ibu cuma bahagia sama Ayah Pasha! Bangun, Yah!” Saga menimpali. “Ayah harus sembuh!”Hati Roni terasa tercabik-cabik ketika menyaksikan bagaimana anak-anaknya memanggil-manggil nama Pasha dan menangisi kepergiannya.“Ayah Pasha, jangan pergi ...!”“Bangun, Yah! Jangan tinggalkan kami!”Di saat dirinya juga memukul kesedihan yang sama, Siska tetap memaksa untuk terlihat kuat.“Cilla, Saga ... biarkan Ayah Pasha diurus pihak rumah sakit, ya? Kita sebaiknya keluar dulu ...” ucap Siska dengan suara bergetar. “Jangan sampai Ayah Pasha menunggu lama.”“Tapi, Bu ...” Cilla kebingungan ketika beberapa petugas medis muncul untuk melakukan tugas mereka terhadap pasien yang sudah tidak terselamatkan lagi.“Kalian harus kuat, ki
Roni geleng-geleng kepala, berpikir bahwa Siska pasti sangat terguncang dengan kepergian Pasha untuk selamanya.Di saat yang sama, Siska harap yang dilihatnya bukanlah khayalan. Dia merasa Pasha sedang berdiri tegak tak jauh dari mereka berdua, tepatnya di belakang Roni.“Pasha, jangan pergi ...” Siska berlari ke arah Pasha, tanpa peduli apakah itu hanya halusinasi atau bukan. Dia peluk suaminya yang terasa padat, nyata dan menjelma dalam dekapannya.Siska mendongak, menatap Pasha yang tersenyum kepadanya, lalu dia pingsan ....Ketika sadar kembali, Siska langsung membuka matanya dan disambut oleh senyuman Pasha yang sangat familiar.“Pasha ...?”“Ya, apa yang kamu rasakan?”“Itukah kamu ...?”“Iya, ini aku.”Siska mengerjabkan matanya berulang kali, khawatir jika ini semua hanyalah mimpi.“Apakah ... apa kita ... kamu sudah ada di surga?” tanya Siska terbata. “Kalau kamu sudah di surga, itu artinya ... aku juga sudah tiada? Bagaimana dengan anak-anak kita?”Pasha kembali tersenyum.“T
“Tapi, Sha ....”Pasha tetap dengan keinginannya dan Siska tidak tega untuk membantah lagi. Apa pun akan Siska lakukan selama itu bisa membuat Pasha merasa bahagia dan sehat.Ezra merangkul pundak Pasha erat-erat, sementara Kavita menyaksikan dengan mata berkaca-kaca.“Suami aku kembali, Vit ...” isak Siska saat Kavita memeluknya. “Dia kembali ....”“Iya, Pak Pasha kembali untuk kamu dan anak-anak kalian ...” sahut Kavita dengan tenggorokan tercekat, dia tidak sanggup membayangkan jika hal itu terjadi terhadap Ezra.Setelah suasana mengharu biru itu berakhir, Siska dan Pasha segera berlalu meninggalkan rumah sakit dengan diantar Ezra.Rumah Siska yang akhir-akhir ini terasa suram, seketika berubah syahdu setelah Pasha kembali.“Bagaimana keadaan kamu?” Pasha menyempatkan diri untuk mengobrol dari hati ke hati dengan Siska sebelum tidur malam.“Seharusnya aku yang tanya soal ini ke kamu,” balas Siska dengan suara lirih. “Apakah kamu masih merasakan sakit?”Pasha menggeleng.“Jangan boh
“Apa kamu masih merasa sakit?” tanya Siska khawatir. “Mana yang sakit, bilang sama aku.”Pasha tersenyum sembari menggeleng. “Tidak ada yang sakit, aku baik-baik saja.”Siska memandang Pasha dengan tidak percaya.“Aku mau kerja lagi, Sis.”“Tidak, kamu masih dalam masa pemulihan sampai dokter menyatakan kamu benar-benar sembuh..”“Tapi ....”“Pasha, tolong kali ini kamu dengarkan aku. Jangan sampai aku kecolongan lagi, tidak cukupkah kemarin itu jadi pengalaman?”Pasha tercekat.“Aku hampir saja kehilangan kamu, Sha! Untuk kali ini biarkan saja aku berkorban untuk keluarga kita,” sambung Siska lagi.Pasha memalingkan wajahnya.“Maaf, aku sudah tidak berfungsi sebagai kepala keluarga ....”“Itu tidak benar, jangan bicara seperti itu lagi. Selama ini kamu sudah berkorban waktu untuk aku, tapi aku malah memilih orang lain ... Sekarang izinkan aku menebus semua waktu yang sudah kamu korbankan, oke?”Pasha tidak menjawab, melainkan mendekap Siska dengan begitu eratnya.“Aku mau kita pindah
“Tagihan kamu semakin lama semakin tidak masuk akal, kamu pakai buat apa saja uang ini?”Ririn menyipitkan mata dan mengangguk paham apa yang menjadi pemicu kemarahan suaminya.“Iya, itu karena ... aku fokus perawatan diri supaya kamu senang, Mas! Lagian kamu pernah bilang kan kalau aku boleh pakai kartu ini kapan pun aku butuh?”Roni mengembuskan napas berat, berusaha untuk tidak langsung emosi menghadapi tingkah polos Ririn. Dia ingat, Siska yang memiliki penghasilan sendiri pun tidak akan sampai hati menghambur-hamburkan uang untuk kesenangan seperti ini.“Kapan pun kamu butuh bukan berarti kamu bebas menggunakannya untuk kebutuhan yang tidak penting, Rin.”“Kok tidak penting sih, Mas? Ini untuk kebutuhan pribadi aku lho, biar aku tetap kencang terawat dan bisa memberikan pelayanan yang lebih maksimal sama kamu.”Roni mengusap wajahnya. Dia berusaha memahami naluri perempuan yang ingin selalu terlihat cantik, tapi apa harus heboh seperti yang dilakukan Ririn?“Ini kamu creambath se