Lalu lintas terlihat sangat padat ketika Audi dan Darren sudah berada di dalam mobil menuju rumah sakit. Mobil hanya melaju dalam kecepatan dua puluh tak sampai empat puluh kilometer saking macetnya jalanan.
Mereka mungkin akan datang terlambat saat sampai tujuan. Tapi, itu lebih baik bagi Audi karena setidaknya ia bisa mengulur waktu akan momen pernikahan keduanya yang renacanya terjadi nanti malam."Apakah kalian sudah putus?" tanya Audi tiba-tiba di tengah kebisuan keduanya yang sejak awal masuk mobil hanya saling berdiam diri.Sontak Darren menengok, menatap Audi yang mendadak canggung."Siapa yang kamu maksud?" tanya lelaki itu membuat mantannya heran."Kamu dan Sofi. Bukankah kamu tidak menyangkal ketika aku katakan bahwa ada hubungan terlarang di antara kalian di belakangku?"Aneh, Darren malah tersenyum ketika Audi membahas salah satu alasan perceraian mereka dahulu."Apakah saat ini kamu sedang cemburu?" tanya Darren membuat Audi gagap membalas."Ap-apa! Cemburu? Apakah aku sudah gila bisa cemburu pada kalian."Perempuan itu lalu memalingkan wajahnya menatap jalanan di luar kaca mobil. Tak ia sadari ketika Darren memencet sebuah tombol sehingga sekat penghalang bangku belakang dan depan terangkat naik menutupi pandangan di depan mereka.Beberapa detik kemudian Audi baru menyadari ketika suara 'klik' membuyarkan lamunannya."Eh, kenapa kamu tutup?" tanyanya seraya menatap wajah Darren yang ternyata terus menatap ke arahnya.Sekian detik yang tidak Audi sangka bisa lelaki di sebelahnya gunakan untuk menarik dan mengangkat tubuhnya hingga berada di atas pangkuan."Dar-Darren, i-ini ...?"Darren mendekatkan kepalanya cepat. Hidung mancung yang selalu menjadi daya tariknya di mata para wanita di luar sana, kini sudah menempel di pipi Audi."Aku senang melihat ekspresi cemburumu," ucap Darren."Si-siapa yang cemburu?"Audi sudah memejamkan matanya ketika hidung Darren perlahan turun dan mengendus lehernya. 'Ah, jangan seperti ini,' pinta ia dalam hati."Apakah saat ini ada yang sedang berbohong dan tidak mau mengaku?"Audi benar-benar tak mengerti dengan perkataan Darren. Atas dasar apa lelaki itu menuduhnya cemburu. Apakah karena pertanyaannya tadi mengenai hubungan mantan suaminya dengan sang mantan sahabat?"Aku hanya bertanya tentang hubungan kalian. Kalau kamu tidak mau menjawab, aku rasa itu bukan masalah. Tapi, sama sekali tak ada perasaan cemburu di hatiku karena hubungan kalian itu."Terdengar suara Darren yang menggeram. Entah kenapa lelaki itu seperti kesal mendengar jawaban mantan istrinya tersebut."Andai kamu berbohong, aku yang sama sekali tidak masalah.""Hah! Kenapa aku harus berbohong, ahhh ...!"Desahan dari mulut Audi tiba-tiba meluncur spontan. Sebuah kecupan yang Darren berikan di lehernya, membuat rasa geli yang menjalar ke otak membuatnya bersuara. Audi yakin jejak merah atau bahkan keunguan tampak di lehernya sekarang, dan itu membuat Audi sontak kepikiran bagaimana ia keluar nanti dengan tanda yang pasti terlihat.Bahkan, lelaki itu berakhir di tulang selangkanya sekarang. Rasa geli itu berangsur naik level-nya menjadi sensasi nikmat yang pernah Audi rasakan dulu."Darren, tolong hentikan!" pinta Audi seraya mendorong tubuh Darren ke sandaran mobil. Tapi, lelaki itu seperti enggan melepaskan bahkan pelukannya pun semakin erat terjadi.Darren kini mulai menyibak dress yang Audi kenakan. Perlahan masuk dan menerobos area yang pernah ia rasakan dulu sembari cumbuan di leher sang mantan yang terus ia lakukan.Sensasi aneh itu kembali Audi rasakan ketika tangan Darren berhasil menyentuh area sensitifnya."Darren ...." Kembali Audi bersuara. Ia ingin memohon tapi kata yang keluar malah menyebut nama mantan suaminya itu, yang malah membuat adrenalin Darren terpacu sebab nama yang dipanggil terdengar begitu bergairah."Selalu hangat," ucap Darren pelan di telinga Audi. Seringainya hadir demi melihat ekspresi perempuan di atasnya kini.Darren tahu, ada rasa malu yang Audi rasakan saat ia terus menatapnya -masih dengan tangan yang berdiam di area terlarang."Darren, Pak Lutfi bisa mendengar kita," ucap Audi mencoba membebaskan diri.Seringai itu masih di sana sebab kalimat Audi yang Darren anggap lucu."Kamu tahu mobilku dirancang kedap suara."Tak bisa Audi pungkiri jika yang Darren katakan adalah sebuah kebenaran. Mobil mewah milik seorang pengusaha seperti Darren tak mungkin hanya dirancang bagus luarnya saja tanpa dirancang bagus fasilitas di dalamnya."Tapi, kalau kamu takut dia dengar, kamu bisa kecilkan suaramu. Asal jangan menutup mulutmu karena kamu tahu aku membenci itu," ujar Darren yang tiba-tiba melakukan satu gerakan yang membuat Audi terhenyak kaget."Ah! Darren!"Saat ini Audi membenci dirinya sendiri. Ketika tangan kurang ajar itu menjelajah di bawah sana, seharusnya ia tidak mengeluarkan suara yang malah membuat lelaki di depannya tersenyum bangga."Kamu sudah basah. Tidak mungkin aku sia-siakan momen ini bukan?" Seringai Darren membuat Audi merasa sesak."Ta-tapi, kita belum menikah. Hubungan kita terlarang untuk melakukan hal itu, Darren," ucap Audi dengan suara kepayahan.Keringat sudah mulai bercucuran di muka Audi ketika Darren masih terus mencumbunya. Bahkan sekarang bukan hanya dress yang tersibak, tetapi baju yang menutupi pundak dan dadanya pun sudah terbuka hingga menampakkan sesuatu yang menyembul dari kain pelindung berwarna pink."Memang apa yang kamu pikirkan?" ledek Darren membuat Audi terpojok.'Ia mau melakukan itu bukan?' batin perempuan itu bertanya di saat Darren meraba juga meremas dadanya yang sudah terbuka.Darren tiba-tiba tertawa. Lalu, ia pun bergerak cepat dan mengubah posisi."Kyaa!"Kini Audi sudah terbaring di jok mobil dengan ekspresi panik yang bisa lelaki itu lihat."Aku memang ingin, tetapi aku tidak akan melakukannya sekarang sebab aku tidak mau mengingkari apa yang sudah disepakati."Masih dalam kondisi Audi yang tak mengerti akan ucapan Darren, sang mantan kini malah menundukkan kepalanya.Seketika itu juga Audi merasakan gelenyar aneh di perutnya, lalu naik ke dada saat rasa geli itu menerjang bukit indahnya.Darren melakukan hal itu di sana. Salah satu titik kelemahan Audi yang sudah sangat dihafal oleh sang mantan."Kamu semakin basah, Honey!" ucap Darren sejenak menghentikan senam mulut, tetapi tangan yang lain masih berada di bawah seolah enggan berpaling.Meski malu Audi tak mempedulikan itu. Karena ia sendiri tengah kesulitan menahan diri juga sesak di dada sebab rasa nikmat yang semakin menggila. Terlebih ketika kini Darren berpindah dengan menyembunyikan kepalanya di antara kedua kaki Audi."Ya Tuhan! Darren ...!" pekik perempuan itu ketika sesuatu yang lembut menyentuh area sensitifnya. "Tolong hentikan," pinta Audi dengan suara desahan yang terdengar.Menjepit kedua kaki adalah cara satu-satunya yang bisa Audi lakukan demi menghilangkan frustrasi yang tiba-tiba menerjang.Audi ingin Darren berhenti, tetapi ia tahu kalau lelaki itu tak akan menghentikan apa yang sudah dimulai. Alhasil, perempuan itu harus menahan perasaan yang saat ini menyelimuti raga dan jiwanya. Terlebih saat perasaan itu sudah lama tak menyapa dan akhirnya membuat rasa bernama rindu itu tiba-tiba hadir.Darren masih terus melakukan apa yang ingin dilakukan. Tak peduli jika mobil berjalan tersendat sebab jalanan yang macet. Mobilnya aman dari pandangan orang di luar. Karena itu ia merasa tak perlu mengurusi kehebohan orang-orang yang berpacu dengan waktu dan jalanan. Baginya, menikmati kelezatan yang sudah lama tak ia temui dan sekarang ada di depan mata, adalah sesuatu yang paling sayang untuk ia lewati.Lelaki itu hanya peduli pada gerakan gelisah yang terjadi pada tubuh Audi. Gerakan menggoda yang membuatnya ingin berbuat lebih, tetapi terhalang oleh janji yang sudah ia lontarkan. Hanya bisa membuatnya tetap di jalur aman namun pastinya tetap menyenangkan.Hingga puncak kenikmatan yang Audi rasakan terjadi, di situlah Darren baru berhenti. Napas yang menderu kencang, keluar dari mulut dan hidung mantan istrinya memaksa lelaki itu untuk beranjak bangun. Kini mengungkung tubuh yang berpenampilan acak-acakan seraya mendaratkan kecupan di kening."Ini baru awal. Dan kamu tahu kalau aku tak akan pernah merasa puas bila hanya melakukan hal tersebut," ucap Darren pelan di telinga Audi.'Tuhan! Benarkah ini takdir yang harus aku jalani?' batin Audi dengan mata memejam penuh dramatis.***Audi bersama Darren sampai di rumah sakit saat hujan lebat mengguyur alam. Petir dan kilat yang menyambar bumi membuat perempuan itu beberapa kali terjebak dalam pelukan sang mantan karena rasa takut yang tak selalu hadir. Berkali-kali Darren menyeringai padanya sebab aksi spontan Audi sejak turun dari mobil. Hingga mereka masuk ke dalam gedung rumah sakit dan mencari Bagas serta Zian yang sedang mengurus perpindahan Marissa, mamanya Audi. Juga asisten pribadi Darren yang super cekatan itu tengah mengurus kebebasan ayah Audi, Kevin Nayaka. Saat mantan pasangan suami istri itu sampai di lantai gedung di mana katanya orang yang mereka cari berada. Tampak dua orang yang Audi ketahui adalah anak buah Darren berdiri di depan sebuah kamar perawatan khusus VVIP. "Kenapa kamu harus membawa mama ke rumah sakit besar ini? Ini terlalu mahal." Audi melayangkan protes. Tatapan Darren -respon atas pertanyaan Audi, membuat perempuan itu langsung memalingkan wajahnya ke arah lain. "Apakah kamu t
Dilakukan secara sederhana dan serba dadakan, Darren benar-benar membuat keinginannya terlaksana malam itu juga, tepatnya setelah mantan ibu mertuanya dipindahkan ke rumah sakit lain, yang merupakan rumah sakit milik keluarganya. Ditunjuk sebagai saksi dari pihak Darren, adalah Zain yang adalah asisten pribadi sekaligus orang kepercayaan Darren. Lalu, salah seorang keluarga dari pihak Marissa —mama Audi, dipaksa Darren datang supaya mau menjadi saksi dari pihak calon pengantin perempuan. Meski bingung, seorang paman yang sebelumnya sudah menjenguk kakak kandungnya, Marissa, memilih diam dan melakukan semua sesuai arahan Zain, perwakilan Darren. Semua siap di posisi, termasuk seorang pemuka agama yang diboyong oleh Zain di malam yang semakin larut tersebut. Kevin —papa Audi, tampak tegang ketika harus kembali menjadi wali atas pernikahan sang putri."Jadi, yang mana calon kedua mempelai?" tanya sang pemuka agama setelah duduk di tempat ijab kabul, yakni di sebuah ruangan perawatan VV
"Bagus. Memang seharusnya begitu bukan?" ucap Darren sambil menyeringai. Setelahnya mereka hanya saling menatap satu sama lain. Seperti mencoba menyelami pikiran masing-masing, dan mencari tahu meski tak jua menemukan.Hingga di detik berikutnya, Darren perlahan mendekatkan wajahnya, lalu menempelkan bibir di atas bibir Audi yang malam itu seperti memintanya untuk kembali disentuh untuk yang kedua kali, setelah aksi pertamanya siang tadi. Audi pun masih menahan napas ketika bibir Darren menyentuh dalam diam. Ia yang sudah tahu akan aksi selanjutnya, tetap diam menunggu. Namun, "Arh!"Tiba-tiba Darren menekan bibirnya pada sang istri. Membuat perempuan itu membelalak kaget saat merasakan sentuhan tak biasa yang sebelumnya belum pernah dirinya rasakan. 'Apa ini?'Aksi ciuman yang sebelumnya Audi tebak ke mana arah dan temponya, sama sekali meleset dari yang ia bayangkan. Darren tidak melakukan ciuman seperti yang sudah pernah mereka lakukan ketika hubungan mereka dulu. Saat ini yang
'Jangan salahkan aku kalau malam ini aku menghabisi kamu sampai pagi menjelang,' batin Darren lagi. Ditatap wajah istrinya. Ada seringai yang mendadak hadir di bibir lelaki itu yang membuat sang istri tercekat. Gugup Audi rasakan. "Jangan memintaku berhenti malam ini karena itu permintaan yang sangat mustahil," ucap Darren saat melepaskan ciumannya dan kini mulai merambat turun demi menikmati leher istrinya yang menggoda. "A-apapun yang mau kamu lakukan padaku malam ini, lakukanlah," balas Audi yang benar-benar menantang penuh Darren. Tak ayal -setelah seringai hadir di bibir Darren, lelaki itu lalu melepas dress dari tubuh Audi melewati kedua kakinya yang jenjang, dan membiarkan kedua mata menikmati pemandangan indah dari tubuh perempuan di bawahnya yang saat ini tampak malu-malu dengan dua potong pakaian dalam yang masih setia menutupi. Entah apa yang ada di benak Audi saat ini, bagaimana bisa ia bertingkah malu-malu bak pengantin baru padahal ia dan Darren sudah melakukan aksi
Lenguhan yang terlontar dari mulut Audi sungguh panjang kali ini. Pelepasan keduanya setelah hujaman demi hujaman Darren lakukan pada miliknya, membuat tubuhnya tak berdaya kini. Peluh keringat membasahi wajah dan seluruh tubuh. Bahkan, bukan hanya Audi saja yang merasa lengket kulitnya, tetapi Darren yang tampak begitu seksi di kala Audi melihat wajah menggoda suaminya yang masih mengungkung tubuh dengan miliknya yang menancap di dalam. "Are you okay?" tanya Darren masih membiarkan Audi mengambil napas sebanyak-banyaknya tanpa ia ganggu setelah berhasil menyentuh area sensitif-nya berkali-kali. Dengan kulit muka memerah, juga sengal napas yang menjadi pemandangan Darren di bawah wajahnya, Audi mencoba mengangguk. Sangat pelan seolah ia menggunakan sisa tenaga terakhir ketika merespon pertanyaan sang suami. Darren hanya tersenyum, lalu mendekat dan mengecup kening Audi lembut. "Beri tahu aku kalau kamu sudah tenang," bisik Darren yang sepertinya siap untuk melakukan aksi berikutny
Audi masih tampak terlelap meski waktu sudah menuju siang. Bahkan, ia yang sebelumnya begitu nyaman tidur dalam pelukan Darren, tidak lagi merasa kehilangan ketika sosok lelaki itu sudah tidak ada di sebelahnya. Darren yang sudah terbangun beberapa saat lalu, kini sudah terlihat segar dengan handuk bathrobe menutupi tubuhnya. Lelaki itu sudah selesai mandi. Sekarang ia sedang menunggu kedatangan Zain yang dimintanya membawa baju ganti, untuknya dan untuk Audi. Suara ketukan terdengar ketika Zain baru akan mendekati ranjang. Ia sebelumnya ingin menyentuh perempuan yang kini hanya terlihat kepalanya saja sebab selimut yang menutupi seluruh tubuhnya itu, sebelum akhirnya berbalik menuju pintu kamar. "Selamat pagi, Pak!" sapa Zain yang berdiri di depan kamar hotel dengan dua goodie bagi di tangan. "Hem, pagi!"Sang asisten kemudian menjulurkan tangan dan menyerahkan dua barang bawaan yang sebelumnya ia pegang. "Berapa waktu yang aku punya?" tanya Darren merujuk pada rapat yang harus
Rupanya Darren tidak diam saja ketika menyuruh Audi untuk bergegas ke rumah sakit demi menunggu sang ibu yang sedang menjalani operasi. Saat wanita itu keluar, pastinya setelah penampilannya rapi dan segar, sebuah mobil sudah menunggu di pelataran gedung hotel. "Pak Lutfi? Bukannya tadi katanya saya dijemput siang?" tanya Audi yang heran sebab supir pribadi suaminya sudah menunggu saat ia baru akan keluar kamar hotel. "Iya, Bu. Bapak memang menyuruh saya jemput di jam dua belas, tetapi katanya sekalian saja antar Ibu sekarang ke rumah sakit.""Oh gitu. Padahal saya bisa naik taksi dari sini."Pria paruh baya bernama Lutfi itu tersenyum. "Mungkin Pak Darren tidak mau kalau Ibu naik taksi," sahutnya yang kemudian membuka pintu mobil supaya Audi masuk. "Terima kasih, Pak."Audi sudah duduk di bangku belakang. Seperti dirinya dulu, kehidupannya sebagai Nyonya El Syauqi akan kembali ia jalani. "Kalau begitu, maaf kalau saya mungkin akan kembali merepotkan Bapak.""Tidak apa-apa, Bu. In
Darren POVJam sepuluh Darren meminta supir pribadinya untuk menjemput Audi di hotel. Ia yang tahu kalau istrinya itu baru bangun, langsung memerintahkan Pak Lutfi meninggalkan parkiran dan mengantar Audi ke rumah sakit. Pekerjaan yang saat ini masih menjadi fokus utamanya, sesekali terganggu karena bayangan Audi. Malam yang sudah keduanya lewati membuat pikiran Darren terganggu hingga beberapa kali ia harus membaca ulang barisan huruf yang terpampang di layar laptop. 'Sial sekali! Kenapa wanita itu sulit untuk aku lupakan,' batin Darren. Zain yang baru menyalin rencana proyek yang dikirim dari bagian perencanaan, sesekali menengok ke arah sang atasan. Lelaki itu bisa melihat dengan jelas kalau suasana hati atasannya sedang tidak baik. Ia pun tahu, pertemuan dengan mantan istri yang sekarang sudah menjadi istrinya kembali, adalah hal yang mengganggunya. "Permisi, Pak. Izin mau ke pantry," ucap Zain yang sudah selesai dengan pekerjaannya. Lelaki itu berdiri di depan meja persegi
Audi sudah selesai dengan lima tusuk sate Padang yang suaminya siapkan. Sekarang ia telah berpindah memandang buah-buahan yang semakin membuatnya ngiler. "Dari mana kamu dapatkan rujak ini, Darren?" tanya Audi sembari mencomot buah mangga yang terlihat mengkal. "Di depan kantor.""Hah! Benarkah? Kok aku tidak tahu ada tukang rujak di depan kantor?" ucap Audi dengan mulut yang kini penuh dengan buah dan sambelnya. "Ya, aku juga baru tahu setelah sekian kali lewat. Mungkin ini efek karena istriku sedang ngidam.""Apa? Bukannya kamu yang ngidam. Sejak awal mula aku hamil, aku ini cuma mabuk. Tidak sampai ngidam seperti ibu-ibu hamil pada umumnya. Justru kamu yang beberapa hari terakhir banyak permintaan. Semua makanan yang pelayan buat, tiba-tiba tidak kamu sukai. Kamu malah nyuruh aku yang masak, padahal dulu hal itu kamu larang." Audi manyun membela diri. "Ya, maksud aku itu karena kamu hamil, aku jadi banyak maunya.""Ih, enggak ada hubungannya, Darren. Bagaimana bisa aku yang ham
Siapa yang menyangka, satu kalimat yang Audi ucapkan berujung pada 'pertarungan' sengit yang terjadi antara pasangan suami istri tersebut. "Pelan-pelan, Honey. Aku tak mau menyakiti calon bayi kita," ucap Darren saat menyadari aksi Audi yang saat itu lain dari pada biasanya. "Aku tahu, Darren. Ini masih biasa menurutku. Bahkan, kamu bisa melakukan lebih dari yang aku lakukan sekarang.""Ya, aku tahu. Tapi, ini menurutku berlebihan. Aku bisa kehilangan kendali kalau kamu terus bergerak dan memancingku seperti ini."Darren masih bertahan dengan tidak membalas sikap agresif Audi. Lelaki itu yang kini memilih berada di bawah dan mempersilakan sang istri melakukan aksinya sesuai insting-nya sebagai seorang perempuan, berkali-kali harus menahan napas dan menenangkan otaknya dari kemesuman yang kerap ia lakukan. "Aku tidak berniat memancingmu, Darren. Ini spontan saja aku lakukan. Jadi, jangan menyalahkan aku atas pertahanan yang kamu lakukan saat ini."Darren menggeram kesal. Ini sudah d
Audi mencoba menghubungi Darren setelah lelaki itu memutuskan panggilannya sepihak. Namun, pengusaha itu sepertinya benar-benar marah karena beberapa panggilan dari wanita itu diabaikan bahkan yang terakhir ditolak. 'Ah, dia benar-benar marah. Aku harus melakukan sesuatu.' Audi membatin. Hingga kemudian ia menghentikan permainan bersama para pelayan, dan meminta supir untuk menyiapkan mobil. "Ibu mau ke mana?" Salah seorang pelayan bertanya. Sembari berjalan ke kamar, Audi menjawab santai. "Mau ke kantor. Saya mau menemui tuan.""Ta-tapi, Ibu tidak diizinkan pergi kemana-mana sama tuan." Pelayan yang masih ada di dekat Audi tampak panik begitu mendengar jawaban yang terlontar. "Kalo ke kantor gak mungkin gak diizinin." Audi tersenyum menatap para pelayan yang berbondong-bondong mengikutinya di belakang. "Nanti kalau Tuan Darren marah gimana?""Makanya supaya dia gak marah, saya mau ke sana nyamperin."Jawaban Audi memang masuk akal. Darren memang kadung bucin pada Audi, tentu ke
Masa kehamilan yang Audi alami nyatanya malah menimpa Darren. Lelaki itu —entah bagaimana bisa sekarang malah menyukai makanan yang asam-asam yang kerap disukai oleh para ibu hamil. Seperti siang itu, setelah jam makan siang usai, tiba-tiba saja Darren meminta Zain —yang telah kembali dari liburannya, untuk membelikan buah-buahan yang memiliki rasa asam. "Jangan lupa minta sambalnya kalau ada," ucap Darren ketika Zain sudah akan keluar ruangan sang tuan. "Pakai sambal? Apa maksud Tuan rujak?""Apakah itu namanya rujak? Bukan salad buah?""Kalau macam-macam buah yang asam dan ada sambelnya, ya memang rujak, Tuan."Darren berpikir sejenak. Sebelumnya ia sama sekali tidak minat melihat makanan yang dijual di pinggiran jalan tersebut. Tapi, tiba-tiba tadi ketika ia pulang dari sebuah meeting dengan klien, mendadak ia tergiur saat melihat aneka warna buah yang terdapat pada sebuah kotak kaca, yang dijual di pinggir jalan dekat dengan gedung perusahaannya. "Ya, apapun itu namanya, tolon
Dokter memeriksa perut Audi beberapa waktu kemudian. Ditemani Darren yang juga turut mengamati jalannya USG, Audi masih belum bisa menghilangkan keterangannya atas hasil medis yang akan dokter sampaikan. "Janinnya memang masih sangat kecil, tapi tampak jelas terlihat. Memang kami belum bisa memastikan ada kelainan yang terjadi sekarang sampai kita melihat perkembangan janin di bulan-bulan berikutnya." Dokter bicara sembari masih memainkan sebuah alat di atas perut Audi. "Jadi, apakah kami masih bisa berpikir tenang untuk sekarang ini, Dok?" Darren bertanya meyakinkan. "Tentu. Hanya saja karena ada kecerobohan yang pernah Bu Audi lakukan, hal itu yang akan menjadi pengawasan dokter.""Kecerobohan?" tanya Darren tak mengerti. Apa yang sudah istrinya lakukan sehingga membuat dokter mengkhawatirkan calon anaknya. "Anda belum tahu?"Darren melirik pada Audi seraya menggeleng. Tampak ekspresi panik yang istrinya tampilkan saat ini, yang mau tak mau membuat Darren penasaran. "A-aku suda
Audi mendongak ketika Darren mengatainya bodoh. "Aku bodoh?""Ya! Kamu bodoh. Apa yang kamu pikirkan tentang perjanjian itu, hingga harus membuatmu melakukan tindakan ini?"Audi diam, malu untuk menjelaskan alasannya. "Apa karena kamu takut jika perjanjian itu akan membuatmu menderita sehingga ketika memiliki anak hanya akan membuat hidupmu semakin susah begitu?"Kali ini Audi mengangguk. "Apakah kamu berpikir perjanjian itu akan membuat kita berpisah dan aku tak akan bertanggung jawab bila kamu hamil?"Lagi, Audi mengangguk. "Berarti benar, kamu bodoh!""Darren! Apakah tidak cukup mengatakan aku bodoh sebanyak dua kali? Jelaskan padaku tindakan bodoh apa yang aku lakukan hanya karena khawatir akan nasib calon anak kita nanti. Ah, bahkan aku tidak tahu apakah pantas aku menyebutnya 'anak kita'."Tiba-tiba saja Darren mengetuk dahi Audi pelan. "Darren, apa-apaan!" Perempuan itu tampak tak suka. Bukannya menjawab dan menjelaskan, sang suami malah melakukan 'kekerasan fisik' padanya
Sejenak Darren terdiam saat melihat Audi tengah berbincang dengan Tasyi, sang mantan kekasih. Namun, sedetik kemudian Darren tersadar begitu Audi memanggilnya. "Apa yang terjadi padamu?" tanya Darren cepat seraya menghampiri dan memeluk tubuh istrinya itu. Darren tampak tak peduli meski ada Tasyi yang menatapnya dalam diam. "Apa yang sudah kamu lakukan pada istriku?" Kali ini Darren menuduh Tasyi yang telah membuat sang istri masuk ke rumah sakit. Lelaki itu melepaskan pelukan terhadap istrinya demi menatap wajah wanita yang beberapa waktu belakangan tidak lagi terlihat. "Darren, aku ...." Tasyi kaget ketika Darren menatapnya tajam. "Katakan padaku, apa saja yang sudah ia lakukan sampai kamu harus dibawa ke sini?" Darren menoleh, melihat wajah Audi yang terlihat lemah. "Tidak ada.""Jangan bohong, Audi.""Kenapa aku harus bohong. Memang tidak ada yang Tasyi lakukan. Malahan ia membantuku saat aku pingsan. Ia datang tepat waktu ketika aku akan dibawa ke sini."Terlihat Audi menj
Darren terlihat cemas sebab panggilannya ke Audi tak kunjung diangkat. Merasa kesal akhirnya ia menghubungi telepon rumah berharap mendapat informasi mengenai sang istri. "Hallo, keluarga El-Syauqi di sini!" sapa salah seorang pelayan membuat Darren sedikit lega. "Dengan siapa saya bicara?""Eh, Tuan. Maaf ... ini Ajeng, Tuan.""Ajeng, ibu apakah ada di rumah?"Darren bertanya demikian karena katanya hari ini Audi izin mau melihat toko yang tertunda pembukaannya. "Eh, itu, Tuan.""Itu apa? Hari ini ibu jadi pergi keluar tidak?""Eh itu ... tadinya ibu memang mau berangkat. Tapi, maaf ... apakah Tuan belum mendapatkan kabar?""Kabar apa? Kamu kalau bicara yang jelas, jangan muter-muter bikin saya bingung." Darren mulai terlihat emosi. "Ma-maaf, Tuan. Anu, itu ... ibu dibawa ke rumah sakit.""Apa? Yang benar kamu!""I-iya, Tuan. Sekitar lima belas menit yang lalu ibu pingsan, kemudian langsung dibawa ke rumah sakit.""Kenapa tidak ada yang menghubungi saya?""Maaf, Tuan, tadi Mbak T
"Kamu yakin baik-baik saja aku tinggal?" Darren bertanya ketika sudah akan berangkat ke kantor. Melihat Audi yang tersenyum di depannya, Darren berpikir bahwa istrinya benar-benar sudah pulih dari rasa trauma akibat peristiwa tempo hari lalu. "Kamu fokus bekerja saja. Aku akan baik-baik saja. Kamu lihat sendiri aku sudah sehat dan segar bukan?" ucap Audi sembari memutar tubuhnya supaya Darren lihat. "Hem, ya. Aku harap memang seperti itu. Tapi, segera kabari aku kalau terjadi apa-apa padamu.""Hei! Kamu menginginkan ada hal buruk terjadi denganku?" Audi berseru kaget. Terlihat kalau sebetulnya ia hanya sedang bersandiwara. "Jangan salah sangka," ucap Darren sembari menarik tubuh istrinya itu ke dalam pelukan. "Aku hanya merasa sangat khawatir setelah peristiwa itu," lanjut lelaki itu sambil mengecup kepala sang istri. "Tenang saja. Tak ada yang perlu kamu khawatirkan. Ada banyak orang di sini. Mereka pasti akan selalu bersamaku.""Ya, itu harus. Kalau tidak, aku pasti akan menggo