'Jangan salahkan aku kalau malam ini aku menghabisi kamu sampai pagi menjelang,' batin Darren lagi. Ditatap wajah istrinya. Ada seringai yang mendadak hadir di bibir lelaki itu yang membuat sang istri tercekat. Gugup Audi rasakan. "Jangan memintaku berhenti malam ini karena itu permintaan yang sangat mustahil," ucap Darren saat melepaskan ciumannya dan kini mulai merambat turun demi menikmati leher istrinya yang menggoda. "A-apapun yang mau kamu lakukan padaku malam ini, lakukanlah," balas Audi yang benar-benar menantang penuh Darren. Tak ayal -setelah seringai hadir di bibir Darren, lelaki itu lalu melepas dress dari tubuh Audi melewati kedua kakinya yang jenjang, dan membiarkan kedua mata menikmati pemandangan indah dari tubuh perempuan di bawahnya yang saat ini tampak malu-malu dengan dua potong pakaian dalam yang masih setia menutupi. Entah apa yang ada di benak Audi saat ini, bagaimana bisa ia bertingkah malu-malu bak pengantin baru padahal ia dan Darren sudah melakukan aksi
Lenguhan yang terlontar dari mulut Audi sungguh panjang kali ini. Pelepasan keduanya setelah hujaman demi hujaman Darren lakukan pada miliknya, membuat tubuhnya tak berdaya kini. Peluh keringat membasahi wajah dan seluruh tubuh. Bahkan, bukan hanya Audi saja yang merasa lengket kulitnya, tetapi Darren yang tampak begitu seksi di kala Audi melihat wajah menggoda suaminya yang masih mengungkung tubuh dengan miliknya yang menancap di dalam. "Are you okay?" tanya Darren masih membiarkan Audi mengambil napas sebanyak-banyaknya tanpa ia ganggu setelah berhasil menyentuh area sensitif-nya berkali-kali. Dengan kulit muka memerah, juga sengal napas yang menjadi pemandangan Darren di bawah wajahnya, Audi mencoba mengangguk. Sangat pelan seolah ia menggunakan sisa tenaga terakhir ketika merespon pertanyaan sang suami. Darren hanya tersenyum, lalu mendekat dan mengecup kening Audi lembut. "Beri tahu aku kalau kamu sudah tenang," bisik Darren yang sepertinya siap untuk melakukan aksi berikutny
Audi masih tampak terlelap meski waktu sudah menuju siang. Bahkan, ia yang sebelumnya begitu nyaman tidur dalam pelukan Darren, tidak lagi merasa kehilangan ketika sosok lelaki itu sudah tidak ada di sebelahnya. Darren yang sudah terbangun beberapa saat lalu, kini sudah terlihat segar dengan handuk bathrobe menutupi tubuhnya. Lelaki itu sudah selesai mandi. Sekarang ia sedang menunggu kedatangan Zain yang dimintanya membawa baju ganti, untuknya dan untuk Audi. Suara ketukan terdengar ketika Zain baru akan mendekati ranjang. Ia sebelumnya ingin menyentuh perempuan yang kini hanya terlihat kepalanya saja sebab selimut yang menutupi seluruh tubuhnya itu, sebelum akhirnya berbalik menuju pintu kamar. "Selamat pagi, Pak!" sapa Zain yang berdiri di depan kamar hotel dengan dua goodie bagi di tangan. "Hem, pagi!"Sang asisten kemudian menjulurkan tangan dan menyerahkan dua barang bawaan yang sebelumnya ia pegang. "Berapa waktu yang aku punya?" tanya Darren merujuk pada rapat yang harus
Rupanya Darren tidak diam saja ketika menyuruh Audi untuk bergegas ke rumah sakit demi menunggu sang ibu yang sedang menjalani operasi. Saat wanita itu keluar, pastinya setelah penampilannya rapi dan segar, sebuah mobil sudah menunggu di pelataran gedung hotel. "Pak Lutfi? Bukannya tadi katanya saya dijemput siang?" tanya Audi yang heran sebab supir pribadi suaminya sudah menunggu saat ia baru akan keluar kamar hotel. "Iya, Bu. Bapak memang menyuruh saya jemput di jam dua belas, tetapi katanya sekalian saja antar Ibu sekarang ke rumah sakit.""Oh gitu. Padahal saya bisa naik taksi dari sini."Pria paruh baya bernama Lutfi itu tersenyum. "Mungkin Pak Darren tidak mau kalau Ibu naik taksi," sahutnya yang kemudian membuka pintu mobil supaya Audi masuk. "Terima kasih, Pak."Audi sudah duduk di bangku belakang. Seperti dirinya dulu, kehidupannya sebagai Nyonya El Syauqi akan kembali ia jalani. "Kalau begitu, maaf kalau saya mungkin akan kembali merepotkan Bapak.""Tidak apa-apa, Bu. In
Darren POVJam sepuluh Darren meminta supir pribadinya untuk menjemput Audi di hotel. Ia yang tahu kalau istrinya itu baru bangun, langsung memerintahkan Pak Lutfi meninggalkan parkiran dan mengantar Audi ke rumah sakit. Pekerjaan yang saat ini masih menjadi fokus utamanya, sesekali terganggu karena bayangan Audi. Malam yang sudah keduanya lewati membuat pikiran Darren terganggu hingga beberapa kali ia harus membaca ulang barisan huruf yang terpampang di layar laptop. 'Sial sekali! Kenapa wanita itu sulit untuk aku lupakan,' batin Darren. Zain yang baru menyalin rencana proyek yang dikirim dari bagian perencanaan, sesekali menengok ke arah sang atasan. Lelaki itu bisa melihat dengan jelas kalau suasana hati atasannya sedang tidak baik. Ia pun tahu, pertemuan dengan mantan istri yang sekarang sudah menjadi istrinya kembali, adalah hal yang mengganggunya. "Permisi, Pak. Izin mau ke pantry," ucap Zain yang sudah selesai dengan pekerjaannya. Lelaki itu berdiri di depan meja persegi
Lorong tunggu di salah satu lantai rumah sakit yang Audi datangi, terlihat sedikit lengang. Ruangan dengan lampu merah menyala di depan ruangan, sesekali menjadi pemandangan bagi Bagas dan papanya, Kevin.Di dalam ruangan tersebut ada Nyonya Marissa, mamanya Audi yang sedang melewati rangkaian operasi karena penyakit yang dialami. Tepat lima belas perjalanan dari hotel tempat Audi menginap, kini ia bisa ikut serta menunggu momen menegangkan yang sedang mamanya alami. Mendekati Bagas, kekhawatiran akan dipandang emosi oleh dua laki-laki kesayangannya itu, nyatanya tidak terbukti. Justru Kevin tersenyum bahkan memeluk Audi saat ia sampai. "Kamu apakah sudah meminta izin pada Darren untuk datang kemari?" tanya Kevin yang membuat Audi bengong. "Izin? Kenapa aku harus izin, Pah?""Kamu ini gimana, Darren itu suami kamu. Kalau kamu mau pergi atau mau melakukan apapun, kamu harus meminta izin suami kamu. Jangan asal pergi begitu saja."Audi memandang papanya malas. "Aku ngerti, Pah. Tenan
Audi mendadak merasa ngeri saat mendengar pertanyaan yang bernada dingin dan menyeramkan di telinganya. Panggilan yang ia tahu dari Darren, rupanya memiliki nuansa horor yang tidak ia duga sebelumnya."Ma-maaf. Aku tadi sedang mendengar penjelasan dari dokter."Demi tidak ingin percakapannya didengar oleh papa dan adiknya, Audi sengaja menyingkir sedikit menjauh dari keberadaan dua orang tersebut. Sebab ia sendiri tengah berusaha menenangkan hatinya ketika akan berbicara dengan Darren yang tampak tengah emosi karena pesan yang tidak ia balas. 'Apa maksud kamu? Apakah operasinya sudah selesai?'Aneh, nada suara Darren terdengar berubah sekarang. Jauh lebih pelan dan tidak semenyeramkan sebelumnya, begitu pikir Audi. "Y-ya. Operasinya baru selesai, dan berjalan lancar. Barusan dokter sudah menjelaskan kalau kondisi mama baru akan diketahui setelah siuman nanti."'Syukurlah kalau begitu. Aku ikut senang mendengarnya.Sekarang, apakah mama sudah dipindah ke ruang perawatan?'"Belum. Ini
Audi sampai di lantai tempat di mana ruangan Darren berada. Melewati lorong dengan satu buah ruangan yang terdapat banyak karyawan yang tengah sibuk bekerja meski jam sudah menunjukkan angka dua belas siang. 'Apakah mereka tidak istirahat makan siang? Sudah jam berapa sekarang, mereka masih saja setia di depan komputer dan mengerjakan tugas yang tak akan ada habisnya,' gumam Audi ketika melewati ruangan dengan dinding kaca sebagai sekat. Langkahnya masih terus maju sampai ia berdiri di depan pintu ruangan, ruangan milik seorang pemimpin tertinggi perusahaan tersebut. Wanita itu kemudian menjulurkan tangan kanannya untuk mengetuk pintu.Tiga ketukan ia dengungkan, sampai pintu di depannya itu terbuka tak lama kemudian. "Bu Audi! Selamat siang!" sapa Zain, orang yang membukakan pintu. "Selamat siang, Mas Zain. Apakah saya datang di waktu yang sangat tepat?" tanya Audi seketika membuat Zain bingung. "Tentu saja. Tak ada waktu yang tepat atau tidak bagi Anda ketika akan menemui Pak
Audi sudah selesai dengan lima tusuk sate Padang yang suaminya siapkan. Sekarang ia telah berpindah memandang buah-buahan yang semakin membuatnya ngiler. "Dari mana kamu dapatkan rujak ini, Darren?" tanya Audi sembari mencomot buah mangga yang terlihat mengkal. "Di depan kantor.""Hah! Benarkah? Kok aku tidak tahu ada tukang rujak di depan kantor?" ucap Audi dengan mulut yang kini penuh dengan buah dan sambelnya. "Ya, aku juga baru tahu setelah sekian kali lewat. Mungkin ini efek karena istriku sedang ngidam.""Apa? Bukannya kamu yang ngidam. Sejak awal mula aku hamil, aku ini cuma mabuk. Tidak sampai ngidam seperti ibu-ibu hamil pada umumnya. Justru kamu yang beberapa hari terakhir banyak permintaan. Semua makanan yang pelayan buat, tiba-tiba tidak kamu sukai. Kamu malah nyuruh aku yang masak, padahal dulu hal itu kamu larang." Audi manyun membela diri. "Ya, maksud aku itu karena kamu hamil, aku jadi banyak maunya.""Ih, enggak ada hubungannya, Darren. Bagaimana bisa aku yang ham
Siapa yang menyangka, satu kalimat yang Audi ucapkan berujung pada 'pertarungan' sengit yang terjadi antara pasangan suami istri tersebut. "Pelan-pelan, Honey. Aku tak mau menyakiti calon bayi kita," ucap Darren saat menyadari aksi Audi yang saat itu lain dari pada biasanya. "Aku tahu, Darren. Ini masih biasa menurutku. Bahkan, kamu bisa melakukan lebih dari yang aku lakukan sekarang.""Ya, aku tahu. Tapi, ini menurutku berlebihan. Aku bisa kehilangan kendali kalau kamu terus bergerak dan memancingku seperti ini."Darren masih bertahan dengan tidak membalas sikap agresif Audi. Lelaki itu yang kini memilih berada di bawah dan mempersilakan sang istri melakukan aksinya sesuai insting-nya sebagai seorang perempuan, berkali-kali harus menahan napas dan menenangkan otaknya dari kemesuman yang kerap ia lakukan. "Aku tidak berniat memancingmu, Darren. Ini spontan saja aku lakukan. Jadi, jangan menyalahkan aku atas pertahanan yang kamu lakukan saat ini."Darren menggeram kesal. Ini sudah d
Audi mencoba menghubungi Darren setelah lelaki itu memutuskan panggilannya sepihak. Namun, pengusaha itu sepertinya benar-benar marah karena beberapa panggilan dari wanita itu diabaikan bahkan yang terakhir ditolak. 'Ah, dia benar-benar marah. Aku harus melakukan sesuatu.' Audi membatin. Hingga kemudian ia menghentikan permainan bersama para pelayan, dan meminta supir untuk menyiapkan mobil. "Ibu mau ke mana?" Salah seorang pelayan bertanya. Sembari berjalan ke kamar, Audi menjawab santai. "Mau ke kantor. Saya mau menemui tuan.""Ta-tapi, Ibu tidak diizinkan pergi kemana-mana sama tuan." Pelayan yang masih ada di dekat Audi tampak panik begitu mendengar jawaban yang terlontar. "Kalo ke kantor gak mungkin gak diizinin." Audi tersenyum menatap para pelayan yang berbondong-bondong mengikutinya di belakang. "Nanti kalau Tuan Darren marah gimana?""Makanya supaya dia gak marah, saya mau ke sana nyamperin."Jawaban Audi memang masuk akal. Darren memang kadung bucin pada Audi, tentu ke
Masa kehamilan yang Audi alami nyatanya malah menimpa Darren. Lelaki itu —entah bagaimana bisa sekarang malah menyukai makanan yang asam-asam yang kerap disukai oleh para ibu hamil. Seperti siang itu, setelah jam makan siang usai, tiba-tiba saja Darren meminta Zain —yang telah kembali dari liburannya, untuk membelikan buah-buahan yang memiliki rasa asam. "Jangan lupa minta sambalnya kalau ada," ucap Darren ketika Zain sudah akan keluar ruangan sang tuan. "Pakai sambal? Apa maksud Tuan rujak?""Apakah itu namanya rujak? Bukan salad buah?""Kalau macam-macam buah yang asam dan ada sambelnya, ya memang rujak, Tuan."Darren berpikir sejenak. Sebelumnya ia sama sekali tidak minat melihat makanan yang dijual di pinggiran jalan tersebut. Tapi, tiba-tiba tadi ketika ia pulang dari sebuah meeting dengan klien, mendadak ia tergiur saat melihat aneka warna buah yang terdapat pada sebuah kotak kaca, yang dijual di pinggir jalan dekat dengan gedung perusahaannya. "Ya, apapun itu namanya, tolon
Dokter memeriksa perut Audi beberapa waktu kemudian. Ditemani Darren yang juga turut mengamati jalannya USG, Audi masih belum bisa menghilangkan keterangannya atas hasil medis yang akan dokter sampaikan. "Janinnya memang masih sangat kecil, tapi tampak jelas terlihat. Memang kami belum bisa memastikan ada kelainan yang terjadi sekarang sampai kita melihat perkembangan janin di bulan-bulan berikutnya." Dokter bicara sembari masih memainkan sebuah alat di atas perut Audi. "Jadi, apakah kami masih bisa berpikir tenang untuk sekarang ini, Dok?" Darren bertanya meyakinkan. "Tentu. Hanya saja karena ada kecerobohan yang pernah Bu Audi lakukan, hal itu yang akan menjadi pengawasan dokter.""Kecerobohan?" tanya Darren tak mengerti. Apa yang sudah istrinya lakukan sehingga membuat dokter mengkhawatirkan calon anaknya. "Anda belum tahu?"Darren melirik pada Audi seraya menggeleng. Tampak ekspresi panik yang istrinya tampilkan saat ini, yang mau tak mau membuat Darren penasaran. "A-aku suda
Audi mendongak ketika Darren mengatainya bodoh. "Aku bodoh?""Ya! Kamu bodoh. Apa yang kamu pikirkan tentang perjanjian itu, hingga harus membuatmu melakukan tindakan ini?"Audi diam, malu untuk menjelaskan alasannya. "Apa karena kamu takut jika perjanjian itu akan membuatmu menderita sehingga ketika memiliki anak hanya akan membuat hidupmu semakin susah begitu?"Kali ini Audi mengangguk. "Apakah kamu berpikir perjanjian itu akan membuat kita berpisah dan aku tak akan bertanggung jawab bila kamu hamil?"Lagi, Audi mengangguk. "Berarti benar, kamu bodoh!""Darren! Apakah tidak cukup mengatakan aku bodoh sebanyak dua kali? Jelaskan padaku tindakan bodoh apa yang aku lakukan hanya karena khawatir akan nasib calon anak kita nanti. Ah, bahkan aku tidak tahu apakah pantas aku menyebutnya 'anak kita'."Tiba-tiba saja Darren mengetuk dahi Audi pelan. "Darren, apa-apaan!" Perempuan itu tampak tak suka. Bukannya menjawab dan menjelaskan, sang suami malah melakukan 'kekerasan fisik' padanya
Sejenak Darren terdiam saat melihat Audi tengah berbincang dengan Tasyi, sang mantan kekasih. Namun, sedetik kemudian Darren tersadar begitu Audi memanggilnya. "Apa yang terjadi padamu?" tanya Darren cepat seraya menghampiri dan memeluk tubuh istrinya itu. Darren tampak tak peduli meski ada Tasyi yang menatapnya dalam diam. "Apa yang sudah kamu lakukan pada istriku?" Kali ini Darren menuduh Tasyi yang telah membuat sang istri masuk ke rumah sakit. Lelaki itu melepaskan pelukan terhadap istrinya demi menatap wajah wanita yang beberapa waktu belakangan tidak lagi terlihat. "Darren, aku ...." Tasyi kaget ketika Darren menatapnya tajam. "Katakan padaku, apa saja yang sudah ia lakukan sampai kamu harus dibawa ke sini?" Darren menoleh, melihat wajah Audi yang terlihat lemah. "Tidak ada.""Jangan bohong, Audi.""Kenapa aku harus bohong. Memang tidak ada yang Tasyi lakukan. Malahan ia membantuku saat aku pingsan. Ia datang tepat waktu ketika aku akan dibawa ke sini."Terlihat Audi menj
Darren terlihat cemas sebab panggilannya ke Audi tak kunjung diangkat. Merasa kesal akhirnya ia menghubungi telepon rumah berharap mendapat informasi mengenai sang istri. "Hallo, keluarga El-Syauqi di sini!" sapa salah seorang pelayan membuat Darren sedikit lega. "Dengan siapa saya bicara?""Eh, Tuan. Maaf ... ini Ajeng, Tuan.""Ajeng, ibu apakah ada di rumah?"Darren bertanya demikian karena katanya hari ini Audi izin mau melihat toko yang tertunda pembukaannya. "Eh, itu, Tuan.""Itu apa? Hari ini ibu jadi pergi keluar tidak?""Eh itu ... tadinya ibu memang mau berangkat. Tapi, maaf ... apakah Tuan belum mendapatkan kabar?""Kabar apa? Kamu kalau bicara yang jelas, jangan muter-muter bikin saya bingung." Darren mulai terlihat emosi. "Ma-maaf, Tuan. Anu, itu ... ibu dibawa ke rumah sakit.""Apa? Yang benar kamu!""I-iya, Tuan. Sekitar lima belas menit yang lalu ibu pingsan, kemudian langsung dibawa ke rumah sakit.""Kenapa tidak ada yang menghubungi saya?""Maaf, Tuan, tadi Mbak T
"Kamu yakin baik-baik saja aku tinggal?" Darren bertanya ketika sudah akan berangkat ke kantor. Melihat Audi yang tersenyum di depannya, Darren berpikir bahwa istrinya benar-benar sudah pulih dari rasa trauma akibat peristiwa tempo hari lalu. "Kamu fokus bekerja saja. Aku akan baik-baik saja. Kamu lihat sendiri aku sudah sehat dan segar bukan?" ucap Audi sembari memutar tubuhnya supaya Darren lihat. "Hem, ya. Aku harap memang seperti itu. Tapi, segera kabari aku kalau terjadi apa-apa padamu.""Hei! Kamu menginginkan ada hal buruk terjadi denganku?" Audi berseru kaget. Terlihat kalau sebetulnya ia hanya sedang bersandiwara. "Jangan salah sangka," ucap Darren sembari menarik tubuh istrinya itu ke dalam pelukan. "Aku hanya merasa sangat khawatir setelah peristiwa itu," lanjut lelaki itu sambil mengecup kepala sang istri. "Tenang saja. Tak ada yang perlu kamu khawatirkan. Ada banyak orang di sini. Mereka pasti akan selalu bersamaku.""Ya, itu harus. Kalau tidak, aku pasti akan menggo