Lorong tunggu di salah satu lantai rumah sakit yang Audi datangi, terlihat sedikit lengang. Ruangan dengan lampu merah menyala di depan ruangan, sesekali menjadi pemandangan bagi Bagas dan papanya, Kevin.Di dalam ruangan tersebut ada Nyonya Marissa, mamanya Audi yang sedang melewati rangkaian operasi karena penyakit yang dialami. Tepat lima belas perjalanan dari hotel tempat Audi menginap, kini ia bisa ikut serta menunggu momen menegangkan yang sedang mamanya alami. Mendekati Bagas, kekhawatiran akan dipandang emosi oleh dua laki-laki kesayangannya itu, nyatanya tidak terbukti. Justru Kevin tersenyum bahkan memeluk Audi saat ia sampai. "Kamu apakah sudah meminta izin pada Darren untuk datang kemari?" tanya Kevin yang membuat Audi bengong. "Izin? Kenapa aku harus izin, Pah?""Kamu ini gimana, Darren itu suami kamu. Kalau kamu mau pergi atau mau melakukan apapun, kamu harus meminta izin suami kamu. Jangan asal pergi begitu saja."Audi memandang papanya malas. "Aku ngerti, Pah. Tenan
Audi mendadak merasa ngeri saat mendengar pertanyaan yang bernada dingin dan menyeramkan di telinganya. Panggilan yang ia tahu dari Darren, rupanya memiliki nuansa horor yang tidak ia duga sebelumnya."Ma-maaf. Aku tadi sedang mendengar penjelasan dari dokter."Demi tidak ingin percakapannya didengar oleh papa dan adiknya, Audi sengaja menyingkir sedikit menjauh dari keberadaan dua orang tersebut. Sebab ia sendiri tengah berusaha menenangkan hatinya ketika akan berbicara dengan Darren yang tampak tengah emosi karena pesan yang tidak ia balas. 'Apa maksud kamu? Apakah operasinya sudah selesai?'Aneh, nada suara Darren terdengar berubah sekarang. Jauh lebih pelan dan tidak semenyeramkan sebelumnya, begitu pikir Audi. "Y-ya. Operasinya baru selesai, dan berjalan lancar. Barusan dokter sudah menjelaskan kalau kondisi mama baru akan diketahui setelah siuman nanti."'Syukurlah kalau begitu. Aku ikut senang mendengarnya.Sekarang, apakah mama sudah dipindah ke ruang perawatan?'"Belum. Ini
Audi sampai di lantai tempat di mana ruangan Darren berada. Melewati lorong dengan satu buah ruangan yang terdapat banyak karyawan yang tengah sibuk bekerja meski jam sudah menunjukkan angka dua belas siang. 'Apakah mereka tidak istirahat makan siang? Sudah jam berapa sekarang, mereka masih saja setia di depan komputer dan mengerjakan tugas yang tak akan ada habisnya,' gumam Audi ketika melewati ruangan dengan dinding kaca sebagai sekat. Langkahnya masih terus maju sampai ia berdiri di depan pintu ruangan, ruangan milik seorang pemimpin tertinggi perusahaan tersebut. Wanita itu kemudian menjulurkan tangan kanannya untuk mengetuk pintu.Tiga ketukan ia dengungkan, sampai pintu di depannya itu terbuka tak lama kemudian. "Bu Audi! Selamat siang!" sapa Zain, orang yang membukakan pintu. "Selamat siang, Mas Zain. Apakah saya datang di waktu yang sangat tepat?" tanya Audi seketika membuat Zain bingung. "Tentu saja. Tak ada waktu yang tepat atau tidak bagi Anda ketika akan menemui Pak
Mungkin Audi akan terpojok jika ia menceritakan pertemuannya dengan Sofi yang membuat mood-nya buruk. Karena ia sangat tahu bahwa Darren sangat pandai menginterogasi dan mengorek keterangan apapun yang menurutnya janggal. Seperti saat ini, Darren yang sudah membuat sang istri duduk di atas pangkuannya, tampak menatap penuh pesona. Membuat Audi harus memalingkan wajah demi menghindari tatapan sang suami yang akan membuatnya terjatuh. "Jadi, tebakanku benar?""Tebakan apa?""Kalau kamu sudah cemburu kepada sahabatmu itu.""Sofi sudah bukan sahabatku. Kamu ikut andil dalam keretakan hubungan kami yang sebelumnya baik-baik saja." Kali ini Audi menatap tajam Darren kesal. "Ah, benarkah? Memang menurutmu bagian mananya yang membuat kalian berpisah karena aku?"Audi mencoba untuk turun dari pangkuan Darren sekarang. Ia merasa kurang nyaman ketika membicarakan hal apapun dengan posisi duduk di atas paha suaminya tersebut. Namun, sepertinya Darren tidak akan melepaskan tubuh wanita itu kar
Audi tidak menyangka ketika ia bangun ternyata jam sudah menunjukkan angka tiga sore. Hampir dua jam ia tertidur setelah Darren mengajaknya bercinta. 'Ini sudah menjadi resiko dan pilihanmu, Audi. Jadi, jalani saja,' batin Audi menenangkan hatinya sendiri sebab kesal karena ia tak bisa melawan ketika Darren mengajaknya tadi. Di dalam ruangan yang bisa dikatakan sebuah kamar tidur, Audi segera beranjak. Ia sama sekali tak mempedulikan keberadaan Darren yang ia yakin sudah kembali bekerja di ruangannya. Jadi, ia memilih membersihkan diri di dalam toilet yang juga tersedia di ruangan tersebut. Audi cukup takjub ketika melihat ada sebuah goodie bag yang diletakkan di atas meja. Ia tahu kalau isinya adalah satu stel baju baru yang sudah Darren siapkan. 'Lagi, kamu melakukan hal yang akan membuatku sulit membuat keputusan akhir,' gumam Audi saat tebakannya benar setelah memeriksa pakaian berwarna peach di dalam goodie bag. Wanita itu lalu meletakkan kembali baju yang indah -dan dipasti
"Aku akan menyusul setelah pekerjaanku selesai," ucap Darren ketika Audi pamit untuk kembali ke rumah sakit. Ia yang siang itu cukup puas sebab bisa bercinta dengan Audi di kantor, menghabiskan waktu setengah jam lamanya hanya untuk memberi izin pada sang istri untuk pergi dari ruangan kerjanya. Kontak fisik yang seolah tak mau Darren lepaskan pada sosok istrinya, menyisakan ketebalan pada bibir wanita itu ketika akan keluar ruangan. "Tunggu dulu!" ucap Darren setelah Audi berdiri dari pangkuannya. "Apa lagi? Masihkah kurang?" Seolah waktunya yang sudah lama terbuang, tanpa sadar nada bicara Audi terdengar sangat kesal. Namun, Darren malah tersenyum dan tidak marah sama sekali. "Kalo membicarakan perihal kegiatan panas kita, tentu saja aku tak pernah cukup. Akan selalu kurang. Tapi, bukan itu aku memintamu menunggu." Darren berkata sembari membuka laci mejanya. Tampak sebuah masker ia ambil dari dalamnya. Lalu, diserahkan pada Audi, bahkan tak segan memakaikannya. "Aku khawati
Darren tiba di rumah sakit tepat di jam enam sore. Jam pulang kantor yang sudah Audi hafal saat masih bersama dulu. Sehingga ia tidak terkejut ketika suaminya itu baru datang saat langit berubah jingga."Sore, Semuanya!" seru Darren tanpa sungkan. Ia lantas berjalan menghampiri ibu mertuanya yang masih terbaring lemah di atas ranjang. Tak mempedulikan sosok Audi yang tengah duduk berbincang dengan Bagas di sudut ruangan, Darren terus berjalan mendekat dengan Zain di belakangnya, mengikuti. "Bagaimana kabar Mama? Apakah masih ada yang dirasa sakit?" tanya Darren tak terlihat basa basi. Lelaki itu tampak tulus menanyakan kabar mamanya Audi. "Kabar Mama baik, Darren. Cuma sakit dikit. Menurut dokter itu hal yang wajar." Marissa memberi tahu kondisi tubuhnya pada sang menantu. "Benarkah? Kalo memang sakit, bilang saja. Enggak usah Mama tutupi atau berbohong. Nanti biar aku bilang ke kepala rumah sakit langsung atau ketua tim dokter yang mengoperasi Mama.""Eh, enggak, Darren. Mama eng
Makan malam pertama setelah dua tahun meninggalkan rumah megah milik Darren, Audi merasa sedikit canggung. Menu istimewa yang nyatanya adalah makanan kesukaannya, sudah tersaji di atas meja. Begitu banyak sehingga Audi berpikir kalau ia dan Darren tak akan habis jika dipaksa untuk menghabiskan semua makanan tersebut. "Kenapa diam? Ayo dimakan!" ucap Darren saat melihat sang istri hanya diam dan malah memandangi saja makanan yang ada di depan mereka. "Eh, Darren, apakah ini tidak terlalu berlebihan? Makanan ini terlalu banyak." Audi akhirnya menyampaikan protesnya. Namun, respon Darren malah terlihat aneh. Lelaki itu justru tersenyum ketika Audi menyampaikan hal yang tidak disukai. "Jadi, dari tadi kamu diam hanya karena melihat makanan yang sangat banyak ini?""Hem, menurut kamu?"Darren tampak menggeleng. Ia sungguh heran atas sikap Audi yang menurutnya tak pernah berubah. Selalu mempermasalahkan hal yang menurut Darren adalah sesuatu yang kecil. "Kalau kamu memikirkan bagaimana