Darren tiba di rumah sakit tepat di jam enam sore. Jam pulang kantor yang sudah Audi hafal saat masih bersama dulu. Sehingga ia tidak terkejut ketika suaminya itu baru datang saat langit berubah jingga."Sore, Semuanya!" seru Darren tanpa sungkan. Ia lantas berjalan menghampiri ibu mertuanya yang masih terbaring lemah di atas ranjang. Tak mempedulikan sosok Audi yang tengah duduk berbincang dengan Bagas di sudut ruangan, Darren terus berjalan mendekat dengan Zain di belakangnya, mengikuti. "Bagaimana kabar Mama? Apakah masih ada yang dirasa sakit?" tanya Darren tak terlihat basa basi. Lelaki itu tampak tulus menanyakan kabar mamanya Audi. "Kabar Mama baik, Darren. Cuma sakit dikit. Menurut dokter itu hal yang wajar." Marissa memberi tahu kondisi tubuhnya pada sang menantu. "Benarkah? Kalo memang sakit, bilang saja. Enggak usah Mama tutupi atau berbohong. Nanti biar aku bilang ke kepala rumah sakit langsung atau ketua tim dokter yang mengoperasi Mama.""Eh, enggak, Darren. Mama eng
Makan malam pertama setelah dua tahun meninggalkan rumah megah milik Darren, Audi merasa sedikit canggung. Menu istimewa yang nyatanya adalah makanan kesukaannya, sudah tersaji di atas meja. Begitu banyak sehingga Audi berpikir kalau ia dan Darren tak akan habis jika dipaksa untuk menghabiskan semua makanan tersebut. "Kenapa diam? Ayo dimakan!" ucap Darren saat melihat sang istri hanya diam dan malah memandangi saja makanan yang ada di depan mereka. "Eh, Darren, apakah ini tidak terlalu berlebihan? Makanan ini terlalu banyak." Audi akhirnya menyampaikan protesnya. Namun, respon Darren malah terlihat aneh. Lelaki itu justru tersenyum ketika Audi menyampaikan hal yang tidak disukai. "Jadi, dari tadi kamu diam hanya karena melihat makanan yang sangat banyak ini?""Hem, menurut kamu?"Darren tampak menggeleng. Ia sungguh heran atas sikap Audi yang menurutnya tak pernah berubah. Selalu mempermasalahkan hal yang menurut Darren adalah sesuatu yang kecil. "Kalau kamu memikirkan bagaimana
"Ah, Darren. Kita sudah melakukannya tadi."Suara serak bersamaan dengan desah yang keluar dari mulut Audi, terdengar memenuhi seluruh area sudut kamar utama. Setelah makan malam usai dengan makanan yang sudah dipastikan sisa, Darren langsung meminta sang istri segera beranjak istirahat. Namun, bukan istirahat tidur yang ada dalam pikiran Audi, justru sebuah 'penyiksaan' di mana sang suami rupanya masih belum bisa mengendalikan hasratnya ketika mereka sedang berdua. Audi tampak kesusahan menahan sesak yang dadanya rasakan ketika Darren mencumbu leher dan tengkuknya ketika ia sudah bersiap akan tidur. "Kamu tahu aku masih bisa melakukannya lagi dan lagi," jawab Darren tepat di telinga Audi, membuat istrinya itu kegelian ketika mendapat kecupan lembut penuh gairah. "Tapi, aku ... ah!" Audi kaget ketika Darren menggigit telinganya. "Kamu kenapa?""Aku tidak punya tenaga untuk melakukannya.""Kamu tidak perlu melakukan apapun, biar aku yang bekerja."Tak tahu usaha apa lagi yang har
Di sebuah ruang kerja di mana Darren akhirnya memilih untuk memeriksa laporan yang Zain kirimkan ke email-nya mengenai tender proyek yang PT. Ganada dapatkan. Sebenarnya hal itu bisa Darren lakukan besok ketika di kantor, tetapi karena suasana hatinya kesal setelah mendapat penolakan dari Audi, ia pun berdalih ingin menyelesaikan pekerjaan tersebut malam itu juga. Sangat aneh memang ketika seorang Darren menerima penolakan dari orang lain atas keinginannya. Terlebih hal tersebut dilakukan oleh istrinya sendiri. Yaitu orang yang jelas sudah bertekuk lutut padanya demi uang yang seharusnya mau melakukan apa saja dari setiap permintaan yang ia ajukan. Tapi, demi mengingat pesan dari penasehat hidupnya, yakni Zain, yang memintanya untuk melakukan semuanya secara perlahan, Darren pun memilih menurut. Kepala Darren sudah sakit sejak tadi. Ia yang begitu ingin bercinta dengan Audi, berjuang begitu kuat demi meredam nafsunya yang masih sulit dipadamkan. 'Kenapa perasaan candu ini semakin m
Yakin adalah hal utama yang Darren tengah lakukan. Demi satu keinginannya yang selama ini terpendam, di mana kehidupan rumah tangga yang indah betul-betul ingin ia jalani bersama wanita yang sangat ia cintai, membuatnya berubah akan sikap dingin dan cueknya selama ini. Salah satu yang ia lakukan sekarang, dan itu belum pernah ia lakukan saat menjadi suami Audi dulu, adalah menyiapkan sarapan pagi untuk sang istri. Darren yang tidur lebih awal, juga bangun lebih dulu dari Audi rupanya sudah bersiap berangkat ke kantor di saat jam masih menunjuk ke angka setengah tujuh pagi. Sedangkan sang istri -saat ia bangun, terlihat masih tertidur dengan selimut yang masih sama seperti semalam, menutupi tubuhnya sampai leher. Sedikit lancang, Darren menyempatkan untuk mendaratkan kecupan di kening wanita itu sebelum ia beranjak menuju kamar mandi. Ada getar yang lelaki itu rasakan ketika bibirnya menyentuh kening Audi. 'Kenapa aku harus merasakan ini setiap menyentuhmu?' batin Darren yang saat
Interaksi itu menjadi pemandangan manis yang ditonton oleh dua orang pelayan yang tampak serba salah karena berdiri di dekat pasangan pengantin baru tersebut. "Apakah termasuk proyek kerja sama yang perusahaan kamu tengah jalankan bersama PT. Ganada, perusahaan milik papanya Sofi?" tanya Audi membuat Darren seketika diam membisu. "Kamu dapat informasi dari siapa? Apakah Zain?"*Pak Lutfi sudah stand by di garasi ketika Darren dan Audi keluar dari dalam rumah. Pasangan suami istri itu berjalan santai meski ekspresi keduanya terlihat tidak baik-baik saja. Sebelum Darren masuk ke mobil yang sudah Pak Lutfi buka, lelaki itu berbicara sebentar dengan istrinya. "Kamu boleh menjenguk mama, tetapi sebelum makan siang kamu sudah harus ada di kantor.""Apakah kedatanganku tidak mengganggu pekerjaan kamu? Sebab aku tahu sepertinya kamu akan sibuk di hari-hari ke depan," sindir Audi. Darren menyeringai. Lelaki itu sepertinya tahu ada sesuatu yang tengah sang istri alami, dan entah mengapa i
Darren tampak mendengar dengan serius kalimat yang Zain ucapkan. Uraian dari laki-laki yang sudah berpengalaman menghasilkan tiga orang anak serta masih memiliki seorang istri cantik dan awet muda di usia yang sudah memasuki angka empat, sepertinya masuk ke otak Darren begitu mudah. Tanpa penghalang atau hambatan. "Saya bicara begitu karena sudah pernah mengalaminya sendiri. Dan itu sering."Zain bisa melihat sang tuan mendengarkan semua yang ia ucapkan. Sedikit bumbu penyedap dengan ekspresi yang agak dilebihkan, nyatanya story telling-nya berhasil membuat seorang pengusaha angkuh seperti Darren terdiam menyimak. "Momen seperti apa yang biasanya membuat si wanita menerima atau bahkan membalas aksi kita?" Darren sedikit penasaran dengan pembelajaran yang Zain berikan. "Ehm, seringnya kalau habis bertengkar atau saat istri saya lagi kangen, Pak.""Contohnya?""Ya, itu, Pak. Anda 'kan sering tugas ke luar berhari-hari, otomatis saya juga enggak pulang. Nah, pas pulang adalah momen te
Sudah bisa ditebak jika Sasa setuju untuk menemani Marissa di rumah sakit. Hal itu membuat Audi mencebik dari balik telepon setelah ia menyudahi pembicaraannya dengan sepupunya tersebut. "Sasa mau, Mah. Nanti sebelum istirahat makan siang dia langsung dari kampus ke sini." Audi memberi tahu sang mama, membuat Bagas mengucap syukur karenanya. "Syukurlah. Jadi, aku bisa pergi sekarang dengan tenang 'kan?"Audi menatap sebal adiknya itu. Tapi, mau bagaimana pun di situasi sekarang tak ada pilihan lain selain meminta seseorang untuk menjaga sang mama. "Nanti aku bawain makanan deh, yah?" Bagas mencoba merayu Audi. "Makanan apa? Enggak usah kamu tawarin, Darren akan dengan sangat senang hati kasih aku makanan apapun yang aku mau.""Iya, iya. Tahu deh yang lagi kasmaran. Dasar pengantin baru!" Bagas sengaja sekali menggoda sang kakak. "Apa? Kasmaran? Pengantin baru?" ucap Audi mengulang kata yang Bagas tadi ucapkan. Seolah apa yang adiknya katakan, ia tidak dengar sama sekali.'Jangan
Audi sudah selesai dengan lima tusuk sate Padang yang suaminya siapkan. Sekarang ia telah berpindah memandang buah-buahan yang semakin membuatnya ngiler. "Dari mana kamu dapatkan rujak ini, Darren?" tanya Audi sembari mencomot buah mangga yang terlihat mengkal. "Di depan kantor.""Hah! Benarkah? Kok aku tidak tahu ada tukang rujak di depan kantor?" ucap Audi dengan mulut yang kini penuh dengan buah dan sambelnya. "Ya, aku juga baru tahu setelah sekian kali lewat. Mungkin ini efek karena istriku sedang ngidam.""Apa? Bukannya kamu yang ngidam. Sejak awal mula aku hamil, aku ini cuma mabuk. Tidak sampai ngidam seperti ibu-ibu hamil pada umumnya. Justru kamu yang beberapa hari terakhir banyak permintaan. Semua makanan yang pelayan buat, tiba-tiba tidak kamu sukai. Kamu malah nyuruh aku yang masak, padahal dulu hal itu kamu larang." Audi manyun membela diri. "Ya, maksud aku itu karena kamu hamil, aku jadi banyak maunya.""Ih, enggak ada hubungannya, Darren. Bagaimana bisa aku yang ham
Siapa yang menyangka, satu kalimat yang Audi ucapkan berujung pada 'pertarungan' sengit yang terjadi antara pasangan suami istri tersebut. "Pelan-pelan, Honey. Aku tak mau menyakiti calon bayi kita," ucap Darren saat menyadari aksi Audi yang saat itu lain dari pada biasanya. "Aku tahu, Darren. Ini masih biasa menurutku. Bahkan, kamu bisa melakukan lebih dari yang aku lakukan sekarang.""Ya, aku tahu. Tapi, ini menurutku berlebihan. Aku bisa kehilangan kendali kalau kamu terus bergerak dan memancingku seperti ini."Darren masih bertahan dengan tidak membalas sikap agresif Audi. Lelaki itu yang kini memilih berada di bawah dan mempersilakan sang istri melakukan aksinya sesuai insting-nya sebagai seorang perempuan, berkali-kali harus menahan napas dan menenangkan otaknya dari kemesuman yang kerap ia lakukan. "Aku tidak berniat memancingmu, Darren. Ini spontan saja aku lakukan. Jadi, jangan menyalahkan aku atas pertahanan yang kamu lakukan saat ini."Darren menggeram kesal. Ini sudah d
Audi mencoba menghubungi Darren setelah lelaki itu memutuskan panggilannya sepihak. Namun, pengusaha itu sepertinya benar-benar marah karena beberapa panggilan dari wanita itu diabaikan bahkan yang terakhir ditolak. 'Ah, dia benar-benar marah. Aku harus melakukan sesuatu.' Audi membatin. Hingga kemudian ia menghentikan permainan bersama para pelayan, dan meminta supir untuk menyiapkan mobil. "Ibu mau ke mana?" Salah seorang pelayan bertanya. Sembari berjalan ke kamar, Audi menjawab santai. "Mau ke kantor. Saya mau menemui tuan.""Ta-tapi, Ibu tidak diizinkan pergi kemana-mana sama tuan." Pelayan yang masih ada di dekat Audi tampak panik begitu mendengar jawaban yang terlontar. "Kalo ke kantor gak mungkin gak diizinin." Audi tersenyum menatap para pelayan yang berbondong-bondong mengikutinya di belakang. "Nanti kalau Tuan Darren marah gimana?""Makanya supaya dia gak marah, saya mau ke sana nyamperin."Jawaban Audi memang masuk akal. Darren memang kadung bucin pada Audi, tentu ke
Masa kehamilan yang Audi alami nyatanya malah menimpa Darren. Lelaki itu —entah bagaimana bisa sekarang malah menyukai makanan yang asam-asam yang kerap disukai oleh para ibu hamil. Seperti siang itu, setelah jam makan siang usai, tiba-tiba saja Darren meminta Zain —yang telah kembali dari liburannya, untuk membelikan buah-buahan yang memiliki rasa asam. "Jangan lupa minta sambalnya kalau ada," ucap Darren ketika Zain sudah akan keluar ruangan sang tuan. "Pakai sambal? Apa maksud Tuan rujak?""Apakah itu namanya rujak? Bukan salad buah?""Kalau macam-macam buah yang asam dan ada sambelnya, ya memang rujak, Tuan."Darren berpikir sejenak. Sebelumnya ia sama sekali tidak minat melihat makanan yang dijual di pinggiran jalan tersebut. Tapi, tiba-tiba tadi ketika ia pulang dari sebuah meeting dengan klien, mendadak ia tergiur saat melihat aneka warna buah yang terdapat pada sebuah kotak kaca, yang dijual di pinggir jalan dekat dengan gedung perusahaannya. "Ya, apapun itu namanya, tolon
Dokter memeriksa perut Audi beberapa waktu kemudian. Ditemani Darren yang juga turut mengamati jalannya USG, Audi masih belum bisa menghilangkan keterangannya atas hasil medis yang akan dokter sampaikan. "Janinnya memang masih sangat kecil, tapi tampak jelas terlihat. Memang kami belum bisa memastikan ada kelainan yang terjadi sekarang sampai kita melihat perkembangan janin di bulan-bulan berikutnya." Dokter bicara sembari masih memainkan sebuah alat di atas perut Audi. "Jadi, apakah kami masih bisa berpikir tenang untuk sekarang ini, Dok?" Darren bertanya meyakinkan. "Tentu. Hanya saja karena ada kecerobohan yang pernah Bu Audi lakukan, hal itu yang akan menjadi pengawasan dokter.""Kecerobohan?" tanya Darren tak mengerti. Apa yang sudah istrinya lakukan sehingga membuat dokter mengkhawatirkan calon anaknya. "Anda belum tahu?"Darren melirik pada Audi seraya menggeleng. Tampak ekspresi panik yang istrinya tampilkan saat ini, yang mau tak mau membuat Darren penasaran. "A-aku suda
Audi mendongak ketika Darren mengatainya bodoh. "Aku bodoh?""Ya! Kamu bodoh. Apa yang kamu pikirkan tentang perjanjian itu, hingga harus membuatmu melakukan tindakan ini?"Audi diam, malu untuk menjelaskan alasannya. "Apa karena kamu takut jika perjanjian itu akan membuatmu menderita sehingga ketika memiliki anak hanya akan membuat hidupmu semakin susah begitu?"Kali ini Audi mengangguk. "Apakah kamu berpikir perjanjian itu akan membuat kita berpisah dan aku tak akan bertanggung jawab bila kamu hamil?"Lagi, Audi mengangguk. "Berarti benar, kamu bodoh!""Darren! Apakah tidak cukup mengatakan aku bodoh sebanyak dua kali? Jelaskan padaku tindakan bodoh apa yang aku lakukan hanya karena khawatir akan nasib calon anak kita nanti. Ah, bahkan aku tidak tahu apakah pantas aku menyebutnya 'anak kita'."Tiba-tiba saja Darren mengetuk dahi Audi pelan. "Darren, apa-apaan!" Perempuan itu tampak tak suka. Bukannya menjawab dan menjelaskan, sang suami malah melakukan 'kekerasan fisik' padanya
Sejenak Darren terdiam saat melihat Audi tengah berbincang dengan Tasyi, sang mantan kekasih. Namun, sedetik kemudian Darren tersadar begitu Audi memanggilnya. "Apa yang terjadi padamu?" tanya Darren cepat seraya menghampiri dan memeluk tubuh istrinya itu. Darren tampak tak peduli meski ada Tasyi yang menatapnya dalam diam. "Apa yang sudah kamu lakukan pada istriku?" Kali ini Darren menuduh Tasyi yang telah membuat sang istri masuk ke rumah sakit. Lelaki itu melepaskan pelukan terhadap istrinya demi menatap wajah wanita yang beberapa waktu belakangan tidak lagi terlihat. "Darren, aku ...." Tasyi kaget ketika Darren menatapnya tajam. "Katakan padaku, apa saja yang sudah ia lakukan sampai kamu harus dibawa ke sini?" Darren menoleh, melihat wajah Audi yang terlihat lemah. "Tidak ada.""Jangan bohong, Audi.""Kenapa aku harus bohong. Memang tidak ada yang Tasyi lakukan. Malahan ia membantuku saat aku pingsan. Ia datang tepat waktu ketika aku akan dibawa ke sini."Terlihat Audi menj
Darren terlihat cemas sebab panggilannya ke Audi tak kunjung diangkat. Merasa kesal akhirnya ia menghubungi telepon rumah berharap mendapat informasi mengenai sang istri. "Hallo, keluarga El-Syauqi di sini!" sapa salah seorang pelayan membuat Darren sedikit lega. "Dengan siapa saya bicara?""Eh, Tuan. Maaf ... ini Ajeng, Tuan.""Ajeng, ibu apakah ada di rumah?"Darren bertanya demikian karena katanya hari ini Audi izin mau melihat toko yang tertunda pembukaannya. "Eh, itu, Tuan.""Itu apa? Hari ini ibu jadi pergi keluar tidak?""Eh itu ... tadinya ibu memang mau berangkat. Tapi, maaf ... apakah Tuan belum mendapatkan kabar?""Kabar apa? Kamu kalau bicara yang jelas, jangan muter-muter bikin saya bingung." Darren mulai terlihat emosi. "Ma-maaf, Tuan. Anu, itu ... ibu dibawa ke rumah sakit.""Apa? Yang benar kamu!""I-iya, Tuan. Sekitar lima belas menit yang lalu ibu pingsan, kemudian langsung dibawa ke rumah sakit.""Kenapa tidak ada yang menghubungi saya?""Maaf, Tuan, tadi Mbak T
"Kamu yakin baik-baik saja aku tinggal?" Darren bertanya ketika sudah akan berangkat ke kantor. Melihat Audi yang tersenyum di depannya, Darren berpikir bahwa istrinya benar-benar sudah pulih dari rasa trauma akibat peristiwa tempo hari lalu. "Kamu fokus bekerja saja. Aku akan baik-baik saja. Kamu lihat sendiri aku sudah sehat dan segar bukan?" ucap Audi sembari memutar tubuhnya supaya Darren lihat. "Hem, ya. Aku harap memang seperti itu. Tapi, segera kabari aku kalau terjadi apa-apa padamu.""Hei! Kamu menginginkan ada hal buruk terjadi denganku?" Audi berseru kaget. Terlihat kalau sebetulnya ia hanya sedang bersandiwara. "Jangan salah sangka," ucap Darren sembari menarik tubuh istrinya itu ke dalam pelukan. "Aku hanya merasa sangat khawatir setelah peristiwa itu," lanjut lelaki itu sambil mengecup kepala sang istri. "Tenang saja. Tak ada yang perlu kamu khawatirkan. Ada banyak orang di sini. Mereka pasti akan selalu bersamaku.""Ya, itu harus. Kalau tidak, aku pasti akan menggo