Yakin adalah hal utama yang Darren tengah lakukan. Demi satu keinginannya yang selama ini terpendam, di mana kehidupan rumah tangga yang indah betul-betul ingin ia jalani bersama wanita yang sangat ia cintai, membuatnya berubah akan sikap dingin dan cueknya selama ini. Salah satu yang ia lakukan sekarang, dan itu belum pernah ia lakukan saat menjadi suami Audi dulu, adalah menyiapkan sarapan pagi untuk sang istri. Darren yang tidur lebih awal, juga bangun lebih dulu dari Audi rupanya sudah bersiap berangkat ke kantor di saat jam masih menunjuk ke angka setengah tujuh pagi. Sedangkan sang istri -saat ia bangun, terlihat masih tertidur dengan selimut yang masih sama seperti semalam, menutupi tubuhnya sampai leher. Sedikit lancang, Darren menyempatkan untuk mendaratkan kecupan di kening wanita itu sebelum ia beranjak menuju kamar mandi. Ada getar yang lelaki itu rasakan ketika bibirnya menyentuh kening Audi. 'Kenapa aku harus merasakan ini setiap menyentuhmu?' batin Darren yang saat
Interaksi itu menjadi pemandangan manis yang ditonton oleh dua orang pelayan yang tampak serba salah karena berdiri di dekat pasangan pengantin baru tersebut. "Apakah termasuk proyek kerja sama yang perusahaan kamu tengah jalankan bersama PT. Ganada, perusahaan milik papanya Sofi?" tanya Audi membuat Darren seketika diam membisu. "Kamu dapat informasi dari siapa? Apakah Zain?"*Pak Lutfi sudah stand by di garasi ketika Darren dan Audi keluar dari dalam rumah. Pasangan suami istri itu berjalan santai meski ekspresi keduanya terlihat tidak baik-baik saja. Sebelum Darren masuk ke mobil yang sudah Pak Lutfi buka, lelaki itu berbicara sebentar dengan istrinya. "Kamu boleh menjenguk mama, tetapi sebelum makan siang kamu sudah harus ada di kantor.""Apakah kedatanganku tidak mengganggu pekerjaan kamu? Sebab aku tahu sepertinya kamu akan sibuk di hari-hari ke depan," sindir Audi. Darren menyeringai. Lelaki itu sepertinya tahu ada sesuatu yang tengah sang istri alami, dan entah mengapa i
Darren tampak mendengar dengan serius kalimat yang Zain ucapkan. Uraian dari laki-laki yang sudah berpengalaman menghasilkan tiga orang anak serta masih memiliki seorang istri cantik dan awet muda di usia yang sudah memasuki angka empat, sepertinya masuk ke otak Darren begitu mudah. Tanpa penghalang atau hambatan. "Saya bicara begitu karena sudah pernah mengalaminya sendiri. Dan itu sering."Zain bisa melihat sang tuan mendengarkan semua yang ia ucapkan. Sedikit bumbu penyedap dengan ekspresi yang agak dilebihkan, nyatanya story telling-nya berhasil membuat seorang pengusaha angkuh seperti Darren terdiam menyimak. "Momen seperti apa yang biasanya membuat si wanita menerima atau bahkan membalas aksi kita?" Darren sedikit penasaran dengan pembelajaran yang Zain berikan. "Ehm, seringnya kalau habis bertengkar atau saat istri saya lagi kangen, Pak.""Contohnya?""Ya, itu, Pak. Anda 'kan sering tugas ke luar berhari-hari, otomatis saya juga enggak pulang. Nah, pas pulang adalah momen te
Sudah bisa ditebak jika Sasa setuju untuk menemani Marissa di rumah sakit. Hal itu membuat Audi mencebik dari balik telepon setelah ia menyudahi pembicaraannya dengan sepupunya tersebut. "Sasa mau, Mah. Nanti sebelum istirahat makan siang dia langsung dari kampus ke sini." Audi memberi tahu sang mama, membuat Bagas mengucap syukur karenanya. "Syukurlah. Jadi, aku bisa pergi sekarang dengan tenang 'kan?"Audi menatap sebal adiknya itu. Tapi, mau bagaimana pun di situasi sekarang tak ada pilihan lain selain meminta seseorang untuk menjaga sang mama. "Nanti aku bawain makanan deh, yah?" Bagas mencoba merayu Audi. "Makanan apa? Enggak usah kamu tawarin, Darren akan dengan sangat senang hati kasih aku makanan apapun yang aku mau.""Iya, iya. Tahu deh yang lagi kasmaran. Dasar pengantin baru!" Bagas sengaja sekali menggoda sang kakak. "Apa? Kasmaran? Pengantin baru?" ucap Audi mengulang kata yang Bagas tadi ucapkan. Seolah apa yang adiknya katakan, ia tidak dengar sama sekali.'Jangan
Darren sudah selesai dengan rapat bersama para manajer. Semua laporan yang sudah ia terima akan ia pahami dan cermati. Poin-poin yang sudah Zain catat, akan menjadi bahan evaluasinya sebelum ia jadikan laporan ke para dewan direksi. Saat ini ia sudah bersiap untuk menemui rekan kerja, membahas satu proyek cukup besar yang jika berhasil maka keuntungan milyaran rupiah sudah bisa dipastikan masuk ke kantong perusahaan. Sosok wanita yang tak lain adalah Sofi, tampak sudah menunggu bersama seorang wanita lain yang terlihat lebih muda darinya. Sofi menunggu di ruangan yang biasa Darren gunakan untuk menjamu tamu atau untuk membahas urusan pekerjaan dengan kolega atau partner kerja. "Selamat siang, Darren!" sapa Sofi lebih dulu, sayangnya malah mendapat respon kurang mengenakan dari pengusaha itu. "Mungkin kamu bisa membiasakan diri dengan memanggil nama saya sesuai tempat dan keadaan." Ucapan Darren telak membuat Sofi terkena mental. "Ah, maaf. Saya hampir lupa. Mungkin karena saya me
Seketika sikap canggung terjadi di dalam ruangan. Audi yang tidak tahu kalau suaminya sedang ada meeting dengan klien -yang tahunya adalah Sofi, sontak kesal demi menatap lelaki di depannya yang malah tersenyum seolah tidak memiliki dosa. "Kemari, Honey!" perintah Darren sembari melambaikan tangan. Audi melotot tak percaya. Bisa-bisanya lelaki itu bersikap cuek dan santai. Sedangkan di depannya saat ini berdiri, tampak wajah Sofi yang mendadak merah padam. Tak bergeming, Darren kembali memanggil dengan nada penuh penekanan yang Audi tahu kalau perintah pengusaha itu tak mau diabaikan. "Kemari! Duduk di sini."Darren masih waras sepertinya sebab ia meminta Audi untuk duduk di sebelahnya, bukan di pangkuan. "Apakah kamu sudah menunggu lama? Maaf kalo aku tidak tahu sehingga kamu harus menunggu.""Eh, enggak kok. Aku juga baru datang. Cintya minta aku naik, aku langsung naik," ucap Audi memberi penjelasan. Tapi, sepertinya Darren tak butuh itu. Karena baginya saat ini adalah momen
Audi masih diam ketika Darren berbalik dan melangkah mendekatinya. Bahkan, ia sepertinya kehilangan kekuatan ketika Darren kembali duduk dan menarik tubuh ke arahnya. "Dar-Darren, kita bisa makan siang sekarang?" Audi mencoba untuk melarikan diri lagi meski saat ini sudah tak ada siapa pun di dekat mereka. "Kenapa terburu-buru? Bukankah sekarang baru jam dua belas. Zain juga baru akan siapkan makanannya." Darren berkata sembari menjulurkan tangan demi menyentuh wajah Audi. Desiran di hati Audi kembali hadir saat tangan kokoh milik Darren berhasil menyentuh, lalu membelainya begitu lembut. "Iya, tapi kita bisa segera bukan?" tanya Audi mencoba memalingkan wajah perlahan supaya tangan Darren terlepas dari wajahnya. Namun, hal itu sama sekali tidak berhasil karena Darren sudah bersiap dengan tangan satunya lagi. "Kamu tahu, aku bahagia sekali hari ini."Perlahan Audi menatap Darren. "Kenapa?"Senyum lelaki itu sungguh bisa membuat Audi jatuh pingsan sekarang. Jujur saja, baru kali
Makan siang di kantor Darren terjadi dalam diam. Hanya suara dari mulut pasangan suami istri yang mengunyah makanan ala Western siang itu. Tak ada yang bicara, bahkan untuk sekedar menawarkan makanan setelah masing-masing piring habis, tak jua keduanya lakukan. Sampai akhirnya sebuah panggilan berasal dari ponsel Audi berdering, membuat dua orang itu saling menatap. Audi lalu mengelap tangan dengan napkin sebelum mengambil ponsel dari dalam tas. Sebuah nama terpampang di layar ketika ia sudah memegang ponsel dengan logo apel tergigit -ponsel baru yang Darren berikan sebagai hadiah pernikahan mereka yang kedua. "Siapa?" tanya Darren akhirnya membuka suara. Audi menengok dan melihat ekspresi Darren yang penasaran. Jangan lupakan aura-nya yang dingin sedingin es di pegunungan Himalaya, lelaki itu sama sekali tidak tersenyum meski Audi memberi senyum meledek. "Papa."Satu nama Audi sebut yang seketika membuat Darren berpaling seolah lega. "Iya, hallo, Pah!" sapa Audi yang juga memali