Seketika sikap canggung terjadi di dalam ruangan. Audi yang tidak tahu kalau suaminya sedang ada meeting dengan klien -yang tahunya adalah Sofi, sontak kesal demi menatap lelaki di depannya yang malah tersenyum seolah tidak memiliki dosa. "Kemari, Honey!" perintah Darren sembari melambaikan tangan. Audi melotot tak percaya. Bisa-bisanya lelaki itu bersikap cuek dan santai. Sedangkan di depannya saat ini berdiri, tampak wajah Sofi yang mendadak merah padam. Tak bergeming, Darren kembali memanggil dengan nada penuh penekanan yang Audi tahu kalau perintah pengusaha itu tak mau diabaikan. "Kemari! Duduk di sini."Darren masih waras sepertinya sebab ia meminta Audi untuk duduk di sebelahnya, bukan di pangkuan. "Apakah kamu sudah menunggu lama? Maaf kalo aku tidak tahu sehingga kamu harus menunggu.""Eh, enggak kok. Aku juga baru datang. Cintya minta aku naik, aku langsung naik," ucap Audi memberi penjelasan. Tapi, sepertinya Darren tak butuh itu. Karena baginya saat ini adalah momen
Audi masih diam ketika Darren berbalik dan melangkah mendekatinya. Bahkan, ia sepertinya kehilangan kekuatan ketika Darren kembali duduk dan menarik tubuh ke arahnya. "Dar-Darren, kita bisa makan siang sekarang?" Audi mencoba untuk melarikan diri lagi meski saat ini sudah tak ada siapa pun di dekat mereka. "Kenapa terburu-buru? Bukankah sekarang baru jam dua belas. Zain juga baru akan siapkan makanannya." Darren berkata sembari menjulurkan tangan demi menyentuh wajah Audi. Desiran di hati Audi kembali hadir saat tangan kokoh milik Darren berhasil menyentuh, lalu membelainya begitu lembut. "Iya, tapi kita bisa segera bukan?" tanya Audi mencoba memalingkan wajah perlahan supaya tangan Darren terlepas dari wajahnya. Namun, hal itu sama sekali tidak berhasil karena Darren sudah bersiap dengan tangan satunya lagi. "Kamu tahu, aku bahagia sekali hari ini."Perlahan Audi menatap Darren. "Kenapa?"Senyum lelaki itu sungguh bisa membuat Audi jatuh pingsan sekarang. Jujur saja, baru kali
Makan siang di kantor Darren terjadi dalam diam. Hanya suara dari mulut pasangan suami istri yang mengunyah makanan ala Western siang itu. Tak ada yang bicara, bahkan untuk sekedar menawarkan makanan setelah masing-masing piring habis, tak jua keduanya lakukan. Sampai akhirnya sebuah panggilan berasal dari ponsel Audi berdering, membuat dua orang itu saling menatap. Audi lalu mengelap tangan dengan napkin sebelum mengambil ponsel dari dalam tas. Sebuah nama terpampang di layar ketika ia sudah memegang ponsel dengan logo apel tergigit -ponsel baru yang Darren berikan sebagai hadiah pernikahan mereka yang kedua. "Siapa?" tanya Darren akhirnya membuka suara. Audi menengok dan melihat ekspresi Darren yang penasaran. Jangan lupakan aura-nya yang dingin sedingin es di pegunungan Himalaya, lelaki itu sama sekali tidak tersenyum meski Audi memberi senyum meledek. "Papa."Satu nama Audi sebut yang seketika membuat Darren berpaling seolah lega. "Iya, hallo, Pah!" sapa Audi yang juga memali
Benar dugaan Darren, Sasa terlihat marah pada Audi karena hanya datang seorang diri saat kembali ke rumah sakit."Mbak enggak datang sama Mas Darren?" tanya gadis dua puluh tahun itu dengan tatapan sinis dan kesal. "Kamu lihat sendiri, enggak ada Darren di belakangku."Tak perlu Audi jelaskan, Sasa sendiri bisa lihat kalau lelaki itu tidak ada bersamanya. Tapi, yang ingin ia tahu adalah kenapa Darren tidak ikut mengunjungi Marissa. Bukankah kemarin pengusaha itu datang bersama istrinya? "Apa Mbak yang larang Mas Darren buat ke sini?" tanya Sasa penuh selidik. "Dih! Buat apa aku larang-larang? Darren itu jauh usianya di atas aku, masa iya dia nurut sama aku yang masih muda ini. Kalo dia mau datang, enggak usah aku larang juga tinggal datang. Aneh deh!"Audi jelas berbohong karena pada kenyataannya memang ia yang melarang dan mencegah suaminya itu ke rumah sakit. Selain karena memang ia yang tak mau jika Darren sampai meninggalkan kantor hanya untuk urusan sepele, selain itu ia juga
Baju tidur yang Audi kenakan setelah makan malam usai, nyatanya malah membuat Darren terpaku sebab warna merah maroon telah memaksa jantungnya berdetak hebat. Istrinya seperti sengaja membuatnya tergoda dan menantangnya agar bermain liar malam itu. Darren sudah menyiapkan sebuah tali pita berwarna hitam yang akan ia gunakan sebagai alat bantunya demi melampiaskan hasrat yang tertunda siang tadi. Audi jelas melihat. Tapi, sepertinya ia sama sekali tidak terpengaruh apalagi kaget. Sebab ia merasa jika pita hitam itu pernah juga Darren gunakan di malam-malam tertentu saat pernikahan mereka terdahulu. "Apakah sudah siap?" tanya Darren sudah berdiri di depan Audi yang tengah duduk di ujung ranjang.Lelaki itu amat bersusah payah menenangkan pikirannya yang sudah sangat ingin menerjang tubuh sang istri tanpa perlu adanya basa-basi. Bukan hanya penampilan Audi saja yang menganggu pikiran Darren, ternyata yang wanita itu pikirkan saat ini juga, yakni kegagahan tubuh suaminya yang saat ini
"Darr," ucap Audi tersengal. Ia selalu kegelian ketika bibir Darren menapak dan menjejak di sana. "Hem,"Kini Darren sudah menyusuri ke bawah leher, berdiam sekian menit di area favorit seraya memainkan bibir dan tangannya di sana. Aksi yang jelas membuat istrinya menggelinjang tak tahan. Suara desah sudah pasti mulai memenuhi kamar. Saling menyahut syahdu dengan semilir angin yang memasuki kamar dari jendela yang Darren biarkan terbuka.Baginya, lantai dua tempat kamarnya berada, tak akan membuat siapapun orang berani mengintip apalagi masuk. Terlebih posisinya yang memang tidak mengarah ke depan rumah atau sisi jalan raya, tidak memungkinkan siapa saja akan dengan lancang mengintip permainan gila yang sedang ia lakukan bersama istrinya. Audi tampak mendongak ketika Darren kembali menerjang lehernya. Tangan yang terbebas dari tali, ia gunakan untuk menari rambut suaminya itu sebab rasa gila yang sudah melanda."Apakah masih belum bisa santai?""Darr, mana bisa. I-ini semakin membu
Malam semakin larut ketika Darren sudah melakukan permainan panas mereka dalam kondisi normal. Ia yang pada akhirnya tak kuasa menahan sesuatu di dalam hati dan pikirannya saat melihat reaksi Audi yang menggila karena alat yang ia gunakan, memutuskan untuk menyudahi. Terlebih melihat istrinya yang begitu tersiksa sebab alat tersebut, membuatnya tak tega. "Aku bukan seorang lelaki dominan. Pada akhirnya aku tak tega melihatmu seperti itu," ucap Darren yang baru saja mengeluarkan cairan hangatnya ke dalam rahim Audi setelah membuat istrinya itu mengalami pelepasan berkali-kali. "Kau jahat, Darr.""Maaf. Sungguh aku tidak tahu jika efeknya akan segila itu," sahut Darren seraya mengecup kening Audi. Lelaki itu kemudian memeluk tubuh istrinya yang masih dalam kungkungan. Melepas satu rasa yang menggumpal di dalam dada untuk melampiaskan. "Kamu membelinya, apakah tidak tahu sebelumnya akan seperti apa seorang perempuan kalo memakai alat itu?" tanya Audi dengan mata melirik ke arah alat
Pagi-pagi sekali Audi sudah terbangun. Teringat akan janji yang sudah ia buat semalam kepada suaminya, mulai hari ini ia akan mencoba untuk menjadi istri yang sebenarnya. Ia akan bangun lebih dulu demi menyiapkan semua keperluan Darren, seperti pakaian ke kantor, juga sarapan yang akan suaminya santap. Hal-hal yang pernah Audi lakukan dulu, tetapi sempat terhenti setelah ia mendapat kabar jika suaminya itu bermain api dengan perempuan lain di luar sana -tidak hanya dengan Sofi. Hingga tak lagi ia lakukan sampai pengadilan memutuskan mereka bercerai. Sekarang, setelah kesepakatan tanpa suara setuju dari Audi semalam, hari ini ia akan kembali melakukan semua 'ritual' itu. Bangun lebih dulu, mandi dan mulai menjadi istri bagi seorang Darren El Syauqi. Dilihatnya sang suami masih tertidur dengan tubuh yang berada di balik selimut. Rasa lelah yang lelaki itu rasakan, begitu tampak terlihat dari suara dengkuran halus yang Audi dengar. Semalam mereka selesai di waktu dini hari -meski dije