Audi bersama Darren sampai di rumah sakit saat hujan lebat mengguyur alam. Petir dan kilat yang menyambar bumi membuat perempuan itu beberapa kali terjebak dalam pelukan sang mantan karena rasa takut yang tak selalu hadir.
Berkali-kali Darren menyeringai padanya sebab aksi spontan Audi sejak turun dari mobil. Hingga mereka masuk ke dalam gedung rumah sakit dan mencari Bagas serta Zian yang sedang mengurus perpindahan Marissa, mamanya Audi. Juga asisten pribadi Darren yang super cekatan itu tengah mengurus kebebasan ayah Audi, Kevin Nayaka.Saat mantan pasangan suami istri itu sampai di lantai gedung di mana katanya orang yang mereka cari berada. Tampak dua orang yang Audi ketahui adalah anak buah Darren berdiri di depan sebuah kamar perawatan khusus VVIP."Kenapa kamu harus membawa mama ke rumah sakit besar ini? Ini terlalu mahal." Audi melayangkan protes.Tatapan Darren -respon atas pertanyaan Audi, membuat perempuan itu langsung memalingkan wajahnya ke arah lain."Apakah kamu tidak ingat kalau rumah sakit ini adalah milik keluargaku?"'Ah, iya. Kenapa aku bisa lupa begini?' batin Audi kesal sendiri."Ya ... tapi, tetap saja aku tidak mau gratis. Dan biaya di sini pasti sangat mahal.""Siapa yang akan memberimu gratis? Lagipula aku sudah mengirim sejumlah uang ke rekening adikmu. Dia akan mengurus pembiayaan Mama Marissa selama di sini."Audi seketika ingat dengan pembicaraan Darren di telepon tadi kepada Zian saat mereka masih berada di hotel.'Ternyata uang yang dikirim ke Bagas untuk ini. Tapi ...?'"Bagaimana Bagas akan mengembalikan uang itu?" Audi menghentikan langkahnya demi rasa penasarannya.Darren pun sontak ikut berhenti. Di dekatkan kepalanya ke arah wajah Audi, tepat di saat keduanya sudah sampai di depan ruang perawatan dengan dua orang pengawal yang berdiri di dekat mereka."Bukan Bagas yang akan mengembalikan uangku, tapi kamu, Honey!" bisik Darren membuat bulu kuduk Audi tetiba berdiri.Asal panggilan honey sudah keluar dari mulut Darren, bisa dipastikan hasrat lelaki itu sedang meninggi. Hal itulah yang membuat tubuh Audi merinding demi membayangkan kehidupan satu tahun ke depan yang akan kembali berada dalam dekapan sang mantan suami."Tidak perlu kamu membayangkan hal itu sekarang sebab aku masih mampu bertahan sampai papamu menyerahkan dirimu padaku," ucap Darren tidak tahu malu seraya menjauhkan kepalanya dengan senyumnya yang terlihat mengejek."Buka pintu!" perintah lelaki itu kepada anak buahnya setelah ia merasa cukup mengerjai mantan istrinya tersebut.'Sial! Bagaimana bisa aku kembali jatuh pada keisengannya? Padahal aku sudah tahu lelaki itu tak pernah serius dengan ucapannya yang hanya sebuah rayuan payah,' batin Audi kesal sembari menyusul langkah Darren yang sudah lebih dulu masuk.Di dalam ruangan itu tampak mama juga papanya Audi tengah berkumpul bersama Bagas. Di sana juga ada Zian yang langsung menoleh ketika Darren dan Audi datang."Nak Darren!" seru Kevin, papa Audi yang terlihat berseri."Selamat malam, Pah. Lama tidak bertemu." Pengusaha itu tampak mendekat dan menyalami mantan mertuanya.Tapi, Kevin malah memeluk Darren sebab perasaannya yang campur aduk. Antara perasaan senang, bangga, juga terharu lelaki itu rasakan. Bagaimana Darren masih memanggilnya dengan sebutan papa meski hubungan itu sudah berakhir sejak dua tahun lalu."Terima kasih, Nak. Terima kasih karena kamu sudah membantu kami."Darren diam tidak menyahut ketika tubuhnya masih dipeluk oleh papanya Audi."Sungguh kami sangat berhutang banyak padamu," lanjut Kevin yang akhirnya melepas pelukannya."Itu bukan masalah, Pah. Mau bagaimana pun kita saling mengenal dan pernah dekat."Jawaban Darren nyatanya malah mendapat tatapan jengah dari Audi. Perempuan itu jelas tahu apa yang terjadi. Tak mungkin lelaki itu mau atau dengan senang hati membantu kalau tak ada imbalan."Meski banyak pertanyaan yang ingin Papa tanyakan, tetapi saat ini sepertinya bukan momen yang tepat untuk hal tersebut. Papa hanya mau tahu, selanjutnya apa yang akan dilakukan?"Jujur saja Kevin tak tahu karena keadaan ekonomi yang saat ini menimpanya membuat lelaki itu tak mampu berpikir baik. Bisa keluar dari kantor polisi tanpa menunggu dua puluh empat jam saja sudah membuatnya sangat gembira sampai tak bisa berkata-kata."Semua masalah Papa akan segera diselesaikan oleh Audi," ucap Darren memberi tahu. Ia menoleh, menatap mantan istrinya itu dan tersenyum penuh arti.Sedangkan Audi bersikap lain dengan melempar pandangannya ke arah sang mama, seraya menggenggam tangan itu dengan perasaan miris menahan pilu."Lalu, untuk urusan rumah sakit, nanti biar Bagas yang akan urus," lanjut Darren seraya menatap mantan ibu mertuanya yang terbaring lemah dengan senyum yang dipaksakan."Eh, aku?" tanya Bagas kaget --sepertinya masih belum tahu perihal transferan dana yang Zian kirimkan.Darren mengalihkan pandangannya menatap adik Audi itu."Ya. Nanti Zian akan bantu kamu." Seolah memberi tahu kalau apa yang ia katakan adalah sesuatu yang mutlak.Seketika Bagas hanya mengangguk. Ia memilih mengerti daripada bertanya yang akan membuatnya terlihat bodoh di mata sang mantan kakak ipar.Setelah menjelaskan setiap solusi atas permasalahan yang tengah keluarga Audi hadapi, Darren lantas menatap Kevin serius."Pah, aku izin untuk menyampaikan hal penting lainnya.""Eh, apa itu?"Seketika ruang perawatan itu pun menjadi sunyi dan sedikit tegang. Padahal tak ada kisi-kisi yang keluarga Audi tahu, tetapi mereka menanti dengan napas tertahan.Hanya Audi yang terlihat biasa, mencoba biasa lebih tepatnya. Ia yang jelas tahu maksud tujuan Darren, sebenarnya tengah mencoba mengontrol diri dan hatinya yang saat ini mendadak gelisah."Audi!" panggil Kevin sebab pandangan Darren yang terus menatap ke arah putri sulungnya itu."Iya, Pah?" sahut Audi seraya mendekat.Nyatanya Kevin malah diam dan tidak melanjutkan perkataannya saat Audi sudah berada di sisinya.Sebuah pernyataan, atau mungkin permintaan dari seorang laki-laki yang sedang mencoba meminta dan memohon atas seorang putri padanya, membuat Kevin Nayaka terkejut."Aku ingin Papa dan Mama memberi izin dan restu kepada kami. Aku dan Audi memiliki keinginan untuk kembali rujuk dan menikah lagi.""Apa?!"Tidak hanya Kevin, tetapi Marissa dan Bagas tampak terkejut atas ucapan yang Darren lontarkan."Candaan apa yang sedang kamu katakan ini, Nak Darren?" Kevin masih tidak percaya dengan perkataan mantan menantunya itu.Darren tampak tersenyum. Ia tahu bukan sesuatu yang bisa diterima begitu saja mengenai ucapannya tersebut.Menikah lagi dengan Audi, mantan istrinya, siapa yang akan berpikir bahwa seorang pengusaha sepertinya akan melakukan hal tersebut?Darren adalah pengusaha kaya raya. Tampan dan penuh pesona, juga karisma. Banyak wanita cantik di sekelilingnya -bahkan Audi tahu itu. Pasti tak akan ada satu pun wanita yang akan menolak permintaan Darren yang ingin menikahi mereka. Menjadi wanita simpanan pun pasti wanita itu rela dan dengan senang hati.Tapi, Darren malah berencana rujuk dengan Audi. Apakah itu bukan sesuatu yang aneh? Apakah cinta itu ada di hatinya atau ada hal lain yang terjadi yang semua orang tidak tahu, termasuk Audi sendiri? Entahlah, Audi tak ingin berspekulasi."Kami serius, Pah. Dan kami harap Papa mau menikahkan kami malam ini juga, sebelum Mama Marissa masuk ke ruang operasi, yang mana saat ini petugas medis sedang menyiapkan semuanya.""Apa kalian benar-benar serius? Malam ini?" Lagi, Kevin memastikan.Dilihatnya dua insan di depannya itu mengangguk, tak terkecuali sang putri yang terlihat yakin atas apa yang sudah Darren sampaikan.***Dilakukan secara sederhana dan serba dadakan, Darren benar-benar membuat keinginannya terlaksana malam itu juga, tepatnya setelah mantan ibu mertuanya dipindahkan ke rumah sakit lain, yang merupakan rumah sakit milik keluarganya. Ditunjuk sebagai saksi dari pihak Darren, adalah Zain yang adalah asisten pribadi sekaligus orang kepercayaan Darren. Lalu, salah seorang keluarga dari pihak Marissa —mama Audi, dipaksa Darren datang supaya mau menjadi saksi dari pihak calon pengantin perempuan. Meski bingung, seorang paman yang sebelumnya sudah menjenguk kakak kandungnya, Marissa, memilih diam dan melakukan semua sesuai arahan Zain, perwakilan Darren. Semua siap di posisi, termasuk seorang pemuka agama yang diboyong oleh Zain di malam yang semakin larut tersebut. Kevin —papa Audi, tampak tegang ketika harus kembali menjadi wali atas pernikahan sang putri."Jadi, yang mana calon kedua mempelai?" tanya sang pemuka agama setelah duduk di tempat ijab kabul, yakni di sebuah ruangan perawatan VV
"Bagus. Memang seharusnya begitu bukan?" ucap Darren sambil menyeringai. Setelahnya mereka hanya saling menatap satu sama lain. Seperti mencoba menyelami pikiran masing-masing, dan mencari tahu meski tak jua menemukan.Hingga di detik berikutnya, Darren perlahan mendekatkan wajahnya, lalu menempelkan bibir di atas bibir Audi yang malam itu seperti memintanya untuk kembali disentuh untuk yang kedua kali, setelah aksi pertamanya siang tadi. Audi pun masih menahan napas ketika bibir Darren menyentuh dalam diam. Ia yang sudah tahu akan aksi selanjutnya, tetap diam menunggu. Namun, "Arh!"Tiba-tiba Darren menekan bibirnya pada sang istri. Membuat perempuan itu membelalak kaget saat merasakan sentuhan tak biasa yang sebelumnya belum pernah dirinya rasakan. 'Apa ini?'Aksi ciuman yang sebelumnya Audi tebak ke mana arah dan temponya, sama sekali meleset dari yang ia bayangkan. Darren tidak melakukan ciuman seperti yang sudah pernah mereka lakukan ketika hubungan mereka dulu. Saat ini yang
'Jangan salahkan aku kalau malam ini aku menghabisi kamu sampai pagi menjelang,' batin Darren lagi. Ditatap wajah istrinya. Ada seringai yang mendadak hadir di bibir lelaki itu yang membuat sang istri tercekat. Gugup Audi rasakan. "Jangan memintaku berhenti malam ini karena itu permintaan yang sangat mustahil," ucap Darren saat melepaskan ciumannya dan kini mulai merambat turun demi menikmati leher istrinya yang menggoda. "A-apapun yang mau kamu lakukan padaku malam ini, lakukanlah," balas Audi yang benar-benar menantang penuh Darren. Tak ayal -setelah seringai hadir di bibir Darren, lelaki itu lalu melepas dress dari tubuh Audi melewati kedua kakinya yang jenjang, dan membiarkan kedua mata menikmati pemandangan indah dari tubuh perempuan di bawahnya yang saat ini tampak malu-malu dengan dua potong pakaian dalam yang masih setia menutupi. Entah apa yang ada di benak Audi saat ini, bagaimana bisa ia bertingkah malu-malu bak pengantin baru padahal ia dan Darren sudah melakukan aksi
Lenguhan yang terlontar dari mulut Audi sungguh panjang kali ini. Pelepasan keduanya setelah hujaman demi hujaman Darren lakukan pada miliknya, membuat tubuhnya tak berdaya kini. Peluh keringat membasahi wajah dan seluruh tubuh. Bahkan, bukan hanya Audi saja yang merasa lengket kulitnya, tetapi Darren yang tampak begitu seksi di kala Audi melihat wajah menggoda suaminya yang masih mengungkung tubuh dengan miliknya yang menancap di dalam. "Are you okay?" tanya Darren masih membiarkan Audi mengambil napas sebanyak-banyaknya tanpa ia ganggu setelah berhasil menyentuh area sensitif-nya berkali-kali. Dengan kulit muka memerah, juga sengal napas yang menjadi pemandangan Darren di bawah wajahnya, Audi mencoba mengangguk. Sangat pelan seolah ia menggunakan sisa tenaga terakhir ketika merespon pertanyaan sang suami. Darren hanya tersenyum, lalu mendekat dan mengecup kening Audi lembut. "Beri tahu aku kalau kamu sudah tenang," bisik Darren yang sepertinya siap untuk melakukan aksi berikutny
Audi masih tampak terlelap meski waktu sudah menuju siang. Bahkan, ia yang sebelumnya begitu nyaman tidur dalam pelukan Darren, tidak lagi merasa kehilangan ketika sosok lelaki itu sudah tidak ada di sebelahnya. Darren yang sudah terbangun beberapa saat lalu, kini sudah terlihat segar dengan handuk bathrobe menutupi tubuhnya. Lelaki itu sudah selesai mandi. Sekarang ia sedang menunggu kedatangan Zain yang dimintanya membawa baju ganti, untuknya dan untuk Audi. Suara ketukan terdengar ketika Zain baru akan mendekati ranjang. Ia sebelumnya ingin menyentuh perempuan yang kini hanya terlihat kepalanya saja sebab selimut yang menutupi seluruh tubuhnya itu, sebelum akhirnya berbalik menuju pintu kamar. "Selamat pagi, Pak!" sapa Zain yang berdiri di depan kamar hotel dengan dua goodie bagi di tangan. "Hem, pagi!"Sang asisten kemudian menjulurkan tangan dan menyerahkan dua barang bawaan yang sebelumnya ia pegang. "Berapa waktu yang aku punya?" tanya Darren merujuk pada rapat yang harus
Rupanya Darren tidak diam saja ketika menyuruh Audi untuk bergegas ke rumah sakit demi menunggu sang ibu yang sedang menjalani operasi. Saat wanita itu keluar, pastinya setelah penampilannya rapi dan segar, sebuah mobil sudah menunggu di pelataran gedung hotel. "Pak Lutfi? Bukannya tadi katanya saya dijemput siang?" tanya Audi yang heran sebab supir pribadi suaminya sudah menunggu saat ia baru akan keluar kamar hotel. "Iya, Bu. Bapak memang menyuruh saya jemput di jam dua belas, tetapi katanya sekalian saja antar Ibu sekarang ke rumah sakit.""Oh gitu. Padahal saya bisa naik taksi dari sini."Pria paruh baya bernama Lutfi itu tersenyum. "Mungkin Pak Darren tidak mau kalau Ibu naik taksi," sahutnya yang kemudian membuka pintu mobil supaya Audi masuk. "Terima kasih, Pak."Audi sudah duduk di bangku belakang. Seperti dirinya dulu, kehidupannya sebagai Nyonya El Syauqi akan kembali ia jalani. "Kalau begitu, maaf kalau saya mungkin akan kembali merepotkan Bapak.""Tidak apa-apa, Bu. In
Darren POVJam sepuluh Darren meminta supir pribadinya untuk menjemput Audi di hotel. Ia yang tahu kalau istrinya itu baru bangun, langsung memerintahkan Pak Lutfi meninggalkan parkiran dan mengantar Audi ke rumah sakit. Pekerjaan yang saat ini masih menjadi fokus utamanya, sesekali terganggu karena bayangan Audi. Malam yang sudah keduanya lewati membuat pikiran Darren terganggu hingga beberapa kali ia harus membaca ulang barisan huruf yang terpampang di layar laptop. 'Sial sekali! Kenapa wanita itu sulit untuk aku lupakan,' batin Darren. Zain yang baru menyalin rencana proyek yang dikirim dari bagian perencanaan, sesekali menengok ke arah sang atasan. Lelaki itu bisa melihat dengan jelas kalau suasana hati atasannya sedang tidak baik. Ia pun tahu, pertemuan dengan mantan istri yang sekarang sudah menjadi istrinya kembali, adalah hal yang mengganggunya. "Permisi, Pak. Izin mau ke pantry," ucap Zain yang sudah selesai dengan pekerjaannya. Lelaki itu berdiri di depan meja persegi
Lorong tunggu di salah satu lantai rumah sakit yang Audi datangi, terlihat sedikit lengang. Ruangan dengan lampu merah menyala di depan ruangan, sesekali menjadi pemandangan bagi Bagas dan papanya, Kevin.Di dalam ruangan tersebut ada Nyonya Marissa, mamanya Audi yang sedang melewati rangkaian operasi karena penyakit yang dialami. Tepat lima belas perjalanan dari hotel tempat Audi menginap, kini ia bisa ikut serta menunggu momen menegangkan yang sedang mamanya alami. Mendekati Bagas, kekhawatiran akan dipandang emosi oleh dua laki-laki kesayangannya itu, nyatanya tidak terbukti. Justru Kevin tersenyum bahkan memeluk Audi saat ia sampai. "Kamu apakah sudah meminta izin pada Darren untuk datang kemari?" tanya Kevin yang membuat Audi bengong. "Izin? Kenapa aku harus izin, Pah?""Kamu ini gimana, Darren itu suami kamu. Kalau kamu mau pergi atau mau melakukan apapun, kamu harus meminta izin suami kamu. Jangan asal pergi begitu saja."Audi memandang papanya malas. "Aku ngerti, Pah. Tenan
Audi sudah selesai dengan lima tusuk sate Padang yang suaminya siapkan. Sekarang ia telah berpindah memandang buah-buahan yang semakin membuatnya ngiler. "Dari mana kamu dapatkan rujak ini, Darren?" tanya Audi sembari mencomot buah mangga yang terlihat mengkal. "Di depan kantor.""Hah! Benarkah? Kok aku tidak tahu ada tukang rujak di depan kantor?" ucap Audi dengan mulut yang kini penuh dengan buah dan sambelnya. "Ya, aku juga baru tahu setelah sekian kali lewat. Mungkin ini efek karena istriku sedang ngidam.""Apa? Bukannya kamu yang ngidam. Sejak awal mula aku hamil, aku ini cuma mabuk. Tidak sampai ngidam seperti ibu-ibu hamil pada umumnya. Justru kamu yang beberapa hari terakhir banyak permintaan. Semua makanan yang pelayan buat, tiba-tiba tidak kamu sukai. Kamu malah nyuruh aku yang masak, padahal dulu hal itu kamu larang." Audi manyun membela diri. "Ya, maksud aku itu karena kamu hamil, aku jadi banyak maunya.""Ih, enggak ada hubungannya, Darren. Bagaimana bisa aku yang ham
Siapa yang menyangka, satu kalimat yang Audi ucapkan berujung pada 'pertarungan' sengit yang terjadi antara pasangan suami istri tersebut. "Pelan-pelan, Honey. Aku tak mau menyakiti calon bayi kita," ucap Darren saat menyadari aksi Audi yang saat itu lain dari pada biasanya. "Aku tahu, Darren. Ini masih biasa menurutku. Bahkan, kamu bisa melakukan lebih dari yang aku lakukan sekarang.""Ya, aku tahu. Tapi, ini menurutku berlebihan. Aku bisa kehilangan kendali kalau kamu terus bergerak dan memancingku seperti ini."Darren masih bertahan dengan tidak membalas sikap agresif Audi. Lelaki itu yang kini memilih berada di bawah dan mempersilakan sang istri melakukan aksinya sesuai insting-nya sebagai seorang perempuan, berkali-kali harus menahan napas dan menenangkan otaknya dari kemesuman yang kerap ia lakukan. "Aku tidak berniat memancingmu, Darren. Ini spontan saja aku lakukan. Jadi, jangan menyalahkan aku atas pertahanan yang kamu lakukan saat ini."Darren menggeram kesal. Ini sudah d
Audi mencoba menghubungi Darren setelah lelaki itu memutuskan panggilannya sepihak. Namun, pengusaha itu sepertinya benar-benar marah karena beberapa panggilan dari wanita itu diabaikan bahkan yang terakhir ditolak. 'Ah, dia benar-benar marah. Aku harus melakukan sesuatu.' Audi membatin. Hingga kemudian ia menghentikan permainan bersama para pelayan, dan meminta supir untuk menyiapkan mobil. "Ibu mau ke mana?" Salah seorang pelayan bertanya. Sembari berjalan ke kamar, Audi menjawab santai. "Mau ke kantor. Saya mau menemui tuan.""Ta-tapi, Ibu tidak diizinkan pergi kemana-mana sama tuan." Pelayan yang masih ada di dekat Audi tampak panik begitu mendengar jawaban yang terlontar. "Kalo ke kantor gak mungkin gak diizinin." Audi tersenyum menatap para pelayan yang berbondong-bondong mengikutinya di belakang. "Nanti kalau Tuan Darren marah gimana?""Makanya supaya dia gak marah, saya mau ke sana nyamperin."Jawaban Audi memang masuk akal. Darren memang kadung bucin pada Audi, tentu ke
Masa kehamilan yang Audi alami nyatanya malah menimpa Darren. Lelaki itu —entah bagaimana bisa sekarang malah menyukai makanan yang asam-asam yang kerap disukai oleh para ibu hamil. Seperti siang itu, setelah jam makan siang usai, tiba-tiba saja Darren meminta Zain —yang telah kembali dari liburannya, untuk membelikan buah-buahan yang memiliki rasa asam. "Jangan lupa minta sambalnya kalau ada," ucap Darren ketika Zain sudah akan keluar ruangan sang tuan. "Pakai sambal? Apa maksud Tuan rujak?""Apakah itu namanya rujak? Bukan salad buah?""Kalau macam-macam buah yang asam dan ada sambelnya, ya memang rujak, Tuan."Darren berpikir sejenak. Sebelumnya ia sama sekali tidak minat melihat makanan yang dijual di pinggiran jalan tersebut. Tapi, tiba-tiba tadi ketika ia pulang dari sebuah meeting dengan klien, mendadak ia tergiur saat melihat aneka warna buah yang terdapat pada sebuah kotak kaca, yang dijual di pinggir jalan dekat dengan gedung perusahaannya. "Ya, apapun itu namanya, tolon
Dokter memeriksa perut Audi beberapa waktu kemudian. Ditemani Darren yang juga turut mengamati jalannya USG, Audi masih belum bisa menghilangkan keterangannya atas hasil medis yang akan dokter sampaikan. "Janinnya memang masih sangat kecil, tapi tampak jelas terlihat. Memang kami belum bisa memastikan ada kelainan yang terjadi sekarang sampai kita melihat perkembangan janin di bulan-bulan berikutnya." Dokter bicara sembari masih memainkan sebuah alat di atas perut Audi. "Jadi, apakah kami masih bisa berpikir tenang untuk sekarang ini, Dok?" Darren bertanya meyakinkan. "Tentu. Hanya saja karena ada kecerobohan yang pernah Bu Audi lakukan, hal itu yang akan menjadi pengawasan dokter.""Kecerobohan?" tanya Darren tak mengerti. Apa yang sudah istrinya lakukan sehingga membuat dokter mengkhawatirkan calon anaknya. "Anda belum tahu?"Darren melirik pada Audi seraya menggeleng. Tampak ekspresi panik yang istrinya tampilkan saat ini, yang mau tak mau membuat Darren penasaran. "A-aku suda
Audi mendongak ketika Darren mengatainya bodoh. "Aku bodoh?""Ya! Kamu bodoh. Apa yang kamu pikirkan tentang perjanjian itu, hingga harus membuatmu melakukan tindakan ini?"Audi diam, malu untuk menjelaskan alasannya. "Apa karena kamu takut jika perjanjian itu akan membuatmu menderita sehingga ketika memiliki anak hanya akan membuat hidupmu semakin susah begitu?"Kali ini Audi mengangguk. "Apakah kamu berpikir perjanjian itu akan membuat kita berpisah dan aku tak akan bertanggung jawab bila kamu hamil?"Lagi, Audi mengangguk. "Berarti benar, kamu bodoh!""Darren! Apakah tidak cukup mengatakan aku bodoh sebanyak dua kali? Jelaskan padaku tindakan bodoh apa yang aku lakukan hanya karena khawatir akan nasib calon anak kita nanti. Ah, bahkan aku tidak tahu apakah pantas aku menyebutnya 'anak kita'."Tiba-tiba saja Darren mengetuk dahi Audi pelan. "Darren, apa-apaan!" Perempuan itu tampak tak suka. Bukannya menjawab dan menjelaskan, sang suami malah melakukan 'kekerasan fisik' padanya
Sejenak Darren terdiam saat melihat Audi tengah berbincang dengan Tasyi, sang mantan kekasih. Namun, sedetik kemudian Darren tersadar begitu Audi memanggilnya. "Apa yang terjadi padamu?" tanya Darren cepat seraya menghampiri dan memeluk tubuh istrinya itu. Darren tampak tak peduli meski ada Tasyi yang menatapnya dalam diam. "Apa yang sudah kamu lakukan pada istriku?" Kali ini Darren menuduh Tasyi yang telah membuat sang istri masuk ke rumah sakit. Lelaki itu melepaskan pelukan terhadap istrinya demi menatap wajah wanita yang beberapa waktu belakangan tidak lagi terlihat. "Darren, aku ...." Tasyi kaget ketika Darren menatapnya tajam. "Katakan padaku, apa saja yang sudah ia lakukan sampai kamu harus dibawa ke sini?" Darren menoleh, melihat wajah Audi yang terlihat lemah. "Tidak ada.""Jangan bohong, Audi.""Kenapa aku harus bohong. Memang tidak ada yang Tasyi lakukan. Malahan ia membantuku saat aku pingsan. Ia datang tepat waktu ketika aku akan dibawa ke sini."Terlihat Audi menj
Darren terlihat cemas sebab panggilannya ke Audi tak kunjung diangkat. Merasa kesal akhirnya ia menghubungi telepon rumah berharap mendapat informasi mengenai sang istri. "Hallo, keluarga El-Syauqi di sini!" sapa salah seorang pelayan membuat Darren sedikit lega. "Dengan siapa saya bicara?""Eh, Tuan. Maaf ... ini Ajeng, Tuan.""Ajeng, ibu apakah ada di rumah?"Darren bertanya demikian karena katanya hari ini Audi izin mau melihat toko yang tertunda pembukaannya. "Eh, itu, Tuan.""Itu apa? Hari ini ibu jadi pergi keluar tidak?""Eh itu ... tadinya ibu memang mau berangkat. Tapi, maaf ... apakah Tuan belum mendapatkan kabar?""Kabar apa? Kamu kalau bicara yang jelas, jangan muter-muter bikin saya bingung." Darren mulai terlihat emosi. "Ma-maaf, Tuan. Anu, itu ... ibu dibawa ke rumah sakit.""Apa? Yang benar kamu!""I-iya, Tuan. Sekitar lima belas menit yang lalu ibu pingsan, kemudian langsung dibawa ke rumah sakit.""Kenapa tidak ada yang menghubungi saya?""Maaf, Tuan, tadi Mbak T
"Kamu yakin baik-baik saja aku tinggal?" Darren bertanya ketika sudah akan berangkat ke kantor. Melihat Audi yang tersenyum di depannya, Darren berpikir bahwa istrinya benar-benar sudah pulih dari rasa trauma akibat peristiwa tempo hari lalu. "Kamu fokus bekerja saja. Aku akan baik-baik saja. Kamu lihat sendiri aku sudah sehat dan segar bukan?" ucap Audi sembari memutar tubuhnya supaya Darren lihat. "Hem, ya. Aku harap memang seperti itu. Tapi, segera kabari aku kalau terjadi apa-apa padamu.""Hei! Kamu menginginkan ada hal buruk terjadi denganku?" Audi berseru kaget. Terlihat kalau sebetulnya ia hanya sedang bersandiwara. "Jangan salah sangka," ucap Darren sembari menarik tubuh istrinya itu ke dalam pelukan. "Aku hanya merasa sangat khawatir setelah peristiwa itu," lanjut lelaki itu sambil mengecup kepala sang istri. "Tenang saja. Tak ada yang perlu kamu khawatirkan. Ada banyak orang di sini. Mereka pasti akan selalu bersamaku.""Ya, itu harus. Kalau tidak, aku pasti akan menggo