Keringat deras membasahi kening Tari ketika bangun dari tidurnya. Seketika wanita berlesung pipit itu mengedarkan pandangannya. Hatinya terasa lega mengetahui kalau sekarang dia berada di kamar masa kecilnya. “Ternyata hanya mimpi,” gumamnya.
Sudah lebih dari setahun kejadian di mana Dipta menceraikannya, tapi dia masih saja sering memimpikan kejadian saat pria itu mengucapkan talak padanya.
Potongan peristiwa lalu yang kini berputar di otaknya, lagi-lagi menimbulkan rasa sesak yang menyakitkan di dada.
Sakit itu belum pergi.
Luka hatinya belum sepenuhnya menghilang.
“Astaghfirullah ... astaghfirullah,” lirihnya sembari mengusap wajahnya yang berkeringat. Berharap dengan itu dia kembali merasakan ketenangan.
Setelah beberapa menit, Tari memutuskan untuk bangkit. Dia ingin mengadukan semua yang dirasakannya kepada Sang Maha Kuasa. Hal yang selama ini selalu dia lakukan untuk memperoleh kedamaian.
Memangnya siapa lagi yang bisa memberi kita ketenangan, jika bukan Sang Pencipta?
***
“Segini cukup, Pak?” tanya ibu Tari seraya mengambilkan nasi dan lauk pauk untuk suaminya.
“Cukup, Bu.”
Tari tersenyum tipis melihat pemandangan di depannya. Sang ibu tengah menyendokkan makanan untuk bapaknya. Dulu dia juga pernah berharap pernikahannya akan langgeng seperti kedua orang tuanya.
Menua bersama, berbagi tawa dan tangis sampai maut memisahkan. Namun, nyatanya ... Tari menggelengkan kepala pelan, mencoba mengusir bayangan menyakitkan yang dengan lancang memasuki pikirannya. Wanita lemah lembut itu memilih kembali memfokuskan padangan pada kedua orang tuanya, hingga pikirannya kini melayang pada kejadian satu tahun lalu.
Waktu itu ketika dia bercerita tentang hal menimpanya lewat telepon, bapaknya langsung menyuruh untuk pulang. Bahkan pria paruh baya itu berkata akan menjemputnya. Namun, Tari menolaknya. Dia tak ingin membuat repot orang tuanya, setelah kabar buruk yang disampaikannya. Dia masih ingat dengan jelas bagaimana raut kesedihan di wajah tua keduanya, saat dia sampai di sini sendiri. Karena sepertinya sang mantan suami tidak mau repot mengantarnya.
Senyum dan pelukan hangat langsung dia terima saat itu.
“Semua akan baik-baik saja. Kamu punya bapak sama ibuk. Kamu punya Allah,” ujar bapaknya, sambil menepuk-nepuk punggungnya. Sedangkan ibunya tidak mengatakan apa-apa, wanita itu hanya memeluknya seraya menangis.
Setelahnya sang ibu setia menemaninya tidur. Membelai lembut kepalanya agar dia bisa tertidur nyenyak, persis seperti saat dia masih kecil. Kegiatan itu bahkan berlangsung selama hampir satu bulan.
Dengan gerakan tidak kentara, Tari menghapus bening yang menumpuk di peluk mata ketika mengingat hal itu. Salah satu hari terburuk dalam hidupnya, karena bagaimana pun membuat sedih orang tua adalah hal yang paling dia hindari.
Untung saja kedua orang yang paling berjasa dalam hidupnya itu berpikir bijak, bahwa mungkin saja apa yang terjadi dalam kehidupannya adalah ujian untuk meningkatkan kelasnya. Karena itulah pelan-pelan dia mulai bangkit, mengingat bapaknya selalu mengatakan akan ada pelangi setelah hujan.
“Kamu ke sekolah sama Bapak saja. Bapak mau ke rumah pak lek-mu.”
“Engge, Pak.”
“O, ya, jangan lupa nanti sore ada pertemuan di rumah bude.” Sinta menatap putrinya yang tengah menuangkan air ke dalam gelas.
“Engge, Bu.” Tari tersenyum kecil. Meski dalam hati dia begitu gelisah. Pertemuan keluarga selalu menjadi momok yang menakutkan untuknya. Apalagi setelah perceraiannya, dia merasa semua orang selalu menjadikannya pusat perhatian.
Sepertinya dia harus menguatkan hati sebelum nanti ke rumah saudaranya. Setidaknya dengan begitu dia tidak akan terlalu sakit hati jika ada kejadian yang tidak mengenakkan di sana.
Dia berharap semoga di acara nanti tidak ada yang membahas kehidupan pribadinya. Meskipun rasanya tidak mungkin, tapi tidak ada salahnya berharap kan?
***
Tari berusaha menguatkan diri, saat langkah kakinya memasuki rumah yang di dominasi dengan ornamen kayu itu. Dari halaman yang luas, wanita itu sudah bisa menebak jika beberapa anggota keluarganya sudah datang. Mengingat beberapa kendaraan sudah terparkir rapi di sana.
Perempuan berlesung pipit itu menyapa para laki-laki yang berkumpul di ruang tamu luas, dengan banyak hiasan dinding yang terkesan kuno.
Setelahnya Tari berjalan ke dalam, tempat para wanita berkumpul. Terlihat ibunya sudah duduk di samping bude-nya. Memang tadi ibunya berangkat terlebih dahulu dengan sang ayah. Sedangkan dia dengan alasan masih ada yang mau dikerjakan, mengatakan akan menyusul.
Padahal alasan sebenarnya adalah, dia sengaja mengulur waktu agar dia mengikuti acara sebentar saja. Salah satu usaha yang dilakukannya agar terhindar dari sakit hati.
“Kamu ndak ada rencana nikah lagi, Tari?”
“Belum ada, Bude.” Wanita cantik itu tersenyum menjawab pertanyaan kakak dari ibunya. Pertanyaan yang membuat dia mengingat masa lalu.
“Kamu belum isi?”
“Kamu dulu pernah KB, ya?”
“Coba makan ini, minum ini.”
Dulu pertanyaan seperti itulah yang sering Tari dengar. Kini bertambah lagi pertanyaan yang selalu dia terima sejak perceraiannya, tentang apakah dia mau menikah lagi?
Awalnya dia selalu menangis mendengar hal-hal seperti itu. Sampai dia merasa malas jika harus hadir di acara keluarga, tapi lama-lama Tari merasa hatinya kebal. Wanita dengan bulu mata lentik itu, mulai tidak peduli. Seiring berjalannya waktu dia sadar tidak akan mampu mengatur perkataan orang, yang perlu dia lakukan hanya menguatkan hatinya.
“Ada anak teman Bude yang cari istri, kamu mau tak kenalin?” tanya Saras, kakak pertama Santi.
“O, ya, temanmu juga ada yang cari istri, kan, Nduk?” tanya Sari pada Rani, anaknya.
“Iya, Bu,” jawab Rani pelan. Wanita yang sudah punya dua anak itu menoleh sungkan pada Tari. Dia mengerti, bagaimana tidak nyamannya ditanya hal-hal yang bersifat pribadi.
“Maaf, Bude. Tari belum ada rencana dalam waktu dekat.”
“Inget, Tari. Umurmu itu sudah ndak muda lagi. Tahun depan kamu sudah 34 tahun lo. Kasihan orang tuamu mereka sudah tua, masih harus menjagamu lagi.”
Tari memejamkan matanya, untuk menghalau amarah yang mulai muncul. Dia tidak masalah jika hanya dirinya yang dibicarakan, tapi tidak suka jika ada yang melibatkan orang tuanya.
“Aku sama Mas Putra ndak masalah harus jaga Tari lagi, toh dia kan anak kami. Soal menikah biar Tari siap dulu,” jawab Sinta dingin.
Karena sejujurnya dia juga jengah mendengar kehidupan anaknya di komentari orang lain. Selama ini dia hanya diam saja karena masih menghormati kakak-kakaknya. Namun, hari ini dia tidak bisa diam lagi melihat anaknya dipojokkan.
Ibu mana yang tidak sakit hati saat anaknya diperlakukan dengan buruk?
Sementara itu, Tari menoleh ke arah sang ibu. Rasa bersalah langsung menjalari hati wanita lembut itu, melihat raut muka tidak nyaman yang tergambar di wajah ibunya.
Lagi-lagi dirinya membuat ibunya sedih.
***
Suara ketukan pintu menghentikan kegiatan Tari membersihkan wajahnya. Menutup botol yang berisi krim malam, lalu dia berjalan menuju pintu.
“Ibu, ada apa?” tanya Tari seraya membuka pintu lebar, mempersilahkan sang ibu masuk.
“Kamu beneran belum ada pikiran menikah?” tanya sang ibu ketika mereka sudah duduk di tepi ranjang.
Tari menghela napas mendengar pertanyaan Sinta. Meskipun tadi ibunya berkata tidak masalah di depan keluarga besarnya, tapi dia tahu kalau sebenarnya sang ibu juga memikirkan masa depannya.
“Tari baru satu tahun bercerai, Bu. Tari belum siap kalau harus menjalani pernikahan lagi.”
Sinta menghela napas seraya menatap lekat putri satu-satunya. “Meskipun Ibu ndak suka denger omongan mereka, tapi mereka benar. Sebentar lagi umurmu bertambah, kamu butuh seseorang yang bisa menjagamu.”
“Tapi, Tari— “
“Barusan bude-mu telpon. Katanya Juragan Heru berniat melamarmu,” ujar Sinta memotong kalimat anaknya.
Tari terkesiap mendengar cerita ibunya. Dia tahu siapa yang dimaksud wanita itu, Juragan Heru adalah salah satu orang terkaya di kampungnya.
“Ta–tapi, Bu. Tari masih— “
“Kamu coba kenalan dulu, ya. Status kalian juga sama.”
Bukan status Juragan Heru yang membuat Tari menolak keinginan sang ibu. Karena dia juga sadar, akan statusnya yang seorang janda. Namun, kenyataan bahwa pria itu berusia dua puluh tahun di atasnya, dan juga punya anak yang sudah dewasa, begitu mengusiknya.
Dia merasa tidak siap jika harus menerima penolakan. Kecil kemungkinan seorang anak menerima ayahnya menikah lagi dengan wanita yang berusia muda, bukankah begitu?
Lagi pula rasa sakit yang dirasakannya akibat pengkhianatan dan perceraian itu belum sembuh.
“Bu ....”
“Ibu minta kamu kenalan dulu, Tari!”
Keriput disudut bibir Sinta terlihat begitu jelas, ketika wanita itu tersenyum kepadanya. Akan tetapi, dia tahu arti senyum ibunya. Senyum yang menandakan kalau wanita itu tidak mau dibantah.
Maka dengan terpaksa Tari mengangguk. Mungkin setelah ini dia akan berbicara pada sang bapak agar membantu meyakinkan sang ibu untuk membatalkan rencana perjodohan ini.
Sungguh, dia masih butuh waktu!
Pemandangan hijau di kanan dan kiri, tidak hanya membawa kesejukan di mata bulat wanita berlesung pipit itu. Hatinya pun terasa begitu damai menikmati keindahan yang ada di kampung halamannya. Sesuatu yang sudah lama tidak dia rasakan.Belum lagi, sapaan orang-orang yang akan pergi ke sawah. Menambah kadar bahagia yang dia rasakan. Keramahan yang selalu bisa menular, hingga menciptakan sebuah senyuman.“Bapak sudah bicara dengan ibumu, agar membatalkan rencananya.”Tari menoleh kepada cinta pertamanya, yang saat ini sedang mengantarnya berangkat ke sekolah. Setelah tadi menitipkan motor terlebih dahulu ke rumah sang paman, yang kebetulan terletak tidak jauh dari tempatnya mengajar.Empat bulan setelah kembali ke sini, dia ditawari pekerjaan. Sebagai guru di sebuah PAUD yang tentu saja dia terima dengan senang hati. Dia bersyukur dengan bekerja, bisa sedikit mengalihkan perhatiannya dari rasa sakit yang terkadang masih menghantui. Pun ingatan tentang mantan suaminya yang perlahan terki
“Ya Allah, Ica. Dari tadi mbak nyariin kamu.”Tari melihat perempuan yang mungkin lebih muda dengannya, menatap Ica dengan khawatir. Kemudian wanita berhijab panjang itu menautkan alis, karena merasa pernah bertemu dengan wanita yang disebut Ica dengan Mbak Lastri. Namun, sebelum Tari mendapatkan ingatannya. Sosok itu menoleh, lalu memekik kaget.“Ya Allah, Mbak Tari. Samean Mbak Tari, ‘kan?” tanyanya semringah.Wanita yang ditanya itu hanya diam. Masih berpikir keras, siapa wanita berkulit sawo matang di hadapannya. Samar-samar dia mulai mengingatnya, tapi lagi-lagi wanita di depannya lebih dulu bersuara.“Ini aku Lastri, tetangga samean dulu. Inget, ndak?”Mata dengan bulu lentik itu membeliak, ketika kalimat itu berhasil membuat ingatannya kembali. Adik kelas sekaligus tetangganya ini memang sudah berubah. Tampak lebih modis dari kebanyakan gadis desa di sini. “Ya Allah, Maaf, ya, aku sempet lupa.”Kedua wanita itu lantas berpelukan erat, saling melepas rindu.“Mbak Lastri kenal t
“Mama sudah melamar wanita untukmu!”Hampir saja ponsel di genggaman Abi terjatuh, mendengar ucapan wanita di seberang sana. Bagaimana mungkin, mamanya melamar seseorang tanpa bilang dulu padanya?Ini yang mau menikah dia atau mamanya?“Kenapa mama enggak tanya dulu sama, Abi?” seruan protes langsung terlontar dari mulut Abi. “Salah kamu sendiri, dari dulu disuruh cari istri enggak mau. Ya udah mama inisiatif mencarikan istri untukmu.”Abi terperangah mendengar jawaban wanita yang dicintainya itu. “Tapi enggak gitu juga, Ma!” Menikah bukan sesuatu yang main-main, tidak bisa 'kan asal pilih orang untuk dijadikan pasangan seumur hidup?Nada frustrasi terdengar jelas dari suara Abi. Pria itu merasa sangat kesal, tapi dia tidak mungkin membentak sang mama. Jadi sebisa mungkin dia mencoba menahan emosi yang sudah di ubun-ubun.“Terus mama harus bagaimana? Mama sudah tua Abi, tidak mungkin terus-terusan bolak balik dari rumah ke rumahmu, untuk memastikan kamu dan cucu mama hidup dengan bai
Sembari mencuci peralatan makan Tari teringat kembali kejadian tadi, yang sampai saat ini masih terasa seperti mimpi baginya."Kalian nikah secara agama dulu saja sekarang. Daripada nunggu tiga bulan lagi, kelamaan itu. Iya, 'kan, Pa?" tanya Mama Abi kepada sang suami, yang dibalas anggukan setuju.Semua terjadi begitu cepat, ketika seorang kerabat mereka mengusulkan untuk memanggil seorang ustadz di kampungnya. Tari bahkan belum sempat mencerna apa yang terjadi. Saat tiba-tiba saja Abi menjabat tangan ayahnya untuk mengucapkan ijab qabul.Saat semua keluarga menyalaminya untuk mengucapkan selamat, wanita itu masih menampilkan ekspresi kebingungan. Begitu juga ketika matanya memandang seseorang yang baru saja sah menjadi suaminya. Dia juga melihat raut kebingungan yang sama.Panggilan dari sang ibu menghentikan lamunan Tari."Itu dilanjut besok saja, kamu istirahat sekarang. Nak Abi juga sudah ke kamar tadi, Ica sudah tidur soalnya."Mendengar ibunya menyebut nama Ica, membuat Tari te
"Itu apa, Tante?"Tari tersenyum mendengar pertanyaan Ica yang duduk di belakang. Sejak meninggalkan rumahnya, si gadis selalu bertanya semua hal yang menarik perhatiannya. Wanita itu bersyukur dengan adanya Ica suasana di mobil tidak terlalu canggung."Rumah eyang, masih jauh apa nggak?""Sebentar lagi, Sayang," jawab Tari dengan sabar. Sepertinya gadis cantik itu tidak sabar untuk segera bertemu kakek neneknya.Lelaki yang tengah fokus menyetir itu, melirik ke samping ketika suara lembut mampir ke telinganya. Suara yang tadi membangunkannya untuk sholat subuh. Sesuatu yang entah kapan terakhir dilakukan, akhirnya tadi pagi dilakukan kembali. Tanpa dia sadari senyum kecil terbit di bibirnya, ketika mengingat kejadian tadi pagi."Itu rumah eyang." Ica berseru penuh semangat.Setelah sang ayah memarkirkan mobilnya dengan sempurna, gadis itu meminta agar pintu mobil segera dibuka. Setelah keinginannya dikabulkan, Ica langsung berlari. Meninggalkan papa dan juga ibu barunya, yang saling
Selamat membaca."Tidurlah! Bereskan pakaianmu besok saja!" perintah Abi pada istrinya.Tanpa mengatakan apapun Tari menuruti perintah suaminya, lalu bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Suaminya tidur tanpa selimut, adalah pemandangan pertama yang dia lihat ketika keluar dari kamar mandi. Tari menghela napas lega, setidaknya mereka tidak perlu berada dalam situasi yang canggung. Meskipun semalam dia berusaha bersikap tenang, tapi sebenarnya itu adalah cara agar ia bisa menutupi kegugupannya.Berpikir beberapa saat, Tari beranjak dari tempatnya menuju ranjang. Setelah itu dengan hati-hati dia tutupi tubuh suaminya dengan selimut. Dia pandangi sebentar wajah suaminya, sebelum berlalu ke sisi lain untuk tidur. Wanita itu menghela napas sebentar lalu berdoa semoga diberi kekuatan untuk menjalani hari esok.***Dari lima menit yang lalu, wanita yang masih menggunakan mukena putihnya, berusaha untuk membangunkan sang suami. Meski yang hasil yang didapatnya masih nihil, lelaki i
"Siapa kamu?" tanya wanita itu setelah duduk di sebelah Arkan. Entah mengapa dia begitu kesal, melihat senyum tulus perempuan yang duduk di samping Ica."Ini Tante Tari," jawab Ica."Tante Tari? Siapa?" tanya wanita berambut coklat itu karena jawaban Ica belum menghilangkan rasa penasarannya."Ya, Tante Tari."Wanita itu berdecak kesal. "Maksudku, Tante Tari itu siapa? Kok bisa ada disini?" "Saya Tari, istri Mas Abi," tegas Tari. Karena tidak ada tanda-tanda sang suami akan menjawab pertanyaan itu.Suara batuk Abi yang tersedak makanan, membuat Tari mengalihkan pandangan pada sang suami. Dengan cekatan dia mengambil air minum, lalu diberikan pada sang suami. Tanpa mengindahkan si wanita asing yang kaget dengan ucapannya, dan juga Arkan yang tanpa sadar tersenyum menyaksikan adegan di depannya."Kamu nggak papa, Mas? Hati-hati kalau minum, pelan-pelan saja."'Gara-gara siapa aku tersedak seperti ini,' gerutu Abi dalam hati. Dia tidak habis pikir, bagaimana wanita ini tidak terintimida
"Mbak Tari, Mas Abi. Ini tetangga baru kita, rumahnya di depan rumah kita pas," jelas Lastri yang tidak menyadari aura berbeda pada keempat orang yang berada dalam ruangan yang sama dengannya.Ajeng langsung merapatkan diri pada suaminya, perempuan dengan midi dress selutut warna tosca itu langsung mengalungkan tangannya di lengan sang suami."Saya Ajeng, dan ini suami saya Dipta.""Saya Abi dan ini istri saya Tari."Abi merasa tidak nyaman melihat pria di depannya memandang lekat sang istri. Perlahan ia lepas pegangan sang istri di tangannya, kemudian merengkuh pinggang istrinya, hingga membuat tubuh mereka menempel satu sama lain. Abi dapat merasakan tubuh Tari membeku, akibat perbuatannya.Sementara itu, setelah tadi terkejut karena melihat kembali mantan istrinya. Kini, Dipta harus menahan emosi meyaksikan interaksi di hadapannya. Lelaki itu sama sekali tidak menyangka kalau Tari menikah lagi setelah perceraian mereka."Tante."Tari mendapatkan kembali kesadarannya, ketika tubuhny
Mengistirahatkan diri dengan duduk di sofa, Tari menarik napas berkali-kali seraya mengelus perutnya yang terasa sakit. Sudah sejak tadi siang dia merasakan hal ini, tapi karena sakitnya muncul lalu hilang terus jadi dia tidak terlalu ambil pusing dan tetap mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa. Namun, kali ini rasanya lebih sakit dengan durasi yang cukup lama. Apa dia sudah mau melahirkan? "Sabar, ya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang." Tari meringis kala rasa sakit kembali menyerang, dia menatap jam yang ada di dinding. Sudah setengah lima, tapi suaminya belum datang. Padahal pria itu berkata akan pulang pukul tiga. Sedangkan Bintang tadi mengatakan jika anak itu menginap di rumah temannya untuk mengerjakan tugas, Icha sendiri dari kemarin menginap di rumah Kinan. Menahan rasa sakit yang kian menjadi, pelan dia bangkit bermaksud mengambil ponsel yang tadi diletakkannya di kamar. Jarak kamar dan ruang tengah yang dekat, kali ini terasa jauh. Belum lagi dia yang harus sedikit
Rasa haus membangunkan Tari dari tidur nyenyaknya. Meraba-raba tempat di sampingnya, dia merasa bingung karena tidak menemukan sang suami. Di mana pria itu?Semakin hari dia merasa tak bisa jauh dari suaminya. Pernah ditinggal sebentar saja langsung menangis. Pasalnya Abi pergi ketika malam, waktu dimana dia ingin menghabiskan waktu bersama pria itu.Bangkit perlahan mengingat perutnya yang sudah membesar, matanya menyipit kala di bawah remang lampu kecil yang terletak di atas nakas dia mendapati sang suami tengah menengadahkan tangan. Berdoa.Pria yang menggunakan peci putih itu tampak sesenggukan. Entah apa yang diminta pria itu sehingga membuatnya tampak sedih.Tari tidak bergerak, diam dalam posisi duduk. Menunggu sampai sang suami menyadari kehadirannya. Lalu dia tersenyum kala Abi terkejut begitu menyadari keberadaannya."Kenapa bangun?" tanya Abi sambil berjalan ke arah sang istri.Tari menggeleng, diletakkannya telapak tangan di pipi sang suami. Mengusap lembut, menghilangkan
Seperti yang sudah direncanakan, pagi itu keluarga Abi sudah bersiap-siap untuk berangkat menuju tempat pertandingan Arkan.Abi sendiri yang sudah berusaha membujuk sang istri agar tidak ikut, akhirnya menyerah. Karena wanita itu benar-benar berubah menjadi sosok keras kepala, yang akan cemberut sepanjang hari jika keinginannya tidak dipenuhi.Sebenarnya bukan hanya dia saja yang mencoba melarang, tapi Arkan juga melakukan hal yang sama. Berbeda dengan dirinya, Tari bersikap lebih lunak pada anak-anak. Bahkan wanita itu cenderung sensitif, seperti kemarin istrinya membuat drama kala Arkan mengatakan agar tidak perlu datang."Apa sebaiknya Bunda di rumah saja?" Dari meja makan Arkan memperhatikan sang bunda yang tengah sibuk menyiapkan bekal untuk besok. Padahal dia sudah mengatakan agar wanita itu tidak perlu repot-repot. Toh, dari panitianya sudah disediakan konsumsi."Kenapa memangnya?""Ya, 'kan Bunda lagi hamil gitu. Gimana kalau kecapekan?" tanya Arkan untuk kesekian kali. Karena
"Minggu ini 'kan final futsalnya?" tanya Tari sambil menyerahkan segelas jus pada suaminya yang tengah menonton televisi di ruang tengah bersama sang putera.Semenjak hubungan kedua laki-laki tersebut semakin membaik, semakin kompak juga mereka. Tak jarang dia merasa kesal jika suami dan anaknya sudah berada di dunianya sendiri, seperti olahraga dan bermain game. Dia sungguh merasa di abaikan.Duduk di salah satu sofa, dia ikut memperhatikan layar datar yang sama sekali tidak menaikkan minatnya."Iya, Bun.""Kalau jawab itu sambil liat, bunda! Emangnya tv lebih menarik dari bunda?" cibir Tari kesal. Benar 'kan dia selalu diabaikan jika sang anak tengah menikmati tontonan favoritnya.Dia berharap ada Icha yang selalu berada di kubunya. Sayangnya gadis cantik tersebut sudah tidur sejak tadi.Sementara itu Arkan yang baru saja kena cibir langsung berdeham dan melirik sang papa yang tampak sedang mengulum bibir, seperti menahan tawa atau mungkin mengejeknya?"Maaf, Bun. Lagi seru soalnya.
"Kenapa, Lo?" Riko menatap aneh sahabatnya yang menghela napas berulang kali. Seolah tengah menghadapi beban yang berat. Padahal kalau dipikir-pikir, bukankah kehidupan Abi sudah enak? Punya istri baik, anak-anak tampan dan lucu yang sebentar lagi akan bertambah satu. Namun, kenapa wajah sahabatnya itu macam kemeja yang belum disetrika. Kusut."Ngga pa-pa.""Buset, kayak cewek aja, Lo! Bilang ngga pa-pa tapi ada apa-apa."Abi melemparkan bantal sofa pada temannya. "Daripada Lo bawelnya melebihi cewek."Riko menggerutu. Kesal. "Males gue ngomong sama Lo!" Pria itu berjalan menuju pintu, seraya memegang gagang pintu dia membalik setengah badannya. "Jangan suntuk lama-lama, kasihan Tari. Nanti dia dikira nikah sam om-om."Berdecak kesal, Abi hampir saja melempar bantal kursi lagi tapi sayangnya pria yang sudah bertahun-tahun menjadi sahabatnya itu sudah menghilang di balik pintu.Beberapa menit setelah kepergian sang sahabat, Abi memutuskan untuk keluar dari ruang kerjanya. Walaupun kini
"Jadi, Mas Abi sudah lama suka padaku?" tanya Tari sambil tertawa kecil. Tidak menyangka jika pertanyaan yang di lemparkan sang suami dulu, adalah bentuk keseriusan. "Bisa dibilang begitu." Mata Tari memincing. "Santai banget jawabnya. Seingatku dulu Mas Abi terlihat gugup saat mengutarakan keinginan untuk mendekatiku." Abi tertawa, tangannya mencubit pipi sang istri. "Tentu saja. Dulu aku masih remaja sekarang aku adalah laki-laki dewasa yang mau punya anak tiga. Udah gak pantes lagi malu-malu kucing kayak gitu." Entah kenapa, ucapan sang suami membuatnya kesal. Tanpa mengucapkan apapun Tari membalik tubuhnya. Memunggungi sang suami. Boleh kah dia menyalahkan hormon kehamilan? Sebab belakangan ini hanya hal kecil bisa mematik kekesalannya. Di saat sedang memikirkan perubahan emosi yang dirasakan, Tari tersentak saat sebuah tangan memeluknya. Walau kesal, tak ada niat untuk menyingkarkan dekapan Abi karena rasanya yang begitu nyaman. "Sepertinya aku harus mulai bersabar menghada
"Mas.""Ya," jawab Abi tanpa melepaskan pandangan dari laptop yang ada di pangkuannya. Dia menoleh dan mendapati raut sang istri penuh keraguan. "Ada apa?""Aku boleh tanya sesuatu?" Jemari Tari saling bertaut. Sebenarnya dia takut menyinggung sang suami, tapi di sisi lain juga penasaran.Abi tersenyum lembut pada sang istri yang tengah berbaring miring sambil menatapnya. Dia usap pelan rambut legam yang terasa halus di tangannya. "Mau tanya apa?"tanyanya lembut."Kata bapak, dulu Mas Abi pernah memintaku pada bapak. Benar?"Abi tersentak untuk sesaat, bahkan wajah pria itu mendadak memerah. Salah tingkah.Setelah berhasil menenangkan diri, di menyunggingkan senyum tipis. Lalu bergerak untuk meletakkan laptopnya di atas nakas, kemudian ikut berbaring miring menghadap sang istri yang masih memberinya senyum lembut.Astaga, manis sekali istrinya!Pantas saja mantan suami Tari menyesal karena perempuan yang tengah mengandung anaknya itu selalu bisa memperlakukan orang lain dengan lembut.
"Mas, apa kamu merasa ada yang aneh dengan Arkan?" tanya Tari pada laki-laki yang berbaring di sampingnya. "Dia menjadi lebih pendiam. Apa dia belum menerima kalau akan mempunyai adik lagi?" Kesedihan tampak jelas di wajah ibu hamil tersebut mengingat perubahan sikap sang anak.Abi menghela napas berat. Hal ini lah yang belakangan menjadi beban pikirannya. Perubahan sikap sang putra. Awalnya dia berencana untuk menyelesaikan masalah ini sendiri. Karena tidak mau membuat istrinya ikut stres memikirkan sang putra. Namun, siapa sangka istrinya ini sangat peka."Aku gak tau kenapa dia seperti itu," jujur Abi. "Nanti biar aku cari waktu untuk bicara padanya.""Biar aku saja. Karena firasatku mengatakan kalau perubahan Arkan terjadi karena berita kehamilanku." Tari menatap sang suami dengan mata berkaca-kaca.Abi mengusap kepala istrinya penuh kasih sayang. "Kamu yakin?"Iya, Mas. Bagaimanapun Arkan sekarang adalah anakku. Aku mau dia juga bahagia, Mas."Merengkuh tubuh istrinya. Abi merasa
"Udah, Mas?" tanya Tari saat suaminya yang baru saja menaruh tasnya, karena hari ini dia sudah diperbolehkan pulang. Setelah menginap satu malam di rumah sakit."Udah." Abi menatap lekat istrinya. "Jadi? Masih belum mau bercerita kenapa kamu terjatuh?"Tari mengedikkan bahu. Sementara bibirnya menyunggingkan senyum, berharap sang suami mau mengerti jika dia tak mau membicarakan masalah ini lagi."Aku yakin pasti ada hubungannya dengan tetangga depan itu. Apa perlu aku menanyakan pada mereka?""Jangan!" teriak Tari, panik. Bukannya apa, dia tak mau Abi terlibat perkelahian lagi. Dia lantas menghela napas panjang. "Aku akan cerita, tapi tolong jangan terpancing amarah.""Ngga janji.""Mas!""Oke, jadi?""Ajeng yang mendorongku," ujar Tari lirih berharap suaminya tidak mendengar. Namun, tentu saja dia salah sebab kini suaminya sudah mengepalkan tangan seraya menatapnya tajam."Berani sekali wanita itu!""Tenang, Mas. Yang penting aku baik-baik saja. Lagipula, kamu ngga mungkin mukul pere