Pemandangan hijau di kanan dan kiri, tidak hanya membawa kesejukan di mata bulat wanita berlesung pipit itu. Hatinya pun terasa begitu damai menikmati keindahan yang ada di kampung halamannya. Sesuatu yang sudah lama tidak dia rasakan.
Belum lagi, sapaan orang-orang yang akan pergi ke sawah. Menambah kadar bahagia yang dia rasakan. Keramahan yang selalu bisa menular, hingga menciptakan sebuah senyuman.“Bapak sudah bicara dengan ibumu, agar membatalkan rencananya.”
Tari menoleh kepada cinta pertamanya, yang saat ini sedang mengantarnya berangkat ke sekolah. Setelah tadi menitipkan motor terlebih dahulu ke rumah sang paman, yang kebetulan terletak tidak jauh dari tempatnya mengajar.
Empat bulan setelah kembali ke sini, dia ditawari pekerjaan. Sebagai guru di sebuah PAUD yang tentu saja dia terima dengan senang hati. Dia bersyukur dengan bekerja, bisa sedikit mengalihkan perhatiannya dari rasa sakit yang terkadang masih menghantui. Pun ingatan tentang mantan suaminya yang perlahan terkikis.
“Mungkin cara ibumu salah. Namun, kamu harus tau itulah caranya mencintaimu. Dia ndak mau kamu jadi bahan gunjingan.” Pria tua itu menghela napas sebelum melanjutkan ceritanya. Mencoba menjadi penengah di antara istri dan putrinya.
“Bapak ingat bagaimana ibumu begitu emosi ketika kamu telpon waktu itu. Bahkan ibu langsung mengajak bapak untuk menjemputmu.” Tawa kecil keluar dari bibir pria paruh baya itu. “Ibumu berkata ingin memberi pelajaran pada mantan suami dan sahabatmu. Katanya ibu ingin menjambak mereka."
Meskipun cairan bening sudah menumpuk di matanya, tapi Tari tetap tertawa mendengar cerita bapaknya. Dia bisa membayangkan bagaimana wajah cantik sang ibu yang penuh kemarahan.
Ketika Putra menghentikan langkah, Tari juga melakukan hal yang sama. Ayah dan anak itu pun saling berpandangan. “Jadi jangan marah sama ibumu. Dia hanya sangat menyayangimu, meskipun dengan cara yang kurang tepat.”
“Engge, Pak.” Tari tersenyum saat merasakan usapan lembut di kepalanya.
Pria itu memang sering kali mengingatkan betapa Sinta sangat menyayanginya, ketika wanita itu mulai memaksakan kehendak.
Terlahir dari keluarga berada, ibunya memilih meninggalkan semua kenikmatan yang dia terima demi menikah dengan Putra, yang saat itu bekerja sebagai guru honorer. Waktu itu hanya kakeknya yang menerima kehadiran bapaknya. Karena semua menganggap status sosial keduanya terlalu berbeda jauh.
Dia ingat, keluarganya sering dipandang sebelah mata oleh keluarga sang ibu bahkan hingga saat ini. Bahkan ketika ada acara penting terkadang mereka tidak diajak diskusi, hanya diberi undangan untuk datang di acara yang diselenggarakan. Maka hal itu menyebabkan Sinta selalu berusaha menjadikannya sebagai wanita yang hebat dan tangguh. Agar bisa bersikap masa bodoh ketika diperlakukan semena-mena.
Sebuah usapan lembut di kepala, membuat Tari menghentikan lamunannya. Dia menatap sang bapak yang juga tengah melakukan hal yang sama.
“Jangan kuatir. Ibu ndak akan lagi memaksamu untuk bersama Juragan Heru.”
“Makasih, Pak,” ujar Tari seraya mengeratkan tautan tangannya di lengan sang bapak.
Dia bersyukur. Sesulit apa pun hidupnya saat ini, dia masih mempunyai orang tua yang mencintainya. Kedua orang yang selalu menerimanya dengan tangan terbuka. Mereka tidak menyalahkannya atas perceraian yang terjadi.
***
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Aku ganggu enggak?” tanya Sekar, sahabat Tari di seberang sana.
“Enggak kok, ini baru selesai.” Tari menganggukkan kepala ketika salah satu pengajar berpamitan padanya. Tangannya bergerak merapikan meja.
“Syukur, deh. Gimana kabarmu? Duh, aku kangen sama kamu.”
Wanita itu tersenyum mendengar nada heboh dari sang sahabat. “Alhamdulillah. Kamu sendiri?”
“Alhamdulillah, sehat.” Tari bisa mendengar helaan napas panjang di seberang sana. Jeda beberapa detik, hingga sebuah suara kembali terdengar di telinganya.
“Semalam ... Ajeng nelpon.”
“O, ya, kenapa?” tanya Tari sambil menghalau rasa sakit yang kembali dia rasakan karena mendengar nama Ajeng. Ternyata nama itu masih sanggup mempengaruhi suasana hatinya.
Tari menggeleng pelan kala Sekar menceritakan tentang Ajeng yang menelepon karena ingin meminta nomor barunya. Namun, tentu saja Sekar tidak mau memberikannya. Mengingat betapa dirinya tidak mau lagi berurusan dengan istri dari mantan suaminya itu.
Lalu Ajeng tetap bersikeras meminta nomornya hingga membuat Sekar bertanya alasannya, jawaban Ajeng menyebabkan amarah sahabat Tari itu naik. Bagaimana tidak, wanita itu memberitahu bahwa dia butuh tanda tangannya agar bisa menjual rumah yang mereka tempati. Karena sertifikat itu memang atas nama Tari.
“Sumpah, ya, aku gemes banget sama tuh anak. Kalaupun mau ngejual rumah, seharusnya pria enggak tau diri itu yang menelponku, kenapa harus pelakor itu?”
Mendengar nada penuh emosi sahabatnya, Tari tertawa, meski nyeri di dada belum menghilang sepenuhnya. “Jangan gitu, biar gimana pun dia itu sahabatmu,” goda Tari.
“Mantan sahabat!” Aku heran dulu kok bisa, ya, kita sahabatan sama rubah itu. Gila, ya, pinter banget dia mengelabuhi kita.”
Jangankan Sekar, Tari pun bingung kenapa Ajeng bisa berbuat seperti itu. Padahal mereka bertiga sangat akrab. Kemana-mana selalu bersama, saling berbagi cerita dan juga saling membantu saat salah satu ada kesulitan. Ketika Ajeng bercerai dengan mantan suaminya, Tari dan Sekar lah yang membantu wanita itu bangkit.
“Udahlah enggak usah bahas itu lagi, aku akan bicara sama bapak masalah sertifikat rumah itu. Jadi, kalau dia telpon tolong kamu kabari aku.”
Ya, perempuan itu tidak mau membuat keputusan yang gegabah dan menyebabkan hidup tenangnya terganggu. Berbicara dengan orang tua adalah pilihan paling baik.
***
Tari berlari, ketika melihat seorang gadis kecil terjatuh dari ayunan.
“Kamu tidak apa-apa?” tanyanya.
Anak itu menangis sambil menutupi lututnya yang berdarah.
“Boleh tante lihat kakinya?” Bibir tipis Tari yang dihiasi lipstik nude, tersenyum hangat pada gadis di depannya. Dia berharap hal itu bisa menghilangkan raut ragu si gadis. “Gak pa-pa, biar tante obati dulu lukanya.”
Mata bulat itu masih memerah. Namun, perlahan-lahan gadis kecil itu membuka tangannya.
Bergegas Tari membuka tasnya untuk mengambil tisu. Dia menghela napas kala melihat luka gadis itu tidak parah. Tari meniup tisu di tangannya. “Bismillah, sembuh.”
“Cuma ditiup aja, bisa sembuh?” Kening anak itu mengerut seperti memikirkan sesuatu.
“Insya Allah, dan nanti setalah sampai rumah harus segera di bersihkan. Oke?”
Rambut gadis itu yang dikucir ekor kuda bergerak, seiring anggukan penuh semangat dari gadis bermata bulat serta hidung kecil yang mancung. Membuat gadis itu terlihat seperti boneka.
Gemas dengan tingkah si gadis, Tari mengusap pelan rambut berwarna hitam milik nona kecil di hadapannya.
“Ica!”
Teriakan kencang, diikuti derap langkah yang semakin dekat membuat Tari dan si gadis berpaling secara bersamaan.
Gadis bak boneka itu tersenyum lebar, seraya mengangkat kedua tangannya mengetahui siapa yang kini berlari ke arahnya.
“Ya Allah, Ica. Dari tadi mbak nyariin kamu.”Tari melihat perempuan yang mungkin lebih muda dengannya, menatap Ica dengan khawatir. Kemudian wanita berhijab panjang itu menautkan alis, karena merasa pernah bertemu dengan wanita yang disebut Ica dengan Mbak Lastri. Namun, sebelum Tari mendapatkan ingatannya. Sosok itu menoleh, lalu memekik kaget.“Ya Allah, Mbak Tari. Samean Mbak Tari, ‘kan?” tanyanya semringah.Wanita yang ditanya itu hanya diam. Masih berpikir keras, siapa wanita berkulit sawo matang di hadapannya. Samar-samar dia mulai mengingatnya, tapi lagi-lagi wanita di depannya lebih dulu bersuara.“Ini aku Lastri, tetangga samean dulu. Inget, ndak?”Mata dengan bulu lentik itu membeliak, ketika kalimat itu berhasil membuat ingatannya kembali. Adik kelas sekaligus tetangganya ini memang sudah berubah. Tampak lebih modis dari kebanyakan gadis desa di sini. “Ya Allah, Maaf, ya, aku sempet lupa.”Kedua wanita itu lantas berpelukan erat, saling melepas rindu.“Mbak Lastri kenal t
“Mama sudah melamar wanita untukmu!”Hampir saja ponsel di genggaman Abi terjatuh, mendengar ucapan wanita di seberang sana. Bagaimana mungkin, mamanya melamar seseorang tanpa bilang dulu padanya?Ini yang mau menikah dia atau mamanya?“Kenapa mama enggak tanya dulu sama, Abi?” seruan protes langsung terlontar dari mulut Abi. “Salah kamu sendiri, dari dulu disuruh cari istri enggak mau. Ya udah mama inisiatif mencarikan istri untukmu.”Abi terperangah mendengar jawaban wanita yang dicintainya itu. “Tapi enggak gitu juga, Ma!” Menikah bukan sesuatu yang main-main, tidak bisa 'kan asal pilih orang untuk dijadikan pasangan seumur hidup?Nada frustrasi terdengar jelas dari suara Abi. Pria itu merasa sangat kesal, tapi dia tidak mungkin membentak sang mama. Jadi sebisa mungkin dia mencoba menahan emosi yang sudah di ubun-ubun.“Terus mama harus bagaimana? Mama sudah tua Abi, tidak mungkin terus-terusan bolak balik dari rumah ke rumahmu, untuk memastikan kamu dan cucu mama hidup dengan bai
Sembari mencuci peralatan makan Tari teringat kembali kejadian tadi, yang sampai saat ini masih terasa seperti mimpi baginya."Kalian nikah secara agama dulu saja sekarang. Daripada nunggu tiga bulan lagi, kelamaan itu. Iya, 'kan, Pa?" tanya Mama Abi kepada sang suami, yang dibalas anggukan setuju.Semua terjadi begitu cepat, ketika seorang kerabat mereka mengusulkan untuk memanggil seorang ustadz di kampungnya. Tari bahkan belum sempat mencerna apa yang terjadi. Saat tiba-tiba saja Abi menjabat tangan ayahnya untuk mengucapkan ijab qabul.Saat semua keluarga menyalaminya untuk mengucapkan selamat, wanita itu masih menampilkan ekspresi kebingungan. Begitu juga ketika matanya memandang seseorang yang baru saja sah menjadi suaminya. Dia juga melihat raut kebingungan yang sama.Panggilan dari sang ibu menghentikan lamunan Tari."Itu dilanjut besok saja, kamu istirahat sekarang. Nak Abi juga sudah ke kamar tadi, Ica sudah tidur soalnya."Mendengar ibunya menyebut nama Ica, membuat Tari te
"Itu apa, Tante?"Tari tersenyum mendengar pertanyaan Ica yang duduk di belakang. Sejak meninggalkan rumahnya, si gadis selalu bertanya semua hal yang menarik perhatiannya. Wanita itu bersyukur dengan adanya Ica suasana di mobil tidak terlalu canggung."Rumah eyang, masih jauh apa nggak?""Sebentar lagi, Sayang," jawab Tari dengan sabar. Sepertinya gadis cantik itu tidak sabar untuk segera bertemu kakek neneknya.Lelaki yang tengah fokus menyetir itu, melirik ke samping ketika suara lembut mampir ke telinganya. Suara yang tadi membangunkannya untuk sholat subuh. Sesuatu yang entah kapan terakhir dilakukan, akhirnya tadi pagi dilakukan kembali. Tanpa dia sadari senyum kecil terbit di bibirnya, ketika mengingat kejadian tadi pagi."Itu rumah eyang." Ica berseru penuh semangat.Setelah sang ayah memarkirkan mobilnya dengan sempurna, gadis itu meminta agar pintu mobil segera dibuka. Setelah keinginannya dikabulkan, Ica langsung berlari. Meninggalkan papa dan juga ibu barunya, yang saling
Selamat membaca."Tidurlah! Bereskan pakaianmu besok saja!" perintah Abi pada istrinya.Tanpa mengatakan apapun Tari menuruti perintah suaminya, lalu bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Suaminya tidur tanpa selimut, adalah pemandangan pertama yang dia lihat ketika keluar dari kamar mandi. Tari menghela napas lega, setidaknya mereka tidak perlu berada dalam situasi yang canggung. Meskipun semalam dia berusaha bersikap tenang, tapi sebenarnya itu adalah cara agar ia bisa menutupi kegugupannya.Berpikir beberapa saat, Tari beranjak dari tempatnya menuju ranjang. Setelah itu dengan hati-hati dia tutupi tubuh suaminya dengan selimut. Dia pandangi sebentar wajah suaminya, sebelum berlalu ke sisi lain untuk tidur. Wanita itu menghela napas sebentar lalu berdoa semoga diberi kekuatan untuk menjalani hari esok.***Dari lima menit yang lalu, wanita yang masih menggunakan mukena putihnya, berusaha untuk membangunkan sang suami. Meski yang hasil yang didapatnya masih nihil, lelaki i
"Siapa kamu?" tanya wanita itu setelah duduk di sebelah Arkan. Entah mengapa dia begitu kesal, melihat senyum tulus perempuan yang duduk di samping Ica."Ini Tante Tari," jawab Ica."Tante Tari? Siapa?" tanya wanita berambut coklat itu karena jawaban Ica belum menghilangkan rasa penasarannya."Ya, Tante Tari."Wanita itu berdecak kesal. "Maksudku, Tante Tari itu siapa? Kok bisa ada disini?" "Saya Tari, istri Mas Abi," tegas Tari. Karena tidak ada tanda-tanda sang suami akan menjawab pertanyaan itu.Suara batuk Abi yang tersedak makanan, membuat Tari mengalihkan pandangan pada sang suami. Dengan cekatan dia mengambil air minum, lalu diberikan pada sang suami. Tanpa mengindahkan si wanita asing yang kaget dengan ucapannya, dan juga Arkan yang tanpa sadar tersenyum menyaksikan adegan di depannya."Kamu nggak papa, Mas? Hati-hati kalau minum, pelan-pelan saja."'Gara-gara siapa aku tersedak seperti ini,' gerutu Abi dalam hati. Dia tidak habis pikir, bagaimana wanita ini tidak terintimida
"Mbak Tari, Mas Abi. Ini tetangga baru kita, rumahnya di depan rumah kita pas," jelas Lastri yang tidak menyadari aura berbeda pada keempat orang yang berada dalam ruangan yang sama dengannya.Ajeng langsung merapatkan diri pada suaminya, perempuan dengan midi dress selutut warna tosca itu langsung mengalungkan tangannya di lengan sang suami."Saya Ajeng, dan ini suami saya Dipta.""Saya Abi dan ini istri saya Tari."Abi merasa tidak nyaman melihat pria di depannya memandang lekat sang istri. Perlahan ia lepas pegangan sang istri di tangannya, kemudian merengkuh pinggang istrinya, hingga membuat tubuh mereka menempel satu sama lain. Abi dapat merasakan tubuh Tari membeku, akibat perbuatannya.Sementara itu, setelah tadi terkejut karena melihat kembali mantan istrinya. Kini, Dipta harus menahan emosi meyaksikan interaksi di hadapannya. Lelaki itu sama sekali tidak menyangka kalau Tari menikah lagi setelah perceraian mereka."Tante."Tari mendapatkan kembali kesadarannya, ketika tubuhny
Tari langsung menjauhkan wajahnya saat hembusan napas sang suami terasa di kulitnya. "A-apa, Mas?""Sudah, lupakan!"Abi merubah posisinya menjadi berbaring membelakangi sang istri. Sesungguhnya dia tidak mengerti kenapa bisa bertanya seperti itu. Hanya saja dia tidak suka melihat raut terluka di wajah Tari, meskipun wanita itu tersenyum."Kalau, Mas memang menginginkan hal itu aku—""Aku bilang lupakan, Tari! Lagipula gimana caranya kita melakukan itu? Sedangkan ketika tadi aku mengajakmu, wajahmu sudah ketakutan seperti itu."Sang istri menunduk mendengar kalimat suaminya, dia menggigit bibir mungilnya untuk menahan rasa sesak yang ada. "Maaf, Mas.""Tidurlah!"Pergerakan di sampingnya, membuat Abi tahu kalau Tari menuruti perintahnya. Namun, sekarang pria itu menjadi gelisah. Sebagai pria dewasa jujur dia terganggu dengan percakapan yang baru saja terjadi.Dikala dia berusaha memejamkan mata, sebuah suara lembut membuat matanya kembali terbuka."Menginjak enam tahun pernikahan, aku
Mengistirahatkan diri dengan duduk di sofa, Tari menarik napas berkali-kali seraya mengelus perutnya yang terasa sakit. Sudah sejak tadi siang dia merasakan hal ini, tapi karena sakitnya muncul lalu hilang terus jadi dia tidak terlalu ambil pusing dan tetap mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa. Namun, kali ini rasanya lebih sakit dengan durasi yang cukup lama. Apa dia sudah mau melahirkan? "Sabar, ya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang." Tari meringis kala rasa sakit kembali menyerang, dia menatap jam yang ada di dinding. Sudah setengah lima, tapi suaminya belum datang. Padahal pria itu berkata akan pulang pukul tiga. Sedangkan Bintang tadi mengatakan jika anak itu menginap di rumah temannya untuk mengerjakan tugas, Icha sendiri dari kemarin menginap di rumah Kinan. Menahan rasa sakit yang kian menjadi, pelan dia bangkit bermaksud mengambil ponsel yang tadi diletakkannya di kamar. Jarak kamar dan ruang tengah yang dekat, kali ini terasa jauh. Belum lagi dia yang harus sedikit
Rasa haus membangunkan Tari dari tidur nyenyaknya. Meraba-raba tempat di sampingnya, dia merasa bingung karena tidak menemukan sang suami. Di mana pria itu?Semakin hari dia merasa tak bisa jauh dari suaminya. Pernah ditinggal sebentar saja langsung menangis. Pasalnya Abi pergi ketika malam, waktu dimana dia ingin menghabiskan waktu bersama pria itu.Bangkit perlahan mengingat perutnya yang sudah membesar, matanya menyipit kala di bawah remang lampu kecil yang terletak di atas nakas dia mendapati sang suami tengah menengadahkan tangan. Berdoa.Pria yang menggunakan peci putih itu tampak sesenggukan. Entah apa yang diminta pria itu sehingga membuatnya tampak sedih.Tari tidak bergerak, diam dalam posisi duduk. Menunggu sampai sang suami menyadari kehadirannya. Lalu dia tersenyum kala Abi terkejut begitu menyadari keberadaannya."Kenapa bangun?" tanya Abi sambil berjalan ke arah sang istri.Tari menggeleng, diletakkannya telapak tangan di pipi sang suami. Mengusap lembut, menghilangkan
Seperti yang sudah direncanakan, pagi itu keluarga Abi sudah bersiap-siap untuk berangkat menuju tempat pertandingan Arkan.Abi sendiri yang sudah berusaha membujuk sang istri agar tidak ikut, akhirnya menyerah. Karena wanita itu benar-benar berubah menjadi sosok keras kepala, yang akan cemberut sepanjang hari jika keinginannya tidak dipenuhi.Sebenarnya bukan hanya dia saja yang mencoba melarang, tapi Arkan juga melakukan hal yang sama. Berbeda dengan dirinya, Tari bersikap lebih lunak pada anak-anak. Bahkan wanita itu cenderung sensitif, seperti kemarin istrinya membuat drama kala Arkan mengatakan agar tidak perlu datang."Apa sebaiknya Bunda di rumah saja?" Dari meja makan Arkan memperhatikan sang bunda yang tengah sibuk menyiapkan bekal untuk besok. Padahal dia sudah mengatakan agar wanita itu tidak perlu repot-repot. Toh, dari panitianya sudah disediakan konsumsi."Kenapa memangnya?""Ya, 'kan Bunda lagi hamil gitu. Gimana kalau kecapekan?" tanya Arkan untuk kesekian kali. Karena
"Minggu ini 'kan final futsalnya?" tanya Tari sambil menyerahkan segelas jus pada suaminya yang tengah menonton televisi di ruang tengah bersama sang putera.Semenjak hubungan kedua laki-laki tersebut semakin membaik, semakin kompak juga mereka. Tak jarang dia merasa kesal jika suami dan anaknya sudah berada di dunianya sendiri, seperti olahraga dan bermain game. Dia sungguh merasa di abaikan.Duduk di salah satu sofa, dia ikut memperhatikan layar datar yang sama sekali tidak menaikkan minatnya."Iya, Bun.""Kalau jawab itu sambil liat, bunda! Emangnya tv lebih menarik dari bunda?" cibir Tari kesal. Benar 'kan dia selalu diabaikan jika sang anak tengah menikmati tontonan favoritnya.Dia berharap ada Icha yang selalu berada di kubunya. Sayangnya gadis cantik tersebut sudah tidur sejak tadi.Sementara itu Arkan yang baru saja kena cibir langsung berdeham dan melirik sang papa yang tampak sedang mengulum bibir, seperti menahan tawa atau mungkin mengejeknya?"Maaf, Bun. Lagi seru soalnya.
"Kenapa, Lo?" Riko menatap aneh sahabatnya yang menghela napas berulang kali. Seolah tengah menghadapi beban yang berat. Padahal kalau dipikir-pikir, bukankah kehidupan Abi sudah enak? Punya istri baik, anak-anak tampan dan lucu yang sebentar lagi akan bertambah satu. Namun, kenapa wajah sahabatnya itu macam kemeja yang belum disetrika. Kusut."Ngga pa-pa.""Buset, kayak cewek aja, Lo! Bilang ngga pa-pa tapi ada apa-apa."Abi melemparkan bantal sofa pada temannya. "Daripada Lo bawelnya melebihi cewek."Riko menggerutu. Kesal. "Males gue ngomong sama Lo!" Pria itu berjalan menuju pintu, seraya memegang gagang pintu dia membalik setengah badannya. "Jangan suntuk lama-lama, kasihan Tari. Nanti dia dikira nikah sam om-om."Berdecak kesal, Abi hampir saja melempar bantal kursi lagi tapi sayangnya pria yang sudah bertahun-tahun menjadi sahabatnya itu sudah menghilang di balik pintu.Beberapa menit setelah kepergian sang sahabat, Abi memutuskan untuk keluar dari ruang kerjanya. Walaupun kini
"Jadi, Mas Abi sudah lama suka padaku?" tanya Tari sambil tertawa kecil. Tidak menyangka jika pertanyaan yang di lemparkan sang suami dulu, adalah bentuk keseriusan. "Bisa dibilang begitu." Mata Tari memincing. "Santai banget jawabnya. Seingatku dulu Mas Abi terlihat gugup saat mengutarakan keinginan untuk mendekatiku." Abi tertawa, tangannya mencubit pipi sang istri. "Tentu saja. Dulu aku masih remaja sekarang aku adalah laki-laki dewasa yang mau punya anak tiga. Udah gak pantes lagi malu-malu kucing kayak gitu." Entah kenapa, ucapan sang suami membuatnya kesal. Tanpa mengucapkan apapun Tari membalik tubuhnya. Memunggungi sang suami. Boleh kah dia menyalahkan hormon kehamilan? Sebab belakangan ini hanya hal kecil bisa mematik kekesalannya. Di saat sedang memikirkan perubahan emosi yang dirasakan, Tari tersentak saat sebuah tangan memeluknya. Walau kesal, tak ada niat untuk menyingkarkan dekapan Abi karena rasanya yang begitu nyaman. "Sepertinya aku harus mulai bersabar menghada
"Mas.""Ya," jawab Abi tanpa melepaskan pandangan dari laptop yang ada di pangkuannya. Dia menoleh dan mendapati raut sang istri penuh keraguan. "Ada apa?""Aku boleh tanya sesuatu?" Jemari Tari saling bertaut. Sebenarnya dia takut menyinggung sang suami, tapi di sisi lain juga penasaran.Abi tersenyum lembut pada sang istri yang tengah berbaring miring sambil menatapnya. Dia usap pelan rambut legam yang terasa halus di tangannya. "Mau tanya apa?"tanyanya lembut."Kata bapak, dulu Mas Abi pernah memintaku pada bapak. Benar?"Abi tersentak untuk sesaat, bahkan wajah pria itu mendadak memerah. Salah tingkah.Setelah berhasil menenangkan diri, di menyunggingkan senyum tipis. Lalu bergerak untuk meletakkan laptopnya di atas nakas, kemudian ikut berbaring miring menghadap sang istri yang masih memberinya senyum lembut.Astaga, manis sekali istrinya!Pantas saja mantan suami Tari menyesal karena perempuan yang tengah mengandung anaknya itu selalu bisa memperlakukan orang lain dengan lembut.
"Mas, apa kamu merasa ada yang aneh dengan Arkan?" tanya Tari pada laki-laki yang berbaring di sampingnya. "Dia menjadi lebih pendiam. Apa dia belum menerima kalau akan mempunyai adik lagi?" Kesedihan tampak jelas di wajah ibu hamil tersebut mengingat perubahan sikap sang anak.Abi menghela napas berat. Hal ini lah yang belakangan menjadi beban pikirannya. Perubahan sikap sang putra. Awalnya dia berencana untuk menyelesaikan masalah ini sendiri. Karena tidak mau membuat istrinya ikut stres memikirkan sang putra. Namun, siapa sangka istrinya ini sangat peka."Aku gak tau kenapa dia seperti itu," jujur Abi. "Nanti biar aku cari waktu untuk bicara padanya.""Biar aku saja. Karena firasatku mengatakan kalau perubahan Arkan terjadi karena berita kehamilanku." Tari menatap sang suami dengan mata berkaca-kaca.Abi mengusap kepala istrinya penuh kasih sayang. "Kamu yakin?"Iya, Mas. Bagaimanapun Arkan sekarang adalah anakku. Aku mau dia juga bahagia, Mas."Merengkuh tubuh istrinya. Abi merasa
"Udah, Mas?" tanya Tari saat suaminya yang baru saja menaruh tasnya, karena hari ini dia sudah diperbolehkan pulang. Setelah menginap satu malam di rumah sakit."Udah." Abi menatap lekat istrinya. "Jadi? Masih belum mau bercerita kenapa kamu terjatuh?"Tari mengedikkan bahu. Sementara bibirnya menyunggingkan senyum, berharap sang suami mau mengerti jika dia tak mau membicarakan masalah ini lagi."Aku yakin pasti ada hubungannya dengan tetangga depan itu. Apa perlu aku menanyakan pada mereka?""Jangan!" teriak Tari, panik. Bukannya apa, dia tak mau Abi terlibat perkelahian lagi. Dia lantas menghela napas panjang. "Aku akan cerita, tapi tolong jangan terpancing amarah.""Ngga janji.""Mas!""Oke, jadi?""Ajeng yang mendorongku," ujar Tari lirih berharap suaminya tidak mendengar. Namun, tentu saja dia salah sebab kini suaminya sudah mengepalkan tangan seraya menatapnya tajam."Berani sekali wanita itu!""Tenang, Mas. Yang penting aku baik-baik saja. Lagipula, kamu ngga mungkin mukul pere