"Mbak Tari, Mas Abi. Ini tetangga baru kita, rumahnya di depan rumah kita pas," jelas Lastri yang tidak menyadari aura berbeda pada keempat orang yang berada dalam ruangan yang sama dengannya.Ajeng langsung merapatkan diri pada suaminya, perempuan dengan midi dress selutut warna tosca itu langsung mengalungkan tangannya di lengan sang suami."Saya Ajeng, dan ini suami saya Dipta.""Saya Abi dan ini istri saya Tari."Abi merasa tidak nyaman melihat pria di depannya memandang lekat sang istri. Perlahan ia lepas pegangan sang istri di tangannya, kemudian merengkuh pinggang istrinya, hingga membuat tubuh mereka menempel satu sama lain. Abi dapat merasakan tubuh Tari membeku, akibat perbuatannya.Sementara itu, setelah tadi terkejut karena melihat kembali mantan istrinya. Kini, Dipta harus menahan emosi meyaksikan interaksi di hadapannya. Lelaki itu sama sekali tidak menyangka kalau Tari menikah lagi setelah perceraian mereka."Tante."Tari mendapatkan kembali kesadarannya, ketika tubuhny
Tari langsung menjauhkan wajahnya saat hembusan napas sang suami terasa di kulitnya. "A-apa, Mas?""Sudah, lupakan!"Abi merubah posisinya menjadi berbaring membelakangi sang istri. Sesungguhnya dia tidak mengerti kenapa bisa bertanya seperti itu. Hanya saja dia tidak suka melihat raut terluka di wajah Tari, meskipun wanita itu tersenyum."Kalau, Mas memang menginginkan hal itu aku—""Aku bilang lupakan, Tari! Lagipula gimana caranya kita melakukan itu? Sedangkan ketika tadi aku mengajakmu, wajahmu sudah ketakutan seperti itu."Sang istri menunduk mendengar kalimat suaminya, dia menggigit bibir mungilnya untuk menahan rasa sesak yang ada. "Maaf, Mas.""Tidurlah!"Pergerakan di sampingnya, membuat Abi tahu kalau Tari menuruti perintahnya. Namun, sekarang pria itu menjadi gelisah. Sebagai pria dewasa jujur dia terganggu dengan percakapan yang baru saja terjadi.Dikala dia berusaha memejamkan mata, sebuah suara lembut membuat matanya kembali terbuka."Menginjak enam tahun pernikahan, aku
"Ada perlu apa Anda datang ke sini?" tanya Abi setelah duduk di hadapan wanita yang sedang tersenyum aneh kepadanya.Ajeng tersenyum sembari meletakkan kedua tangannya di atas kaki jenjangnya yang menyilang. "Saya ke sini karena ingin bertemu istri Anda, Tari."Abi berdecak mendengar nada manja yang keluar dari mulut perempuan di hadapannya. Lelaki itu tidak habis pikir, bisa-bisanya mantan suami Tari memilih melepaskan istrinya, hanya untuk bisa bersama wanita di depannya. Bahkan dari pertemuan awal kemarin, Abi sudah bisa menebak karakter wanita di hadapannya."Istri saya sedang mengantar anak kami pergi ke sekolah."Ajeng menatap kagum pada pria berahang tegas, yang menjawab pertanyaannya dengan nada datar. "Anak kami? Setahu saya Tari bercerai dengan suaminya karena dia tidak bisa memberi keturunan pada mantan suaminya."Senyum sinis tergambar di bibir Abi, dia menebak perempuan di depannya berpikir kalau ia belum tahu masa lalu sang istri. "Mungkin mantan suaminya terlalu payah,
"Dia butuh persetujuanku, untuk menjual rumah mereka." Tari memandang wajah di depannya yang terlihat sedang memikirkan sesuatu, "karena sertifikatnya atas namaku dan Mas Dipta."Mendengar istrinya mengucapkan nama sang mantan, Abi memandang netra itu dengan tajam. Namun, dia harus menyabarkan diri karena sepertinya istri cantiknya tidak mengerti arti tatapan tajam yang dia layangkan."Biar aku yang mengurusnya, kamu jangan bertemu lagi dengan mantan suamimu itu!""Terima kasih, Mas. Perlu Mas tau, aku memang tidak ada rencana bertemu mereka."Pandangan mereka saling mengunci beberapa saat. Ada perasaan hangat yang menjalar di hati mereka. Apakah ini pertanda baik? Kalau pada akhirnya perasaan mereka mulai tumbuh?Abi lah yang pertama kali memutus pandangan mereka. Karena lelaki itu mengingat sesuatu. Selanjutnya dia mengambil sesuatu dari dalam laci untuk diserahkan kepada istrinya."Ambilah! Untuk belanja."Tari mengambil ATM dari tangan Abi lalu mengucapkan terima kasih. Beberapa h
"Kamu dengar apa yang kubicarakan dengan Alia?""Iya.""Kamu gak marah?""Sedikit, tapi setidaknya aku bersyukur kamu menikahiku karena alasan itu, bukan alasan yang lain."Abi mengernyit. "Contohnya?""Menikahi karena ingin memuaskan nafsu, mungkin.""Hey, aku tidak seperti itu!"Tari tertawa melihat kekesalan sang suami. Diusianya yang ke tiga puluh enam, terkadang Tari merasa suaminya masih kekanakan."Kamu ngerjain aku?""Mas Abi tadi juga melakukan hal yang sama."Pria beralis tebal itu menatap sang istri lekat. "Sejauh apa kamu berubah?""Ha?""Dalam ingatanku kamu adalah gadis remaja yang ceria tapi juga pemalu, tapi sekarang banyak sekali perubahan dalam dirimu. Kenapa?""Mungkin karena pengalaman hidupku." ucap Tari sambil menerawang. "Mas? Boleh aku minta sesuatu?""Apa?""Bisakah kita berusaha membuat pernikahan ini berhasil?"Abi tertegun, tiba-tiba dia merasakan nyeri di sudut hatinya, melihat iris jernih di hadapannya memancarkan luka dan harapan. "Bisa, kita pasti bisa.
Selamat membaca."Tante.""Bu Tari."Tari merasakan telinganya berdengung dan pipinya terasa nyeri akibat tamparan itu. Dia yakin sudut bibirnya terluka, karena rasa perih terasa di sana."Meskipun anak saya salah, sebagai orang dewasa tidak seharusnya Anda melakukan kekerasan." Tari memandang tajam wanita yang terlihat salah tingkah itu. "Dan saya minta maaf atas ketidaksopanan anak saya, tapi saya tidak minta maaf untuk perbuatan Arkan yang membela temannya."Ibu Dino tampak salah tingkah, hingga membuatnya diam saja, kala Bu Ani menyampaikan hukuman apa yang akan diterima Dino dan Arkan."Terima kasih," ucap Arkan tanpa mengalihkan pandangan dari jendela mobil.Tari tersenyum mendengar ucapan penuh gengsi itu. "Iya, tapi lain kali belajarlah mengendalikan emosi. Kamu bisa cari cara lain untuk membela temanmu tanpa harus berkelahi.""Hem," jawab pemuda itu seadanya.Setelah pertengkaran di ruang BK tadi, akhirnya Bu Ani membuat keputusan bahwa Arkan dan Dino di skors selama satu har
Wanita yang memiliki wajah serupa Abi, langsung berlari memeluk Tari. "Kamu cantik aja.""Mbak Kinan juga tambah cantik, ke sini sama siapa, Mbak?""Diantar sopir, bapaknya anak-anak ngajak ke sini pas weekend tapi aku keburu gak sabar.""Jadi anak-anak gak ikut?""Enggaklah besok mereka sekolah, ini aja besok pagi aku harus pulang. Eh malam ini tidur sama, Mbak, ya.""Mbak!" protes Abi."Mbak cuma pinjem istrimu semalam aja, gak usah drama deh. Ayo, Tari.""Mbak ke kamar tamu duluan aja, Tari ada perlu bentar sama Mas Abi.""Oke, jangan lama-lama, banyak hal yang pengen aku ceritakan sama kamu."Memandang sang suami yang menampilkan ekspresi kesal, Tari mencoba mengumpulkan keberanian sebelum kemudian memeluk suaminya. Tubuh yang dipeluknya membeku beberapa saat, lalu balas memeluk Tari dengan erat."Mbak Kinan bener-bener ganggu," gerutu lelaki di pelukan Tari. "Padahal kita baru saja akan mengembangkan hubungan ini, yang mungkin saja bisa mengembangkan perutmu."Mencubit pelan peru
Seminggu berlalu sejak Arkan memanggil Tari dengan sebutan bunda, meskipun setelah itu sang remaja kembali memanggil dia tante. Namun, Tari sudah merasa bahagia karena ada sedikit kemajuan dalam hubungan mereka.Dirinya juga tidak pernah lagi diganggu Ajeng untuk urusan jual beli rumah, mungkin karena Abi sudah menyelesaikannya. Mengingat beberapa hari lalu suami Tari menyuruh wanita itu untuk menandatangani beberapa dokumen.Tari mengernyitkan kening, melihat suaminya menghela napas setelah melihat ponsel di genggamannya."Ada masalah?"Abi memiringkan wajah melihat istrinya. Ada keraguan dalam hatinya, haruskah ia memberitahu siapa yang barusan mengirim pesan?"Jangan terlalu dipikirkan, kalau Mas Abi belum mau cerita aku gak masalah kok."Abi berdecak kecil. "Biasanya wanita akan mencecar terus, kalau suaminya menyembunyikan sesuatu. Kenapa kamu bisa sesantai ini?" Rasa kesal mendadak muncul di hati Abi."Aku sudah beberapa kali bilang, aku belajar dari pengalaman. Kalau biasanya l
Mengistirahatkan diri dengan duduk di sofa, Tari menarik napas berkali-kali seraya mengelus perutnya yang terasa sakit. Sudah sejak tadi siang dia merasakan hal ini, tapi karena sakitnya muncul lalu hilang terus jadi dia tidak terlalu ambil pusing dan tetap mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa. Namun, kali ini rasanya lebih sakit dengan durasi yang cukup lama. Apa dia sudah mau melahirkan? "Sabar, ya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang." Tari meringis kala rasa sakit kembali menyerang, dia menatap jam yang ada di dinding. Sudah setengah lima, tapi suaminya belum datang. Padahal pria itu berkata akan pulang pukul tiga. Sedangkan Bintang tadi mengatakan jika anak itu menginap di rumah temannya untuk mengerjakan tugas, Icha sendiri dari kemarin menginap di rumah Kinan. Menahan rasa sakit yang kian menjadi, pelan dia bangkit bermaksud mengambil ponsel yang tadi diletakkannya di kamar. Jarak kamar dan ruang tengah yang dekat, kali ini terasa jauh. Belum lagi dia yang harus sedikit
Rasa haus membangunkan Tari dari tidur nyenyaknya. Meraba-raba tempat di sampingnya, dia merasa bingung karena tidak menemukan sang suami. Di mana pria itu?Semakin hari dia merasa tak bisa jauh dari suaminya. Pernah ditinggal sebentar saja langsung menangis. Pasalnya Abi pergi ketika malam, waktu dimana dia ingin menghabiskan waktu bersama pria itu.Bangkit perlahan mengingat perutnya yang sudah membesar, matanya menyipit kala di bawah remang lampu kecil yang terletak di atas nakas dia mendapati sang suami tengah menengadahkan tangan. Berdoa.Pria yang menggunakan peci putih itu tampak sesenggukan. Entah apa yang diminta pria itu sehingga membuatnya tampak sedih.Tari tidak bergerak, diam dalam posisi duduk. Menunggu sampai sang suami menyadari kehadirannya. Lalu dia tersenyum kala Abi terkejut begitu menyadari keberadaannya."Kenapa bangun?" tanya Abi sambil berjalan ke arah sang istri.Tari menggeleng, diletakkannya telapak tangan di pipi sang suami. Mengusap lembut, menghilangkan
Seperti yang sudah direncanakan, pagi itu keluarga Abi sudah bersiap-siap untuk berangkat menuju tempat pertandingan Arkan.Abi sendiri yang sudah berusaha membujuk sang istri agar tidak ikut, akhirnya menyerah. Karena wanita itu benar-benar berubah menjadi sosok keras kepala, yang akan cemberut sepanjang hari jika keinginannya tidak dipenuhi.Sebenarnya bukan hanya dia saja yang mencoba melarang, tapi Arkan juga melakukan hal yang sama. Berbeda dengan dirinya, Tari bersikap lebih lunak pada anak-anak. Bahkan wanita itu cenderung sensitif, seperti kemarin istrinya membuat drama kala Arkan mengatakan agar tidak perlu datang."Apa sebaiknya Bunda di rumah saja?" Dari meja makan Arkan memperhatikan sang bunda yang tengah sibuk menyiapkan bekal untuk besok. Padahal dia sudah mengatakan agar wanita itu tidak perlu repot-repot. Toh, dari panitianya sudah disediakan konsumsi."Kenapa memangnya?""Ya, 'kan Bunda lagi hamil gitu. Gimana kalau kecapekan?" tanya Arkan untuk kesekian kali. Karena
"Minggu ini 'kan final futsalnya?" tanya Tari sambil menyerahkan segelas jus pada suaminya yang tengah menonton televisi di ruang tengah bersama sang putera.Semenjak hubungan kedua laki-laki tersebut semakin membaik, semakin kompak juga mereka. Tak jarang dia merasa kesal jika suami dan anaknya sudah berada di dunianya sendiri, seperti olahraga dan bermain game. Dia sungguh merasa di abaikan.Duduk di salah satu sofa, dia ikut memperhatikan layar datar yang sama sekali tidak menaikkan minatnya."Iya, Bun.""Kalau jawab itu sambil liat, bunda! Emangnya tv lebih menarik dari bunda?" cibir Tari kesal. Benar 'kan dia selalu diabaikan jika sang anak tengah menikmati tontonan favoritnya.Dia berharap ada Icha yang selalu berada di kubunya. Sayangnya gadis cantik tersebut sudah tidur sejak tadi.Sementara itu Arkan yang baru saja kena cibir langsung berdeham dan melirik sang papa yang tampak sedang mengulum bibir, seperti menahan tawa atau mungkin mengejeknya?"Maaf, Bun. Lagi seru soalnya.
"Kenapa, Lo?" Riko menatap aneh sahabatnya yang menghela napas berulang kali. Seolah tengah menghadapi beban yang berat. Padahal kalau dipikir-pikir, bukankah kehidupan Abi sudah enak? Punya istri baik, anak-anak tampan dan lucu yang sebentar lagi akan bertambah satu. Namun, kenapa wajah sahabatnya itu macam kemeja yang belum disetrika. Kusut."Ngga pa-pa.""Buset, kayak cewek aja, Lo! Bilang ngga pa-pa tapi ada apa-apa."Abi melemparkan bantal sofa pada temannya. "Daripada Lo bawelnya melebihi cewek."Riko menggerutu. Kesal. "Males gue ngomong sama Lo!" Pria itu berjalan menuju pintu, seraya memegang gagang pintu dia membalik setengah badannya. "Jangan suntuk lama-lama, kasihan Tari. Nanti dia dikira nikah sam om-om."Berdecak kesal, Abi hampir saja melempar bantal kursi lagi tapi sayangnya pria yang sudah bertahun-tahun menjadi sahabatnya itu sudah menghilang di balik pintu.Beberapa menit setelah kepergian sang sahabat, Abi memutuskan untuk keluar dari ruang kerjanya. Walaupun kini
"Jadi, Mas Abi sudah lama suka padaku?" tanya Tari sambil tertawa kecil. Tidak menyangka jika pertanyaan yang di lemparkan sang suami dulu, adalah bentuk keseriusan. "Bisa dibilang begitu." Mata Tari memincing. "Santai banget jawabnya. Seingatku dulu Mas Abi terlihat gugup saat mengutarakan keinginan untuk mendekatiku." Abi tertawa, tangannya mencubit pipi sang istri. "Tentu saja. Dulu aku masih remaja sekarang aku adalah laki-laki dewasa yang mau punya anak tiga. Udah gak pantes lagi malu-malu kucing kayak gitu." Entah kenapa, ucapan sang suami membuatnya kesal. Tanpa mengucapkan apapun Tari membalik tubuhnya. Memunggungi sang suami. Boleh kah dia menyalahkan hormon kehamilan? Sebab belakangan ini hanya hal kecil bisa mematik kekesalannya. Di saat sedang memikirkan perubahan emosi yang dirasakan, Tari tersentak saat sebuah tangan memeluknya. Walau kesal, tak ada niat untuk menyingkarkan dekapan Abi karena rasanya yang begitu nyaman. "Sepertinya aku harus mulai bersabar menghada
"Mas.""Ya," jawab Abi tanpa melepaskan pandangan dari laptop yang ada di pangkuannya. Dia menoleh dan mendapati raut sang istri penuh keraguan. "Ada apa?""Aku boleh tanya sesuatu?" Jemari Tari saling bertaut. Sebenarnya dia takut menyinggung sang suami, tapi di sisi lain juga penasaran.Abi tersenyum lembut pada sang istri yang tengah berbaring miring sambil menatapnya. Dia usap pelan rambut legam yang terasa halus di tangannya. "Mau tanya apa?"tanyanya lembut."Kata bapak, dulu Mas Abi pernah memintaku pada bapak. Benar?"Abi tersentak untuk sesaat, bahkan wajah pria itu mendadak memerah. Salah tingkah.Setelah berhasil menenangkan diri, di menyunggingkan senyum tipis. Lalu bergerak untuk meletakkan laptopnya di atas nakas, kemudian ikut berbaring miring menghadap sang istri yang masih memberinya senyum lembut.Astaga, manis sekali istrinya!Pantas saja mantan suami Tari menyesal karena perempuan yang tengah mengandung anaknya itu selalu bisa memperlakukan orang lain dengan lembut.
"Mas, apa kamu merasa ada yang aneh dengan Arkan?" tanya Tari pada laki-laki yang berbaring di sampingnya. "Dia menjadi lebih pendiam. Apa dia belum menerima kalau akan mempunyai adik lagi?" Kesedihan tampak jelas di wajah ibu hamil tersebut mengingat perubahan sikap sang anak.Abi menghela napas berat. Hal ini lah yang belakangan menjadi beban pikirannya. Perubahan sikap sang putra. Awalnya dia berencana untuk menyelesaikan masalah ini sendiri. Karena tidak mau membuat istrinya ikut stres memikirkan sang putra. Namun, siapa sangka istrinya ini sangat peka."Aku gak tau kenapa dia seperti itu," jujur Abi. "Nanti biar aku cari waktu untuk bicara padanya.""Biar aku saja. Karena firasatku mengatakan kalau perubahan Arkan terjadi karena berita kehamilanku." Tari menatap sang suami dengan mata berkaca-kaca.Abi mengusap kepala istrinya penuh kasih sayang. "Kamu yakin?"Iya, Mas. Bagaimanapun Arkan sekarang adalah anakku. Aku mau dia juga bahagia, Mas."Merengkuh tubuh istrinya. Abi merasa
"Udah, Mas?" tanya Tari saat suaminya yang baru saja menaruh tasnya, karena hari ini dia sudah diperbolehkan pulang. Setelah menginap satu malam di rumah sakit."Udah." Abi menatap lekat istrinya. "Jadi? Masih belum mau bercerita kenapa kamu terjatuh?"Tari mengedikkan bahu. Sementara bibirnya menyunggingkan senyum, berharap sang suami mau mengerti jika dia tak mau membicarakan masalah ini lagi."Aku yakin pasti ada hubungannya dengan tetangga depan itu. Apa perlu aku menanyakan pada mereka?""Jangan!" teriak Tari, panik. Bukannya apa, dia tak mau Abi terlibat perkelahian lagi. Dia lantas menghela napas panjang. "Aku akan cerita, tapi tolong jangan terpancing amarah.""Ngga janji.""Mas!""Oke, jadi?""Ajeng yang mendorongku," ujar Tari lirih berharap suaminya tidak mendengar. Namun, tentu saja dia salah sebab kini suaminya sudah mengepalkan tangan seraya menatapnya tajam."Berani sekali wanita itu!""Tenang, Mas. Yang penting aku baik-baik saja. Lagipula, kamu ngga mungkin mukul pere