Seminggu berlalu sejak Arkan memanggil Tari dengan sebutan bunda, meskipun setelah itu sang remaja kembali memanggil dia tante. Namun, Tari sudah merasa bahagia karena ada sedikit kemajuan dalam hubungan mereka.Dirinya juga tidak pernah lagi diganggu Ajeng untuk urusan jual beli rumah, mungkin karena Abi sudah menyelesaikannya. Mengingat beberapa hari lalu suami Tari menyuruh wanita itu untuk menandatangani beberapa dokumen.Tari mengernyitkan kening, melihat suaminya menghela napas setelah melihat ponsel di genggamannya."Ada masalah?"Abi memiringkan wajah melihat istrinya. Ada keraguan dalam hatinya, haruskah ia memberitahu siapa yang barusan mengirim pesan?"Jangan terlalu dipikirkan, kalau Mas Abi belum mau cerita aku gak masalah kok."Abi berdecak kecil. "Biasanya wanita akan mencecar terus, kalau suaminya menyembunyikan sesuatu. Kenapa kamu bisa sesantai ini?" Rasa kesal mendadak muncul di hati Abi."Aku sudah beberapa kali bilang, aku belajar dari pengalaman. Kalau biasanya l
Abi memutar bola matanya untuk kesekian kali, ketika orang-orang memandangnya dengan aneh. Sebenarnya dia juga tidak mau ada di posisi seperti ini. Duduk di antara Tari dan Alia.Ini gara-gara Alia yang tidak mau menemani Arkan dan Ica di timezone. Capek katanya. Sedangkan Tari yang mengajukan diri untuk menjaga anak mereka, ditolak Abi. Mana mau dia hanya berdua dengan Alia."Jadi mau pesen apa?" tanya Abi pada dua wanita yang sedang membolak-balik buku menu.Memang mereka memutuskan menunggu Arkan dan Ica di food court, yang terletak di lantai yang sama dengan arena bermain. Karena mereka tahu, kakak-beradik itu pasti akan lama berada di timezone."Kentang goreng sama jus alpukat," jawab Tari."Kamu?" Pandangan Abi beralih pada wanita di samping kirinya."Jus apel.""Baiklah, kalian tunggu di sini. Biar aku yang pesan."Beranjak menuju counter makanan ringan, untuk memesan sekaligus melakukan pembayaran. Abi kembali merasa dongkol, karena harus menghadapi senyum penuh arti dari pega
"Kamu gak kerja, Mas?"Tari memperhatikan suaminya yang sedari tadi asik menonton televisi di ruang tengah."Gak, udah ada yang ngawasin juga.""Meskipun begitu, seharusnya Mas Abi tetep nengok keadaan bengkel sama resto.""Denger, ya, Batari. Tujuan aku buka usaha itu biar banyak waktu di rumah. Kalau aku masih harus ngawasi mereka, sama aja kayak aku kerja kantoran."Keras kepala seperti biasa, batin Tari. Biar banyak waktu di rumah katanya. Sang istri berusaha untuk tidak memutar bola matanya mendengar kalimat suaminya. Padahal menurut cerita Lastri, Abi selalu pulang larut meskipun sudah tidak bekerja di kantor."Nanti Ica pulang jam sepuluh."Abi menoleh kepada istrinya. "Kenapa?""Gurunya ada rapat.""Ngomong-ngomong, Lastri ke mana?"Kepala Abi memutar, mengamati rumahnya yang terlihat sepi."Belanja di depan.""Kamu gak ikut?"Melihat istrinya hanya mengedikkan bahu, Abi merasa curiga telah terjadi sesuatu."Apa yang terjadi? Kemarin kamu semangat pergi belanja, katanya biar b
"Aditya kenapa?" Seorang perempuan paruh baya mengambil alih Aditya dari Ajeng. Mengusap-usap punggung anak itu, agar tenang. Lalu matanya membulat melihat mantan menantunya berdiri di depannya."Kenapa?" Suara dingin itu terdengar menakutkan di telinga Ajeng."Mereka mau mencelakakan anak kita!""Anda jangan mengada-ada, ya! Kalau bukan karena istri saya, anak anda pasti sudah ditabrak oleh motor itu!" sergah Abi seraya menunjuk motor yang tergeletak di pinggir jalan."Anda jangan-""Jangan apa? Jangan karena takut keteledoran anda dalam menjaga anak terbongkar. Anda jadi mencari kambing hitam dengan menyalahkan istri saya.""Apa maksud Anda?!"Belum sempat membalas kalimat itu, fokus Abi terpecah melihat kedatangan Lastri. Kemudian laki-laki itu langsung menyuruh Lastri agar membawa Ica masuk."Maksud saya jelas, anda teledor dalam menjaga anak. Bagaimana bisa anak sekecil itu berlarian sendiri di tengah jalan.""Sa-saya ...." Wanita itu bergerak gelisah, dia mengalihkan pandangan d
"Jadi kenapa?" Baik Abi maupun Tari memandang lurus pada Lastri yang duduk di sofa tunggal.Wanita itu mengusap air matanya dengan tisu, sebelum mengambil napas dalam. Agar dia bisa berbicara dengan lancar."Saya mau menikah."Kemudian mengalir lah cerita Lastri, tentang orang tuanya yang menjodohkan dia dengan tetangga di kampungnya. Sebenarnya dia sudah menolak, karena masih betah kerja di sini.Namun, apa daya. Kedua orang tuanya terus mendesak. Selain itu faktor umur juga menjadi pertimbangan sendiri bagi Lastri.Sementara itu, meski cukup kaget karena Lastri mengatakan aku pulang dua hari lagi. Tari ikut merasa bahagia karena temannya sudah mendapatkan jodoh."Makasih Mbak Tari. Makasih Mas Abi sudah nerima saya kerja selama ini, maaf kalau saya banyak salah," ucap Lastri tergugu-gugu."Iya. Saya juga berterima kasih karena kamu sudah banyak membantu saya, maaf juga kalau saya ada salah.""Saya sudah memaafkan Mas Abi, meskipun Mas Abi sering banget marahin saya.""Hey!" ucap Abi
"Kalau gue jadi bini lo, gue juga bakal bersikap sama kali. Coba bayangin, dia dulu udah nikah lama tapi gak punya anak. Terus diselingkuhin gara-gara masalah anak. Nah, sekarang lo malah nglakuin hal konyol dengan ngasih dia pil itu. Jelas dia merasa ditolak, ogeb."Riko merasa kesal sendiri ketika sang sahabat, bercerita tentang kejadian yang menimpanya tadi pagi. Laki-laki itu tidak habis pikir, bagaimana Abi bisa melakukan hal sebodoh itu. Kemana perginya otak cemerlangnya itu?"Gue cuma takut kejadian yang menimpa mamanya Ica terjadi lagi." Riko memandang prihatin pada sahabatnya. Dia tidak menyangka kalau Abi masih memendam ketakutan atas kejadian tujuh tahun silam."Coba lo bicarakan baik-baik sama bini lo. Gue yakin pasti dia akan ngerti.""Entahlah, gue bingung. Dia kelihatan kecewa banget sama gue.""Jangan pesimis gitu. Lo bilang Tari itu wanita yang baik. Gue yakin dia bakal nerima penjelasan lo." ujar Riko, mencoba menenangkan sahabatnya yang terlihat kalut sejak datang
Dengan posisi bersandar pada ranjanbersiap untuk memulai ceritanya.Melihat raut sedih di wajah sang suami. Membuat hati Tari menjadi bimbang. Disatu sisi dia merasa tidak tega pada suaminya, tapi disisi lainnya perempuan itu menginginkan sebuah penjelasan. Hingga akhirnya Tari memilih untuk bersikap egois. Membiarkan sang suami tetap meneruskan kisahnya.Diawali sebuah pesta, yang menyebabkan Abi dan mama Arkan mabuk. Kejadian terlarang itu terjadi. Abi menjelaskan, dia tidak lupa bagaimana persisnya, yang lelaki itu ingat adalah ketika pagi dia terbangun di sampingnya sudah ada mama Arkan.Sebenarnya waktu itu, mereka sudah sepakat bahwa kejadian itu adalah sebuah kesalahan. Toh, mereka tidak saling cinta. Namun, dua bulan setelahnya dunia Abi terasa runtuh saat mama Arkan datang dengan membawa kabar kehamilan.Cerita berlanjut tentang bagaimana mereka berdua sama-sama diusir dari rumah. Kemudian mama Arkan yang terlahir dari keluarga kaya, merasa tidak sanggup hidup serba kekuranga
"Papa, ini gak adil. Bagaimana bisa papa menunjuk anak haram sebagai penerus!"Abi memandang tajam pada Alisa-kakak tertua Alita. Perempuan yang dulu pernah menghinanya kini dengan lantang menghina anaknya di depan banyak orang. Seandainya dia bukan perempuan, sudah dipastikan Abi akan memukulnya."Jaga ucapan Anda!" Wanita yang usianya diatas Abi itu, memandang Abi penuh cemoohan. "Apanya yang mau dijaga? Bukankah kamu juga tahu, kalau ucapan saya memang benar. Arkan itu anak haram.""Mbak!" bentak Abi."Arkan, Ica, anak-anak ayo ikut oma ke dalam." Bu Rahayu memberi kode pada asisten rumah tangganya, untuk membawa cucu-cucunya. Karena dia merasa suasana akan memanas."Arkan di sini saja.""Tidak! Kamu ikut Omamu saja." Tari memandang remaja yang kini ekspresinya sudah keruh."Tapi-""Arkan," ucap Tari tegas.Remaja itu mendengkus, tapi tetap mengikuti perintah ibu tirinya."Alisa," panggil Pak Wijaya. "Kamu tahu 'kan hanya Arkan satu-satunya keturunan laki-laki dalam keluarga kita.
Mengistirahatkan diri dengan duduk di sofa, Tari menarik napas berkali-kali seraya mengelus perutnya yang terasa sakit. Sudah sejak tadi siang dia merasakan hal ini, tapi karena sakitnya muncul lalu hilang terus jadi dia tidak terlalu ambil pusing dan tetap mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa. Namun, kali ini rasanya lebih sakit dengan durasi yang cukup lama. Apa dia sudah mau melahirkan? "Sabar, ya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang." Tari meringis kala rasa sakit kembali menyerang, dia menatap jam yang ada di dinding. Sudah setengah lima, tapi suaminya belum datang. Padahal pria itu berkata akan pulang pukul tiga. Sedangkan Bintang tadi mengatakan jika anak itu menginap di rumah temannya untuk mengerjakan tugas, Icha sendiri dari kemarin menginap di rumah Kinan. Menahan rasa sakit yang kian menjadi, pelan dia bangkit bermaksud mengambil ponsel yang tadi diletakkannya di kamar. Jarak kamar dan ruang tengah yang dekat, kali ini terasa jauh. Belum lagi dia yang harus sedikit
Rasa haus membangunkan Tari dari tidur nyenyaknya. Meraba-raba tempat di sampingnya, dia merasa bingung karena tidak menemukan sang suami. Di mana pria itu?Semakin hari dia merasa tak bisa jauh dari suaminya. Pernah ditinggal sebentar saja langsung menangis. Pasalnya Abi pergi ketika malam, waktu dimana dia ingin menghabiskan waktu bersama pria itu.Bangkit perlahan mengingat perutnya yang sudah membesar, matanya menyipit kala di bawah remang lampu kecil yang terletak di atas nakas dia mendapati sang suami tengah menengadahkan tangan. Berdoa.Pria yang menggunakan peci putih itu tampak sesenggukan. Entah apa yang diminta pria itu sehingga membuatnya tampak sedih.Tari tidak bergerak, diam dalam posisi duduk. Menunggu sampai sang suami menyadari kehadirannya. Lalu dia tersenyum kala Abi terkejut begitu menyadari keberadaannya."Kenapa bangun?" tanya Abi sambil berjalan ke arah sang istri.Tari menggeleng, diletakkannya telapak tangan di pipi sang suami. Mengusap lembut, menghilangkan
Seperti yang sudah direncanakan, pagi itu keluarga Abi sudah bersiap-siap untuk berangkat menuju tempat pertandingan Arkan.Abi sendiri yang sudah berusaha membujuk sang istri agar tidak ikut, akhirnya menyerah. Karena wanita itu benar-benar berubah menjadi sosok keras kepala, yang akan cemberut sepanjang hari jika keinginannya tidak dipenuhi.Sebenarnya bukan hanya dia saja yang mencoba melarang, tapi Arkan juga melakukan hal yang sama. Berbeda dengan dirinya, Tari bersikap lebih lunak pada anak-anak. Bahkan wanita itu cenderung sensitif, seperti kemarin istrinya membuat drama kala Arkan mengatakan agar tidak perlu datang."Apa sebaiknya Bunda di rumah saja?" Dari meja makan Arkan memperhatikan sang bunda yang tengah sibuk menyiapkan bekal untuk besok. Padahal dia sudah mengatakan agar wanita itu tidak perlu repot-repot. Toh, dari panitianya sudah disediakan konsumsi."Kenapa memangnya?""Ya, 'kan Bunda lagi hamil gitu. Gimana kalau kecapekan?" tanya Arkan untuk kesekian kali. Karena
"Minggu ini 'kan final futsalnya?" tanya Tari sambil menyerahkan segelas jus pada suaminya yang tengah menonton televisi di ruang tengah bersama sang putera.Semenjak hubungan kedua laki-laki tersebut semakin membaik, semakin kompak juga mereka. Tak jarang dia merasa kesal jika suami dan anaknya sudah berada di dunianya sendiri, seperti olahraga dan bermain game. Dia sungguh merasa di abaikan.Duduk di salah satu sofa, dia ikut memperhatikan layar datar yang sama sekali tidak menaikkan minatnya."Iya, Bun.""Kalau jawab itu sambil liat, bunda! Emangnya tv lebih menarik dari bunda?" cibir Tari kesal. Benar 'kan dia selalu diabaikan jika sang anak tengah menikmati tontonan favoritnya.Dia berharap ada Icha yang selalu berada di kubunya. Sayangnya gadis cantik tersebut sudah tidur sejak tadi.Sementara itu Arkan yang baru saja kena cibir langsung berdeham dan melirik sang papa yang tampak sedang mengulum bibir, seperti menahan tawa atau mungkin mengejeknya?"Maaf, Bun. Lagi seru soalnya.
"Kenapa, Lo?" Riko menatap aneh sahabatnya yang menghela napas berulang kali. Seolah tengah menghadapi beban yang berat. Padahal kalau dipikir-pikir, bukankah kehidupan Abi sudah enak? Punya istri baik, anak-anak tampan dan lucu yang sebentar lagi akan bertambah satu. Namun, kenapa wajah sahabatnya itu macam kemeja yang belum disetrika. Kusut."Ngga pa-pa.""Buset, kayak cewek aja, Lo! Bilang ngga pa-pa tapi ada apa-apa."Abi melemparkan bantal sofa pada temannya. "Daripada Lo bawelnya melebihi cewek."Riko menggerutu. Kesal. "Males gue ngomong sama Lo!" Pria itu berjalan menuju pintu, seraya memegang gagang pintu dia membalik setengah badannya. "Jangan suntuk lama-lama, kasihan Tari. Nanti dia dikira nikah sam om-om."Berdecak kesal, Abi hampir saja melempar bantal kursi lagi tapi sayangnya pria yang sudah bertahun-tahun menjadi sahabatnya itu sudah menghilang di balik pintu.Beberapa menit setelah kepergian sang sahabat, Abi memutuskan untuk keluar dari ruang kerjanya. Walaupun kini
"Jadi, Mas Abi sudah lama suka padaku?" tanya Tari sambil tertawa kecil. Tidak menyangka jika pertanyaan yang di lemparkan sang suami dulu, adalah bentuk keseriusan. "Bisa dibilang begitu." Mata Tari memincing. "Santai banget jawabnya. Seingatku dulu Mas Abi terlihat gugup saat mengutarakan keinginan untuk mendekatiku." Abi tertawa, tangannya mencubit pipi sang istri. "Tentu saja. Dulu aku masih remaja sekarang aku adalah laki-laki dewasa yang mau punya anak tiga. Udah gak pantes lagi malu-malu kucing kayak gitu." Entah kenapa, ucapan sang suami membuatnya kesal. Tanpa mengucapkan apapun Tari membalik tubuhnya. Memunggungi sang suami. Boleh kah dia menyalahkan hormon kehamilan? Sebab belakangan ini hanya hal kecil bisa mematik kekesalannya. Di saat sedang memikirkan perubahan emosi yang dirasakan, Tari tersentak saat sebuah tangan memeluknya. Walau kesal, tak ada niat untuk menyingkarkan dekapan Abi karena rasanya yang begitu nyaman. "Sepertinya aku harus mulai bersabar menghada
"Mas.""Ya," jawab Abi tanpa melepaskan pandangan dari laptop yang ada di pangkuannya. Dia menoleh dan mendapati raut sang istri penuh keraguan. "Ada apa?""Aku boleh tanya sesuatu?" Jemari Tari saling bertaut. Sebenarnya dia takut menyinggung sang suami, tapi di sisi lain juga penasaran.Abi tersenyum lembut pada sang istri yang tengah berbaring miring sambil menatapnya. Dia usap pelan rambut legam yang terasa halus di tangannya. "Mau tanya apa?"tanyanya lembut."Kata bapak, dulu Mas Abi pernah memintaku pada bapak. Benar?"Abi tersentak untuk sesaat, bahkan wajah pria itu mendadak memerah. Salah tingkah.Setelah berhasil menenangkan diri, di menyunggingkan senyum tipis. Lalu bergerak untuk meletakkan laptopnya di atas nakas, kemudian ikut berbaring miring menghadap sang istri yang masih memberinya senyum lembut.Astaga, manis sekali istrinya!Pantas saja mantan suami Tari menyesal karena perempuan yang tengah mengandung anaknya itu selalu bisa memperlakukan orang lain dengan lembut.
"Mas, apa kamu merasa ada yang aneh dengan Arkan?" tanya Tari pada laki-laki yang berbaring di sampingnya. "Dia menjadi lebih pendiam. Apa dia belum menerima kalau akan mempunyai adik lagi?" Kesedihan tampak jelas di wajah ibu hamil tersebut mengingat perubahan sikap sang anak.Abi menghela napas berat. Hal ini lah yang belakangan menjadi beban pikirannya. Perubahan sikap sang putra. Awalnya dia berencana untuk menyelesaikan masalah ini sendiri. Karena tidak mau membuat istrinya ikut stres memikirkan sang putra. Namun, siapa sangka istrinya ini sangat peka."Aku gak tau kenapa dia seperti itu," jujur Abi. "Nanti biar aku cari waktu untuk bicara padanya.""Biar aku saja. Karena firasatku mengatakan kalau perubahan Arkan terjadi karena berita kehamilanku." Tari menatap sang suami dengan mata berkaca-kaca.Abi mengusap kepala istrinya penuh kasih sayang. "Kamu yakin?"Iya, Mas. Bagaimanapun Arkan sekarang adalah anakku. Aku mau dia juga bahagia, Mas."Merengkuh tubuh istrinya. Abi merasa
"Udah, Mas?" tanya Tari saat suaminya yang baru saja menaruh tasnya, karena hari ini dia sudah diperbolehkan pulang. Setelah menginap satu malam di rumah sakit."Udah." Abi menatap lekat istrinya. "Jadi? Masih belum mau bercerita kenapa kamu terjatuh?"Tari mengedikkan bahu. Sementara bibirnya menyunggingkan senyum, berharap sang suami mau mengerti jika dia tak mau membicarakan masalah ini lagi."Aku yakin pasti ada hubungannya dengan tetangga depan itu. Apa perlu aku menanyakan pada mereka?""Jangan!" teriak Tari, panik. Bukannya apa, dia tak mau Abi terlibat perkelahian lagi. Dia lantas menghela napas panjang. "Aku akan cerita, tapi tolong jangan terpancing amarah.""Ngga janji.""Mas!""Oke, jadi?""Ajeng yang mendorongku," ujar Tari lirih berharap suaminya tidak mendengar. Namun, tentu saja dia salah sebab kini suaminya sudah mengepalkan tangan seraya menatapnya tajam."Berani sekali wanita itu!""Tenang, Mas. Yang penting aku baik-baik saja. Lagipula, kamu ngga mungkin mukul pere