Dengan posisi bersandar pada ranjanbersiap untuk memulai ceritanya.Melihat raut sedih di wajah sang suami. Membuat hati Tari menjadi bimbang. Disatu sisi dia merasa tidak tega pada suaminya, tapi disisi lainnya perempuan itu menginginkan sebuah penjelasan. Hingga akhirnya Tari memilih untuk bersikap egois. Membiarkan sang suami tetap meneruskan kisahnya.Diawali sebuah pesta, yang menyebabkan Abi dan mama Arkan mabuk. Kejadian terlarang itu terjadi. Abi menjelaskan, dia tidak lupa bagaimana persisnya, yang lelaki itu ingat adalah ketika pagi dia terbangun di sampingnya sudah ada mama Arkan.Sebenarnya waktu itu, mereka sudah sepakat bahwa kejadian itu adalah sebuah kesalahan. Toh, mereka tidak saling cinta. Namun, dua bulan setelahnya dunia Abi terasa runtuh saat mama Arkan datang dengan membawa kabar kehamilan.Cerita berlanjut tentang bagaimana mereka berdua sama-sama diusir dari rumah. Kemudian mama Arkan yang terlahir dari keluarga kaya, merasa tidak sanggup hidup serba kekuranga
"Papa, ini gak adil. Bagaimana bisa papa menunjuk anak haram sebagai penerus!"Abi memandang tajam pada Alisa-kakak tertua Alita. Perempuan yang dulu pernah menghinanya kini dengan lantang menghina anaknya di depan banyak orang. Seandainya dia bukan perempuan, sudah dipastikan Abi akan memukulnya."Jaga ucapan Anda!" Wanita yang usianya diatas Abi itu, memandang Abi penuh cemoohan. "Apanya yang mau dijaga? Bukankah kamu juga tahu, kalau ucapan saya memang benar. Arkan itu anak haram.""Mbak!" bentak Abi."Arkan, Ica, anak-anak ayo ikut oma ke dalam." Bu Rahayu memberi kode pada asisten rumah tangganya, untuk membawa cucu-cucunya. Karena dia merasa suasana akan memanas."Arkan di sini saja.""Tidak! Kamu ikut Omamu saja." Tari memandang remaja yang kini ekspresinya sudah keruh."Tapi-""Arkan," ucap Tari tegas.Remaja itu mendengkus, tapi tetap mengikuti perintah ibu tirinya."Alisa," panggil Pak Wijaya. "Kamu tahu 'kan hanya Arkan satu-satunya keturunan laki-laki dalam keluarga kita.
Selamat membaca."Kapan pertama kali kamu denger kata anak haram?" "Waktu umur sepuluh tahun. Pas itu, Tante Alisa baru kembali ke Indonesia.""Apa yang dia katakan kepadamu?" Tari menyadari sebagai seorang remaja, mungkin Arkan merasa kesulitan bercerita. Apalagi hubungan di antara mereka belum terlalu dekat. Maka dari itu, dia mencoba mengetahui perasaan Arkan dengan sebuah pertanyaan."Pas aku main dengan Rena, anaknya. Tiba-tiba saja dia menarik Rena dan berkata kalau Rena tidak boleh bermain denganku karena aku anak haram.""Waktu itu apa kamu langsung tahu arti kata itu?"Menoleh pada sang ibu yang menatapnya penuh kehangatan. Arkan menggeleng pelan. "Karena Tante Alisa terus menyebut hal itu, akhirnya aku cari lewat internet apa itu anak haram.""Apa yang lain tahu perlakuan Tante Alisa padamu?""Iya, mereka semua tahu. Biasanya mereka akan memperingatkan Tante Alisa, tapi tetap saja setiap kami bertemu kata itu selalu muncul."Tari menghela napas panjang. "Kenapa kamu tidak c
"Mas!" Tari segera menarik tangan suaminya. "Jangan, Mas. Istighfar." Mengusap punggung suaminya, dia bermaksud menenangkan Abi.Abi menoleh pada istrinya yang menggeleng lemah. Raut ketakutan terlihat jelas di sana. Hal itu membuat Abi merasa kesal. Apakah Tari takut dia melukai mantan suaminya? Pikiran itu terbesit di otaknya.Membuang jauh pikiran tidak masuk akalnya, Abi kembali menatap Dipta yang berdiri dengan tenang. "Ini peringatan terakhir saya, segeralah pergi atau saya akan bertindak lebih jauh lagi.""Tidak, saya akan tetap di sini." Dipta menatap datar pada Abi.Cukup! Abi tidak bisa lagi menahannya, dengan kuat dia pukul rahang laki-laki di depannya. Membuat Dipta tersungkur, tapi itu tidak menghentikan Abi yang kembali memukuli laki-laki itu. Gerakan Abi terhenti saat dia merasakan pelukan di pinggangnya."Sudah, Mas. Jangan teruskan."Belum sempat Abi mencerna perbuatannya. Tiba-tiba saja beberapa orang sudah ada di sekitar mereka."Apa yang kamu lakukan pada suamiku?"
Dari meja makan, Abi melirik istrinya yang sejak tadi sibuk dapur. Memasak nasi, lauk, memanaskan air, semua hal itu tidak luput dari pandangan Abi.Istrinya memang masih bersikap biasa, membangunkannya untuk sholat, menyiapkan pakaiannya sampai memasak sarapan. Namun, ada hal yang berbeda, Tari lebih pendiam dan terkesan menjaga jarak.Laki-laki itu kebingungan memikirkan cara agar istrinya kembali seperti semula. Namun, ketika sama sekali tidak menemukan solusi. Dia menjadi kesal, dan memutuskan untuk mengikuti drama yang dibuat istrinya."Kopinya, Mas.""Ehm ... makasih." Sial! Sudah berapa lama dia melamun? umpat Abi. "Kita bicara sebentar!" perintah Abi saat dia sudah menormalkan ekspresinya."Maaf, Mas. Kerjaanku belum selesai.""Kita bicara sebentar!" Abi menekan setiap kata yang diucapkannya."Baiklah."Namun, belum sempat Tari duduk. Dering ponsel Abi membuat keduanya menatap ke arah yang sama. Layar ponsel yang menampilkan nama Riko. Dengan cepat Abi mematikan panggilan itu
"Bangun, Mas. Sebentar lagi subuh." Tari berdecak kesal saat sang suami bukannya bangun, malah menarik selimut untuk menutupi tubuhnya."Mas, inget kamu harus mandi dulu. Cepat bangun!" Tari menggoncang lebih kuat tubuh suaminya."Sebentar, masih dingin.""Ya Allah, Mas Abi. Bangun!" kesal Tari. "Aku mau ke masjid, Mas. Menemani anak-anak.""Hem.""Bundaaa."Tari berjingkat mendengar teriakan Ica, dia bergerak menuju nakas untuk menyetel alarm di ponsel suaminya. Selanjutnya dia bergegas menemui Ica sebelum gadis itu masuk ke kamar ini."Kenapa, Sayang?" tanyanya pada Ica yang berada di tepi tangga atas."Bunda dari mana?" Gadis itu mengucek matanya, terlihat sekali kalau dia masih mengantuk."Ehm ... dari kamar tamu, bangunin papa.""Papa kapan pulang?""Semalam.""Kok Ica gak tahu? Gak jadi ngasih kejutan dong?" Wajah Ica terlihat sedih."Ica, 'kan udah tidur semalam. Lagipula papa sudah tau kalau Ica bikinin kejutan untuk papa."Ica menganggukkan kepala, membuat rambutnya yang acak
"Tari, aku bisa jelaskan." Dengan panik Abi menghampiri istrinya.Hatinya berdenyut nyeri melihat mata bulat itu sudah berembun, ditambah lagi pancaran mata itu menyiratkan perasaan luka dan kecewa."Nanti saja, Mas," ucap Tari pelan. Wanita itu kemudian berjalan menuju Alia yang menatapnya tajam."Perlu kamu tahu, aku tidak mengijinkan suamiku menuruti permintaanmu!"Alia mendengkus keras. "Aku rasa kamu dengar apa yang kami bicarakan tadi. Jadi jangan bodoh dengan mengatakan hal seperti.""Aku memang mendengarnya. Dan menurut pendengaranku, hal itu sudah terjadi di masa lalu, aku benar, 'kan?"Senyum tenang di wajah Tari membuat Alita merasa kesal. Wajah cantik itu bertambah merah. Alita mengepalkan tangannya erat. Berusaha meredam emosi yang siap meledak."Meskipun itu masa lalu, tetap saja aku punya cerita dengan Mas Abi."Namun, Tari tidak terpancing dengan Alia. Dia justru maju selangkah mendekati wanita di depannya."Aku tidak peduli. Yang penting sekarang, Mas Abi adalah suami
Beberapa hari berlalu sejak pertengkaran Abi dan Tari, dan kehidupan pernikahan mereka tidak baik-baik saja. Memang mereka masih berinterksi seperti biasanya bersama anak-anak. Namun, tentu saja ada yang berbeda. Komunikasi mereka tidak seintens dulu. Berbicara hanya seperlunya, itulah yang mereka lakukan saat ini."Sudah siap?" tanya Abi ketika melihat istri dan juga kedua anaknya keluar dari rumah.Mereka kompak mengangguk. Kemudian Abi membuka bagasi untuk memasukkan barang bawaan mereka, yang hari ini akan pergi ke acara pernikahan Lastri sekaligus berlibur sebentar di sana.Ica masuk lebih dulu ke dalam mobil. Sedangkan Arkan masih terdiam menatap kedua orang tuanya yang terlihat kebingungan. "Arkan di depan." Remaja itu langsung membuka pintu. Ya, Arkan memang sepeka itu. Apalagi dia merasa setiap hari hubungan orang tuanya semakin mendingin. Sampai-sampai belakangan ini suasana hatinya ikut memburuk.Banyak pertanyaan muncul di otaknya, menyebabkan dia kesulitan tidur akhir-ak
Mengistirahatkan diri dengan duduk di sofa, Tari menarik napas berkali-kali seraya mengelus perutnya yang terasa sakit. Sudah sejak tadi siang dia merasakan hal ini, tapi karena sakitnya muncul lalu hilang terus jadi dia tidak terlalu ambil pusing dan tetap mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa. Namun, kali ini rasanya lebih sakit dengan durasi yang cukup lama. Apa dia sudah mau melahirkan? "Sabar, ya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang." Tari meringis kala rasa sakit kembali menyerang, dia menatap jam yang ada di dinding. Sudah setengah lima, tapi suaminya belum datang. Padahal pria itu berkata akan pulang pukul tiga. Sedangkan Bintang tadi mengatakan jika anak itu menginap di rumah temannya untuk mengerjakan tugas, Icha sendiri dari kemarin menginap di rumah Kinan. Menahan rasa sakit yang kian menjadi, pelan dia bangkit bermaksud mengambil ponsel yang tadi diletakkannya di kamar. Jarak kamar dan ruang tengah yang dekat, kali ini terasa jauh. Belum lagi dia yang harus sedikit
Rasa haus membangunkan Tari dari tidur nyenyaknya. Meraba-raba tempat di sampingnya, dia merasa bingung karena tidak menemukan sang suami. Di mana pria itu?Semakin hari dia merasa tak bisa jauh dari suaminya. Pernah ditinggal sebentar saja langsung menangis. Pasalnya Abi pergi ketika malam, waktu dimana dia ingin menghabiskan waktu bersama pria itu.Bangkit perlahan mengingat perutnya yang sudah membesar, matanya menyipit kala di bawah remang lampu kecil yang terletak di atas nakas dia mendapati sang suami tengah menengadahkan tangan. Berdoa.Pria yang menggunakan peci putih itu tampak sesenggukan. Entah apa yang diminta pria itu sehingga membuatnya tampak sedih.Tari tidak bergerak, diam dalam posisi duduk. Menunggu sampai sang suami menyadari kehadirannya. Lalu dia tersenyum kala Abi terkejut begitu menyadari keberadaannya."Kenapa bangun?" tanya Abi sambil berjalan ke arah sang istri.Tari menggeleng, diletakkannya telapak tangan di pipi sang suami. Mengusap lembut, menghilangkan
Seperti yang sudah direncanakan, pagi itu keluarga Abi sudah bersiap-siap untuk berangkat menuju tempat pertandingan Arkan.Abi sendiri yang sudah berusaha membujuk sang istri agar tidak ikut, akhirnya menyerah. Karena wanita itu benar-benar berubah menjadi sosok keras kepala, yang akan cemberut sepanjang hari jika keinginannya tidak dipenuhi.Sebenarnya bukan hanya dia saja yang mencoba melarang, tapi Arkan juga melakukan hal yang sama. Berbeda dengan dirinya, Tari bersikap lebih lunak pada anak-anak. Bahkan wanita itu cenderung sensitif, seperti kemarin istrinya membuat drama kala Arkan mengatakan agar tidak perlu datang."Apa sebaiknya Bunda di rumah saja?" Dari meja makan Arkan memperhatikan sang bunda yang tengah sibuk menyiapkan bekal untuk besok. Padahal dia sudah mengatakan agar wanita itu tidak perlu repot-repot. Toh, dari panitianya sudah disediakan konsumsi."Kenapa memangnya?""Ya, 'kan Bunda lagi hamil gitu. Gimana kalau kecapekan?" tanya Arkan untuk kesekian kali. Karena
"Minggu ini 'kan final futsalnya?" tanya Tari sambil menyerahkan segelas jus pada suaminya yang tengah menonton televisi di ruang tengah bersama sang putera.Semenjak hubungan kedua laki-laki tersebut semakin membaik, semakin kompak juga mereka. Tak jarang dia merasa kesal jika suami dan anaknya sudah berada di dunianya sendiri, seperti olahraga dan bermain game. Dia sungguh merasa di abaikan.Duduk di salah satu sofa, dia ikut memperhatikan layar datar yang sama sekali tidak menaikkan minatnya."Iya, Bun.""Kalau jawab itu sambil liat, bunda! Emangnya tv lebih menarik dari bunda?" cibir Tari kesal. Benar 'kan dia selalu diabaikan jika sang anak tengah menikmati tontonan favoritnya.Dia berharap ada Icha yang selalu berada di kubunya. Sayangnya gadis cantik tersebut sudah tidur sejak tadi.Sementara itu Arkan yang baru saja kena cibir langsung berdeham dan melirik sang papa yang tampak sedang mengulum bibir, seperti menahan tawa atau mungkin mengejeknya?"Maaf, Bun. Lagi seru soalnya.
"Kenapa, Lo?" Riko menatap aneh sahabatnya yang menghela napas berulang kali. Seolah tengah menghadapi beban yang berat. Padahal kalau dipikir-pikir, bukankah kehidupan Abi sudah enak? Punya istri baik, anak-anak tampan dan lucu yang sebentar lagi akan bertambah satu. Namun, kenapa wajah sahabatnya itu macam kemeja yang belum disetrika. Kusut."Ngga pa-pa.""Buset, kayak cewek aja, Lo! Bilang ngga pa-pa tapi ada apa-apa."Abi melemparkan bantal sofa pada temannya. "Daripada Lo bawelnya melebihi cewek."Riko menggerutu. Kesal. "Males gue ngomong sama Lo!" Pria itu berjalan menuju pintu, seraya memegang gagang pintu dia membalik setengah badannya. "Jangan suntuk lama-lama, kasihan Tari. Nanti dia dikira nikah sam om-om."Berdecak kesal, Abi hampir saja melempar bantal kursi lagi tapi sayangnya pria yang sudah bertahun-tahun menjadi sahabatnya itu sudah menghilang di balik pintu.Beberapa menit setelah kepergian sang sahabat, Abi memutuskan untuk keluar dari ruang kerjanya. Walaupun kini
"Jadi, Mas Abi sudah lama suka padaku?" tanya Tari sambil tertawa kecil. Tidak menyangka jika pertanyaan yang di lemparkan sang suami dulu, adalah bentuk keseriusan. "Bisa dibilang begitu." Mata Tari memincing. "Santai banget jawabnya. Seingatku dulu Mas Abi terlihat gugup saat mengutarakan keinginan untuk mendekatiku." Abi tertawa, tangannya mencubit pipi sang istri. "Tentu saja. Dulu aku masih remaja sekarang aku adalah laki-laki dewasa yang mau punya anak tiga. Udah gak pantes lagi malu-malu kucing kayak gitu." Entah kenapa, ucapan sang suami membuatnya kesal. Tanpa mengucapkan apapun Tari membalik tubuhnya. Memunggungi sang suami. Boleh kah dia menyalahkan hormon kehamilan? Sebab belakangan ini hanya hal kecil bisa mematik kekesalannya. Di saat sedang memikirkan perubahan emosi yang dirasakan, Tari tersentak saat sebuah tangan memeluknya. Walau kesal, tak ada niat untuk menyingkarkan dekapan Abi karena rasanya yang begitu nyaman. "Sepertinya aku harus mulai bersabar menghada
"Mas.""Ya," jawab Abi tanpa melepaskan pandangan dari laptop yang ada di pangkuannya. Dia menoleh dan mendapati raut sang istri penuh keraguan. "Ada apa?""Aku boleh tanya sesuatu?" Jemari Tari saling bertaut. Sebenarnya dia takut menyinggung sang suami, tapi di sisi lain juga penasaran.Abi tersenyum lembut pada sang istri yang tengah berbaring miring sambil menatapnya. Dia usap pelan rambut legam yang terasa halus di tangannya. "Mau tanya apa?"tanyanya lembut."Kata bapak, dulu Mas Abi pernah memintaku pada bapak. Benar?"Abi tersentak untuk sesaat, bahkan wajah pria itu mendadak memerah. Salah tingkah.Setelah berhasil menenangkan diri, di menyunggingkan senyum tipis. Lalu bergerak untuk meletakkan laptopnya di atas nakas, kemudian ikut berbaring miring menghadap sang istri yang masih memberinya senyum lembut.Astaga, manis sekali istrinya!Pantas saja mantan suami Tari menyesal karena perempuan yang tengah mengandung anaknya itu selalu bisa memperlakukan orang lain dengan lembut.
"Mas, apa kamu merasa ada yang aneh dengan Arkan?" tanya Tari pada laki-laki yang berbaring di sampingnya. "Dia menjadi lebih pendiam. Apa dia belum menerima kalau akan mempunyai adik lagi?" Kesedihan tampak jelas di wajah ibu hamil tersebut mengingat perubahan sikap sang anak.Abi menghela napas berat. Hal ini lah yang belakangan menjadi beban pikirannya. Perubahan sikap sang putra. Awalnya dia berencana untuk menyelesaikan masalah ini sendiri. Karena tidak mau membuat istrinya ikut stres memikirkan sang putra. Namun, siapa sangka istrinya ini sangat peka."Aku gak tau kenapa dia seperti itu," jujur Abi. "Nanti biar aku cari waktu untuk bicara padanya.""Biar aku saja. Karena firasatku mengatakan kalau perubahan Arkan terjadi karena berita kehamilanku." Tari menatap sang suami dengan mata berkaca-kaca.Abi mengusap kepala istrinya penuh kasih sayang. "Kamu yakin?"Iya, Mas. Bagaimanapun Arkan sekarang adalah anakku. Aku mau dia juga bahagia, Mas."Merengkuh tubuh istrinya. Abi merasa
"Udah, Mas?" tanya Tari saat suaminya yang baru saja menaruh tasnya, karena hari ini dia sudah diperbolehkan pulang. Setelah menginap satu malam di rumah sakit."Udah." Abi menatap lekat istrinya. "Jadi? Masih belum mau bercerita kenapa kamu terjatuh?"Tari mengedikkan bahu. Sementara bibirnya menyunggingkan senyum, berharap sang suami mau mengerti jika dia tak mau membicarakan masalah ini lagi."Aku yakin pasti ada hubungannya dengan tetangga depan itu. Apa perlu aku menanyakan pada mereka?""Jangan!" teriak Tari, panik. Bukannya apa, dia tak mau Abi terlibat perkelahian lagi. Dia lantas menghela napas panjang. "Aku akan cerita, tapi tolong jangan terpancing amarah.""Ngga janji.""Mas!""Oke, jadi?""Ajeng yang mendorongku," ujar Tari lirih berharap suaminya tidak mendengar. Namun, tentu saja dia salah sebab kini suaminya sudah mengepalkan tangan seraya menatapnya tajam."Berani sekali wanita itu!""Tenang, Mas. Yang penting aku baik-baik saja. Lagipula, kamu ngga mungkin mukul pere