“Mama sudah melamar wanita untukmu!”
Hampir saja ponsel di genggaman Abi terjatuh, mendengar ucapan wanita di seberang sana. Bagaimana mungkin, mamanya melamar seseorang tanpa bilang dulu padanya?
Ini yang mau menikah dia atau mamanya?
“Kenapa mama enggak tanya dulu sama, Abi?” seruan protes langsung terlontar dari mulut Abi.
“Salah kamu sendiri, dari dulu disuruh cari istri enggak mau. Ya udah mama inisiatif mencarikan istri untukmu.”
Abi terperangah mendengar jawaban wanita yang dicintainya itu. “Tapi enggak gitu juga, Ma!” Menikah bukan sesuatu yang main-main, tidak bisa 'kan asal pilih orang untuk dijadikan pasangan seumur hidup?
Nada frustrasi terdengar jelas dari suara Abi. Pria itu merasa sangat kesal, tapi dia tidak mungkin membentak sang mama. Jadi sebisa mungkin dia mencoba menahan emosi yang sudah di ubun-ubun.
“Terus mama harus bagaimana? Mama sudah tua Abi, tidak mungkin terus-terusan bolak balik dari rumah ke rumahmu, untuk memastikan kamu dan cucu mama hidup dengan baik. Jadi mama berpikir saatnya tugas itu dilakukan oleh orang lain.”
“Ma ...” Bahkan pria berusia 36 tahun itu merengek layaknya anak kecil, agar sang mama membatalkan rencananya.
“Pokoknya lusa kamu harus sudah di sini. Mama enggak mau tau!”
“Tapi, Ma ...” ucap Abi lirih.
“Enggak ada tapi-tapian. Inget, kalau sampai kamu enggak dateng, jangan harap mama akan membukakan pintu jika kamu pulang ke sini. Mama tutup. Assalamu’alaikum.”
Pria itu tercengang sambil menatap ponsel di tangannya, saat sang mama langsung menutup teleponnya tanpa menunggu jawaban darinya. Dengan kesal Abi menghempaskan tubuh ke sofa yang ada di ruang kerjanya. Pikirannya berkecamuk, dia tahu ancaman mamanya bukan hanya sekedar gertakan.
Lalu apa yang harus dia lakukan sekarang?Menikah? Menggeleng cepat, dia merasa belum siap untuk membina hubungan rumah tangga kembali. Apalagi dirinya belum tahu siapa calon yang dipilih mamanya.
“Kenape muka, Lo?” tanya Riko, melihat raut kusut di muka sahabat dan rekan kerjanya setelah menerima telepon.
“Gue mau nikah.”
Kalimat sang sahabat membuat Riko menyemburkan air yang baru saja masuk ke mulutnya. “Sial!” Pria itu mengumpat merasakan air masuk dalam hidungnya, yang membuat dia terbatuk hebat.
“Lo, ngomong apa barusan?” tanyanya setelah bisa menguasai diri. Riko yakin pendengarannya masih berfungsi dengan baik, tapi kenapa dia mendengar kalimat aneh sang sahabat?
Abi hanya melirik sekilas pada sahabatnya. Tanpa ada niat untuk menjelaskan lebih lanjut. Pikirannya kalut, dia merasa belum siap untuk berumah tangga lagi.
Bahkan dia hanya melirik Riko sekilas kala sahabatnya tengah menggerutu akibat tidak mendapat tanggapan. Lagi pula bagaimana bisa dia menjelaskan, sedangkan otaknya tengah kusut.
Sial!
Apa yang harus dia lakukan sekarang?
***
“Anak ibu cantik sekali.”
Tari menatap pantulan wajahnya sudah dipoles make up natural dibalik kaca rias. Gamis putih berhias beberapa payet membalut tubuh wanita itu, menjadikan penampilan sederhana Tari terlihat memesona.
Memandang senyum semringah ibunya dari balik cermin meja rias, membuat Tari meyakinkan diri bahwa ini jalan yang terbaik. Dalam hati dia berdoa, semoga semuanya berjalan lancar.
“Ayo turun, mereka sudah menunggu kita.”
Dengan degup jantung yang begitu keras, Tari melangkahkan kaki keluar dari kamar. Menuju ruang tamu, tempat berlangsungnya acara. Tangannya terasa dingin, bahkan perutnya mendadak mulas. Padahal kalau di pikir-pikir ini bukan yang pertama untuknya, tapi kenapa rasanya seperti ini?
Samar-samar terdengar suara orang berbincang santai, ketika kakinya hanya berjarak beberapa meter dari lokasi. Suasana menjadi hening ketika dia sudah berada di tempat semua orang berkumpul. Menyebabkan jantungnya bekerja lebih extra.
Tidak ada dekorasi seperti acara lamaran pada umumnya. Rumah berlantai satu itu hanya mengganti kursi ruang tamu dengan karpet. Agar dapat menampung para saudara dan juga tamu yang hadir. Selain karena waktu yang mepet, Tari juga mau acara diadakan dengan sederhana.
Menarik napas panjang, Tari lantas mengedarkan pandangan untuk menyapa dua keluarga yang menatapnya penuh kekaguman. Dia membatu, saat irisnya bertemu dengan iris legam yang menatapnya tajam.
Tidak mau berlama-lama memandang mata yang seakan bisa mengancurkan sendi-sendinya sehingga rasanya dia tidak mampu berdiri, matanya pun beralih menatap saudara-saudaranya.
Berbeda dengan Tari yang terperangah ketika melihatnya, Abi justru berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkan degup asing ketika melihat wanita di hadapannya.
Sebuah perasaan yang sudah lama dia buang. Kini muncul lagi ke permukaan. Membuat Abi seperti tidak bisa menguasai perasaannya sendiri. Tersenyum kecut, dia tidak menyangka rasa yang telah dibuangnya kini kembali ke permukaan.
Suara seorang pria yang akan membawakan acara, membuat pandangan Abi terputus. Tari memutuskan untuk duduk karena acara akan segera berlangsung. Sedangkan Abi mengalihkan pandangan dari Tari, yang menurut lelaki itu terlihat cantik meskipun dengan make up sederhana. “Sial, apa yang barusan aku pikirkan?!” geram Abi dalam hati.
Acara berlangsung lancar, seluruh keluarga bercengkerama dengan hangat. Namun, kedua tokoh utama hanya saling diam. Sesekali mereka akan bersuara jika ada yang bertanya.
Mau bagaimana lagi, ini terlalu canggung untuk keduanya. Setelah sekian lama tidak bertemu, mendadak mereka akan disatukan oleh sebuah ikatan yang sakral. Rasanya masih tidak bisa dipercaya.
“Baiklah, sesuai kesepakatan bersama. Pernikahan akan dilaksanakan tiga bulan lagi,” ucap Umar, perwakilan keluarga Abi sambil menatap satu per satu orang yang memenuhi ruang tamu keluarga Tari. “Meskipun menurut saya itu terlalu lama, ya, karena sebaiknya niat baik itu disegerakan. Kalau bisa, ya, sekarang saja.”
Tawa Umar terdengar setelah itu. Tidak ada yang tahu, pria yang merupakan kakak dari mama Abi itu bercanda atau serius, tapi semua orang di ruangan itu ikut tertawa. Menganggap itu hal lucu. Namun, tidak dengan dua wanita paruh baya di sana. Mereka berdua sama-sama tersenyum penuh makna.
Lalu salah dari kedua perempuan itu pun bersuara. “Sepertinya yang dikatakan Mas Umar ada benarnya, sesuatu yang baik harus disegerakan.”
Mendengar penuturan mamanya, mendadak perasaan Abi menjadi tidak enak.
“Jadi bagaimana kalau pernikahan itu dilaksanakan sekarang?” tanya mama Abi dengan binar yang kentara.
“Saya setuju, Mbak,” ujar ibu Tari penuh semangat.
Semua orang di ruangan itu terperangah mendengar usul dua wanita paruh baya itu.
Tidak terkecuali dua calon pengantin itu, Tari menatap ibunya tidak percaya. Sedangkan Abi memejamkan matanya mengetahui firasatnya benar terjadi, bahwa sang mama pasti punya rencana tertentu.
Merasa tidak setuju dengan rencana dua wanita paruh baya tersebut, Abi dan Tari kompak melayangkan protes.
“Bu!”
“Ma!”
“Kenapa? Bukankah ini bagus?”
Dua calon pengantin itu hanya diam, saat anggota keluarga mereka yang lain saling bersahutan menyatakan setuju dengan usulan mama Abi.
Sembari mencuci peralatan makan Tari teringat kembali kejadian tadi, yang sampai saat ini masih terasa seperti mimpi baginya."Kalian nikah secara agama dulu saja sekarang. Daripada nunggu tiga bulan lagi, kelamaan itu. Iya, 'kan, Pa?" tanya Mama Abi kepada sang suami, yang dibalas anggukan setuju.Semua terjadi begitu cepat, ketika seorang kerabat mereka mengusulkan untuk memanggil seorang ustadz di kampungnya. Tari bahkan belum sempat mencerna apa yang terjadi. Saat tiba-tiba saja Abi menjabat tangan ayahnya untuk mengucapkan ijab qabul.Saat semua keluarga menyalaminya untuk mengucapkan selamat, wanita itu masih menampilkan ekspresi kebingungan. Begitu juga ketika matanya memandang seseorang yang baru saja sah menjadi suaminya. Dia juga melihat raut kebingungan yang sama.Panggilan dari sang ibu menghentikan lamunan Tari."Itu dilanjut besok saja, kamu istirahat sekarang. Nak Abi juga sudah ke kamar tadi, Ica sudah tidur soalnya."Mendengar ibunya menyebut nama Ica, membuat Tari te
"Itu apa, Tante?"Tari tersenyum mendengar pertanyaan Ica yang duduk di belakang. Sejak meninggalkan rumahnya, si gadis selalu bertanya semua hal yang menarik perhatiannya. Wanita itu bersyukur dengan adanya Ica suasana di mobil tidak terlalu canggung."Rumah eyang, masih jauh apa nggak?""Sebentar lagi, Sayang," jawab Tari dengan sabar. Sepertinya gadis cantik itu tidak sabar untuk segera bertemu kakek neneknya.Lelaki yang tengah fokus menyetir itu, melirik ke samping ketika suara lembut mampir ke telinganya. Suara yang tadi membangunkannya untuk sholat subuh. Sesuatu yang entah kapan terakhir dilakukan, akhirnya tadi pagi dilakukan kembali. Tanpa dia sadari senyum kecil terbit di bibirnya, ketika mengingat kejadian tadi pagi."Itu rumah eyang." Ica berseru penuh semangat.Setelah sang ayah memarkirkan mobilnya dengan sempurna, gadis itu meminta agar pintu mobil segera dibuka. Setelah keinginannya dikabulkan, Ica langsung berlari. Meninggalkan papa dan juga ibu barunya, yang saling
Selamat membaca."Tidurlah! Bereskan pakaianmu besok saja!" perintah Abi pada istrinya.Tanpa mengatakan apapun Tari menuruti perintah suaminya, lalu bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Suaminya tidur tanpa selimut, adalah pemandangan pertama yang dia lihat ketika keluar dari kamar mandi. Tari menghela napas lega, setidaknya mereka tidak perlu berada dalam situasi yang canggung. Meskipun semalam dia berusaha bersikap tenang, tapi sebenarnya itu adalah cara agar ia bisa menutupi kegugupannya.Berpikir beberapa saat, Tari beranjak dari tempatnya menuju ranjang. Setelah itu dengan hati-hati dia tutupi tubuh suaminya dengan selimut. Dia pandangi sebentar wajah suaminya, sebelum berlalu ke sisi lain untuk tidur. Wanita itu menghela napas sebentar lalu berdoa semoga diberi kekuatan untuk menjalani hari esok.***Dari lima menit yang lalu, wanita yang masih menggunakan mukena putihnya, berusaha untuk membangunkan sang suami. Meski yang hasil yang didapatnya masih nihil, lelaki i
"Siapa kamu?" tanya wanita itu setelah duduk di sebelah Arkan. Entah mengapa dia begitu kesal, melihat senyum tulus perempuan yang duduk di samping Ica."Ini Tante Tari," jawab Ica."Tante Tari? Siapa?" tanya wanita berambut coklat itu karena jawaban Ica belum menghilangkan rasa penasarannya."Ya, Tante Tari."Wanita itu berdecak kesal. "Maksudku, Tante Tari itu siapa? Kok bisa ada disini?" "Saya Tari, istri Mas Abi," tegas Tari. Karena tidak ada tanda-tanda sang suami akan menjawab pertanyaan itu.Suara batuk Abi yang tersedak makanan, membuat Tari mengalihkan pandangan pada sang suami. Dengan cekatan dia mengambil air minum, lalu diberikan pada sang suami. Tanpa mengindahkan si wanita asing yang kaget dengan ucapannya, dan juga Arkan yang tanpa sadar tersenyum menyaksikan adegan di depannya."Kamu nggak papa, Mas? Hati-hati kalau minum, pelan-pelan saja."'Gara-gara siapa aku tersedak seperti ini,' gerutu Abi dalam hati. Dia tidak habis pikir, bagaimana wanita ini tidak terintimida
"Mbak Tari, Mas Abi. Ini tetangga baru kita, rumahnya di depan rumah kita pas," jelas Lastri yang tidak menyadari aura berbeda pada keempat orang yang berada dalam ruangan yang sama dengannya.Ajeng langsung merapatkan diri pada suaminya, perempuan dengan midi dress selutut warna tosca itu langsung mengalungkan tangannya di lengan sang suami."Saya Ajeng, dan ini suami saya Dipta.""Saya Abi dan ini istri saya Tari."Abi merasa tidak nyaman melihat pria di depannya memandang lekat sang istri. Perlahan ia lepas pegangan sang istri di tangannya, kemudian merengkuh pinggang istrinya, hingga membuat tubuh mereka menempel satu sama lain. Abi dapat merasakan tubuh Tari membeku, akibat perbuatannya.Sementara itu, setelah tadi terkejut karena melihat kembali mantan istrinya. Kini, Dipta harus menahan emosi meyaksikan interaksi di hadapannya. Lelaki itu sama sekali tidak menyangka kalau Tari menikah lagi setelah perceraian mereka."Tante."Tari mendapatkan kembali kesadarannya, ketika tubuhny
Tari langsung menjauhkan wajahnya saat hembusan napas sang suami terasa di kulitnya. "A-apa, Mas?""Sudah, lupakan!"Abi merubah posisinya menjadi berbaring membelakangi sang istri. Sesungguhnya dia tidak mengerti kenapa bisa bertanya seperti itu. Hanya saja dia tidak suka melihat raut terluka di wajah Tari, meskipun wanita itu tersenyum."Kalau, Mas memang menginginkan hal itu aku—""Aku bilang lupakan, Tari! Lagipula gimana caranya kita melakukan itu? Sedangkan ketika tadi aku mengajakmu, wajahmu sudah ketakutan seperti itu."Sang istri menunduk mendengar kalimat suaminya, dia menggigit bibir mungilnya untuk menahan rasa sesak yang ada. "Maaf, Mas.""Tidurlah!"Pergerakan di sampingnya, membuat Abi tahu kalau Tari menuruti perintahnya. Namun, sekarang pria itu menjadi gelisah. Sebagai pria dewasa jujur dia terganggu dengan percakapan yang baru saja terjadi.Dikala dia berusaha memejamkan mata, sebuah suara lembut membuat matanya kembali terbuka."Menginjak enam tahun pernikahan, aku
"Ada perlu apa Anda datang ke sini?" tanya Abi setelah duduk di hadapan wanita yang sedang tersenyum aneh kepadanya.Ajeng tersenyum sembari meletakkan kedua tangannya di atas kaki jenjangnya yang menyilang. "Saya ke sini karena ingin bertemu istri Anda, Tari."Abi berdecak mendengar nada manja yang keluar dari mulut perempuan di hadapannya. Lelaki itu tidak habis pikir, bisa-bisanya mantan suami Tari memilih melepaskan istrinya, hanya untuk bisa bersama wanita di depannya. Bahkan dari pertemuan awal kemarin, Abi sudah bisa menebak karakter wanita di hadapannya."Istri saya sedang mengantar anak kami pergi ke sekolah."Ajeng menatap kagum pada pria berahang tegas, yang menjawab pertanyaannya dengan nada datar. "Anak kami? Setahu saya Tari bercerai dengan suaminya karena dia tidak bisa memberi keturunan pada mantan suaminya."Senyum sinis tergambar di bibir Abi, dia menebak perempuan di depannya berpikir kalau ia belum tahu masa lalu sang istri. "Mungkin mantan suaminya terlalu payah,
"Dia butuh persetujuanku, untuk menjual rumah mereka." Tari memandang wajah di depannya yang terlihat sedang memikirkan sesuatu, "karena sertifikatnya atas namaku dan Mas Dipta."Mendengar istrinya mengucapkan nama sang mantan, Abi memandang netra itu dengan tajam. Namun, dia harus menyabarkan diri karena sepertinya istri cantiknya tidak mengerti arti tatapan tajam yang dia layangkan."Biar aku yang mengurusnya, kamu jangan bertemu lagi dengan mantan suamimu itu!""Terima kasih, Mas. Perlu Mas tau, aku memang tidak ada rencana bertemu mereka."Pandangan mereka saling mengunci beberapa saat. Ada perasaan hangat yang menjalar di hati mereka. Apakah ini pertanda baik? Kalau pada akhirnya perasaan mereka mulai tumbuh?Abi lah yang pertama kali memutus pandangan mereka. Karena lelaki itu mengingat sesuatu. Selanjutnya dia mengambil sesuatu dari dalam laci untuk diserahkan kepada istrinya."Ambilah! Untuk belanja."Tari mengambil ATM dari tangan Abi lalu mengucapkan terima kasih. Beberapa h
Mengistirahatkan diri dengan duduk di sofa, Tari menarik napas berkali-kali seraya mengelus perutnya yang terasa sakit. Sudah sejak tadi siang dia merasakan hal ini, tapi karena sakitnya muncul lalu hilang terus jadi dia tidak terlalu ambil pusing dan tetap mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa. Namun, kali ini rasanya lebih sakit dengan durasi yang cukup lama. Apa dia sudah mau melahirkan? "Sabar, ya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang." Tari meringis kala rasa sakit kembali menyerang, dia menatap jam yang ada di dinding. Sudah setengah lima, tapi suaminya belum datang. Padahal pria itu berkata akan pulang pukul tiga. Sedangkan Bintang tadi mengatakan jika anak itu menginap di rumah temannya untuk mengerjakan tugas, Icha sendiri dari kemarin menginap di rumah Kinan. Menahan rasa sakit yang kian menjadi, pelan dia bangkit bermaksud mengambil ponsel yang tadi diletakkannya di kamar. Jarak kamar dan ruang tengah yang dekat, kali ini terasa jauh. Belum lagi dia yang harus sedikit
Rasa haus membangunkan Tari dari tidur nyenyaknya. Meraba-raba tempat di sampingnya, dia merasa bingung karena tidak menemukan sang suami. Di mana pria itu?Semakin hari dia merasa tak bisa jauh dari suaminya. Pernah ditinggal sebentar saja langsung menangis. Pasalnya Abi pergi ketika malam, waktu dimana dia ingin menghabiskan waktu bersama pria itu.Bangkit perlahan mengingat perutnya yang sudah membesar, matanya menyipit kala di bawah remang lampu kecil yang terletak di atas nakas dia mendapati sang suami tengah menengadahkan tangan. Berdoa.Pria yang menggunakan peci putih itu tampak sesenggukan. Entah apa yang diminta pria itu sehingga membuatnya tampak sedih.Tari tidak bergerak, diam dalam posisi duduk. Menunggu sampai sang suami menyadari kehadirannya. Lalu dia tersenyum kala Abi terkejut begitu menyadari keberadaannya."Kenapa bangun?" tanya Abi sambil berjalan ke arah sang istri.Tari menggeleng, diletakkannya telapak tangan di pipi sang suami. Mengusap lembut, menghilangkan
Seperti yang sudah direncanakan, pagi itu keluarga Abi sudah bersiap-siap untuk berangkat menuju tempat pertandingan Arkan.Abi sendiri yang sudah berusaha membujuk sang istri agar tidak ikut, akhirnya menyerah. Karena wanita itu benar-benar berubah menjadi sosok keras kepala, yang akan cemberut sepanjang hari jika keinginannya tidak dipenuhi.Sebenarnya bukan hanya dia saja yang mencoba melarang, tapi Arkan juga melakukan hal yang sama. Berbeda dengan dirinya, Tari bersikap lebih lunak pada anak-anak. Bahkan wanita itu cenderung sensitif, seperti kemarin istrinya membuat drama kala Arkan mengatakan agar tidak perlu datang."Apa sebaiknya Bunda di rumah saja?" Dari meja makan Arkan memperhatikan sang bunda yang tengah sibuk menyiapkan bekal untuk besok. Padahal dia sudah mengatakan agar wanita itu tidak perlu repot-repot. Toh, dari panitianya sudah disediakan konsumsi."Kenapa memangnya?""Ya, 'kan Bunda lagi hamil gitu. Gimana kalau kecapekan?" tanya Arkan untuk kesekian kali. Karena
"Minggu ini 'kan final futsalnya?" tanya Tari sambil menyerahkan segelas jus pada suaminya yang tengah menonton televisi di ruang tengah bersama sang putera.Semenjak hubungan kedua laki-laki tersebut semakin membaik, semakin kompak juga mereka. Tak jarang dia merasa kesal jika suami dan anaknya sudah berada di dunianya sendiri, seperti olahraga dan bermain game. Dia sungguh merasa di abaikan.Duduk di salah satu sofa, dia ikut memperhatikan layar datar yang sama sekali tidak menaikkan minatnya."Iya, Bun.""Kalau jawab itu sambil liat, bunda! Emangnya tv lebih menarik dari bunda?" cibir Tari kesal. Benar 'kan dia selalu diabaikan jika sang anak tengah menikmati tontonan favoritnya.Dia berharap ada Icha yang selalu berada di kubunya. Sayangnya gadis cantik tersebut sudah tidur sejak tadi.Sementara itu Arkan yang baru saja kena cibir langsung berdeham dan melirik sang papa yang tampak sedang mengulum bibir, seperti menahan tawa atau mungkin mengejeknya?"Maaf, Bun. Lagi seru soalnya.
"Kenapa, Lo?" Riko menatap aneh sahabatnya yang menghela napas berulang kali. Seolah tengah menghadapi beban yang berat. Padahal kalau dipikir-pikir, bukankah kehidupan Abi sudah enak? Punya istri baik, anak-anak tampan dan lucu yang sebentar lagi akan bertambah satu. Namun, kenapa wajah sahabatnya itu macam kemeja yang belum disetrika. Kusut."Ngga pa-pa.""Buset, kayak cewek aja, Lo! Bilang ngga pa-pa tapi ada apa-apa."Abi melemparkan bantal sofa pada temannya. "Daripada Lo bawelnya melebihi cewek."Riko menggerutu. Kesal. "Males gue ngomong sama Lo!" Pria itu berjalan menuju pintu, seraya memegang gagang pintu dia membalik setengah badannya. "Jangan suntuk lama-lama, kasihan Tari. Nanti dia dikira nikah sam om-om."Berdecak kesal, Abi hampir saja melempar bantal kursi lagi tapi sayangnya pria yang sudah bertahun-tahun menjadi sahabatnya itu sudah menghilang di balik pintu.Beberapa menit setelah kepergian sang sahabat, Abi memutuskan untuk keluar dari ruang kerjanya. Walaupun kini
"Jadi, Mas Abi sudah lama suka padaku?" tanya Tari sambil tertawa kecil. Tidak menyangka jika pertanyaan yang di lemparkan sang suami dulu, adalah bentuk keseriusan. "Bisa dibilang begitu." Mata Tari memincing. "Santai banget jawabnya. Seingatku dulu Mas Abi terlihat gugup saat mengutarakan keinginan untuk mendekatiku." Abi tertawa, tangannya mencubit pipi sang istri. "Tentu saja. Dulu aku masih remaja sekarang aku adalah laki-laki dewasa yang mau punya anak tiga. Udah gak pantes lagi malu-malu kucing kayak gitu." Entah kenapa, ucapan sang suami membuatnya kesal. Tanpa mengucapkan apapun Tari membalik tubuhnya. Memunggungi sang suami. Boleh kah dia menyalahkan hormon kehamilan? Sebab belakangan ini hanya hal kecil bisa mematik kekesalannya. Di saat sedang memikirkan perubahan emosi yang dirasakan, Tari tersentak saat sebuah tangan memeluknya. Walau kesal, tak ada niat untuk menyingkarkan dekapan Abi karena rasanya yang begitu nyaman. "Sepertinya aku harus mulai bersabar menghada
"Mas.""Ya," jawab Abi tanpa melepaskan pandangan dari laptop yang ada di pangkuannya. Dia menoleh dan mendapati raut sang istri penuh keraguan. "Ada apa?""Aku boleh tanya sesuatu?" Jemari Tari saling bertaut. Sebenarnya dia takut menyinggung sang suami, tapi di sisi lain juga penasaran.Abi tersenyum lembut pada sang istri yang tengah berbaring miring sambil menatapnya. Dia usap pelan rambut legam yang terasa halus di tangannya. "Mau tanya apa?"tanyanya lembut."Kata bapak, dulu Mas Abi pernah memintaku pada bapak. Benar?"Abi tersentak untuk sesaat, bahkan wajah pria itu mendadak memerah. Salah tingkah.Setelah berhasil menenangkan diri, di menyunggingkan senyum tipis. Lalu bergerak untuk meletakkan laptopnya di atas nakas, kemudian ikut berbaring miring menghadap sang istri yang masih memberinya senyum lembut.Astaga, manis sekali istrinya!Pantas saja mantan suami Tari menyesal karena perempuan yang tengah mengandung anaknya itu selalu bisa memperlakukan orang lain dengan lembut.
"Mas, apa kamu merasa ada yang aneh dengan Arkan?" tanya Tari pada laki-laki yang berbaring di sampingnya. "Dia menjadi lebih pendiam. Apa dia belum menerima kalau akan mempunyai adik lagi?" Kesedihan tampak jelas di wajah ibu hamil tersebut mengingat perubahan sikap sang anak.Abi menghela napas berat. Hal ini lah yang belakangan menjadi beban pikirannya. Perubahan sikap sang putra. Awalnya dia berencana untuk menyelesaikan masalah ini sendiri. Karena tidak mau membuat istrinya ikut stres memikirkan sang putra. Namun, siapa sangka istrinya ini sangat peka."Aku gak tau kenapa dia seperti itu," jujur Abi. "Nanti biar aku cari waktu untuk bicara padanya.""Biar aku saja. Karena firasatku mengatakan kalau perubahan Arkan terjadi karena berita kehamilanku." Tari menatap sang suami dengan mata berkaca-kaca.Abi mengusap kepala istrinya penuh kasih sayang. "Kamu yakin?"Iya, Mas. Bagaimanapun Arkan sekarang adalah anakku. Aku mau dia juga bahagia, Mas."Merengkuh tubuh istrinya. Abi merasa
"Udah, Mas?" tanya Tari saat suaminya yang baru saja menaruh tasnya, karena hari ini dia sudah diperbolehkan pulang. Setelah menginap satu malam di rumah sakit."Udah." Abi menatap lekat istrinya. "Jadi? Masih belum mau bercerita kenapa kamu terjatuh?"Tari mengedikkan bahu. Sementara bibirnya menyunggingkan senyum, berharap sang suami mau mengerti jika dia tak mau membicarakan masalah ini lagi."Aku yakin pasti ada hubungannya dengan tetangga depan itu. Apa perlu aku menanyakan pada mereka?""Jangan!" teriak Tari, panik. Bukannya apa, dia tak mau Abi terlibat perkelahian lagi. Dia lantas menghela napas panjang. "Aku akan cerita, tapi tolong jangan terpancing amarah.""Ngga janji.""Mas!""Oke, jadi?""Ajeng yang mendorongku," ujar Tari lirih berharap suaminya tidak mendengar. Namun, tentu saja dia salah sebab kini suaminya sudah mengepalkan tangan seraya menatapnya tajam."Berani sekali wanita itu!""Tenang, Mas. Yang penting aku baik-baik saja. Lagipula, kamu ngga mungkin mukul pere