"Ayolah, lupakan dulu marahmu itu, temani aku sarapan jika aku sudah pergi ke kantor kau boleh marah lagi," rayu Manan dan itu baru ia lakukan hari ini.Safia pun tidak bisa menolak permintaan Manan akhirnya ia pun mengikuti pria itu turun ke bawah. Setelah menuruni tangga mereka pun berjalan kemeja makan dan duduk di sanaSafia mengambilkan makanan untuk Manan setelah itu mengambil untuk dirinya. Manan menatap piring Safia, ia merasa Safia terlalu sedikit mengambil makanan lalu dia menegurnya."Kau tahukan kau sedang menyusui dua balita, kenapa makanmu sedikit sekali?" tanya lelaki itu sambil mengerutkan dahinya."Aku tidak bisa makan banyak, kau tahu itu nanti jika aku lapar aku pasti akan Makan, jangan kawatir mengenai anak-anakmu tentang ASInya. kupastikan mereka tidak akan kelaparan," ucap Safia sambil memulai menyendokan makanannya dan akan menyuapkan dalam mulutnya. Namun ia tertegun sesaat kala ada seorang wanita yang berdiri di depan."Maaf Nyonya, Tuan, apa saya bisa bergabu
Setelah Kepergian Manan Suster itu kembali ke meja makan. Apakah saya bisa sarapan sekarang, Nyonya?" tanya Suster Rida pada Safia."Lalu bagaimana dengan Anak-anak? Siapa yang menjaganya jika kau makan di sini? Ambil nasi dan lauknya lalu kembali ke anak-anak! Kau bisa makan di sana bukan," ucap Safia dingin."Tetapi Nyonya, mereka Aman," ucap suster Rida pada Safia."Silahkan saja jika kau ingin kehilangan pekerjaanmu," ucap Safia sambil meninggalkan meja makan.Suster Rida memandang sinis kepada Safia, lalu mengambil piring dan mengisinya makanan serta mengambil segelas air minum ia tidak menampik perkataan Safia karena itu betul adanya. Ia akan kehilangan pekerjaannya jika memaksa untuk berperang dengan Safia majikan perempuannya itu. 'Aku memang kalah telak,' pikirnyaSuster Rida membawa makanan kedalam kamar karena dia harus menjaga Amar yang sedang bermain di kamar itu sedangkan Erina berada di box dan masih terjaga.Baru saja ia menyuapkan makanan di mulutnya Baby Erina menang
Suster Rida berjalan mondar-mandir menunggu sang majikan pulang namun sampai sampai siang majikannya itu tidak kembali ke rumah. Ia semakin kesal apa lagi hari ini dia sedang libur, dan ia tidak melakukan apa-apa karena majikan perempuannya itu membawa anak-anaknya di ruangannya.Karena Lelah menunggu ia pun berjalan ke meja makan untuk makan siang, Ira yang tahu Nyonyanya sedang berada ruangannya bersama anak-anaknya itu menyiapkan makan siang untuk Safia.Melihat hal itu semakin membuat suster Rida kembali kesal. "Mbak Ira mau kemana? Di sini dulu saja, temani saya makan.""Ini siang hari tidak akan ada setan di sini, jadi jangan meminta saya menemanimu karena ini lebih penting," ucap Ira sambil berlalu meninggalkan Suster Rida."Sombong banget, sih awas kamu yaa! Nanti ku buat kau di pecat," ancam Suster Rida sambil mengambil nasi dan lauk di piringnya sedangkan ira sudah tidak memperdulikan lagi wanita itu, ia berjalan menaiki tangga menuju kamar Safia.Sesampainya di depan kamar
"Sudah kalau kamu mengunakan cara itu pasti semua akan kalah," ucap nya sambil duduk di ranjang ia ingin membangunkan putranya."Kau mau apa?" tanya Safia saat Manan sedang mendekati putranya itu."Mau membangunkannya, aku juga ingin bermain dengannya, bukankah kau sudah puas bermain dengan mereka," ucap sambil menyentuh pipi sang putra dan Safia hanya diam saja "Amar bangun! Ayo mandi bersama Papa, " ucap Manan pada Safia.Amar pun menggeliat dan membuka matanya, Pa, papa!"Bibir mungil itu mengembang lalu meringis lucu dengan gigi yang baru tumbuh dua itu. Manan merentangkan tangannya seraya berkata, "Mau mandi dengan papa?" Amar mengangguk dan Manan segera meraih tubuh kecil Amar yang masih terlihat bermalasan itu, sambil berkata pada Safia, "Kau panggil Ira untuk memindahkan Erina di kamarnya, aku tidak mau rugi, membuang uangku dengan percuma di sini suster Rida bekerja bukan bermain kau biarkan ia menganggur hari ini.""Biarkan saja uangmu kan banyak!" sahut Safia garang.Mana
"Hai, beraninya kau membantahku!" teriak Manan lupa kalau di depannya ada Amar."Papa, hua-hua huhuhu!" tangis Amar karena ketakutan dengan suara sang Ayah yang keras dan tinggi."Ohh, cup-cup papa tidak marah, jangan menangis," ucap Manan sambil mengendong dan menggoyang-goyangkan badan Amar keatas dan ke bawah membuat bocah itu berhenti menangis lalu tertawa.'Kenapa semua berpihak pada ibunya? Aku tidak bisa marah kalau mereka sudah besar,' gerutu Manan dalam hati.Manan pun tersenyum masam saat sang putra berhenti menangis. lalu bermain dengannya. Setelah itu Manan membawanya ke suster Rida setelah membujuknya habis-habisan.Setibanya di depan kamar sang anak ia mengetuk pintu dan keluarlah Suster Rida membuat lelaki itu marah. "Harusnya kamu menjeput Amar di kamarku. Kau kubayar untuk berkerja, bukan main-main!""Maaf, Tuan, saya takut menganggu kebersamaan Anda dan Nyonya, ucap suster Rida," ucap Suster Rida sambil menerima Amar dan lalu menggendongnya."Sudah tidak usah membant
Lima belas menit telah berlalu Manan keluar dengan tubuh basah dan handuk yang melingkar di pinggangnya. Tanpa bicara ia menggendong tubuh Safia ke dalam kamar mandi."Mandilah aku sudah menyiapkan air hangat di bathtub. Maaf aku belum bisa mencintaimu tetapi aku membutuhkanmu," ucap pria itu seraya pergi meninggalkan Safia di kamar mandi."Tunggu, bisa ambilkan pembalutku dan cel4n4 d4l4m," tuanya sambil menunduk, "Mandilah akan ku ambilkan! Tidak perlu kau kunci pintunya aku sudah melihat semuanya," ucap lelaki itu sambil terkekeh.Manan pun keluar dari dalam kamar Mandi, dan Safia melepaskan pakaiannya dan menggantungkannya di tempat gantung baju, ia menatap bathtub yang berisikan air hangat itu masalah ia masih nifas apa dia lupa? tetapi setelah dipikir lagi Safia merasa itu tidak jadi masalah karena sebenarnya sudah tidak keluar darah dari jalan lahirnya hitung-hitung merilekan tubuhnya.Safia pun masuk ke dalam bathtub tersebut dan mulai memanjakan tubuhnya, sambil memejamkan m
Andi terjatuh dan tidak bisa menghentikan tuannya itu, ia menatap kepergian mobil sambil bersusah payah berdiri.Setelah agak jauh Manan mengurangi laju mobil lalu ia berhenti di trotoar dan menelpon sahabatnya."Kau dimana? Temani aku minum aku sedang suntuk," pintanya disambungan diteleponnya."Apa, kau jangan gila, aku sedang bersama Hanie, dan anakku belum mau tidur dari tadi ia menangis terus. Aku tidak tahu bagaimana menenangkannya," keluh Brian "Kau pekerjakan saja pengasuh lamanya, ia kan tahu kebiasaan anakmu dan yang paling penting dia sudah sangat dekat dengan anakmu pasti anakmu akan lebih nyaman bersama pengasuhnya yang telah lama mengasuh," saran Manan pada sahabatnya Brian."Kau benar juga, oke nanti akan kubicarakan pada Hanie," ucap pada Manan."Aku ke apartemenmu aku tunggu di basement," ucap Manan lalu memutus sambungan telponnya."Sh!t!" umpat Brian pelan setelah ia tahu sambungan teleponnya terputus."Siapa?" tanya Hanie menatap pria yang sedang menggendong putri
Brian keluar dari Apartemennya menuju lift pintu tertutup dan bergerak ke bawah, pintu terbuka ia berjalan menuju ke basement dan langsung membuka pintu depan dan duduk di sebelah Manan."Ada apa lagi? Bukankah kau sudah punya anak dari Safia harusnya kau bahagia dan bisa mencintai Safia," ucap Brian sambil memasang sabuk pengamannya."Aku belum bisa mencintainya, anak itu adalah accident saat itu aku Marah dan melampiaskan padanya, tak kusangka akhirnya ia hamil dan hari ini dia membantahku dan aku marah lalu kubanting vas bunga dengan sekuat tenaga dan ia seperti tidak peduli padaku meskipun dia sangat terkejut dan seolah ingin menangis," jelas Manan sambil mengemudikan mobilnya."Apa lebih baik kau ceraikan saja, dari pada menyiksa batin dia," ucap Brian lirih. Sebenarnya ia tidak terlalu suka terlibat dalam urusan orang lain tetapi karena Manan bercerita maka ia pun menimpalinya.Tak lama mereka tiba di depan Club malam. Brian menoleh pada Manan, "Sebaiknya kau tidak segila ini, k
Hari berjalan terus Manan sibuk dengan Lala bahkan tidak memperhatikan anak-anaknya selalu berangkat lebih awal, dan tidak pernah lagi sarapan pagi di rumah, ia lebih suka melakukannya di apartemen Lala. Amar mulai kehilangan sosok sang ayah, berbeda lagi dengan Safia, ia selalu saja menyempatkan dirinya untuk sarapan pagi dengan anak -anaknya dan masih mengantar jemput mereka. Akan tetapi Amar merasa sangat tidak suka saat Safia bersama lelaki lain saat menjemputnya bersama sang adik. Namun, Amar tidak bisa memprotesnya sebab sang mama bilang mereka baru meninjau bersama dan sekalian menjemput mereka. Sesampainya di atar di rumah, Safia kembali ke kantor bersama pria itu sedangkan Amar dan Erina berada di rumah dengan Ira sang asisten rumah tangga. Amar menatap mobil yang keluar dari pintu gerbang rumahnya lalu mengajaknya sang adik masuk ke dalam sambil berfikir bagaimana cara agar orang tuanya tahu, bahwa ia dan adiknya membutuhkan mereka berdua. Sampai di dalam mereka disa
Safia dengan tergesa-gesa berjalan menaiki tangga menuju kamar Sang Putri, Ia pun berhenti beberapa saat untuk menetralkan kemarahannya pada Manan yang entah kenapa bersikap sinis padanya. ia menghembuskan nafas beratnya lalu tersenyum kemudian berjalan masuk ke dalam kamar yang putri terlihat wajah lelaki yang duduk di bibir ranjang menemani sang adik yang belum tidur sana menunggu papanya untuk menemaninya tidur. "Mana Papa? Kenapa Mama kembali ke sini sendirian?" tanya Amar "Papa masih harus menyelesaikan pekerjaannya dia akan menyusul kemari, nanti setelah pekerjaannya selesai dan kamu Amar, Pergilah tidur di kamar tidurmu biar mama yang akan menemani adikmu sampai bapakmu kemari," perintah Safia. "Mama mengusir Amar?" tanya bocah lelaki itu. "Tidak, hanya besok kamu harus sekolah, jadi lebih kamu beristirahat di kamarmu sendiri lagi pulang adiknya masih sakit kan takutnya kamu juga akan terkena virusnya lalu ikut sakit yang repot siapa kan Mama juga," ucap Safiah. "Oh
Safia menatap kepergian Manan dengan hati galau. 'Apa ini benar, andai pun terjadi masalah antara aku dan Manan harusnya aku tidak boleh mempunyai ketertarikan dengan pria lain hingga masalah rumah tanggaku beres, tetapi lelaki yang memenjarakan dirinya dalam hubungan pernikahan hanya mau melepaskanku saat ada seseorang pria yang mampu menyentuh hatiku dan saat ini pria itu hadir, Namun kenapa aku merasa Mas Manan tidak sungguh-sungguh untuk melepaskanku. Meski tak ada rasa cinta dari sebuah hubungan pernikahan, tetaplah salah jika membina hubungan dengan pria lain di atas pernikahan yang rapuh.' batinnya sedih ia menatap putra sambungnya dan tersenyum berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. "Apa Mama baik-baik saja?" tanya Amar pada Safia. "Mama baik-baik saja sayang, jangan cemas tidak ada sesuatu yang di perdebatkan dengan papa, kami hanya mitra kerja, jangan terlalu berfikir yang belum saatnya kamu pikirkan," ucap Safia pada Amar. "Aku hanya ingin selalu bersama kalian,
Saya yang minta maaf, karena menyentuhmu, saya tunggu di ruang tamu," ucap Manan berjalan keluar dari kamar Lala sambil merapikan pakaiannya. Lala menghebuskan napas. 'Liar juga si Bapak punya anak dua itu,' gumamnya dalam hati. sambil melihat bercak merah di leher dan dada. ia pun mengambil pakaian di dalam lemari dan memakainya lalu berjalan keluar menuju ruang tamu untuk menemui Manan. "Hemm ... Bapak mau minum apa?" tanya Lala menghilangkan kecanggungannya terhadap pria itu. "Tidak usah repot-repot, kamu duduk di sini dengan saya saja, sebenarnya saya ingin meminta maaf padamu tetang perbuatan Amar padamu, malah jadi berlaku tidak senonoh, mestinya kamu menampar saya," jawab Manan. "Saya yang salah, keluar hanya memakai handuk saja, jadi maaf bukan maksud saya untuk menggoda Anda. "Tidak, saya merasa kamu tidak menggoda saya wajar saja karena saya tidak memberi tahumu sebelumnya kalau saya datang. Justru saya minta maaf atas kelancangannya saya, Saya jamin tidak akan ter
"Bagaimana?" tanya Aran saat Safia telah tiba di ruang tamu. "Hem gak tahu, kayaknya di sekolah ada masalah sehingga seperti itu," jawab Safia pada lelaki itu. "Oke, karena anakmu sudah pulang aku pulang saja, takut menganggu quali time kamu saja," pamit Aran. "Oh ya, maaf penyambutan putraku yang mungkin membuat kamu tidak enak hati," ucap Safia pada pria itu. "Tidak apa-apa, jangan lupa besok pagi-pagi kita harus sudah sampai ke lokasi proyek, jika mobilmu masih di perbaiki maka nanti akan kujemput, bagaimana?" tanya pria itu pada Safia. "Tidak usah aku mau ke kantor dulu," ucap Safia. "Iya, di kantor maksudku," ucap Aran pada Safia. "Baiklah terserah Anda saja," ucap Safia tersipu dan Aran menggangguk sopan lalu pria itu pun keluar dari ruang tamu menuju mobilnya dan masuk serta mengemudikannya berjalan melewati gerbang rumah Manan. Safia menatap mobil itu hingga pergi menjauh. Ia menggelengkan kepalanya menepikan rasa yang ada dalam dirinya. Ia berjalan masuk kem
Taksi membawa Manan dan putranya pulang ke rumah, tadi dia berniat untuk pulang tetapi ia berfikir untuk meminta maaf secara langsung pada Lala. Ditengah perjalanan ia pun berubah pikiran. "Hem, sepertinyq Papa hanya bisa mengantarkanmu sampai pintu gerbang karena Sekertarisnya Papa, mbak Citra mengingatkan papa kalau jam satu akan ada rapat," jelas Manan pada sang putra. "Baiklah terserah Papa, dari tadi kan Amar ingin pulang sendiri, Papa saja yang memaksa untuk mengantarku pulang," jawab Amar pada Manan dengan ketusnya. Bocah lelaki itu menduga pasti sang ayah akan menemui Tante-tante yang menjemputnya tadi untuk miminta maaf. Manan menatap putra dengan lekat sambil menghelah napas. Taksi pun berhenti tepat di depan pintu gerbang rumahnya dan Amar pun turun sendiri tanpa sang ayah, menutup dengan keras dan berjalan tanpa menengok ke arah ayahnya. "Marah anaknya, Pak?" tanya sang sopir taksi dan Manan hanya tertawa lalu memberi tahukan alamat mana yang harus dituju dan tak
"Papa, membela Tante itu?" tanyanya pada sang papa. "Bukan membela, kalau sikapmu seperti itu, mungkin tadi papa tidak meminta tolong padanya. Papa akan Andi untuk menjemputmu. "kenapa tidak menyuruh paman Andi," tanya sambil memakan makanannya. "Oke Papa yang salah dan papa kira anak Papa bisa sopan terhadap teman Papa ternyata Papa salah anak Papa tidak sesopan yang papa harapkan," ucap Manan. Didalam kemasan itu pun disediakan pula alat pemecah cangkang dan Manan membantu memecahkan kulit cangkang makanan milik Amar. "Ya Amar minta maaf kan semua terjadi karena Amar gak sengaja membuat pakaian Tante kotor," ucap Amar tanpa merasa bersalah pada wanita itu. Manan tak lagi berbicara karena berbicara dengannya saat ini akan percuma saja karena anak itu pasti mengira dirinya ada hubungan Lala Manan menghelah napas dan menatap putranya dengan kecewa karena membuat pujaan hatinya terlihat buruk, mungkin Lala tadi juga dapat cemoohan dari karyawan yang tak sengaja berpapasan
"Ia menghembuskan nafasnya. 'Hemm ... anak kecil lihat aku menjadi pusat perhatian dan gunjingan mereka padahal ini baru mulai bagaimana nanti selanjutnya apa harus mundur, Aaahhh ... tidak, aku tidak boleh mundur walaupun apa yang terjadi.' Pintu lift terbuka Lala pun belum beranjak dari tempatnya berdiri, ia masih menatap pakaiannya yang sangat kotor. "Tante selanjutnya kita kemana?" tanya Amar sambil mengulum senyum samar ia sangat puas telah mengerjai wanita itu. 'jangan pikir muda untuk dapatkan Papa, hadapi anaknya dulu,' pikir Amar sambil menunggu jawaban dari Lala. "Ahh ... iya ayo keluar," ajak Lala saat tersadar kalau dia harus mengantar Amar sampai di kantor ayahnya dan ia sudah mengirim foto pada pria itu tetang pesanan makanan anaknya yang begitu banyak. Mereka berjalan menuju kantor Manan, Lala sangat beruntung di lantai ini hanya ada ruangan Manan dan Asistennya. Hingga sampai akhirnya mereka sampai di ruangan itu dan Lala mengetuk pintunya terbuka lalu Manan m
"Aku kenyang, Tante karena Tante cemberut," protes Amar. Lala duduk dengan memijit kepalanya sambil melirik bocah yang duduk tertunduk kepalanya itu. Ia menghela napas lalu berkata lagi," pesanlah kepiting lalu makanlah!" Wanita memecahkan cangkang kepiting dengan alat pemecah cangkang lalu menyuapkan dagingnya ke dalam mulutnya. "Baiklah aku akan coba beberapa porsi yang gak pedas," ucap anak itu sampai membuat Lala hampir tersedak. "Anak tampan pesan satu porsi saja dan makanlah, Oke, pesan yang biasa kamu makan dengan ayahmu, mengerti anak manis?" ucap Lala sambil menekan rasa jengkelnya yang sudah sampai ubun-ubun. "Baiklah aku hanya pesan satu porsi saja dan memakannya karena aku takut Tante kehabisan dan di suru cuci piring!" ucap amar tersenyum sambil memanggil pelayan. Tak berapa lama pelayan pun datang Amar mulai memesan makanan yang biasa di makannya dan dia juga memesan es krim coklat kesukaannya satu gelas besar. Beberapa saat kemudian pelayan kembali dengan