Manan meneguhkan hatinya ia berjalan keluar rumah mantan mertuanya itu dengan membawa serta Amar di gendongannya dan masuk kedalam mobilnya kemudian berjalan meninggalkan rumah itu.
Safia menangis tergugu, ia sudah sangat mencintai Amar dan menganggap putranya sendiri jika dia di pisahkan itu sama artinya memutus urat nadinya.Ia tak sanggup berdiri membuat Manaf ayah Safia iba pada putrinya. Lelaki itu mengusap kasar wajahnya langsung menghampiri putrinya itu dan menggendongnya membawanya naik ke lantai atas ke kamar Safia.Sesampainya di sana sang Ayah mendudukkan di ranjang lalu keluar mencari dan memanggil bik Mina untuk membantu mengurut kaki Safia yang terkilir.Bik Mina dengan cepat masuk ke dalam kamarnya dan mengambil minyak urut lalu berjalan menaiki tangga menuju kamar Safia, ia pun masuk setelah safia mengijinkannya..Bik Mina mulai memijat kaki Safia, ia menaruh Iba kepada wanita itu. Sudah ditinggal suami dan anaknya sekarang harus dipisahkan dengan bayi yang telah dirawatnya selama empat puluh hari itu."Sudah, Bik, ini sudah enakan, tolong ambilkan alat pompa Asi dan botol steril ya, Bik, aku tidak mau nanti Amar kehausan ucapnya sambil mengusap air matanya.Bik Mina pun tersenyum dan mengangguk Lalu ia keluar dari kamar Safia mengambilkan yang diminta majikannya itu.Safia turun dari ranjang berjalan tertatih mengambil sebuah koper lalu membuka lemari mengambil pakaian dan popok Amar dan di masukan kedalam koper ia hanya menyusahkan sedikit saja untuk obat rindunya.Bik Mina kembali mengetuk pintu lalu terdengar sautan dari dalam ia pun masuk. "Ini Mbak!" ucapnya lalu pergi.Safia mulai memompa ASI dan di masukan di botol steril lalu di tanggal dan jamnya. setelah mengirim pesan pada Manan kalau semua sudah siap.Setelah itu ia duduk di ranjangnya dengan menyelonjorkan kakinya sambil menatap koper dan bungkusan plastik di atas Meja.Kembali pintu di ketuk sekali lagi ia mempersilakan masuk dan kali ini yang masuk adalah Manaf ayah dari Safia."Ini yang dibawa?" tanya Ayahnya sambil menjinjing kantong plastik dan memegang koper dan Safia mengangguk hatinya begitu pedih ia pasti akan merindukan Amar.Safia menatap kepergian Ayahnya yang menghilang di balik pintu. ia menatap kosong ruangan ada yang hilang dari dalam hatinya.Sementara itu Manan sudah sampai rumahnya setelah membeli peralatan untuk bayinya dan langsung menelpon seseorang untuk mengambil pakaian dan ASIP.Ia sudah berbulat hati untuk membuat anaknya tidak tergantung pada Safia. Ia meletakan putranya di ranjang, Amar masih tertidur pulas rasanya masih aman untuk saat ini.lalu ia merebahkan tubuhnya di samping putranya itu dengan kedua tangannya yang di jadikan bantalan kepalanya.Ia merenung apa dan mengapa ini terjadi padanya, dia masih sangat sayang pada Laila tak ingin mengantikan tempat walau itu adik iparnya sendiri.Ia larut dalam lamunan hingga tidak mendengar bel rumah berbunyi berkali-kali dari lima belas menit yang lalu. Ia tersentak dalam lamunan ketika bel terakhir berbunyi ia melangkah keluar rumah ternyata karyawannya yang tengah mengantarkan pakaian juga ASIP.Ia masuk kedalam dan menaruh ASIP di dalam Freezer dan kembali ke kamar menemani sang putra.Waktu berputar, satu jam ia terlelap dalam tidurnya dan terbangun saat mendengar jerit tangis anaknya itu ia bergegas mengecek popoknya.Manan Pun mengganti popok putranya tetapi bayi itu tetap menangis. Ia segera memanaskan ASIP sebentar lalu memasukkan dalam botol kemudian meminumkan, di awal Amar mau menyesap tetapi kemudian bayi itu tersedak membuat Manan panik, ia memposisikan badan puranya ke dadanya lalu menepuk punggung perlahan, ingat waktu pertama kali Safia memberikan ASIP dari botol, tiba-tiba anaknya tersedak, dan Safia melakukan hal yang sama seperti ia lakukan saat ini, Amar bersendawa lalu menangis dengan keras.Ia mendekap putranya sambil mengayun-ayun agar segera berhenti menangis ia mencoba memainkan kembali Asip kepada putranya itu.Tetapi hanya menyesapnya sedikit lalu kembali menangis lagi. Manan tidak putus asa iya mencoba dan terus, egonya tidak ingin menghubungi Safia ia pasti bisa mengatasi putranya.Amar tak kunjung berhenti menangis sudah dua jam ia mengayun bayi lelaki itu mencoba memberikan ASIP tetapi lagi-lagi usahanya nihil.Amar terus menangis, berhenti sebentar lalu menangis lagi hingga badan bayi itu panas. Hari beranjak malam bayi itu pun tetap tidak mau minum dan tidak berhenti menangis membuat Manan bingung apa yang harus dilakukan. Mau tidak mau ia menyuruh menjemput Safia.Sementara itu Safia tengah melamun, dikejutkan telpon yang berbunyi nyaring berkali-kali tertera di layar handphone nama Mas Manan, ia pun tidak menggubrisnya.Hingga pintu di ketuk dari luar, dan Safia memerintahkan masuk. Pintu terbuka dan Bik Mina pun masuk. "Nyonya ada supir Pak manan, menjemput Anda, Nak Amar demam," ucapnya."Apa, sakit? Tetapi ini sudah malam," gumamnya lirih. Dia terdiam sejenak dan berfikir lalu memutuskan sesuatu."Bilang tunggu sebentar aku akan segera keluar!" perintah pada bik MinaSafia bergegas berganti pakaian, saat akan berjalan sedikit lebih cepat kakinya yang terkilir tadi terasa sakit. Akhirnya dengan tertatih ia pun melangkah menuruni tangga berjalan hingga menuju mobil yang menunggunya itu.Mobil itu pun berjalan meninggalkan rumah Safia setelah wanita itu masuk kedalam dan setengah jam kemudian ia sampai di rumah Manan mantan Kakak iparnya itu. Ia masuk kedalam dan melihat foto pernikahan kakaknya dengan pria itu tergantung di ruang tamu.Manan keluar sambil menggendong putranya. "Ia demam dan tidak mau minum dengan botol."Safia, langsung meraih bayi yang berumur 45 hari itu dan bayi itu langsung terdiam dan mencari sumber makanan degan mengendus dada Safia."Masuklah di kamar itu! Aku akan tetap di sini" ucapnya."Baiklah," ucap Safia lalu masuk ke dalam kamar itu dan menyusui Amar di kamar. Setelah itu, Amar tidur dengan pulas dan ia meletakan bayi itu di atas ranjang.Tiba-tiba terdengar ribut-ribut di luar. banyak warga yang datang ke rumah Manan dengan menggedor pintu.Safia yang terkejut akhirnya keluar kamar. Ia pun jadi bingung kenapa di rumah kakak iparnya banyak orang dan terlihat Manan terlibat perdebatan yang sangat panas."Kalian tidak bisa mengelak lagi, lihat wanita itu keluar dari kamarmu Pak Manan! Itu artinya kalian baru saja melakukan perbuatan mesum," tuduh salah satu warga."Kalian tidak bisa menuduh seenaknya sendiri, Amar sakit, itu sebabnya saya datang kemari dan tidak seperti kalian pikirkan, Kalian bisa tanya pada supir Pak Manan," ucap Safia ingin menangis."Mana? tidak ada sopir pak Manan dari tadi," ucap mereka."Pokoknya Malam ini juga kalian harus menikah," tuntut warga pada Manan dan Safia.Wanita itu terkejut kakinya terasa lemas ia tidak mengira akan terjadi seperti ini. "Saya tidak mau saya tidak berbuat apa-apa?" teriaknya.Manan pun duduk terkulai di sofa hingga dua mobil datang ke rumah itu.Orang tua Safia dan Manan pun datang mereka berembuk dengan warga, dan akhirnya warga pun pulang karena sudah ada keputusan bahwa besok pagi Manan harus menikahi Safia di rumah mantan mertuanya itu.Itu semua tidak luput dari akal-akalan orang tua Manan agar lelaki itu tidak dapat mengelak tetapi dengan terjadinya kejadian itu membuat Manan semakin membenci Safia karena wanita itu tidak melatih anaknya untuk bisa minum ASIP di botol dan karena itu Amar menjadi tergantung dengan Safia hingga dia harus menikahi wanita itu.Safia di ajak pulang oleh orang tuanya bersama Amar karena bayi itu menangis lagi ketika terdengar ribut-ribut di rumah Manan.Manan terlihat sangat kacau ia menatap tajam kedua orang tua itu. Ia yakin semua itu ada sangkut pautnya dengan mereka dan Kenapa tiba-tiba sopirnya tidak ada di tempat lalu warga berdatangan dan menggedor rumahnya."Jangan tanya kami, itu kesalahanmu sendiri yang sudah teledor jadi bertanggung jawablah," ucap Sang Ayah pada Manan lalu mengaja
Mata Safia menatap manan penuh dengan ketakutan, ia tidak percaya lelaki yang dikenal lembut itu kini terlihat sangat menakutkan.Manan terus berjalan ke depan mendekati Safia yang berjalan mundur dan membentur tembok itu. Ia begitu sangat marah pada Safia, yang membuat ia terpaksa menikahi wanita itu."Katakan saja dengan jujur, kalau kau membutuhkan belaian sebab almarhum suamimu tidak pernah memberikannya, Hem ...." Manan mencengkram rahang Safia.Wanita itu menangis tak sanggup menjawab apa yang dikatakan Manan, ia hanya menggeleng sambil berurai airmata."Inikah yang kau inginkan, Safia? Ayo jawab aku!" teriak Manan sambil melepaskan cengkraman di rahang Safia. Namun, sekarang bibirnya menyapu pipi Safia."Ti- tidak kau salah paham, Mas," kata Safia "Aku salah paham, katamu? Mana yang membuatku salah paham? Jawab Safia!" teriak Manan menggelegar membuat Safia terjengkit."Aku tidak bisa menolak mereka lalu kenapa k
Ia masih menatap foto sang istri, entah kenapa pada waktu itu darah yang cocok dengan golongan darah istrinya tidak ada di bank darah sehingga akhirnya sang istri tidak tertolong. Entah permainan siapa yang membuat golongan darah sang istri tidak ada di bank darah manapun saat istrinya membutuhkannya dan apa motifnya, Manan benar-benar tidak tahu. Manan sangat kalut saat itu apalagi golongan darah sang istri sangat langkah sang istri mempunyai golongan darah yang sama dengan ayah mertuanya, yang saat itu melakukan perjalanan pulang dari luar kota dan waktu tidaklah banyak. Dia juga heran mengapa di saat adik Iparnya mendapatkan kabar yang mengejutkan tentang Suaminya. Manan menghembuskan napasnya awalnya pria itu sangat kasihan pada Safia yang kehilangan anak, tetapi karena itu pula yang membuatnya harus menikahi Safia setelah masa idahnya. Wanita itu dan keluarganya tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan Akran. Ia mendes4h sambil memegang sebuah amp
Safia melotot kearah Manan. "Kalau aku tidak menghabiskannya apa yang bisa kau lakukan padaku?" tanya Safia."Kau melawanku, baiklah jangan kau habiskan dan saat ini pula kau kumakan, pilih yang mana tergantung kecerdasanmu!" tekan Manan.Safia terdiam berdebat pun percuma karena tidak akan pernah menang dan dimenangkan apalah dirinya bagi Manan. 'Sungguh pria ini sangat menyebalkan,' pikirnya.Safia berusaha menghabiskan makanannya ia takut hal yang tadi terulang kembali. Perutnya sudah terasa sangat penuh dan di piring masih tinggal sedikit ia berusaha bernegosiasi dengan Manan. "Aku sudah sangat kenyang boleh ini kubuang, aku jamin Amar tidak akan kelaparan," jawab Safia."Habiskan atau kau lebih suka ...." Manan menatap tajam pada Safia."Iya aku habiskan!" teriak Safia lalu menyuapkan makanan dengan cepat setelah itu berlari ke kamarnya dan menutup rapat serta menguncinya ia tidak peduli kalau Manan akan marah pada dirinya. Rasa mual
Safia melihat bunga itu masih segar tentunya baru saja ada seseorang datang kesini. 'Siapa?' pikir Safia.Kembali ia menyapukan pandangannya tidak ada siapa-siapa selain dirinya. Ia menghembuskan napas, terkadang menginginkan sesuatu yang mustahil datang padanya. Semua orang yang dicintainya telah pergi, ingin sekali ia bertemu dengan satu cinta yang memberikan cinta yang lainnya yaitu mendiang suaminya.ia tidak pernah bermimpi tentang pria yang masih di hatinya itu, dan tidak bisa mengunjungi makamnya sama sekali. 'Kenapa mereka melarangku berkunjung di makamnya bukankah ia suamiku,' pikir Safia Ia ingin menanyakan ini sekali lagi pada Manan tetapi pria itu sudah berubah dia bukan lagi kakak ipar yang hangat seperti dulu.Duduk di pusara yang kakak sambil menabur bunga ia mengeluh, "Kakak suamimu sekarang adalah suamiku tetapi bukan suami yang semestinya seperti pernikahan yang bahagia, aku tidak mencintainya dan ia membenciku seolah sumber mas
Manan menggendong Safia menuju kamar wanita itu membaringkan di ranjang. "Istirahatlah! Setelah ini kita butuh tenaga untuk mengarungi rumah tangga yang hampa ini, dulu pernah kukatakan padamu jangan menikahi pria itu, kau malah menuduhku yang bukan-bukan dan karena pria itu pula aku kehilangan Lailaku. Tidak peduli betapa sakitnya dirimu karena kamu memilih hidup denganku," ucap Manam lalu ia meninggalkan kamar Safia.Ia berjalan kembali ke ruangan kerjanya mencoba untuk mengerjakan pekerjaannya yang terbengkalai beberapa hari. Satu jam, dua jam Manan mulai bosan. ia berjalan menuju kamar safia membukanya lalu menutupnya dengan sangat kasar.Safia terjengkit dan terbangun dari tidurnya. dan langsung mencapai kesadaran penuh melihat sekilas lelaki yang mengacaukan tidurnya itu, sambil mendengus kesal."Kenapa? Kau ingin marah padaku," ucapnya sambil duduk di sofa."Tidak, bukankah aku tidak punya hak untuk marah di rumah ini," ucap Safia
Manan menghentikan langkahnya, ia berjalan berbalik arah dan menatap pria itu dengan tajam."Apa yang ingin kau katakan lagi hai pecundang!" teriaknya marah."Aku hanya ingin memastikan Mas Manan bisa menjaga rahasia ini, aku akan kembali saat aku telah selesaikan urusanku!" ucapnya sambil membersihkan darah yang ada di hidungnya."Apa kau gila! otakmu kau taruh di mana hah?" ucap Manan gusar."Aku tidak gila, Mas, aku masih sangat mencintainya," ucap pria itu menunduk."Cinta katamu, Jika kau mencintainya menghilanglah tanpa mengusik dan menghancurkan keluargaku. Kau tahu aku juga mencintai istriku dan mereka merenggut dia dari sisiku apa perlu ku hancurkan otakmu agar kau berfikir waras!" teriaknya semakin keras kemarahan sudah sampai di ubun-ubun."Mas tenanglah! Tolong duduk dulu, apa kau kira aku tidak sedih dengan apa yang kau alami aku juga kehilangan putriku dan aku tidak berdaya," ucapnya menunduk."Tidak b
Safia semakin ketakutan saat pintu terbuka, ia berlari ke kamar mandi dan mengunci pintunya. Terdengar suara Manan memanggilnya."Safia dimana kamu? Hai mainanku ke marilah! Aku pasti bisa menemukanmu! Ayo jangan bersembunyi! Di manapun kau berada pasti bisa kutemukan kecuali yang menyembunyikan kamu adalah cantikku Laila." Teriakan itu menggema.Sejenak Sunyi, Safia tidak mendengarkan lagi teriakan Manan. Namun, tak lama kemudian terdengar umpatan lagi dari mulut pria itu."Laila aku sangat merindukanmu, lelaki brensek itu membuatmu meninggalkanku. Kenapa ia tega melakukan pada cintaku?" ucap lelaki itu berulang kali hingga ruangan kembali sunyi. Safia menunggu selama tiga puluh menit akhir ia pun keluar, dan melihat Manan tertidur di lantai kamar Safia. Ia keluar dari kamarnya dan menuju kamar Manan yang di tempati Amar tidur. bayi lelaki itu tampak masih terlelap dan tidak terusik apapun.Ia terlelap beberapa saat lalu terdengar suara tangisan Amar dan Safia memberikan ASInya set
Hari berjalan terus Manan sibuk dengan Lala bahkan tidak memperhatikan anak-anaknya selalu berangkat lebih awal, dan tidak pernah lagi sarapan pagi di rumah, ia lebih suka melakukannya di apartemen Lala. Amar mulai kehilangan sosok sang ayah, berbeda lagi dengan Safia, ia selalu saja menyempatkan dirinya untuk sarapan pagi dengan anak -anaknya dan masih mengantar jemput mereka. Akan tetapi Amar merasa sangat tidak suka saat Safia bersama lelaki lain saat menjemputnya bersama sang adik. Namun, Amar tidak bisa memprotesnya sebab sang mama bilang mereka baru meninjau bersama dan sekalian menjemput mereka. Sesampainya di atar di rumah, Safia kembali ke kantor bersama pria itu sedangkan Amar dan Erina berada di rumah dengan Ira sang asisten rumah tangga. Amar menatap mobil yang keluar dari pintu gerbang rumahnya lalu mengajaknya sang adik masuk ke dalam sambil berfikir bagaimana cara agar orang tuanya tahu, bahwa ia dan adiknya membutuhkan mereka berdua. Sampai di dalam mereka disa
Safia dengan tergesa-gesa berjalan menaiki tangga menuju kamar Sang Putri, Ia pun berhenti beberapa saat untuk menetralkan kemarahannya pada Manan yang entah kenapa bersikap sinis padanya. ia menghembuskan nafas beratnya lalu tersenyum kemudian berjalan masuk ke dalam kamar yang putri terlihat wajah lelaki yang duduk di bibir ranjang menemani sang adik yang belum tidur sana menunggu papanya untuk menemaninya tidur. "Mana Papa? Kenapa Mama kembali ke sini sendirian?" tanya Amar "Papa masih harus menyelesaikan pekerjaannya dia akan menyusul kemari, nanti setelah pekerjaannya selesai dan kamu Amar, Pergilah tidur di kamar tidurmu biar mama yang akan menemani adikmu sampai bapakmu kemari," perintah Safia. "Mama mengusir Amar?" tanya bocah lelaki itu. "Tidak, hanya besok kamu harus sekolah, jadi lebih kamu beristirahat di kamarmu sendiri lagi pulang adiknya masih sakit kan takutnya kamu juga akan terkena virusnya lalu ikut sakit yang repot siapa kan Mama juga," ucap Safiah. "Oh
Safia menatap kepergian Manan dengan hati galau. 'Apa ini benar, andai pun terjadi masalah antara aku dan Manan harusnya aku tidak boleh mempunyai ketertarikan dengan pria lain hingga masalah rumah tanggaku beres, tetapi lelaki yang memenjarakan dirinya dalam hubungan pernikahan hanya mau melepaskanku saat ada seseorang pria yang mampu menyentuh hatiku dan saat ini pria itu hadir, Namun kenapa aku merasa Mas Manan tidak sungguh-sungguh untuk melepaskanku. Meski tak ada rasa cinta dari sebuah hubungan pernikahan, tetaplah salah jika membina hubungan dengan pria lain di atas pernikahan yang rapuh.' batinnya sedih ia menatap putra sambungnya dan tersenyum berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. "Apa Mama baik-baik saja?" tanya Amar pada Safia. "Mama baik-baik saja sayang, jangan cemas tidak ada sesuatu yang di perdebatkan dengan papa, kami hanya mitra kerja, jangan terlalu berfikir yang belum saatnya kamu pikirkan," ucap Safia pada Amar. "Aku hanya ingin selalu bersama kalian,
Saya yang minta maaf, karena menyentuhmu, saya tunggu di ruang tamu," ucap Manan berjalan keluar dari kamar Lala sambil merapikan pakaiannya. Lala menghebuskan napas. 'Liar juga si Bapak punya anak dua itu,' gumamnya dalam hati. sambil melihat bercak merah di leher dan dada. ia pun mengambil pakaian di dalam lemari dan memakainya lalu berjalan keluar menuju ruang tamu untuk menemui Manan. "Hemm ... Bapak mau minum apa?" tanya Lala menghilangkan kecanggungannya terhadap pria itu. "Tidak usah repot-repot, kamu duduk di sini dengan saya saja, sebenarnya saya ingin meminta maaf padamu tetang perbuatan Amar padamu, malah jadi berlaku tidak senonoh, mestinya kamu menampar saya," jawab Manan. "Saya yang salah, keluar hanya memakai handuk saja, jadi maaf bukan maksud saya untuk menggoda Anda. "Tidak, saya merasa kamu tidak menggoda saya wajar saja karena saya tidak memberi tahumu sebelumnya kalau saya datang. Justru saya minta maaf atas kelancangannya saya, Saya jamin tidak akan ter
"Bagaimana?" tanya Aran saat Safia telah tiba di ruang tamu. "Hem gak tahu, kayaknya di sekolah ada masalah sehingga seperti itu," jawab Safia pada lelaki itu. "Oke, karena anakmu sudah pulang aku pulang saja, takut menganggu quali time kamu saja," pamit Aran. "Oh ya, maaf penyambutan putraku yang mungkin membuat kamu tidak enak hati," ucap Safia pada pria itu. "Tidak apa-apa, jangan lupa besok pagi-pagi kita harus sudah sampai ke lokasi proyek, jika mobilmu masih di perbaiki maka nanti akan kujemput, bagaimana?" tanya pria itu pada Safia. "Tidak usah aku mau ke kantor dulu," ucap Safia. "Iya, di kantor maksudku," ucap Aran pada Safia. "Baiklah terserah Anda saja," ucap Safia tersipu dan Aran menggangguk sopan lalu pria itu pun keluar dari ruang tamu menuju mobilnya dan masuk serta mengemudikannya berjalan melewati gerbang rumah Manan. Safia menatap mobil itu hingga pergi menjauh. Ia menggelengkan kepalanya menepikan rasa yang ada dalam dirinya. Ia berjalan masuk kem
Taksi membawa Manan dan putranya pulang ke rumah, tadi dia berniat untuk pulang tetapi ia berfikir untuk meminta maaf secara langsung pada Lala. Ditengah perjalanan ia pun berubah pikiran. "Hem, sepertinyq Papa hanya bisa mengantarkanmu sampai pintu gerbang karena Sekertarisnya Papa, mbak Citra mengingatkan papa kalau jam satu akan ada rapat," jelas Manan pada sang putra. "Baiklah terserah Papa, dari tadi kan Amar ingin pulang sendiri, Papa saja yang memaksa untuk mengantarku pulang," jawab Amar pada Manan dengan ketusnya. Bocah lelaki itu menduga pasti sang ayah akan menemui Tante-tante yang menjemputnya tadi untuk miminta maaf. Manan menatap putra dengan lekat sambil menghelah napas. Taksi pun berhenti tepat di depan pintu gerbang rumahnya dan Amar pun turun sendiri tanpa sang ayah, menutup dengan keras dan berjalan tanpa menengok ke arah ayahnya. "Marah anaknya, Pak?" tanya sang sopir taksi dan Manan hanya tertawa lalu memberi tahukan alamat mana yang harus dituju dan tak
"Papa, membela Tante itu?" tanyanya pada sang papa. "Bukan membela, kalau sikapmu seperti itu, mungkin tadi papa tidak meminta tolong padanya. Papa akan Andi untuk menjemputmu. "kenapa tidak menyuruh paman Andi," tanya sambil memakan makanannya. "Oke Papa yang salah dan papa kira anak Papa bisa sopan terhadap teman Papa ternyata Papa salah anak Papa tidak sesopan yang papa harapkan," ucap Manan. Didalam kemasan itu pun disediakan pula alat pemecah cangkang dan Manan membantu memecahkan kulit cangkang makanan milik Amar. "Ya Amar minta maaf kan semua terjadi karena Amar gak sengaja membuat pakaian Tante kotor," ucap Amar tanpa merasa bersalah pada wanita itu. Manan tak lagi berbicara karena berbicara dengannya saat ini akan percuma saja karena anak itu pasti mengira dirinya ada hubungan Lala Manan menghelah napas dan menatap putranya dengan kecewa karena membuat pujaan hatinya terlihat buruk, mungkin Lala tadi juga dapat cemoohan dari karyawan yang tak sengaja berpapasan
"Ia menghembuskan nafasnya. 'Hemm ... anak kecil lihat aku menjadi pusat perhatian dan gunjingan mereka padahal ini baru mulai bagaimana nanti selanjutnya apa harus mundur, Aaahhh ... tidak, aku tidak boleh mundur walaupun apa yang terjadi.' Pintu lift terbuka Lala pun belum beranjak dari tempatnya berdiri, ia masih menatap pakaiannya yang sangat kotor. "Tante selanjutnya kita kemana?" tanya Amar sambil mengulum senyum samar ia sangat puas telah mengerjai wanita itu. 'jangan pikir muda untuk dapatkan Papa, hadapi anaknya dulu,' pikir Amar sambil menunggu jawaban dari Lala. "Ahh ... iya ayo keluar," ajak Lala saat tersadar kalau dia harus mengantar Amar sampai di kantor ayahnya dan ia sudah mengirim foto pada pria itu tetang pesanan makanan anaknya yang begitu banyak. Mereka berjalan menuju kantor Manan, Lala sangat beruntung di lantai ini hanya ada ruangan Manan dan Asistennya. Hingga sampai akhirnya mereka sampai di ruangan itu dan Lala mengetuk pintunya terbuka lalu Manan m
"Aku kenyang, Tante karena Tante cemberut," protes Amar. Lala duduk dengan memijit kepalanya sambil melirik bocah yang duduk tertunduk kepalanya itu. Ia menghela napas lalu berkata lagi," pesanlah kepiting lalu makanlah!" Wanita memecahkan cangkang kepiting dengan alat pemecah cangkang lalu menyuapkan dagingnya ke dalam mulutnya. "Baiklah aku akan coba beberapa porsi yang gak pedas," ucap anak itu sampai membuat Lala hampir tersedak. "Anak tampan pesan satu porsi saja dan makanlah, Oke, pesan yang biasa kamu makan dengan ayahmu, mengerti anak manis?" ucap Lala sambil menekan rasa jengkelnya yang sudah sampai ubun-ubun. "Baiklah aku hanya pesan satu porsi saja dan memakannya karena aku takut Tante kehabisan dan di suru cuci piring!" ucap amar tersenyum sambil memanggil pelayan. Tak berapa lama pelayan pun datang Amar mulai memesan makanan yang biasa di makannya dan dia juga memesan es krim coklat kesukaannya satu gelas besar. Beberapa saat kemudian pelayan kembali dengan