Safia melotot kearah Manan. "Kalau aku tidak menghabiskannya apa yang bisa kau lakukan padaku?" tanya Safia.
"Kau melawanku, baiklah jangan kau habiskan dan saat ini pula kau kumakan, pilih yang mana tergantung kecerdasanmu!" tekan Manan.Safia terdiam berdebat pun percuma karena tidak akan pernah menang dan dimenangkan apalah dirinya bagi Manan. 'Sungguh pria ini sangat menyebalkan,' pikirnya.Safia berusaha menghabiskan makanannya ia takut hal yang tadi terulang kembali. Perutnya sudah terasa sangat penuh dan di piring masih tinggal sedikit ia berusaha bernegosiasi dengan Manan. "Aku sudah sangat kenyang boleh ini kubuang, aku jamin Amar tidak akan kelaparan," jawab Safia."Habiskan atau kau lebih suka ...." Manan menatap tajam pada Safia."Iya aku habiskan!" teriak Safia lalu menyuapkan makanan dengan cepat setelah itu berlari ke kamarnya dan menutup rapat serta menguncinya ia tidak peduli kalau Manan akan marah pada dirinya. Rasa mual di perutnya sudah tidak bisa di tahan.Safia segera berlari ke toilet dan memuntakan sebagian isi perutnya. Ia merasa sedikit lega karena rasa mual mulai menghilang Ia membersihkan toiletnya dari muntahannya dan membasuh mulutnya dengan air terasa sakit terkena air. Ia pun mendesis menahan sakit dari bibir yang terluka karena di gigit suaminya itu."Kau memuntahkannya?" Suara bariton mengejutkannya dan ia menoleh kebelakang."Kau, bagaimana mana Kau bisa masuk?" tanyanya spontan"Tentu saja dari pintu yang terbuka bukan dari lubang kunci. Aku bukan makhluk astral yang bisa di lubang kunci," jawabnya datar."Aku lupa jika aku di sini tidak punya privasi sendiri bahkan untuk mengunci kamarku sendiri," ucap safia sengit."Kau hanya berhak menempatinya, semua ruangan ini milikku yang berhubungan denganku secara tidak sengaja maupun sengaja menjadi milikku termasuk dirimu. Jadi aku berhak melakukan apa pun padamu suka atau tidak! Karena kau sudah memuntakan separuh makananmu maka persiapkan separuh tubuhmu untuk kusantap nanti malam!" perintahnya datar dan dingin lalu ia berjalan keluar meninggalkan Safia yang tiba-tiba saja tubuhnya menggigil, karena dia sudah bisa membayangkan apa yang akan dialaminya nanti malamWanita itu menghembuskan napas kasarnya sambil berteriak, "Welcome to Hell, Safia."Ia berjalan pelan keluar dari kamar mandi, ia bahkan tidak tahu apa pilihannya saat itu betul apa salah, kini dirinya hidup dalam ketakutan, Kakak Ipar yang dulunya terlihat lembut sekarang berubah menjadi seorang monster."Kakak apa yang harus ku lakukan kenapa kau harus pergi meninggalkan suamimu andai kau masih hidup aku tidak perlu berada di sini untuk menjalani pernikahan yang menyakitiku." gumamnya lirih' Apa harus semuanya aku berikan, demi putramu? ASI, sekarang tubuhku yang hanya menjadi penggantimu untuk memuaskan hasratnya,' batinnya nelangsa.ia menatap kosong ruangan, ingatan kembali ke masa lalu, Kebahagiaan bersama Akran walaupun hanya sebentar. Tiba-tiba saja ia teringat akan putrinya telah meninggal ia ingin sekali mengunjungi makamnya.Ia bangun dari duduknya dan berjalan keluar mencari pria menyebalkan itu. ia mengitari rumah itu mencari Manan tetapi tidak menemukannya."Apa yang kau cari?" Suara bariton mengejutkannya."Kau!" jawab Safia menoleh pada sumber suara itu."Kau ingin kumakan sekarang? Bin@l sekali kau sampai tidak mau menunggu malam tiba," ucapnya kasar yang langsung menikam hulu hatinya.Safia menelan rasa sakitnya. "Aku ingin pergi ke makam putriku.""Pergilah jangan terlalu lama, aku tidak ingin Amar menangis mencarimu!" ucapnya dingin lalu pergi begitu saja.Safia menghela nafasnya ia berjalan keluar rumah, dengan hati tak menentu ingin sekali ia menghilang dari muka bumi agar tidak terasa sakit."Nyonya mau kemana? Akan saya antar," sapa sopir Manan yang membuatnya kembali terlonjak."Mau ke makam putriku," ucapnya sambil membuka pintu tengah dan langsung duduk. Rasanya ia ingin meluapkan kekesalannya pada sopir Manan juga pasalnya karena sopir itu menghilang tadi malam membuatnya harus menikah dengan Manan pagi tadi.Sopir itu masuk dan duduk di belakang kemudi lalu menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju ke pemakaman umum.Sementara itu seorang pria berdiri di pusara bernama Wulan binti Arkan. Lelaki itu mengusap matanya yang basah dan terdengar dari bibir yang Tertutup masker permintaan maafnya."Maaf, Wulan." Hanya itu saja yang sanggup ia ucapkan lalu meletakkan rangkaian bungah mawar merah dan kembalikan tubuhnya melangkah pergi.Di saat itu pula mobil berhenti di dekat mobil hitam, Safia keluar dari mobil Manan dan berjalan dengan hati sedih di tangannya menjinjing keranjang berisi berbagai kelopak bunga, ia pun berpapasan seorang pria yang mengenakan masker perawakannya mirip dengan almarhum suaminya tetapi ia tidak peduli karena hidup sudah mati tidak tersisa sedikitpun.Pria itu menatap Safia dengan tatapan lekat, lalu membuang tatapannya setelah agak jauh lelaki itu membalikan tubuhnya dan memandang punggung wanita itu hingga hilang, kemudian ia membalikkan tubuhnya dan berjalan kembali menuju mobilnya. Pria itu masuk lalu menjalankan mobilnya meninggalkan pemakaman umum itu.Safia yang sudah tiba di makam sang kakak juga anaknya itu terkejut melihat rangkaian bunga mawar segar di pusara putrinya.'Bungah siapa ini?" gumamnya sambil menoleh ke kiri dan ke kanan lalu kebelakang kemudian menyapukan pandangannya ke seluruh makam mencari seseorang yang mungkin baru datang dari makam ini.Safia melihat bunga itu masih segar tentunya baru saja ada seseorang datang kesini. 'Siapa?' pikir Safia.Kembali ia menyapukan pandangannya tidak ada siapa-siapa selain dirinya. Ia menghembuskan napas, terkadang menginginkan sesuatu yang mustahil datang padanya. Semua orang yang dicintainya telah pergi, ingin sekali ia bertemu dengan satu cinta yang memberikan cinta yang lainnya yaitu mendiang suaminya.ia tidak pernah bermimpi tentang pria yang masih di hatinya itu, dan tidak bisa mengunjungi makamnya sama sekali. 'Kenapa mereka melarangku berkunjung di makamnya bukankah ia suamiku,' pikir Safia Ia ingin menanyakan ini sekali lagi pada Manan tetapi pria itu sudah berubah dia bukan lagi kakak ipar yang hangat seperti dulu.Duduk di pusara yang kakak sambil menabur bunga ia mengeluh, "Kakak suamimu sekarang adalah suamiku tetapi bukan suami yang semestinya seperti pernikahan yang bahagia, aku tidak mencintainya dan ia membenciku seolah sumber mas
Manan menggendong Safia menuju kamar wanita itu membaringkan di ranjang. "Istirahatlah! Setelah ini kita butuh tenaga untuk mengarungi rumah tangga yang hampa ini, dulu pernah kukatakan padamu jangan menikahi pria itu, kau malah menuduhku yang bukan-bukan dan karena pria itu pula aku kehilangan Lailaku. Tidak peduli betapa sakitnya dirimu karena kamu memilih hidup denganku," ucap Manam lalu ia meninggalkan kamar Safia.Ia berjalan kembali ke ruangan kerjanya mencoba untuk mengerjakan pekerjaannya yang terbengkalai beberapa hari. Satu jam, dua jam Manan mulai bosan. ia berjalan menuju kamar safia membukanya lalu menutupnya dengan sangat kasar.Safia terjengkit dan terbangun dari tidurnya. dan langsung mencapai kesadaran penuh melihat sekilas lelaki yang mengacaukan tidurnya itu, sambil mendengus kesal."Kenapa? Kau ingin marah padaku," ucapnya sambil duduk di sofa."Tidak, bukankah aku tidak punya hak untuk marah di rumah ini," ucap Safia
Manan menghentikan langkahnya, ia berjalan berbalik arah dan menatap pria itu dengan tajam."Apa yang ingin kau katakan lagi hai pecundang!" teriaknya marah."Aku hanya ingin memastikan Mas Manan bisa menjaga rahasia ini, aku akan kembali saat aku telah selesaikan urusanku!" ucapnya sambil membersihkan darah yang ada di hidungnya."Apa kau gila! otakmu kau taruh di mana hah?" ucap Manan gusar."Aku tidak gila, Mas, aku masih sangat mencintainya," ucap pria itu menunduk."Cinta katamu, Jika kau mencintainya menghilanglah tanpa mengusik dan menghancurkan keluargaku. Kau tahu aku juga mencintai istriku dan mereka merenggut dia dari sisiku apa perlu ku hancurkan otakmu agar kau berfikir waras!" teriaknya semakin keras kemarahan sudah sampai di ubun-ubun."Mas tenanglah! Tolong duduk dulu, apa kau kira aku tidak sedih dengan apa yang kau alami aku juga kehilangan putriku dan aku tidak berdaya," ucapnya menunduk."Tidak b
Safia semakin ketakutan saat pintu terbuka, ia berlari ke kamar mandi dan mengunci pintunya. Terdengar suara Manan memanggilnya."Safia dimana kamu? Hai mainanku ke marilah! Aku pasti bisa menemukanmu! Ayo jangan bersembunyi! Di manapun kau berada pasti bisa kutemukan kecuali yang menyembunyikan kamu adalah cantikku Laila." Teriakan itu menggema.Sejenak Sunyi, Safia tidak mendengarkan lagi teriakan Manan. Namun, tak lama kemudian terdengar umpatan lagi dari mulut pria itu."Laila aku sangat merindukanmu, lelaki brensek itu membuatmu meninggalkanku. Kenapa ia tega melakukan pada cintaku?" ucap lelaki itu berulang kali hingga ruangan kembali sunyi. Safia menunggu selama tiga puluh menit akhir ia pun keluar, dan melihat Manan tertidur di lantai kamar Safia. Ia keluar dari kamarnya dan menuju kamar Manan yang di tempati Amar tidur. bayi lelaki itu tampak masih terlelap dan tidak terusik apapun.Ia terlelap beberapa saat lalu terdengar suara tangisan Amar dan Safia memberikan ASInya set
Safia menjauhkan mukanya. Namun, tiba-tiba saja tangan Manan meraih kepala Safia dan menekan serta menempelkan ke mukanya dengan sangat erat."Kenapa kau begitu takut, aku ini suamimu, 'kan? Bisa merasakan semua yang ada di kamu, Aku ingin mencicipi bibirmu, apa semanis milik Lailaku, atau justru hambar," ucap Manan lalu lelaki itu menyambar bibir Safia melum4tnya kemudian menggigitnya sampai berdarah."Benar-benar tidak berasa," ucapnya.Safia mengusap bibir yang berdarah, sambil menatap tajam Manan. Pria itu dengan santai mengambil gelas berisi jus lemon hangat."Kenapa rasanya masam, seperti wajahmu? Beri gula lagi jangan terlalu banyak setidaknya ada manis di rasa asam," perintahnya sambil menggeser gelasnya ke depan Safia Safia mengusap air matanya lalu mengambil gelas dan beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju meja dapur lalu membuka toples berisi gula dan diambilnya satu sendok gula dimasukan ke dalam gelas jus lemon dan diaduknya kemudian kembali kemeja makan lalu
"Apa? Aku kau suruh menghabiskan lagi?" protesnya."Kenapa? Kau ingin yang lain?" tanya Manan"Tidak nanti kuhabiskan," teriaknya sambil berlari menuju kamar Manan lalu mengambil Amar yang ada di box dan membawanya ke kamar.Manan telah selesai dengan sarapannya. Ia menatap piring Safia lalu beranjak dan pergi ruangannya Safia. Safia terperanjat pasalnya ia tengah menyusui. "Mas Manan kenapa masuk?" tanya Safia. dengan wajah memerah karena malu."Kenapa? Kau Istriku, 'kan aku akan ke kantor jelas kau harus cium punggung tanganku bukan?" tanya Manan sambil melihat putranya yang menyusu. 'Andai itu kau Laila, mungkin aku lebih bahagia,' batinnya.Safia meraih punggung tangan Manan dan lalu menciumnya. Manan hanya menatapnya sebentar lalu pergi keluar dari kamar Safia.Tetapi baru saja mencapai pintu Safia, menghentikan langkahnya. Manan berhenti dan menoleh kebelakang. "Ada apa?""Bagaimana dengan pintu kamarku K
Citra menatap atasan seolah tak percaya apa yang ditanyakan beliau padanya. Dengan mulut setengah menganga ia terpaku."Aku memberikan dua hari libur untukmu, bersenang-senanglah dengan kekasihmu!" ucap Manan selanjutnya."Oh ... tidak Tuan, saya tidak ingin libur, tolong jangan beri saya libur saya sedang butuh uang untuk biaya sekolah adik-adik saya, jika saya libur bonus transportasi akan hilang," jawab Citra sedikit takut.Aku tidak akan memotong bonusmu, aku khawatir saja satu Minggu kau bekerja denganku kau akan pingsan," jawab Manan dengan Mimik datar."Tidak, Pak, saya senang bekerja dengan Anda," jawab Citra."Hem ... bohong, kamu tadi sempat mengeluh, 'kan?" tanya Manan.Citra mendongak mengigit bibirnya. 'Mati aku! Pak Manan tahu,' pikirnya."Maaf, Pak, lain kali saya tidak mengeluh, tolong jangan pecat saya," ucap Citra memohon."Siapa yang memecatmu? Aku ingin kau libur, Citra. Kupikir selama ini aku telah memforsir tenaga dan perasaanmu." Terdengar des4h4n berat."Aku ta
"Aku masih sadar sepenuhnya, Safia. Aku tidak mabuk!" ucap Manan sambil membuka ruang kerja lalu masuk ke dalam ruangan khusus."Mas Manan tolong sadar, bukan, 'kah kau membenciku lalu untuk apa melakukan ini padaku?" teriak Safia."Karena kau adalah istriku! Apa aku harus memintanya pada istri orang lain, hah? Tidak peduli Kau dan aku punya atau tidak punya perasaan. Kau dan Aku punya kewajiban dan hak yang sama! Maka suka tidak suka layani aku sekarang!" perintah Manan sambil membanting tubuh Safia di atas ranjang dengan kaki menjulur menapak lantai lalu mengungkung tubuh itu."Mas aku belum siap ku mohon jangan lakukan sekarang," ucap Safia memohon."Maka pejamkan matamu dan bayangkan aku adalah Akranmu begitu pula aku. Aku akan menganggap kamu Lailaku," ucap Manan mengungkungnya tangan safia dikuncinya."Tidak semuda itu, Mas Manan!" teriak Safia."Apakah kau kira aku mudah melakukannya? tidak Safia, ini bukan cinta tetapi Nafsu. Aku tak butuh seluruh bagian tubuh cukup satu anggo
Hari berjalan terus Manan sibuk dengan Lala bahkan tidak memperhatikan anak-anaknya selalu berangkat lebih awal, dan tidak pernah lagi sarapan pagi di rumah, ia lebih suka melakukannya di apartemen Lala. Amar mulai kehilangan sosok sang ayah, berbeda lagi dengan Safia, ia selalu saja menyempatkan dirinya untuk sarapan pagi dengan anak -anaknya dan masih mengantar jemput mereka. Akan tetapi Amar merasa sangat tidak suka saat Safia bersama lelaki lain saat menjemputnya bersama sang adik. Namun, Amar tidak bisa memprotesnya sebab sang mama bilang mereka baru meninjau bersama dan sekalian menjemput mereka. Sesampainya di atar di rumah, Safia kembali ke kantor bersama pria itu sedangkan Amar dan Erina berada di rumah dengan Ira sang asisten rumah tangga. Amar menatap mobil yang keluar dari pintu gerbang rumahnya lalu mengajaknya sang adik masuk ke dalam sambil berfikir bagaimana cara agar orang tuanya tahu, bahwa ia dan adiknya membutuhkan mereka berdua. Sampai di dalam mereka disa
Safia dengan tergesa-gesa berjalan menaiki tangga menuju kamar Sang Putri, Ia pun berhenti beberapa saat untuk menetralkan kemarahannya pada Manan yang entah kenapa bersikap sinis padanya. ia menghembuskan nafas beratnya lalu tersenyum kemudian berjalan masuk ke dalam kamar yang putri terlihat wajah lelaki yang duduk di bibir ranjang menemani sang adik yang belum tidur sana menunggu papanya untuk menemaninya tidur. "Mana Papa? Kenapa Mama kembali ke sini sendirian?" tanya Amar "Papa masih harus menyelesaikan pekerjaannya dia akan menyusul kemari, nanti setelah pekerjaannya selesai dan kamu Amar, Pergilah tidur di kamar tidurmu biar mama yang akan menemani adikmu sampai bapakmu kemari," perintah Safia. "Mama mengusir Amar?" tanya bocah lelaki itu. "Tidak, hanya besok kamu harus sekolah, jadi lebih kamu beristirahat di kamarmu sendiri lagi pulang adiknya masih sakit kan takutnya kamu juga akan terkena virusnya lalu ikut sakit yang repot siapa kan Mama juga," ucap Safiah. "Oh
Safia menatap kepergian Manan dengan hati galau. 'Apa ini benar, andai pun terjadi masalah antara aku dan Manan harusnya aku tidak boleh mempunyai ketertarikan dengan pria lain hingga masalah rumah tanggaku beres, tetapi lelaki yang memenjarakan dirinya dalam hubungan pernikahan hanya mau melepaskanku saat ada seseorang pria yang mampu menyentuh hatiku dan saat ini pria itu hadir, Namun kenapa aku merasa Mas Manan tidak sungguh-sungguh untuk melepaskanku. Meski tak ada rasa cinta dari sebuah hubungan pernikahan, tetaplah salah jika membina hubungan dengan pria lain di atas pernikahan yang rapuh.' batinnya sedih ia menatap putra sambungnya dan tersenyum berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. "Apa Mama baik-baik saja?" tanya Amar pada Safia. "Mama baik-baik saja sayang, jangan cemas tidak ada sesuatu yang di perdebatkan dengan papa, kami hanya mitra kerja, jangan terlalu berfikir yang belum saatnya kamu pikirkan," ucap Safia pada Amar. "Aku hanya ingin selalu bersama kalian,
Saya yang minta maaf, karena menyentuhmu, saya tunggu di ruang tamu," ucap Manan berjalan keluar dari kamar Lala sambil merapikan pakaiannya. Lala menghebuskan napas. 'Liar juga si Bapak punya anak dua itu,' gumamnya dalam hati. sambil melihat bercak merah di leher dan dada. ia pun mengambil pakaian di dalam lemari dan memakainya lalu berjalan keluar menuju ruang tamu untuk menemui Manan. "Hemm ... Bapak mau minum apa?" tanya Lala menghilangkan kecanggungannya terhadap pria itu. "Tidak usah repot-repot, kamu duduk di sini dengan saya saja, sebenarnya saya ingin meminta maaf padamu tetang perbuatan Amar padamu, malah jadi berlaku tidak senonoh, mestinya kamu menampar saya," jawab Manan. "Saya yang salah, keluar hanya memakai handuk saja, jadi maaf bukan maksud saya untuk menggoda Anda. "Tidak, saya merasa kamu tidak menggoda saya wajar saja karena saya tidak memberi tahumu sebelumnya kalau saya datang. Justru saya minta maaf atas kelancangannya saya, Saya jamin tidak akan ter
"Bagaimana?" tanya Aran saat Safia telah tiba di ruang tamu. "Hem gak tahu, kayaknya di sekolah ada masalah sehingga seperti itu," jawab Safia pada lelaki itu. "Oke, karena anakmu sudah pulang aku pulang saja, takut menganggu quali time kamu saja," pamit Aran. "Oh ya, maaf penyambutan putraku yang mungkin membuat kamu tidak enak hati," ucap Safia pada pria itu. "Tidak apa-apa, jangan lupa besok pagi-pagi kita harus sudah sampai ke lokasi proyek, jika mobilmu masih di perbaiki maka nanti akan kujemput, bagaimana?" tanya pria itu pada Safia. "Tidak usah aku mau ke kantor dulu," ucap Safia. "Iya, di kantor maksudku," ucap Aran pada Safia. "Baiklah terserah Anda saja," ucap Safia tersipu dan Aran menggangguk sopan lalu pria itu pun keluar dari ruang tamu menuju mobilnya dan masuk serta mengemudikannya berjalan melewati gerbang rumah Manan. Safia menatap mobil itu hingga pergi menjauh. Ia menggelengkan kepalanya menepikan rasa yang ada dalam dirinya. Ia berjalan masuk kem
Taksi membawa Manan dan putranya pulang ke rumah, tadi dia berniat untuk pulang tetapi ia berfikir untuk meminta maaf secara langsung pada Lala. Ditengah perjalanan ia pun berubah pikiran. "Hem, sepertinyq Papa hanya bisa mengantarkanmu sampai pintu gerbang karena Sekertarisnya Papa, mbak Citra mengingatkan papa kalau jam satu akan ada rapat," jelas Manan pada sang putra. "Baiklah terserah Papa, dari tadi kan Amar ingin pulang sendiri, Papa saja yang memaksa untuk mengantarku pulang," jawab Amar pada Manan dengan ketusnya. Bocah lelaki itu menduga pasti sang ayah akan menemui Tante-tante yang menjemputnya tadi untuk miminta maaf. Manan menatap putra dengan lekat sambil menghelah napas. Taksi pun berhenti tepat di depan pintu gerbang rumahnya dan Amar pun turun sendiri tanpa sang ayah, menutup dengan keras dan berjalan tanpa menengok ke arah ayahnya. "Marah anaknya, Pak?" tanya sang sopir taksi dan Manan hanya tertawa lalu memberi tahukan alamat mana yang harus dituju dan tak
"Papa, membela Tante itu?" tanyanya pada sang papa. "Bukan membela, kalau sikapmu seperti itu, mungkin tadi papa tidak meminta tolong padanya. Papa akan Andi untuk menjemputmu. "kenapa tidak menyuruh paman Andi," tanya sambil memakan makanannya. "Oke Papa yang salah dan papa kira anak Papa bisa sopan terhadap teman Papa ternyata Papa salah anak Papa tidak sesopan yang papa harapkan," ucap Manan. Didalam kemasan itu pun disediakan pula alat pemecah cangkang dan Manan membantu memecahkan kulit cangkang makanan milik Amar. "Ya Amar minta maaf kan semua terjadi karena Amar gak sengaja membuat pakaian Tante kotor," ucap Amar tanpa merasa bersalah pada wanita itu. Manan tak lagi berbicara karena berbicara dengannya saat ini akan percuma saja karena anak itu pasti mengira dirinya ada hubungan Lala Manan menghelah napas dan menatap putranya dengan kecewa karena membuat pujaan hatinya terlihat buruk, mungkin Lala tadi juga dapat cemoohan dari karyawan yang tak sengaja berpapasan
"Ia menghembuskan nafasnya. 'Hemm ... anak kecil lihat aku menjadi pusat perhatian dan gunjingan mereka padahal ini baru mulai bagaimana nanti selanjutnya apa harus mundur, Aaahhh ... tidak, aku tidak boleh mundur walaupun apa yang terjadi.' Pintu lift terbuka Lala pun belum beranjak dari tempatnya berdiri, ia masih menatap pakaiannya yang sangat kotor. "Tante selanjutnya kita kemana?" tanya Amar sambil mengulum senyum samar ia sangat puas telah mengerjai wanita itu. 'jangan pikir muda untuk dapatkan Papa, hadapi anaknya dulu,' pikir Amar sambil menunggu jawaban dari Lala. "Ahh ... iya ayo keluar," ajak Lala saat tersadar kalau dia harus mengantar Amar sampai di kantor ayahnya dan ia sudah mengirim foto pada pria itu tetang pesanan makanan anaknya yang begitu banyak. Mereka berjalan menuju kantor Manan, Lala sangat beruntung di lantai ini hanya ada ruangan Manan dan Asistennya. Hingga sampai akhirnya mereka sampai di ruangan itu dan Lala mengetuk pintunya terbuka lalu Manan m
"Aku kenyang, Tante karena Tante cemberut," protes Amar. Lala duduk dengan memijit kepalanya sambil melirik bocah yang duduk tertunduk kepalanya itu. Ia menghela napas lalu berkata lagi," pesanlah kepiting lalu makanlah!" Wanita memecahkan cangkang kepiting dengan alat pemecah cangkang lalu menyuapkan dagingnya ke dalam mulutnya. "Baiklah aku akan coba beberapa porsi yang gak pedas," ucap anak itu sampai membuat Lala hampir tersedak. "Anak tampan pesan satu porsi saja dan makanlah, Oke, pesan yang biasa kamu makan dengan ayahmu, mengerti anak manis?" ucap Lala sambil menekan rasa jengkelnya yang sudah sampai ubun-ubun. "Baiklah aku hanya pesan satu porsi saja dan memakannya karena aku takut Tante kehabisan dan di suru cuci piring!" ucap amar tersenyum sambil memanggil pelayan. Tak berapa lama pelayan pun datang Amar mulai memesan makanan yang biasa di makannya dan dia juga memesan es krim coklat kesukaannya satu gelas besar. Beberapa saat kemudian pelayan kembali dengan