Orang tua Safia dan Manan pun datang mereka berembuk dengan warga, dan akhirnya warga pun pulang karena sudah ada keputusan bahwa besok pagi Manan harus menikahi Safia di rumah mantan mertuanya itu.
Itu semua tidak luput dari akal-akalan orang tua Manan agar lelaki itu tidak dapat mengelak tetapi dengan terjadinya kejadian itu membuat Manan semakin membenci Safia karena wanita itu tidak melatih anaknya untuk bisa minum ASIP di botol dan karena itu Amar menjadi tergantung dengan Safia hingga dia harus menikahi wanita itu.Safia di ajak pulang oleh orang tuanya bersama Amar karena bayi itu menangis lagi ketika terdengar ribut-ribut di rumah Manan.Manan terlihat sangat kacau ia menatap tajam kedua orang tua itu. Ia yakin semua itu ada sangkut pautnya dengan mereka dan Kenapa tiba-tiba sopirnya tidak ada di tempat lalu warga berdatangan dan menggedor rumahnya."Jangan tanya kami, itu kesalahanmu sendiri yang sudah teledor jadi bertanggung jawablah," ucap Sang Ayah pada Manan lalu mengajak istrinya pulang dari rumah anaknya itu.Sepulang orang tuanya dari rumahnya, Manan tidak bisa memejamkan mata sama sekali. Pria itu begitu shock akan kejadian barusan. Begitu pula dengan Safia sepanjang malam ia menagis sambil memeluk bayi mungil itu.Alarm dari tubuh membangunkannya tepat jam lima pagi ia segera berlari ke kamar mandi untuk buang air kecil lalu ia membersihkan tubuhnya dan keluar setelah lima belas menit berlalu.Mengenakan pakaian kokoh dan sarung ia pun melaksanakan sholat subuh yang hampir terlambat. terdengar bel dan ketukan pintu di luar saat ia selesai.Dengan sangat malas ia pun membuka pintu dan terlihat orang tuanya berdiri di depan pintu sambil membawa box ukuran besar, tanpa menunggu di persilahkan tuan rumahnya mereka pun masuk ke dalam."Pakai ini dan segera berangkat!" perintah ibunya .Dengan malas ia pun mengambil kotak itu dan masuk kedalam kamarnya sepuluh menit kemudian ia kembali dengan setelankemeja putih dan celana hitam berserta jas yang membalut tubuhnya.Ia sudah pasrah tidak bisa mengelak lagi, dengan wajah datar ia mengikuti orang tuanya keluar dari rumahnya.Sudah menunggu mobil beserta supirnya di luar, ia menatap supir itu dengan tatapan sambil duduk di sampingnya. "Maaf anak saya sakit," ucap sang sopir.Hem ... jalan!" perintah Manan tanpa menghiraukan alasan sang supir.Di rumah Safia orang tua memberikan baju miliknya dan milik Laila sang kakak. "Aku tidak ingin memakai kedua baju itu. Aku sedang tidak mencari pengganti suamiku dan aku juga tidak ingin menjadi pengganti mbak Laila. Aku akan memakai pakaian biasa saja," ucapnya mengambil gaun yang pernah dibeli sang kakak saat pulang dari bulan madu dulu.Ia menyentuh gaun itu. 'Aku tak mengira bahwa akan memakai baju ini di pernikahan keduaku dengan mantan suamimu Mbak, percayalah aku tidak ingin mengkhianatimu mbak juga almarhum suamiku,' gumamnya dalam hati.Lalu ia memakai pakaian itu merias sendiri wajahnya, ia menolak di rias oleh MUA bahkan ia mengancam akan pergi dari rumah saat itu juga jika tidak menuruti kehendaknya.Orang Tua Safia tidak bisa berkutik saat Safiah tak ingin ada perayaan besar-besaran mereka pun tidak berani membantah sebab Safia bersedia saja membuat hati mereka sangat senang dan bersyukur.Mobil Manan sudah sampai, Mereka pun masuk kedalam rumah. Di sana sudah menunggu beberapa tetangga dan penghulu. Tanpa menunggu waktu lama hijab kabul atas nama Safia pun di ucapkan Manan setelah dua kali menyebut nama yang salah lalu terdengar kata SAh di akhir ucapan hijabnya tersebut.Safia keluar untuk mencium tangan Manan. Lelaki itu memberikan doa dan mencium kening Safia sekilas, senyum yang terpaksa di perlihatkan oleh orang-orang yang hadir terlihat jelas.Saat penghulu mengeluarkan buku nikah mereka. Mereka terperanjat dan menoleh kepada orang tua mereka ternyata mereka telah merencanakan ini sudah lama terbukti buku nikah pun sudah jadi."Kemasi pakaianmu sekarang juga, kau akan tinggal di rumahku," bisik Manan dengan suara datarnya setelah menandatangani buku nikah.Safia mengangguk dan beranjak dari duduknya dan di ikuti Manan dari belakang. Lelaki itu mengikuti Safia hingga ke kamar wanita itu untuk mengambil Amar yang masih terlelap tidur lalu keluar lagi tanpa melihat Safia.Wanita itu menghembuskan napasnya, ia dari tadi pagi belum makan apapun dan begitu hijab Kabul lelaki itu memaksanya mengikuti dirinya tinggal di rumahnya.Ia mencoba untuk tidak menangis, dikemas pakaiannya dan di masukan ke dalam koper lalu berjalan dengan tertatih, kakinya masih sangat sakit dan tubuhnya juga.Sang Ayah membantunya tanpa berkata apapun tidak ada wejangan yang diberikan untuk Safia.Sesampainya di mobil Manan sang Ayah memasukan koper ke dalam bagasi dan safia duduk di samping Manan dan mengambil alih Amar untuk di gendongannya.Mobil itu berjalan dengan kecepatan sedang meninggalkan rumah Safia. Tak ada percakapan di antara mereka.Setengah jam mereka sampai, Safia turun dari mobil dan akan melangkah masuk ke rumah di hentikan Manan."Tunggu!" teriaknya sambil berjalan mendekatinya dan Safia berhenti untuk menunggu pria itu."Kau bawa kopermu sendiri!" ucap Manan dengan dinginnya sambil meraih Amar dari gendongan Safia.Wanita itu menghelah napasnya. Ia tahu bahwa pernikahannya kali ini tak seindah Pernikahan pada umumnya.Ia membuka bagasi lalu mengeluarkan kopernya kemudian menutupnya lalu menggeretnya dengan langkah tertatih memasuki rumah itu."Di sana kamarmu, dan bersihkan sendiri sebab di sini tidak ada pembantu," ucap Manan dengan tatapan tak bersahabat."Iya," cicitnya sambil berjalan menuju kamar yang di tunjukkan Manan."Amar akan berada di kamarku dan akan ku berikan padamu saat dia butuh ASImu," ucap Manan.Safia berhenti berjalan sebentar lalu kembali melangkahkan kakinya ke kamar yang di tunjukkan Manan.Manan menaruh anaknya ke dalam box dan berjalan keluar kamarnya menuju kamar Safia dan ia pun masuk begitu saja membuat Safia terkejut apalagi Manan mengunci pintu tersebut membuat hati seolah berhenti berdetak. ia membalikkan tubuhnya dan menatap pria yang memasang wajah dingin itu serta ada guratan kemarahan."Semua ini karena dirimu, Safia! Andai kau melati Amar untuk bisa minum di botol, semua ini tidak akan terjadi dan mereka tidak akan merencanakan ide gila ini!" ucap Manan dengan nada tinggi."Aku sudah mencobanya, Mas tetapi memang Amar tidak bisa minum dengan botol lalu apa itu salahku!" teriak safia membela diri."Pasti kamu sudah merencanakan bukan, karena kamu wanita kesepian, lama tidak mendapatkan belaian dari suamimu bukan begitu dia datang sudah almarhum. Apa kau ingin kusentuh hah?" tanyanya sambil terus melangkah maju.Safia sangat ketakutan, ia terus berjalan mundur hingga terbentur dinding, kaki dan tangannya gemetaran ia menatap pria itu dengan hati sedih tegahnya menuduh dirinya seperti itu.Mata Safia menatap manan penuh dengan ketakutan, ia tidak percaya lelaki yang dikenal lembut itu kini terlihat sangat menakutkan.Manan terus berjalan ke depan mendekati Safia yang berjalan mundur dan membentur tembok itu. Ia begitu sangat marah pada Safia, yang membuat ia terpaksa menikahi wanita itu."Katakan saja dengan jujur, kalau kau membutuhkan belaian sebab almarhum suamimu tidak pernah memberikannya, Hem ...." Manan mencengkram rahang Safia.Wanita itu menangis tak sanggup menjawab apa yang dikatakan Manan, ia hanya menggeleng sambil berurai airmata."Inikah yang kau inginkan, Safia? Ayo jawab aku!" teriak Manan sambil melepaskan cengkraman di rahang Safia. Namun, sekarang bibirnya menyapu pipi Safia."Ti- tidak kau salah paham, Mas," kata Safia "Aku salah paham, katamu? Mana yang membuatku salah paham? Jawab Safia!" teriak Manan menggelegar membuat Safia terjengkit."Aku tidak bisa menolak mereka lalu kenapa k
Ia masih menatap foto sang istri, entah kenapa pada waktu itu darah yang cocok dengan golongan darah istrinya tidak ada di bank darah sehingga akhirnya sang istri tidak tertolong. Entah permainan siapa yang membuat golongan darah sang istri tidak ada di bank darah manapun saat istrinya membutuhkannya dan apa motifnya, Manan benar-benar tidak tahu. Manan sangat kalut saat itu apalagi golongan darah sang istri sangat langkah sang istri mempunyai golongan darah yang sama dengan ayah mertuanya, yang saat itu melakukan perjalanan pulang dari luar kota dan waktu tidaklah banyak. Dia juga heran mengapa di saat adik Iparnya mendapatkan kabar yang mengejutkan tentang Suaminya. Manan menghembuskan napasnya awalnya pria itu sangat kasihan pada Safia yang kehilangan anak, tetapi karena itu pula yang membuatnya harus menikahi Safia setelah masa idahnya. Wanita itu dan keluarganya tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan Akran. Ia mendes4h sambil memegang sebuah amp
Safia melotot kearah Manan. "Kalau aku tidak menghabiskannya apa yang bisa kau lakukan padaku?" tanya Safia."Kau melawanku, baiklah jangan kau habiskan dan saat ini pula kau kumakan, pilih yang mana tergantung kecerdasanmu!" tekan Manan.Safia terdiam berdebat pun percuma karena tidak akan pernah menang dan dimenangkan apalah dirinya bagi Manan. 'Sungguh pria ini sangat menyebalkan,' pikirnya.Safia berusaha menghabiskan makanannya ia takut hal yang tadi terulang kembali. Perutnya sudah terasa sangat penuh dan di piring masih tinggal sedikit ia berusaha bernegosiasi dengan Manan. "Aku sudah sangat kenyang boleh ini kubuang, aku jamin Amar tidak akan kelaparan," jawab Safia."Habiskan atau kau lebih suka ...." Manan menatap tajam pada Safia."Iya aku habiskan!" teriak Safia lalu menyuapkan makanan dengan cepat setelah itu berlari ke kamarnya dan menutup rapat serta menguncinya ia tidak peduli kalau Manan akan marah pada dirinya. Rasa mual
Safia melihat bunga itu masih segar tentunya baru saja ada seseorang datang kesini. 'Siapa?' pikir Safia.Kembali ia menyapukan pandangannya tidak ada siapa-siapa selain dirinya. Ia menghembuskan napas, terkadang menginginkan sesuatu yang mustahil datang padanya. Semua orang yang dicintainya telah pergi, ingin sekali ia bertemu dengan satu cinta yang memberikan cinta yang lainnya yaitu mendiang suaminya.ia tidak pernah bermimpi tentang pria yang masih di hatinya itu, dan tidak bisa mengunjungi makamnya sama sekali. 'Kenapa mereka melarangku berkunjung di makamnya bukankah ia suamiku,' pikir Safia Ia ingin menanyakan ini sekali lagi pada Manan tetapi pria itu sudah berubah dia bukan lagi kakak ipar yang hangat seperti dulu.Duduk di pusara yang kakak sambil menabur bunga ia mengeluh, "Kakak suamimu sekarang adalah suamiku tetapi bukan suami yang semestinya seperti pernikahan yang bahagia, aku tidak mencintainya dan ia membenciku seolah sumber mas
Manan menggendong Safia menuju kamar wanita itu membaringkan di ranjang. "Istirahatlah! Setelah ini kita butuh tenaga untuk mengarungi rumah tangga yang hampa ini, dulu pernah kukatakan padamu jangan menikahi pria itu, kau malah menuduhku yang bukan-bukan dan karena pria itu pula aku kehilangan Lailaku. Tidak peduli betapa sakitnya dirimu karena kamu memilih hidup denganku," ucap Manam lalu ia meninggalkan kamar Safia.Ia berjalan kembali ke ruangan kerjanya mencoba untuk mengerjakan pekerjaannya yang terbengkalai beberapa hari. Satu jam, dua jam Manan mulai bosan. ia berjalan menuju kamar safia membukanya lalu menutupnya dengan sangat kasar.Safia terjengkit dan terbangun dari tidurnya. dan langsung mencapai kesadaran penuh melihat sekilas lelaki yang mengacaukan tidurnya itu, sambil mendengus kesal."Kenapa? Kau ingin marah padaku," ucapnya sambil duduk di sofa."Tidak, bukankah aku tidak punya hak untuk marah di rumah ini," ucap Safia
Manan menghentikan langkahnya, ia berjalan berbalik arah dan menatap pria itu dengan tajam."Apa yang ingin kau katakan lagi hai pecundang!" teriaknya marah."Aku hanya ingin memastikan Mas Manan bisa menjaga rahasia ini, aku akan kembali saat aku telah selesaikan urusanku!" ucapnya sambil membersihkan darah yang ada di hidungnya."Apa kau gila! otakmu kau taruh di mana hah?" ucap Manan gusar."Aku tidak gila, Mas, aku masih sangat mencintainya," ucap pria itu menunduk."Cinta katamu, Jika kau mencintainya menghilanglah tanpa mengusik dan menghancurkan keluargaku. Kau tahu aku juga mencintai istriku dan mereka merenggut dia dari sisiku apa perlu ku hancurkan otakmu agar kau berfikir waras!" teriaknya semakin keras kemarahan sudah sampai di ubun-ubun."Mas tenanglah! Tolong duduk dulu, apa kau kira aku tidak sedih dengan apa yang kau alami aku juga kehilangan putriku dan aku tidak berdaya," ucapnya menunduk."Tidak b
Safia semakin ketakutan saat pintu terbuka, ia berlari ke kamar mandi dan mengunci pintunya. Terdengar suara Manan memanggilnya."Safia dimana kamu? Hai mainanku ke marilah! Aku pasti bisa menemukanmu! Ayo jangan bersembunyi! Di manapun kau berada pasti bisa kutemukan kecuali yang menyembunyikan kamu adalah cantikku Laila." Teriakan itu menggema.Sejenak Sunyi, Safia tidak mendengarkan lagi teriakan Manan. Namun, tak lama kemudian terdengar umpatan lagi dari mulut pria itu."Laila aku sangat merindukanmu, lelaki brensek itu membuatmu meninggalkanku. Kenapa ia tega melakukan pada cintaku?" ucap lelaki itu berulang kali hingga ruangan kembali sunyi. Safia menunggu selama tiga puluh menit akhir ia pun keluar, dan melihat Manan tertidur di lantai kamar Safia. Ia keluar dari kamarnya dan menuju kamar Manan yang di tempati Amar tidur. bayi lelaki itu tampak masih terlelap dan tidak terusik apapun.Ia terlelap beberapa saat lalu terdengar suara tangisan Amar dan Safia memberikan ASInya set
Safia menjauhkan mukanya. Namun, tiba-tiba saja tangan Manan meraih kepala Safia dan menekan serta menempelkan ke mukanya dengan sangat erat."Kenapa kau begitu takut, aku ini suamimu, 'kan? Bisa merasakan semua yang ada di kamu, Aku ingin mencicipi bibirmu, apa semanis milik Lailaku, atau justru hambar," ucap Manan lalu lelaki itu menyambar bibir Safia melum4tnya kemudian menggigitnya sampai berdarah."Benar-benar tidak berasa," ucapnya.Safia mengusap bibir yang berdarah, sambil menatap tajam Manan. Pria itu dengan santai mengambil gelas berisi jus lemon hangat."Kenapa rasanya masam, seperti wajahmu? Beri gula lagi jangan terlalu banyak setidaknya ada manis di rasa asam," perintahnya sambil menggeser gelasnya ke depan Safia Safia mengusap air matanya lalu mengambil gelas dan beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju meja dapur lalu membuka toples berisi gula dan diambilnya satu sendok gula dimasukan ke dalam gelas jus lemon dan diaduknya kemudian kembali kemeja makan lalu
Hari berjalan terus Manan sibuk dengan Lala bahkan tidak memperhatikan anak-anaknya selalu berangkat lebih awal, dan tidak pernah lagi sarapan pagi di rumah, ia lebih suka melakukannya di apartemen Lala. Amar mulai kehilangan sosok sang ayah, berbeda lagi dengan Safia, ia selalu saja menyempatkan dirinya untuk sarapan pagi dengan anak -anaknya dan masih mengantar jemput mereka. Akan tetapi Amar merasa sangat tidak suka saat Safia bersama lelaki lain saat menjemputnya bersama sang adik. Namun, Amar tidak bisa memprotesnya sebab sang mama bilang mereka baru meninjau bersama dan sekalian menjemput mereka. Sesampainya di atar di rumah, Safia kembali ke kantor bersama pria itu sedangkan Amar dan Erina berada di rumah dengan Ira sang asisten rumah tangga. Amar menatap mobil yang keluar dari pintu gerbang rumahnya lalu mengajaknya sang adik masuk ke dalam sambil berfikir bagaimana cara agar orang tuanya tahu, bahwa ia dan adiknya membutuhkan mereka berdua. Sampai di dalam mereka disa
Safia dengan tergesa-gesa berjalan menaiki tangga menuju kamar Sang Putri, Ia pun berhenti beberapa saat untuk menetralkan kemarahannya pada Manan yang entah kenapa bersikap sinis padanya. ia menghembuskan nafas beratnya lalu tersenyum kemudian berjalan masuk ke dalam kamar yang putri terlihat wajah lelaki yang duduk di bibir ranjang menemani sang adik yang belum tidur sana menunggu papanya untuk menemaninya tidur. "Mana Papa? Kenapa Mama kembali ke sini sendirian?" tanya Amar "Papa masih harus menyelesaikan pekerjaannya dia akan menyusul kemari, nanti setelah pekerjaannya selesai dan kamu Amar, Pergilah tidur di kamar tidurmu biar mama yang akan menemani adikmu sampai bapakmu kemari," perintah Safia. "Mama mengusir Amar?" tanya bocah lelaki itu. "Tidak, hanya besok kamu harus sekolah, jadi lebih kamu beristirahat di kamarmu sendiri lagi pulang adiknya masih sakit kan takutnya kamu juga akan terkena virusnya lalu ikut sakit yang repot siapa kan Mama juga," ucap Safiah. "Oh
Safia menatap kepergian Manan dengan hati galau. 'Apa ini benar, andai pun terjadi masalah antara aku dan Manan harusnya aku tidak boleh mempunyai ketertarikan dengan pria lain hingga masalah rumah tanggaku beres, tetapi lelaki yang memenjarakan dirinya dalam hubungan pernikahan hanya mau melepaskanku saat ada seseorang pria yang mampu menyentuh hatiku dan saat ini pria itu hadir, Namun kenapa aku merasa Mas Manan tidak sungguh-sungguh untuk melepaskanku. Meski tak ada rasa cinta dari sebuah hubungan pernikahan, tetaplah salah jika membina hubungan dengan pria lain di atas pernikahan yang rapuh.' batinnya sedih ia menatap putra sambungnya dan tersenyum berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. "Apa Mama baik-baik saja?" tanya Amar pada Safia. "Mama baik-baik saja sayang, jangan cemas tidak ada sesuatu yang di perdebatkan dengan papa, kami hanya mitra kerja, jangan terlalu berfikir yang belum saatnya kamu pikirkan," ucap Safia pada Amar. "Aku hanya ingin selalu bersama kalian,
Saya yang minta maaf, karena menyentuhmu, saya tunggu di ruang tamu," ucap Manan berjalan keluar dari kamar Lala sambil merapikan pakaiannya. Lala menghebuskan napas. 'Liar juga si Bapak punya anak dua itu,' gumamnya dalam hati. sambil melihat bercak merah di leher dan dada. ia pun mengambil pakaian di dalam lemari dan memakainya lalu berjalan keluar menuju ruang tamu untuk menemui Manan. "Hemm ... Bapak mau minum apa?" tanya Lala menghilangkan kecanggungannya terhadap pria itu. "Tidak usah repot-repot, kamu duduk di sini dengan saya saja, sebenarnya saya ingin meminta maaf padamu tetang perbuatan Amar padamu, malah jadi berlaku tidak senonoh, mestinya kamu menampar saya," jawab Manan. "Saya yang salah, keluar hanya memakai handuk saja, jadi maaf bukan maksud saya untuk menggoda Anda. "Tidak, saya merasa kamu tidak menggoda saya wajar saja karena saya tidak memberi tahumu sebelumnya kalau saya datang. Justru saya minta maaf atas kelancangannya saya, Saya jamin tidak akan ter
"Bagaimana?" tanya Aran saat Safia telah tiba di ruang tamu. "Hem gak tahu, kayaknya di sekolah ada masalah sehingga seperti itu," jawab Safia pada lelaki itu. "Oke, karena anakmu sudah pulang aku pulang saja, takut menganggu quali time kamu saja," pamit Aran. "Oh ya, maaf penyambutan putraku yang mungkin membuat kamu tidak enak hati," ucap Safia pada pria itu. "Tidak apa-apa, jangan lupa besok pagi-pagi kita harus sudah sampai ke lokasi proyek, jika mobilmu masih di perbaiki maka nanti akan kujemput, bagaimana?" tanya pria itu pada Safia. "Tidak usah aku mau ke kantor dulu," ucap Safia. "Iya, di kantor maksudku," ucap Aran pada Safia. "Baiklah terserah Anda saja," ucap Safia tersipu dan Aran menggangguk sopan lalu pria itu pun keluar dari ruang tamu menuju mobilnya dan masuk serta mengemudikannya berjalan melewati gerbang rumah Manan. Safia menatap mobil itu hingga pergi menjauh. Ia menggelengkan kepalanya menepikan rasa yang ada dalam dirinya. Ia berjalan masuk kem
Taksi membawa Manan dan putranya pulang ke rumah, tadi dia berniat untuk pulang tetapi ia berfikir untuk meminta maaf secara langsung pada Lala. Ditengah perjalanan ia pun berubah pikiran. "Hem, sepertinyq Papa hanya bisa mengantarkanmu sampai pintu gerbang karena Sekertarisnya Papa, mbak Citra mengingatkan papa kalau jam satu akan ada rapat," jelas Manan pada sang putra. "Baiklah terserah Papa, dari tadi kan Amar ingin pulang sendiri, Papa saja yang memaksa untuk mengantarku pulang," jawab Amar pada Manan dengan ketusnya. Bocah lelaki itu menduga pasti sang ayah akan menemui Tante-tante yang menjemputnya tadi untuk miminta maaf. Manan menatap putra dengan lekat sambil menghelah napas. Taksi pun berhenti tepat di depan pintu gerbang rumahnya dan Amar pun turun sendiri tanpa sang ayah, menutup dengan keras dan berjalan tanpa menengok ke arah ayahnya. "Marah anaknya, Pak?" tanya sang sopir taksi dan Manan hanya tertawa lalu memberi tahukan alamat mana yang harus dituju dan tak
"Papa, membela Tante itu?" tanyanya pada sang papa. "Bukan membela, kalau sikapmu seperti itu, mungkin tadi papa tidak meminta tolong padanya. Papa akan Andi untuk menjemputmu. "kenapa tidak menyuruh paman Andi," tanya sambil memakan makanannya. "Oke Papa yang salah dan papa kira anak Papa bisa sopan terhadap teman Papa ternyata Papa salah anak Papa tidak sesopan yang papa harapkan," ucap Manan. Didalam kemasan itu pun disediakan pula alat pemecah cangkang dan Manan membantu memecahkan kulit cangkang makanan milik Amar. "Ya Amar minta maaf kan semua terjadi karena Amar gak sengaja membuat pakaian Tante kotor," ucap Amar tanpa merasa bersalah pada wanita itu. Manan tak lagi berbicara karena berbicara dengannya saat ini akan percuma saja karena anak itu pasti mengira dirinya ada hubungan Lala Manan menghelah napas dan menatap putranya dengan kecewa karena membuat pujaan hatinya terlihat buruk, mungkin Lala tadi juga dapat cemoohan dari karyawan yang tak sengaja berpapasan
"Ia menghembuskan nafasnya. 'Hemm ... anak kecil lihat aku menjadi pusat perhatian dan gunjingan mereka padahal ini baru mulai bagaimana nanti selanjutnya apa harus mundur, Aaahhh ... tidak, aku tidak boleh mundur walaupun apa yang terjadi.' Pintu lift terbuka Lala pun belum beranjak dari tempatnya berdiri, ia masih menatap pakaiannya yang sangat kotor. "Tante selanjutnya kita kemana?" tanya Amar sambil mengulum senyum samar ia sangat puas telah mengerjai wanita itu. 'jangan pikir muda untuk dapatkan Papa, hadapi anaknya dulu,' pikir Amar sambil menunggu jawaban dari Lala. "Ahh ... iya ayo keluar," ajak Lala saat tersadar kalau dia harus mengantar Amar sampai di kantor ayahnya dan ia sudah mengirim foto pada pria itu tetang pesanan makanan anaknya yang begitu banyak. Mereka berjalan menuju kantor Manan, Lala sangat beruntung di lantai ini hanya ada ruangan Manan dan Asistennya. Hingga sampai akhirnya mereka sampai di ruangan itu dan Lala mengetuk pintunya terbuka lalu Manan m
"Aku kenyang, Tante karena Tante cemberut," protes Amar. Lala duduk dengan memijit kepalanya sambil melirik bocah yang duduk tertunduk kepalanya itu. Ia menghela napas lalu berkata lagi," pesanlah kepiting lalu makanlah!" Wanita memecahkan cangkang kepiting dengan alat pemecah cangkang lalu menyuapkan dagingnya ke dalam mulutnya. "Baiklah aku akan coba beberapa porsi yang gak pedas," ucap anak itu sampai membuat Lala hampir tersedak. "Anak tampan pesan satu porsi saja dan makanlah, Oke, pesan yang biasa kamu makan dengan ayahmu, mengerti anak manis?" ucap Lala sambil menekan rasa jengkelnya yang sudah sampai ubun-ubun. "Baiklah aku hanya pesan satu porsi saja dan memakannya karena aku takut Tante kehabisan dan di suru cuci piring!" ucap amar tersenyum sambil memanggil pelayan. Tak berapa lama pelayan pun datang Amar mulai memesan makanan yang biasa di makannya dan dia juga memesan es krim coklat kesukaannya satu gelas besar. Beberapa saat kemudian pelayan kembali dengan