"Baiklah aku setuju," ucap Safia dengan sangat terpaksa. 'Begitu saja lama, kau itu sekarang CEO, keputusan harus cepat kau ambil," ejek Manan. "Apa hubungannya dengan aku sekarang CEO sama keputusan yang ku ambil saat ini," banta Safia. "Tentu saja ada hubungan, karena kamu terlalu aku jadi terlambat ke kantor, andai saat ini harus menandatangani bertemu klien dan aku atau kamu membatalkannya berapa kerugian yang bakal ditanggung perusahaan, ini yang harus kamu pahami pemimpin tidak boleh cengeng seperti kamu maka kau akan mudah dilibas oleh saingan bisnismu," celoteh Manan sambil berbalik badan membuka pintu kamar dan keluar dari kamar dahulu. Beberapa langkah ia berhenti dan menoleh kebelakang. Belum terlihat Safia ia pun berteriak sangat kencang, "Safia apa kau tidak ingin berangkat kau sudah menyita waktuku sangat banyak!" Safia terjengkit dan beranjak dari duduknya lalu berlari menyusul Manan yang berjalan cepat menuruni tangga karena terburu-buru ia pun terpeleset kare
"Ternyata ia belum jauh," bisik safia lirih. Manan berbalik arah dan berkata,"Nanti ku jemput kita sama-sama jemput anak-anak." "Baiklah terserah kau saja!," ucap safia malas Pria itu pun berjalan keluar dari ruangan itu masuk kedalam lift. pintu tertutup dan Tak lama terbuka Manan keluar serta berjalan menuju mobilnya lalu melanjutkan meninggalkan tempat itu. Beberapa menit ia pun sampai dan keluar dari mobilnya berjalan melewati lobby lalu masuk dalam lift dan keluar lagi setelah beberapa saat menuju ruangannya. Sampai sana ia pun di sambut oleh sekertarisnya. "Maaf, Anda di tunggu oleh nyonya Lala di ruangan Anda." "Oh, ya, aku lupa kalau aku ada rapat dengan dia," ucap sambil tersenyum lalu berjalan lagi tetapi berhenti lagi dan menoleh ke Citra. "Tolong suruh office girl mengantarkan makanan kecil dan minuman ke ruanganku. Citra mengangguk hormat dan pergi ke ruangannya sendiri dan meminta office girl membawa makanan ringan dan minuman Lewat interkom. Manan berja
Tak terasa sudah siang, sudah jam istirahat Safia melihat jam tangannya dan Ia mendes4h, ia harus menunggu Manan untuk menjemputnya Mereka berencana untuk menjemput anak-anaknya, dan makan siang, ia semakin gelisah saat menunggu Manan datang menjemputnya ia harus berpura-pura manis di hadapan Anak-anak mereka Tak lama, lelaki yang di tunggu, ia muncul di balik pintu dan berdiri tak jauh dari daun pintu. "Ayo kita berangkat ingat kamu harus senyum dan kita harus manis di hadapan Anak-anak. "Iya aku tahu," jawab Safia sambil mengambil tasnya di meja dan berjalan ke luar mengikuti Manan yang keluar lebih dulu. Mereka masuk ke dalam lift dan setelah sampai di lantai dasar mereka berjalan menuju mobil dan masuk kedalam lalu melaju dengan cepat menuju sekolah. "Kita harus tersenyum dihadapan anak-anak, jangan tunjukkan kalau kita dalam keadaan tidak baik-baik.," tekan Manan "Iya aku mengerti, tidak perlu kau ingatkan," ucap Safia. "Nadamu seperti itu menunjukkan kamu gak nger
Anak-anak mereka berhasil mereka manipulasi dengan permainan peran. Setelah mereka menaruh tubuh anak-anak di ranjang, mereka kembali model awal. Mereka kembali dengan ego mereka sendiri. Manan masuk kedalam ruangan kerjanya sedangkan Safia masuk ke dalam kamarnya sendiri. Safia menghembuskan napasnya, ia duduk di bibir ranjang ia mengingat pertemuan di restoran dengan Aran, sentuhan yang tak sengaja itu seperti masih terasa menyentuh pinggangnya. Begitu pertemuannya tadi di kantor seperti telah mengenal lama bahkan bahasa tubuh lelaki itu mirip sekali dengan sang almarhum suami. Safia memejamkan matanya ia berperang batin apa yang dirasakan hatinya ini salah atau benar. Kadang cinta tidak membutuhkan benar atau salah tetapi hatilah yang bicara. Sementara itu Manan di ruangan kerjanya pun sedang chattingan dengan Lala gadis yang sangat mirip Laila sang almarhumah Laila Mereka asik dengan hatinya masing-masing entah mengapa Manan tersenyum senang saat mengakhiri chatnya. Ma
Aran duduk menunggu tempat sudah reservasi. Wanita yang telah lama dirindukannya, ia sengaja menambahkan tahi lalat di bawah matanya agar sedikit berbeda dengan Akran Taksi sudah sampai di restoran yang dipilih Aran, Safia pun masuk dalam dan disambut seorang pelayan yang berdiri di depan pintu restoran. "Selamat datang ibu apakah sudah memesan tempat sebelum?" tanya pelayan wanita. "Saya Safia, tamu dari Tuan Aran Subagio beliau sudah reservasi tempat," jawab Safia. "Oh iya, mari saya antarkan Bu!" ajak pelayan wanita itu. "Trimakasih," ucap Safia sambil berjalan mengikuti pelayan wanita itu di sebuah ruangan. pelayan itu pun membukakan pintu untuk Safia lalu wanita itu pun masuk dalam ruangan itu Saat wanita itu datang dengan gaun yang pernah ia belikan saat berstatus sebagai suami wanita itu dulu. Aran terpukau ia menatap tanpa berkedip pada wanita itu. Ia pun berdiri menarik kursi untuk Safia. "Trimakasih, Tuan Aran," Safia dan duduk di tempat yang di sediakan oleh
Tak ubahnya seperti yang terjadi pada Manan lelaki itu mengendarai mobilnya dengan hati yang berbunga-bunga. Hari ini ia akan bertemu wanita yang begitu mirip Almarhumah istri tercinta. Manan menambah kecepatan laju mobilnya ia ingin segera sampai di restoran itu. Beberapa menit kemudian pria itu pun sampai ia memakirkan mobilnya di area parkir lalu ia pun keluar dan berjalan masuk kedalam restoran dan memberi tahukan telah reservasi tempat. Seorang pelayan mengantarkan Manan di ruangan yang ia pesan dan ia pun masuk ternyata wanita yang ditunggunya belum datang. Ia duduk dengan sangat gelisah menunggu kehadiran wanita itu, setiap beberapa menit ia melihat jam tangan lalu melihat ke arah pintu masuk. Tak lama, pintu terbuka masuklah seorang wanita yang benar-benar mirip istrinya bahkan dandanannya pun sama, ia terpaku menatap terpesona pada wanita itu. Wanita itu berjalan dengan anggunnya pakaian yang seksi yang membalut tubuh wanita itu tak membuatnya terlihat seronok. Ia m
Safia berjalan dengan sangat tenangnya, kebahagiaan yang tidak pernah dirasakan bersama dengan Manan didapatkan dari Aran yang sangat begitu memujanya. "Safia masuk kedalam dan terkejut Amar belum tidur dan menatap safia dengan tatapan penuh tanya. "Mama dari mana?" tanya Amar pada Safia. "Mama menemui klien, ada proyek yang harus dibahas, Nak, kenapa belum tidur?" Safia pada Amar. "Erina panas, Mama aku tidak tahu harus panggil Mama atau bibi Ira," ucap Amar sambil menatap wajah mamanya itu. "Kalau memang ada bi ira bilang sama bi ira ya agar bibi bisa menelpon Mama dan bisa segera pulang untuk Erina," ucap Safia pada.Amar sambil menggandengnya dan menaiki tangga menuju kamar Erina Terdengar rintihan lirih dan tangisan secepat kilat Safia menyentuh kening sang putri. ia segera mengecek dengan termometer dia terkejut karena suhu badan Erina mencapai 39° celcius. Kenapa sepanas ini, adek kalau di sekolah makan apa?" tanya safia pada Amar. Makan makanan biasa saja, gak ada.
Pasangkan pada telingaku aku akan bicara padanya," ucap Manan dan terdengar sangat lembut membuat Safia sangat iri, dengannya saja Manan tidak bisa begitu. "Iya ada apa? Kau tahukan aku sedang meeting," ucapnya sedikit kasar. "Erina sakit ia terus saja mencarimu. Aku hanya memberi tahumu, kau pulang atau tidak terserah," ucap Safia dan didengar oleh Amar. "Kok mama bilangnya gitu sih, sini biar Amar yang telpon," pinta Amar pada Safia lalu dengan cepat menyambar telpon sang mama. "Papa, Erina sedang sakit, Papa harus pulang hari ini tadi Amar sudah janji pada Erina kalau ia mau minum obat Papa pasti datang, ayolah bilang saja sama pak atu ibu klien kalau anak papa yang cantik sakit. "Baiklah, Papa sebentar lagi akan pulang, papa ngantar klien dulu, yaa. Bilang sama Erina Papa pulang setelah ini," jawab Manan "Baiklah, janji ya pa, kami tunggu. Kami nggak akan tidur kalau Ayah gak pulang," ucap Amar. "Iya, Papa janji nanti pulang, tidur saja, nanti kalau sudah sampai ru