Entah apa yang ada di pikiran Angga, membawa Nova ke balkon hanya untuk bicara. Tak hanya kejam, Angga juga memiliki sisi plin-plan yang cukup besar. Awalnya, pria itu meminta Nova untuk tetap berada di atas kasur. Bahkan perlu menonjolkan sedikit otot-ototnya di leher hanya untuk menegaskan keinginannya. Tetapi, beberapa menit kemudian keputusannya berubah. "Aku tidak tahu kalau pebisnis terkenal sepertimu. Juga bisa membuat keputusan yang mudah goyah," sindir Nova. Satu kelemahan Angga yang Nova kantongi lagi. "Duduk saja di sana, tidak perlu banyak bicara," balas Angga ketus. Pegangan Angga di tangannya tak terlepas sedetikpun. Entah Angga yang tak menyadarinya atau memang itu hanya cara Angga untuk mengelabui Nova agar menuruti semua perintahnya. "Apa yang ingin kamu bicarakan?" "Apakah Aldo sedang mencoba mendekatimu?" tanya Angga terus terang.Bagaimana cara Angga menanyakan itu terdengar konyol di telinga Nova. Ia menahan tawa dengan merapatkan bibirnya, tetapi, raut waja
“Profit perusahaan bulan ini melonjak pesat Pak Angga. Ini semua berkat berita tentang penghargaan yang tuan peroleh.” Sejak lima belas menit lalu Aldo tak henti-hentinya menyuarakan kebanggaannya. Tak biasanya Angga tak terlalu antusias dengan apa yang didengarnya barusan. Alih-alih ikut menyuarakan kepuasannya atas hasil kerja yang membuatnya semakin gila. Angga hanya menampakkan raut wajah datar dan tak tertarik.“Apa yang salah denganmu, tuan? Apakah berita ini tidak menggugah kepuasanmu?” Aldo menyadari perubahan sikap Angga belakangan ini. Satu bulan berlalu setelah perdebatannya dengan Nova di balkon waktu itu, Angga tak banyak bicara. Ia menjalani hidupnya bagaikan seekor katak dalam tempurung. Berjalan terus tapi beban di pundaknya tak pernah habis.“Aku sudah biasa menerimanya, karena aku memang layak. Semua usaha aku kerahkan untuk memampang wajahku di majalah bisnis ternama itu. Tidak ada yang spesial lagi,” jawab Angga berbohong.Bukan itu yang menyita pikirannya saat i
Dua kali pukulan melandas tepat di kanan dan kiri pipi Aldo. Lebam membiru muncul di sekitar tulang pipi dan setetes darah mengalir di sudut bibir pria itu. Bersamaan dengan tangan Angga yang mulai melayang di udara, suara pintu yang dibuka tiba-tiba disusul pekikan seorang wanita menghentikan niat Angga untuk melayangkan pukulan ketiga.“Angga! Apa yang kamu lakukan?” Angga mengalihkan pandangan pada sosok wanita yang berlari memapah tubuh Aldo yang hampir limbung. Dengan wajah khawatir ia menatap wajah Aldo seraya berkata,“Astaga, kamu terluka cukup parah, Aldo,” kata Nova panik.“T-tidak perlu, nyonya. Aku baik-baik saja,” jawab Aldo. Nova lantas mengalihkan perhatiannya pada Angga yang diam mematung. Tak lama setelah itu, pandangannya menangkap dua tangan Angga yang masih terkepal erat. Nova tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka berdua. Dan mengapa Angga begitu tega menghajar sahabatnya sendiri.“Kenapa kamu memukul Aldo sampai dia babak belur seperti ini? Apa s
Suasana rumah sepi ketika Nova menginjakkan kakinya di sana. Hanya ada dua ajudan yang berjaga di pintu masuk utama rumah besar ini yang menyambut kedatangan Nova dengan senyum ramah. Ia melangkah masuk, berharap Angga ada di sekitarnya hanya untuk memberitahu pria itu akibat ulah kasarnya pada Aldo. “Angga?” “Angga?” Nama Angga digaungkan hingga terdengar ke seluruh penjuru rumah. Para pelayan yang biasanya berlalu lalang membereskan ruang demi ruang malam ini keberadaannya hampir lenyap. Tidak ada sahutan baik dari para pelayan atau bahkan Angga sendiri. Rumah ini seperti rumah kosong yang tak berpenghuni. Nova mengayuhkan langkahnya menuju ruang makan. Berharap menemukan sang suami di sana mengingat sekarang sudah waktunya makan malam. Namun, Nova kembali menelan kekecewaan yang begitu besar saat tak melihat siapapun di sana.Di atas meja makan sudah tersaji banyak pilihan lauk yang menggugah selera. Tetapi, tak satupun disentuh untuk dinikmati kelezatannya.“Sepertinya dia b
Suasana dapur bagaikan sebuah kapal yang baru saja menghantam terumbu karang. Berantakan di segala sisinya. Nova bergerak kesana kemari, terlihat panik mencari sesuatu.“Apa yang sedang kamu cari, nyonya? Mungkin aku bisa membantumu.” Kepala pelayan datang menawarkan bantuan. Saat masuk ke area dapur kepalanya menggeleng heran mendapati beberapa alat masak tergeletak sembarangan di atas meja servis. “Apakah baru saja terjadi peperangan di sini?” Beraninya kepala pelayan menyindir sang nyonya. Kalimat itu mungkin saja bisa membuat Nova murka, tetapi nyatanya, wanita itu justru menjawab sindiran bu kepala dengan kalimat yang lebih konyol.“Ya, ini adalah gambaran situasi jika Angga mengamuk,” jawabnya. Tiga orang pelayan yang membantunya sontak tertawa. Begitu juga dengan bu kepala. Suasana yang sebelumnya tegang perlahan mencair karena ulah dua orang itu. Nova masih sibuk menuangkan nasi goreng buatannya ke dalam piring. Sambil sesekali melirik ke arah jam di dinding. “Bu kepala, t
Suapan terakhir nasi goreng yang sempat mendapat protes dari Angga akhirnya kandas tak bersisa. Angga seolah tak mengingat apa yang ia lakukan sebelumnya. Pria itu mengelap mulutnya dengan napkin, kemudian merapikan posisi jasnya. "Bu kepala, kemarilah," perintah Angga seraya mengangkat sebelah tangannya. Bu kepala datang menghampirinya dengan sigap. Berdiri tepat di samping Angga dengan kepala yang tertunduk."Lain kali siapkan menu sarapan yang lebih menarik. Meski aku menghabiskannya dengan sangat baik, itu karena aku menghargai usahamu," kata Angga. Ia adalah sosok yang tak segan untuk berterus terang meski apa yang ia ucapkan menyakitkan."Baik, tuan, tolong maafkan kelalaian saya ini," jawab bu kepala. Nova masih ada di sana ketika Angga mengatakan itu, sesuatu dalam dirinya tak terima bu kepala harus menerima teguran untuk apa yang tidak ia lakukan. Rasa bersalah pun sudah membuat Nova hampir gila. Apalagi ketika bu kepala tak mengizinkannya untuk membongkar semuanya."Angg
“Kondisi Pak Aldo sudah membaik, pak. Saya rasa beliau sudah mampu kembali bekerja lagi.”Angga tak menggubris ucapan seorang pria yang menjabat sebagai penasihat pribadinya. Satu minggu sudah ia mengambil alih semua pekerjaan yang biasanya ditangani oleh sahabatnya. Ternyata, tanpa Aldo, Angga bukanlah apa-apa. Meski penasihat pribadinya menyarankan untuk mendelegasikan tugas Aldo pada sekretaris yang lain, Angga menolak keras saran itu.Kemampuan Angga untuk mempercayai orang lain kian hari kian menipis. Perbuatannya yang menghajar Aldo tempo hari memang pantas dikecam. Tapi, Angga tidak menyangka Aldo berniat untuk merebut Nova darinya.“Biarkan dia istirahat, sampai dia sendiri yang masuk kerja. Aku tidak ingin berinisiatif,” jawab Angga enggan. Antara hati dan pikirannya tak sejalan Angga tak tahu apa yang membuatnya begitu marah. Saat mendengar Aldo secara terang-terangan meminta Nova padanya. Sial! Entah apakah saat ini Angga masih bisa mempercayai sahabatnya itu atau tidak.
Nyeri menjalar di pipi Angga hingga menimbulkan bercak merah di sana. Jika Angga tak berusaha menahan tubuhnya untuk tetap berdiri kokoh di tempatnya, mungkin kepalanya akan ikut berputar seratus delapan puluh derajat akibat hantaman dari Nova. Susah payah Angga membalikkan posisi kepalanya ke posisi semula. Ketika sorot mata tajam tak lagi mampu membuat istrinya tunduk, sepertinya Angga harus menempuh jalan lain.."Ha, haha, hahaha," Angga tertawa hambar. Ekspresi wajahnya menyimpan banyak dendam untuk seseorang yang berstatus sebagai suaminya. "Kau berani menamparku, Nova?" desis Angga tepat di depan wajah wanita berusia dua puluh delapan tahun itu. Nova bergeming, enggan meladeni sikap Angga yang kelewatan namun ia tidak mempunyai pilihan selain menyanggah semua hinaan. "Kenapa aku tidak melakukannya selagi aku bisa? jawab Nova menantang. Kedua tangannya berkacak pinggang menunjukkan kekuasaan yang ia punya untuk dirinya sendiri. "Aku tidak menyangka, beberapa kali mengobrol d
Kata orang, cinta juga bisa datang terlambat. Sama halnya seperti momen ini. Momen dimana sekujur tubuh Nova mematung saat berhadapan dengan sosok yang menghujam hatinya dengan kerinduan mendalam. Otaknya terasa mati karena Nova tidak bisa mendeteksi perintah apapun dari sana. Sedang Nova bergeming, ada sosok yang kini menatapnya penuh harap. Sosok itu berdiri tegak. Setegar karang yang tak jera menghantamnya dengan gelombang. Banyak cara Nova lakoni untuk menghabiskan keberanian Angga agar tak lagi menemuinya. Berharap dengan memupuk benci, hal itu akan membuat jarak diantara mereka semakin panjang. Sayang, yang terjadi justru kebalikannya. Angga lantang menerabas gelombang, hingga sebagian kecil dari dirinya enyah. Tidak lagi Nova lihat sorot angkuh di mata Angga, pun gestur cinta berlebihan terhadap diri sendiri pada pria itu. Berat Nova mencoba untuk menelan ludah, tapi, Angga justru mulai kembali bersuara. “Aku tahu ini keterlaluan. Tapi aku mohon, kali ini kita bicarakan dar
Secarik kertas di tangan Angga konsisten membuat pikiran pria itu terus berputar. Di dalam kursi pesawat, pemandangan kota-kota kecil di bawah sana sama sekali tidak menarik minat Angga untuk beralih sedetikpun dari kertas itu. “Kau sudah menatap kertas itu hampir satu jam lamanya, Tuan. Apa kau tidak ingin melihat pemandangan indah di luar jendela itu?” Suara Chris membuat Angga mendongak. Ia menatap sang asisten dengan sorot jengah seraya menghembuskan napas berat. “Kapan pesawat akan landing?” tanya Angga. Responnya sangat jauh dari konteks obrolan yang dibangun oleh Chris. “Bukannya ini sudah dua jam?” “Kurang lebih lima menit lagi kita mendarat, Tuan. Bersabarlah, kesabaran akan berbuah manis,” jawab Chris. Pria itu kembali memandang lurus ke depan. Dimana para pramugari tengah sibuk memberikan peringatan untuk mengencangkan sabuk pengaman. Angga kembali berkutat pada pikirannya. Bayangan ekspresi wajah Nova berubah-ubah di sana sesuai dengan asumsi-asumsi yang Angga ciptakan
Sudah satu minggu lamanya, Mario menetap di hotel yang sama dengan Nova. Menjadi garda terdepan bagi nova tanpa diminta. Sore ini langit cukup cerah namun perlahan beranjak mengabu sebelum matahari benar-benar pamit dari altarnya. Mario bangkit dari sofa, diikuti sang asisten di belakangnya. “Kau sudah dapat informasi yang aku minta?” tanyanya sambil melangkah menuju mini bar di sudut ruang santai. “Sudah, Tuan. Saya dihubungkan oleh asisten beliau yang kebetulan sedang berada di Korea saat ini. Menurut informasi, Pak Angga sedang sakit.” “Sakit?” Mario mengulang. “Iya, Pak. Saya sudah coba mencari tahu tentang penyakit beliau, tapi Asisten pribadinya tidak bersedia memberi informasi detail.” “Tapi, kau sudah lakukan apa yang aku minta ‘kan?” Sang asisten mengangguk mantap. “Sudah, Pak. Beliau bersedia untuk bertemu malam ini jam tujuh.” Melihat pemandangan di luar jendela besar kamar hotelnya, Mario beralih pada arloji di tangan. “Sudah pukul enam. Kita berangkat sekarang saj
Lampu remang-remang di dalam klub malam di tengah kota Seoul ini membatasi pandangan Chris yang masuk ke dalamnya. Muda-mudi berlenggak-lenggok di lantai dansa. Di bawah lampu sorot mengikuti irama musik beat yang menggila. Pandangan Chris mengedar ke segala penjuru. Ia langsung bergegas dari bandara ke sini setelah menghubungi Angga. Kabarnya, pria itu berada di sini, namun sampai sekarang Chris belum menemukan petunjuk tentang keberadaan bosnya. Pergerakan Chris di tengah kerumunan orang-orang yang berdansa, menarik perhatian beberapa wanita di sana. Sesekali terdengar mereka mencoba menggoda Chris dengan panggilan-panggilan nakal. “Hai, tampan. Kau sendiri saja?” Seorang wanita mendekati Chris. Dua bingkai lensa di mata Chris ia koreksi saat berhadapan dengan wanita itu. “Kalau kau datang sendiri, aku mau menemani,” ucap wanita itu lagi. Rambut panjangnya sengaja dikibaskan di depan wajah Chris. Aroma bunga menguar setelahnya. Jelas, wanita itu sedang berusaha untuk menarik perh
“Bagaimana bisa Anda membiarkan orang dengan kondisi mental yang terganggu, bepergian sendirian bahkan, mengurus bayi? Apalagi Anda bukan suaminya.” Seorang pria paruh baya dengan seragam kepolisian menginterogasi Mario dengan segerombol pertanyaan. Ia menghela napas panjang, hendak menyela ucapan sang polisi namun pria itu terus berceloteh, tidak memberikan kesempatan bagi Mario untuk menjelaskan. “Anda tahu ‘kan? Apa yang Anda lakukan bisa disebut sebagai bentuk kelalaian dan berpotensi menyakiti orang lain.” “Saya paham, Pak. Itu mengapa saya ada di sini sekarang. Saya akan menebus Nova dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Tolong beri sedikit keringanan untuk Nova. Bagaimanapun dia masih punya tanggung jawab untuk mengurus anaknya yang masih bayi,” ucap Mario panjang lebar. Tidak akan ia sia-siakan kesempatan untuk bicara. Tujuannya saat ini adalah membebaskan Nova dari hukuman paling berat. Mario mengikuti semua prosedur hukum yang berlaku atas pelanggaran yang Nova laku
Kesibukan terlihat padat di pintu kedatangan Bandara Incheon. Seorang pria mengenakan setelan jas lengkap berwarna keabuan menarik beberapa mata di sana. Di balik kacamata hitam yang nangkring di hidung mancung pria itu, ada sepasang mata yang awas mengintai pergerakan seseorang dari arah lain bandara. Seorang wanita, dengan stroller bayi menemaninya duduk di ruang tunggu menuju pintu keberangkatan. Tujuannya bertolak belakang dengan kedatangan pria tadi. Pria itu melirik arlojinya, tiga puluh menit lagi seluruh penumpang jurusan penerbangan domestik lepas landas. Pria itu bergegas mendekati sang wanita. Dengan penampilan, tidak, ketampanannya yang sedikit mencolok dan menarik perhatian, Chris–pria itu–mendekati targetnya. “Selamat pagi, Nyonya.” Wanita berambut panjang, dengan iris mata hazel yang indah itu mendongak. Dahinya berkerut pun dengan kedua matanya yang memicing. Mencoba menilik sosok asing di depannya. “Ya? Anda siapa?” tanyanya. Ada sedikit getaran dalam suaranya.
Secangkir kopi panas di hadapannya sama sekali tidak menarik perhatian Angga. Di sudut salah satu kafe di jalan utama kota Seoul, ia membiarkan segala pikirannya berterbangan bebas terbawa angin. Laptop dengan layar yang masih menyala berakhir sama mengenaskannya dengan secangkir kopi itu. Padahal, deretan daftar pekerjaan yang seharusnya ia selesaikan secepatnya, meraung meminta dikerjakan. Suara di kepala Angga terlalu berisik. Bahkan membuat pria berusia 37 tahun itu kewalahan mengatur jam tidurnya. ‘Sudah waktunya kau mengejar kebahagiaanmu.” Untaian kalimat yang diucapkan Dalton tempo hari kian memperparah kegundahan hati yang selama beberapa hari ini meraung perhatian Angga agar tidak diabaikan. Lagi-lagi, hanya helaan napas berat yang menjadi penghujung keglisahan Angga. “Tidak seharusnya aku terjebak dalam kegalauan ini,” gumamnya, Angga mencoba mengalihkan pikirannya dengan menggeser pesan dengan seseorang yang jauh di belahan dunia sana. Deretan foto putri kecilnya mend
Seminggu setelah Mario memutuskan untuk mencabut perjanjian kerja perusahaan mereka, Angga memilih hengkang dari apartemen pria itu. Ia cukup tahu diri untuk tidak menjadi benalu sahabatnya. Saat ini, Angga tengah berhadapan dengan pria paruh baya. Mario bilang, itu adalah koleganya yang akan memberikan suntikan dana untuk perusahaan cabang milik Angga yang hampir bangkrut. “Aku tertarik dengan konsep perusahaanmu. Hanya saja, Kerugian selama periode dua tahun ini cukup menarik perhatianku. Dan akan lebih berisiko jika aku investasikan uangku di sana. Bagaimana kalau begini saja,” ucap pria itu. Pria bernama Dalton, berusia sekitar lima puluh tahunan menjabat sebagai pemilik perusahan olahan ginseng paling terkenal di Korea.Meski terlihat kecewa dengan Angga, Mario tetap bertanggung jawab atas apa yang sudah ia janjikan. Satu alasan yang membuat Angga semakin tak enak hati padanya. Dalton memajukan tubuhnya, menatap Angga dengan sorot penuh rasa ketertarikan yang begitu besar namun
Nova hendak mendekati Mark, namun langkahnya ditahan oleh Mario yang kini menatapnya dengan sorot menuntut. Sekujur tubuh Nova meremang. Pegangan Mario di lengannya seolah memiliki aliran magnet yang membuat pandangan Nova tidak beralih padanya. “Apa yang kamu lakukan, Mario? Tolong lepaskan aku,” pinta Nova. Ia membalas tatapan Mario tak kalah tegas, kemudian beralih pada kaitan tangan mereka. “Jawab yang sejujurnya, Nova. Apa benar yang dikatakan Mark?” Nada bicara Mario berubah dingin. Nova bisa merasakan pria itu sedang bergelut dengan kekecewaan yang begitu kental di dadanya. Dengan sedikit keras Nova menghempaskan pegangan Mario seraya berkata. “Benar atau tidak, masa laluku adalah urusanku. Baik kamu ataupun Mark tidak berhak mengintervensi hidupku,” balas Nova tegas. Kini jaraknya dengan Mark terkikis. Wajah mantan kekasihnya itu sama tegangnya dengan Mario setelah kalimat ultimatum Nova ucapkan. “Dan untuk kamu, Mark,” ucap Nova dingin. “Bukan hakmu juga mengatur hidupku.