Relung hati Nova terkoyak mendengar tuduhan yang semakin kejam Angga lemparkan padanya. Bibirnya hanya bisa tertutup rapat meski lidahnya berusaha untuk menyuarakan kesakitannya. Tapi ia tidak bisa. Hatinya sudah terlalu lama terluka hingga tak bisa diwakilkan oleh kata-kata."JAWAB PERTANYAANKU, NOVA? KAU SUDAH MELAKUKANNYA DENGAN ALDO KAN?!" Suara Angga semakin meninggi. Angga tak peduli berapa banyak usaha Nova untuk tetap berdiri kokoh di sana. Dengan sorot mata terluka, Nova beralih menatap Angga. Bibirnya bergetar karena tak kuasa menahan tangis yang selalu ia tahan. "Setelah tuduhan membunuh adikmu, sekarang kamu menuduhku hamil anak orang lain?""Aku tidak menuduh, aku mengatakan apa yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri." Dua orang berperang batin dalam kondisi tubuh yang tak tertutupi sehelai kainpun. Sebuah situasi konyol yang tidak pernah Nova bayangkan sebelumnya. "Terserah apa katamu, Angga. Satu hal yang harus kamu garis bawahi dari ucapanku ini, Aldo tidak per
Kamar ini semakin sepi semenjak Nova memilih untuk tidur di kamar tamu di lantai dua. Kerap kali Angga termangu sendirian di sana. Meratapi hubungannya dengan Angga yang semakin semrawut. Meski Angga bisa saja menjenguk anaknya di kamar baru mereka, Angga lebih memilih untuk memendam rindu pada putrinya sendirian. Keengganannya untuk menemui Nova membuat Angga lebih banyak menghabiskan waktu di kamar sendirian. Seperti saat ini. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, Angga baru saja keluar dari kamar mandi dengan sehelai handuk yang melingkar sebatas pinggang hingga lututnya. Bulir-bulir air dari rambutnya berjatuhan membasahi dada bidangnya yang kokoh. Deretan otot perut berjajar simetris dengan kulit putih mulus yang mengilap. Melihat Angga, sama halnya menghadapi jelmaan malaikat utusan surga yang ditugaskan untuk menyebarkan pesonanya. Tubuhnya, garis wajahnya, rahangnya yang tegas, dan manik indah miliknya semakin menambah kesempurnaan yang ia miliki. Bohong jik
Bu kepala menyajikan menu bubur untuk sarapan pagi ini di depan Angga. Potongan buah tak luput dari deretan menu yang dihidangkan. "Jadi, kau yang memasak ini untukku?" Angga mengangkat kepalanya. Mengarah pada Nova yang duduk di seberangnya. Dengan apa yang sudah mereka bicarakan tadi. Angga menuntut Nova untuk jujur padanya. Di antara mereka berdua. Ada bu kepala yang berdiri tak jauh dari area meja makan. Raut wajahnya tegang dan diselimuti ketakutan. Nova melihat itu, lantas beralih lagi pada Angga seraya berkata, "ya, aku yang memasaknya." Jawaban Nova cukup membuat Angga puas. Ini artinya mulai hari ini Angga akan menikmati semua hasil kerja keras Nova lewat makanan yang ia sajikan."T-tuan, masakan itu–""Aku sudah tahu siapa yang memasak ini, bu kepala. Kau tidak perlu menutupinya lagi." Angga menggeser tubuhnya menghadap bu kepala. Sadar dirinya telah tertangkap basah menjadi bagian dari drama yang dibuat oleh Nova."M-maafkan saya, tuan. Saya tidak bermaksud untuk membo
Perdebatan tadi pagi adalah perdebatan paling tak layak untuk Nova pertanyakan kejelasannya. Sudah jelas, keputusan yang Angga buat tak lain berasal dari egonya sendiri. "Angga selalu saja begitu. Mengambil keputusan sesuka hatinya. Apakah dia tidak berpikir bagaimana nasib bu kepala setelah keluar dari rumah ini? Jika aku menjadi bu kepala, aku akan sangat sakit hati dengan perilaku Angga yang semena-mena." Di kamar lantai satu Nova berjalan mondar-mandir tanpa arah. Ruangan itu bagaikan sebuah kotak yang terasa membatasi pergerakannya semenjak memutuskan untuk pisah kamar dari Angga. Karena insiden tadi pula, Nova kembali berpikir, haruskah ia menerima perintah Angga lagi untuk kembali ke kamar mereka. Kamar yang luasnya hampir sama dengan lapangan futsal pribadi. Kekesalan Nova semakin memuncak, baginya, Angga sudah sangat kelewatan. Setelah memecat Aldo, kini ia menyingkirkan bu kepala. "Apa sebenarnya maksud Angga melakukan ini semua?" Sebelah tangan Nova menopang dagunya. M
Tiga puluh menit waktu yang diminta Aldo benar-benar pria itu manfaatkan semaksimal mungkin. Setelah mendengar apa yang dikatakan Aldo tadi sekujur tubuh Nova merinding. Ia tidak pernah membayangkan akan mengetahui hal itu sebelumnya. "Kamu boleh percaya atau tidak pada penjelasanku ini. Satu hal yang pasti, aku tidak ingin kamu menjadi pelampiasan dendam selanjutnya. Meski Angga adalah suamimu, kamu juga perlu waspada," kata Aldo. Entah kata apa yang bisa mendeskripsikan perasaan Nova atas hal ini. Andai Aldo tak memberitahunya lebih dulu, mungkin Nova akan terjebak dengan drama rumah tangga yang semakin kelam. Kata demi kata di ujung lidah lenyap perlahan, ditelan rasa tidak percaya atas apa yang ia dengar. "Kusarankan untuk berkonsultasi dengan tenaga profesional. Jika tidak ada langkah apapun. Aku bertaruh, kalau bukan kamu, Angga sendiri yang akan menghancurkan dirinya sendiri," ujar Aldo serius. "Waktuku sudah habis. Maaf aku harus pergi sekarang. Apapun yang terjadi, denga
Terlalu menikmati obrolan dengan Diana membuat Nova lupa waktu. Ia baru sampai di rumah tepat pukul sepuluh malam. Dua ajudan yang berjaga di teras rumah seakan memberikan tanda kiamat lewat tatapan matanya. Tentu Nova sangat peka akan hal itu. Ia menghela napasnya, melepaskan segala kegelisahan yang mengoyak dadanya. "Semoga saja Angga sudah tidur. Bisa habis riwayatku jika dia tahu aku baru pulang." Sepanjang langkah memasuki rumah, Nova sengaja melepas sepatu hak tinggi yang ia pakai sejak tadi. Lebih tepatnya Nova sedang meminimalisir kebisingan yang bisa membuat Angga dan kenyamanan Celva terganggu. Kini Nova sudah berada di depan kamarnya di lantai satu. Sebelum pergi menemui Aldo, Nova sudah menitipkan Celva pada salah satu pelayan yang sudah berpengalaman mengurus Celva sebelumnya. Makanya, hari ini Nova benar-benar menikmati kesendiriannya di luar sana. Ceklek.Pintu kamar perlahan terbuka. Di dalam sana gelap gulita, hanya lampu tidur di keranjang Celva yang menyala deng
Sebelumnya..Perdebatan panjang diakhiri dengan kesepakatan dua orang yang berkomitmen untuk menjalani rumah tangga seperti yang seharusnya.“Pertama, kau harus menyiapkan semua kebutuhanku yang biasa diurus oleh bu kepala. Semua hal, tanpa terkecuali.” Angga duduk di kursi malas di sudut kamar. Masih setia dengan handuk yang membalut area pinggang hingga ke lutut.“Kedua, kau harus selalu menyambut kedatanganku saat pulang kerja dengan senyuman hangat. Meski aku sedang dalam keadaan mood terburuk sekalipun.”“Ketiga…”“Apa kau berniat untuk menjadikanku pembantu?” sela Nova cepat. Semua syarat yang diajukan oleh Angga terdengar lebih pantas dilakukan oleh asisten rumah tangga. Tidak ada satupun yang menyatakan kewenangan yang adil untuk Nova.Bagaimana cara Angga menatap saat ini adalah satu hal yang paling Nova khawatirkan. Tatapan tajam yang menelisik hampir seluruh isi pikiran Nova. “Hanya kau yang berpikir seperti itu. Jika kau cukup cerdas dalam menafsirkan ucapanku, semua syar
Hidup dan mati Nova kini ada di tangan Angga. Perubahan sikap Angga yang drastis dari waktu ke waktu bagaikan sebuah isyarat bagi Nova bahwa dirinya perlu bersikap siaga."Oh ya, balik ke pembahasan awal. Kau yakin hanya bertemu dengan teman-temanmu hari ini?" Jika Angga bisa melihat peluh yang mengalir di sekujur tubuh Nova, pria itu tentu akan lebih membanggakan dirinya di depan Nova. Hal itu akan semakin menunjukkan ketakutan Nova di hadapannya."Um, ya. Tentu. Mereka bahkan menitipkan salam untuk suamiku tercinta ini."Tak ada cara lain selain mengalihkan perhatian Angga dengan beberapa sentuhan. Tangan Nova terjulur menyentuh dada bidang di balik piyama yang membalut tubuh Angga. "Aku bangga sekali menjadi istrimu. Kemanapun aku pergi, semua orang akan mengenali aku dengan sebutan istri pengusaha dermawan. Bukankah itu bagus?" kata Nova, berusaha mengambil alih kendali atas situasi ini. 'Jika dia mulai melayangkan kata-kata yang bersifat mengintimidasi, coba alihkan perhatiann
Kata orang, cinta juga bisa datang terlambat. Sama halnya seperti momen ini. Momen dimana sekujur tubuh Nova mematung saat berhadapan dengan sosok yang menghujam hatinya dengan kerinduan mendalam. Otaknya terasa mati karena Nova tidak bisa mendeteksi perintah apapun dari sana. Sedang Nova bergeming, ada sosok yang kini menatapnya penuh harap. Sosok itu berdiri tegak. Setegar karang yang tak jera menghantamnya dengan gelombang. Banyak cara Nova lakoni untuk menghabiskan keberanian Angga agar tak lagi menemuinya. Berharap dengan memupuk benci, hal itu akan membuat jarak diantara mereka semakin panjang. Sayang, yang terjadi justru kebalikannya. Angga lantang menerabas gelombang, hingga sebagian kecil dari dirinya enyah. Tidak lagi Nova lihat sorot angkuh di mata Angga, pun gestur cinta berlebihan terhadap diri sendiri pada pria itu. Berat Nova mencoba untuk menelan ludah, tapi, Angga justru mulai kembali bersuara. “Aku tahu ini keterlaluan. Tapi aku mohon, kali ini kita bicarakan dar
Secarik kertas di tangan Angga konsisten membuat pikiran pria itu terus berputar. Di dalam kursi pesawat, pemandangan kota-kota kecil di bawah sana sama sekali tidak menarik minat Angga untuk beralih sedetikpun dari kertas itu. “Kau sudah menatap kertas itu hampir satu jam lamanya, Tuan. Apa kau tidak ingin melihat pemandangan indah di luar jendela itu?” Suara Chris membuat Angga mendongak. Ia menatap sang asisten dengan sorot jengah seraya menghembuskan napas berat. “Kapan pesawat akan landing?” tanya Angga. Responnya sangat jauh dari konteks obrolan yang dibangun oleh Chris. “Bukannya ini sudah dua jam?” “Kurang lebih lima menit lagi kita mendarat, Tuan. Bersabarlah, kesabaran akan berbuah manis,” jawab Chris. Pria itu kembali memandang lurus ke depan. Dimana para pramugari tengah sibuk memberikan peringatan untuk mengencangkan sabuk pengaman. Angga kembali berkutat pada pikirannya. Bayangan ekspresi wajah Nova berubah-ubah di sana sesuai dengan asumsi-asumsi yang Angga ciptakan
Sudah satu minggu lamanya, Mario menetap di hotel yang sama dengan Nova. Menjadi garda terdepan bagi nova tanpa diminta. Sore ini langit cukup cerah namun perlahan beranjak mengabu sebelum matahari benar-benar pamit dari altarnya. Mario bangkit dari sofa, diikuti sang asisten di belakangnya. “Kau sudah dapat informasi yang aku minta?” tanyanya sambil melangkah menuju mini bar di sudut ruang santai. “Sudah, Tuan. Saya dihubungkan oleh asisten beliau yang kebetulan sedang berada di Korea saat ini. Menurut informasi, Pak Angga sedang sakit.” “Sakit?” Mario mengulang. “Iya, Pak. Saya sudah coba mencari tahu tentang penyakit beliau, tapi Asisten pribadinya tidak bersedia memberi informasi detail.” “Tapi, kau sudah lakukan apa yang aku minta ‘kan?” Sang asisten mengangguk mantap. “Sudah, Pak. Beliau bersedia untuk bertemu malam ini jam tujuh.” Melihat pemandangan di luar jendela besar kamar hotelnya, Mario beralih pada arloji di tangan. “Sudah pukul enam. Kita berangkat sekarang saj
Lampu remang-remang di dalam klub malam di tengah kota Seoul ini membatasi pandangan Chris yang masuk ke dalamnya. Muda-mudi berlenggak-lenggok di lantai dansa. Di bawah lampu sorot mengikuti irama musik beat yang menggila. Pandangan Chris mengedar ke segala penjuru. Ia langsung bergegas dari bandara ke sini setelah menghubungi Angga. Kabarnya, pria itu berada di sini, namun sampai sekarang Chris belum menemukan petunjuk tentang keberadaan bosnya. Pergerakan Chris di tengah kerumunan orang-orang yang berdansa, menarik perhatian beberapa wanita di sana. Sesekali terdengar mereka mencoba menggoda Chris dengan panggilan-panggilan nakal. “Hai, tampan. Kau sendiri saja?” Seorang wanita mendekati Chris. Dua bingkai lensa di mata Chris ia koreksi saat berhadapan dengan wanita itu. “Kalau kau datang sendiri, aku mau menemani,” ucap wanita itu lagi. Rambut panjangnya sengaja dikibaskan di depan wajah Chris. Aroma bunga menguar setelahnya. Jelas, wanita itu sedang berusaha untuk menarik perh
“Bagaimana bisa Anda membiarkan orang dengan kondisi mental yang terganggu, bepergian sendirian bahkan, mengurus bayi? Apalagi Anda bukan suaminya.” Seorang pria paruh baya dengan seragam kepolisian menginterogasi Mario dengan segerombol pertanyaan. Ia menghela napas panjang, hendak menyela ucapan sang polisi namun pria itu terus berceloteh, tidak memberikan kesempatan bagi Mario untuk menjelaskan. “Anda tahu ‘kan? Apa yang Anda lakukan bisa disebut sebagai bentuk kelalaian dan berpotensi menyakiti orang lain.” “Saya paham, Pak. Itu mengapa saya ada di sini sekarang. Saya akan menebus Nova dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Tolong beri sedikit keringanan untuk Nova. Bagaimanapun dia masih punya tanggung jawab untuk mengurus anaknya yang masih bayi,” ucap Mario panjang lebar. Tidak akan ia sia-siakan kesempatan untuk bicara. Tujuannya saat ini adalah membebaskan Nova dari hukuman paling berat. Mario mengikuti semua prosedur hukum yang berlaku atas pelanggaran yang Nova laku
Kesibukan terlihat padat di pintu kedatangan Bandara Incheon. Seorang pria mengenakan setelan jas lengkap berwarna keabuan menarik beberapa mata di sana. Di balik kacamata hitam yang nangkring di hidung mancung pria itu, ada sepasang mata yang awas mengintai pergerakan seseorang dari arah lain bandara. Seorang wanita, dengan stroller bayi menemaninya duduk di ruang tunggu menuju pintu keberangkatan. Tujuannya bertolak belakang dengan kedatangan pria tadi. Pria itu melirik arlojinya, tiga puluh menit lagi seluruh penumpang jurusan penerbangan domestik lepas landas. Pria itu bergegas mendekati sang wanita. Dengan penampilan, tidak, ketampanannya yang sedikit mencolok dan menarik perhatian, Chris–pria itu–mendekati targetnya. “Selamat pagi, Nyonya.” Wanita berambut panjang, dengan iris mata hazel yang indah itu mendongak. Dahinya berkerut pun dengan kedua matanya yang memicing. Mencoba menilik sosok asing di depannya. “Ya? Anda siapa?” tanyanya. Ada sedikit getaran dalam suaranya.
Secangkir kopi panas di hadapannya sama sekali tidak menarik perhatian Angga. Di sudut salah satu kafe di jalan utama kota Seoul, ia membiarkan segala pikirannya berterbangan bebas terbawa angin. Laptop dengan layar yang masih menyala berakhir sama mengenaskannya dengan secangkir kopi itu. Padahal, deretan daftar pekerjaan yang seharusnya ia selesaikan secepatnya, meraung meminta dikerjakan. Suara di kepala Angga terlalu berisik. Bahkan membuat pria berusia 37 tahun itu kewalahan mengatur jam tidurnya. ‘Sudah waktunya kau mengejar kebahagiaanmu.” Untaian kalimat yang diucapkan Dalton tempo hari kian memperparah kegundahan hati yang selama beberapa hari ini meraung perhatian Angga agar tidak diabaikan. Lagi-lagi, hanya helaan napas berat yang menjadi penghujung keglisahan Angga. “Tidak seharusnya aku terjebak dalam kegalauan ini,” gumamnya, Angga mencoba mengalihkan pikirannya dengan menggeser pesan dengan seseorang yang jauh di belahan dunia sana. Deretan foto putri kecilnya mend
Seminggu setelah Mario memutuskan untuk mencabut perjanjian kerja perusahaan mereka, Angga memilih hengkang dari apartemen pria itu. Ia cukup tahu diri untuk tidak menjadi benalu sahabatnya. Saat ini, Angga tengah berhadapan dengan pria paruh baya. Mario bilang, itu adalah koleganya yang akan memberikan suntikan dana untuk perusahaan cabang milik Angga yang hampir bangkrut. “Aku tertarik dengan konsep perusahaanmu. Hanya saja, Kerugian selama periode dua tahun ini cukup menarik perhatianku. Dan akan lebih berisiko jika aku investasikan uangku di sana. Bagaimana kalau begini saja,” ucap pria itu. Pria bernama Dalton, berusia sekitar lima puluh tahunan menjabat sebagai pemilik perusahan olahan ginseng paling terkenal di Korea.Meski terlihat kecewa dengan Angga, Mario tetap bertanggung jawab atas apa yang sudah ia janjikan. Satu alasan yang membuat Angga semakin tak enak hati padanya. Dalton memajukan tubuhnya, menatap Angga dengan sorot penuh rasa ketertarikan yang begitu besar namun
Nova hendak mendekati Mark, namun langkahnya ditahan oleh Mario yang kini menatapnya dengan sorot menuntut. Sekujur tubuh Nova meremang. Pegangan Mario di lengannya seolah memiliki aliran magnet yang membuat pandangan Nova tidak beralih padanya. “Apa yang kamu lakukan, Mario? Tolong lepaskan aku,” pinta Nova. Ia membalas tatapan Mario tak kalah tegas, kemudian beralih pada kaitan tangan mereka. “Jawab yang sejujurnya, Nova. Apa benar yang dikatakan Mark?” Nada bicara Mario berubah dingin. Nova bisa merasakan pria itu sedang bergelut dengan kekecewaan yang begitu kental di dadanya. Dengan sedikit keras Nova menghempaskan pegangan Mario seraya berkata. “Benar atau tidak, masa laluku adalah urusanku. Baik kamu ataupun Mark tidak berhak mengintervensi hidupku,” balas Nova tegas. Kini jaraknya dengan Mark terkikis. Wajah mantan kekasihnya itu sama tegangnya dengan Mario setelah kalimat ultimatum Nova ucapkan. “Dan untuk kamu, Mark,” ucap Nova dingin. “Bukan hakmu juga mengatur hidupku.