Suasana dapur lebih hidup ketika Nova memimpin sesi masak pagi ini. Wanita berusia dua puluh delapan tahun itu menuangkan sup buntut buatannya ke dalam sebuah mangkuk kaca yang sudah disiapkan oleh asisten pelayan.“Bu kepala, tolong cicipi sup buntutnya. Menurutmu, apa yang kurang dari masakanku?” Nova menyodorkan sesendok kuah sup untuk dicicipi. Sang kepala pelayan menjadi kelinci percobaan Nova untuk menguji tingkat kenikmatan masakan buatannya. Kepala pelayan menyesap kuah dari sendok yang diberikan oleh Nova, kemudian terdiam beberapa saat meresapi rasa dari sup buntut buatan sang nyonya.Ekspresi datar kepala pelayan membuat jantung Kova berdetak tak karuan. Menunggu reaksi dari sang kepala bagaikan menunggu penilaian dari seorang koki profesional. “Semuanya sudah pas. Rasanya, teksturnya, dan porsi buntut sapinya sempurna, nyonya,” jawab kepala pelayan. “Huh, astaga..” Nova menghela napas lega. Ia tak tahu bagaimana jika makanan buatannya tak sesuai ekspektasi, “aku hampir
Nova meninggalkan kamar Angga tanpa sepatah katapun. Bialah kini Angga merendahkan kemampuannya di depan orang lain. Setelah ini, pria sombong dan tak tahu diri itu akan menyesali ucapannya.Angga membiarkan istrinya pergi dengan perasaan terluka. Ia tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan Nova tiap kali mulutnya mulai menyudutkan wanita itu. “Kemarilah, kenapa kau masih di sana?” Kepala pelayan hampir saja menjadi sasaran amukan Angga selanjutnya jika ia tidak segera memenuhi perintah bosnya. Wanita itu menghadap Angga dengan penuh hormat. Kepalanya tertunduk tak berani menatap bosnya.“Aku puas sudah membuat dia merasa bersalah atas apa yang ia lakukan pada adikku. Jika aku tidak menikahinya, dia akan merasa seperti di atas awan. Tidak pernah sadar dengan kesalahan yang sudah membuat satu-satunya keluargaku pergi.” Angga mengungkapkan perasaannya secara gamblang pada wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri itu. Hanya kepada kepala pelayan Angga bisa menjadi diri send
Pemandangan di taman belakang rumah jauh lebih indah dibandingkan menatap wajah tampan Angga di kamar. Nova memilih untuk mengasingkan diri di taman daripada terus bergulat dengan keangkuhan Angga. Dalam keadaan sakit saja, suaminya masih mampu merendahkan Nova di depan orang lain. NoHati Nova bergejolak, menahan marah dan keinginan untuk membalas perlakuan Angga tadi. Tetapi, akal sehatnya masih bekerja dengan baik. Nova tidak akan membalas perbuatan Angga dengan cara yang sama. “Kamu di sini ternyata.” Suara seseorang yang baru saja datang membuat Nova menoleh ke arah suara itu.Aldo menghampirinya yang termangu sendirian. Pria pemilik lesung pipi dalam itu menyodorkan satu pak es krim yang terkenal dengan bentuk ikan. “Aku pernah dengar memakan es krim bisa sedikit merilekskan pikiran. Kebetulan aku baru pergi ke minimarket dan menemukan es krim lucu ini,” ucap Aldo. Pria itu tersenyum begitu manis. Wajahnya yang oriental semakin menambah pesonanya. Untuk sepersekian detik Nova
“Kamu sangat mengenalnya, aku bahkan tidak tahu kalau dia sangat takut pada kecoa. Hahaha.” Tawa Nova terdengar hingga ke lantai dua yang tingginya hampir sepuluh meter dari atas tanah. Dahi Angga mengerut, mulai tertarik dengan perbincangan antara Nova dan Aldo—asistennya. Dua orang itu asyik membicarakan sosok lain yang tak hadir diantara mereka.“Benar, aku selalu tertawa terpingkal-pingkal setiap melihat Angga ketakutan dengan kecoa. Sungguh, itu sangat lucu.” Aldo menimpali. “Sepertinya aku tahu, siapa yang menjadi subjek ejekan mereka,” gumam Angga. Egonya terusik karena mulai memahami pola pembicaraan Nova dan Aldo. “Hey! Kalian berdua, sedang apa kalian di sana?” teriak Angga dari kangai dua. Tawa Nova dan Aldo seketika terhenti. Keduanya kompak menoleh ke kanan dan kiri mencari sumber suara. Namun, Aldo yang menyadari kehadiran Angga lebih dulu lantas bergumam,“Jika setelah ini kamu tidak menemukan aku dalam waktu lama, kamu tahu dimana jasadku ‘kan, Nova?” Nova mengik
Di dalam kamar mandi Nova menumpahkan semua perasaan sakit yang ia rasakan. Dari pagi tadi mentalnya dihancurkan. Ribuan kali Nova berusaha untuk tak menumpahkan emosinya langsung pada Angga. Ia masih punya empati pada orang yang sedang sakit.“Hiks..hiks..” dadanya terasa sesak. Nova harus merasakan sakit berkepanjangan yang tak ada obatnya. Di tengah isak tangisnya yang deras, sesuatu dalam perut Nova bergejolak. Tiba-tiba ia merasakan area dadanya menghangat. Disusul dengan rasa mual yang mendesak. “Uek! Uek!” Nova lantas membalikkan badan. Bersimpuh di depan toilet yang ia gunakan sebagai tempat duduk sebelumnya. “Uek! Uek!” Nova ingin memuntahkan seluruh isi perutnya, namun tak ada sedikitpun yang keluar selain air liur yang terasa pahit di lidah. Sejak pagi Nova terlalu memikirkan kebutuhan Angga. Sampai lupa perutnya belum diisi makanan sama sekali.“Akh! Ini pasti karena aku belum makan. Asam lambungku naik lagi,” gumamnya. Susah payah Nova bangkit. Kepalanya berdenyut ny
Keadaan di rumah ini semakin tak terkendali. Fokus kepala pelayan dan Aldo terpecah saat melihat dua bosnya kalut. Angga dengan sakit di bagian dada kiri, membuat pria itu kembali terbujur lemah di atas ranjang setelah mendapatkan penanganan dari dokter.“Aku tidak menyarankan keinginanmu untuk tetap menyembunyikan penyakit ini. Nyawamu akan terancam jika kamu tetap pada pendirianmu,” ucap dokter pribadi Angga pada lelaki itu. Di tengah kondisinya yang terus melemah, Angga masih bersikeras merahasiakan sakitnya dari siapapun—kecuali Nova. Ya, tanpa Angga kehendaki, Nova telah mengetahui kartu ASnya.Angga nampak berpikir sejenak, wajahnya yang pucat terus memasang raut tegang. “Aku rasa kau masih bisa menanganiku tanpa perlu melibatkan banyak orang,” jawab Angga jujur. Hati dan pikirannya bertolak belakang. Angga tak ingin siapapun menganggapnya lemah. Semua orang tahu, hidup Angga dipenuhi dengan kesempurnaan. Tak boleh ada sedikitpun celah kekurangan. “Aku bisa mengobatimu jika a
Apalagi yang bisa Nova lakukan selain pasrah ketika Angga sudah menjatuhkan keputusan? Nikmatnya menjadi pria itu, bisa memutuskan apapun tanpa sanggahan dari orang lain. Selain itu, memutus komunikasi adalah keterampilan apik yang suaminya miliki. "Semoga nyonya diberikan Tuhan kesabaran yang besar dan keikhlasan yang luas. Aku selalu berharap apapun yang baik untuk kalian berdua, bisa segera diberikan Tuhan," ucap bu kepala. Sebagai salah satu orang yang mengenal Angga sejak kecil, juga saksi perjalanan rumah tangga Angga dan Nova, empatinya tak perlu diragukan lagi. Ia tak memihak, tak juga membenarkan perangai Angga pada istrinya. Namun, sebagai manusia tentu Nova memiliki batas kesabarannya sendiri. Nova hanya membalas ucapan bu kepala dengan senyum tipis seraya berkata, "semoga saja, bu. Doakan aku selalu ya." "Ya sudah, aku kembali ke dapur dulu untuk menyiapkan makan siang tuan Angga." Baru saja Bu kepala membalikkan tubuhnya, hendak melangkah. Niatnya ditahan oleh Nova.
Kata pepatah, tidak ada usaha yang sia-sia. Namun, Seringkali Nova skeptis dengan pepatah itu. Sekian banyak upaya telah ia kerahkan untuk bebas dari rumah tangga kelam ini. Hatinya diselimuti iri tiap kali Nova membuka laman media sosialnya. Postingan teman-teman sebayanya hanyalah tentang kebahagiaan. Karir yang bagus, anak-anak yang menggemaskan, dan pasangan yang sangat mendukung mereka. “Aku juga mempunyai segalanya. Tapi, itu semua hanya berlaku di depan media,” keluh Nova. Saat ini, ia bagaikan wanita lajang yang sedang menikmati masa kesendiriannya. Semua tugasnya sebagai istri hari ini sudah ia selesaikan. Kebutuhan Angga sudah ia penuhi meski pria itu tak pernah tahu bagaimana pengorbanannya.Setiap malam, Nova meyakinkan diri bahwa setelah badai yang menimpanya, akan ada pelangi yang menyambut senyum Nova.Terdengar klise memang, tapi setidaknya Nova tidak perlu mematok ekspektasi tinggi terhadap pria berusia empat puluhan itu.Bosan dengan laman media sosial yang hanya