Brak!!
Suara pintu kamar hotel yang ditutup kencang membuat Nova berjengit kaget. Dari cermin meja rias Nova menyambut kedatangan sosok pria yang masih setia dengan setelan jas lengkap meski acara resepsi sudah berakhir dua jam lalu.
"Mas Angga? Kamu dari mana, mas? Aku sudah menunggu kamu di sini sejak tadi," ucap Nova seulas senyum Nova pamerkan di hadapan suaminya.
Meski Nova tak mencintai sosok yang kini menjadi suaminya, tuntutan orang tua tak bisa dielak. Nova tak memiliki kuasa untuk menolak pernikahan yang tak diinginkan. Nama baik yang ia coreng tak sebanding dengan pengorbanan yang ia lakukan saat ini.
Angga menatap Nova dengan sorot tajam, "Seorang pembunuh sepertimu tidak pantas berpura-pura baik," ujar Angga sarkas sambil berdesis licik. Nova tidak mengerti kemana Angga akan membawa topik pembicaraan ini.
"A-apa maksudmu?" Nova gelagapan. Tubuhnya membeku saat Angga menatapnya dalam, bahkan penuh dendam.
Kekehan Angga sama sekali tidak menjawab kebingungan Nova . Ketukan sepatu pantofel memecah keheningan di kamar hotel yang dihiasi oleh ornamen-ornamen romantis. Namun, apalah arti keindahan itu jika Nova justru dihadapkan dengan sosok penuh misteri.
Angga yang Nova hadapi sekarang sangat berbeda dengan Angga yang ia temui satu bulan lalu. Tidak ada senyuman hangat ataupun sapaan lembut yang sempat membuat Nova terpesona di pertemuan pertama mereka.
"Kamu pikir, setelah kamu berhasil membunuh Andre, kamu bisa hidup bahagia?"
Tubuh Nova mundur selangkah demi selangkah. Seiringan dengan Angga yang mengikis jarak. Napasnya tercekat saat nama Andre keluar dari mulut pria itu. Berbagai pertanyaan mulai bermunculan di kepala, namun sikap Angga terus mendesaknya untuk memberikan sebuah pengakuan yang tak Nova ketahui.
“Bagaimana kamu bisa mengenal Andre? Siapa kamu sebenarnya?” susah payah Nova mengucapkan kalimat itu di tengah-tengah aura intimidasi Angga untuknya. Kilas balik masa lalu mulai bermain di memori ingatan Nova, bagaikan kaset film yang sedang diputar ulang.
Bukannya menjawab, Angga menjulurkan tangannya meraih tangan Nova secara paksa. Nova terkejut dengan sikap kasar Angga yang berani menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang, tidak peduli sekarang Nova telah berstatus sebagai istri sahnya.
"Tolong lepaskan aku, Angga!" Teriakan Nova melolong kencang ketika Angga mengunci kedua tangannya di atas kepala tanpa ampun.
Namun, sekeras apapun Nova memohon pertolongan, pria di atasnya tetap mencekal tubuh Nova dengan kejam. Wajah Angga memerah tanda emosinya siap meluap kapan saja.
"Kamu tidak akan bisa lepas dengan mudah, Nova. Kamu adalah penyebab kematian Adikku, dan sudah seharusnya nyawa dibalas dengan nyawa," desisan kalimat di telinga Nova membuat bulu roma di sekujur tubuhnya meremang.
Sebuah fakta baru saja terungkap dan sukses membuat darah di sekujur tubuh Nova berhenti mengalir. Kulit putih mulus itu memucat disambut dengan seringaian licik Angga yang menakutkan.
Nova tidak pernah menyangka ia akan terjebak dalam dendam yang sedang menyelimuti sosok pria asing ini. Pria yang tiba-tiba ditakdirkan menjadi suaminya lewat perjodohan paksa dari orang tua.
Perpaduan hawa panas yang menjalar dan keringat dingin sebesar biji jagung sudah cukup menyiksa Nova saat ini. Dalam kungkungan tangan kekar pria pemilik rahang tegas itu, Nova mempertahankan dinding pembatas yang sudah ia bangun antara dirinya dengan Angga saat ini.
"Aku bukan pembunuh Andre, tolong percayalah."
"Untuk apa aku percaya pada pembohong berkedok wanita polos sepertimu, hah?! Mulai malam ini, kamu akan membayar semua dosa yang kamu perbuat atas kematian adikku!" ucap Angga tegas. Kedua matanya menyorot tajam bagaikan bilah mata pisau yang baru diasah.
Belum sempat Nova mencerna maksud pria yang telah resmi menjadi suaminya ini–lebih tepatnya suami paksaan–kesabaran Nova diuji oleh jemari kekar Angga yang kembali bergerayang di atas tubuh polos Nova. Jangan tanya kemana jubah mandi yang sebelumnya Nova kenakan. Kekuatan Angga sangat mampu untuk menghempaskan benda itu dalam sekali tarikan dari tubuh Nova.
"Mmpphh!!" Sebelah tangan Angga mengunci mulut Nova hingga tenggorokannya tercekat. Nova meraung di balik bekapan tangan Angga memohon ampun namun berujung sikap abai.
"Diamlah! Semakin kamu memberontak, semakin besar ambisiku untuk menghancurkan masa depanmu!" Mata Nova terpejam erat, telinganya berdengung saat Angga membentaknya.
Hati Nova rasanya pilu. Malam pertama yang seharusnya menjadi penantian setiap pengantin baru adalah malam paling mengenaskan dan meninggalkan luka trauma dalam benaknya.
Kini Angga sudah mengunci semua akses Nova untuk bergerak. Sekuat apapun Nova memberontak, tenaganya kalah jauh dengan sang suami.
Angga menatapnya dengan tatapan penuh dendam. Baru kali ini Nova melihat sorot mata penuh kebencian dari seseorang yang tidak pernah sekalipun Nova kenal sebelumnya.
Tuntutan orang tuanya untuk menjaga nama baik keluarga berujung petaka. Sosok pria yang tiba-tiba datang dengan segala pesona dan kata-kata manisnya kini berubah menjadi serigala buas yang siap menerkam mangsanya di atas ranjang.
Sorot kebencian itu berubah dalam sepersekian detik saat melihat tubuh polos Nova, "aku tidak menyangka kamu memiliki tubuh yang indah. Ternyata aku tidak salah mengambil keputusan."
"Kamu tidak perlu khawatir, aku akan memperlakukanmu dengan sangat baik setelah ini. Tentu hanya di depan banyak orang," bisik Angga di telinga Nova. Hembusan napasnya menderu mengenai leher hingga wanita itu bergidik geli.
Angga telah sepenuhnya menguasai tubuhnya dengan leluasa. Bahkan Angga sangat lihai memainkan perannya sebagai figur suami untuk memenuhi nafkah batin Nova sebagai seorang istri.
Namun, siapa yang menyangka jika pernikahan yang sebelumnya Nova pikir akan membawanya kepada kebahagiaan setelah ditinggalkan oleh mendiang Andre–sang mantan kekasih–setelah kasus pembunuhan itu, justru berujung petaka. Nova terjebak bersama sosok yang tidak akan pernah melepaskan dirinya dalam kebahagiaan.
“Bersiaplah, sayang. Aku akan memberikan kenikmatan yang tidak pernah bisa kamu dapatkan dari lelaki manapun. Anggap saja malam ini adalah malam perkenalan kita. Satu bulan saling menyapa tidak menjamin kamu mengenalku dengan baik, bukan?” Angga menyeringai, senyum miringnya telah mendoktrin Nova bagaimana perangai asli pria itu di balik sikap ramah dan label CEO muda dermawan yang dibanggakan banyak orang.
Angga melepaskan satu per satu kancing kemeja dengan sebelah tangan. Begitu mahir mendominasi suasana dengan kekuasaannya.
“Mpph!! Lephas kan aku!” Nova rasa ia sudah mengeluarkan hampir seluruh tenaga yang ia punya untuk mengucapkan itu, namun, tangan Angga terlalu kuat untuk meredam suaranya.
“Kamu cukup keras kepala rupanya. Tidak masalah, aku tertarik dengan wanita yang suka memberi tantangan. Bersiaplah, kamu akan melahirkan penerusku dengan kualitas terbaik,” ucap Angga lalu merapatkan tubuhnya menindih Nova yang terus memberontak tak terima.
Malam pertama pernikahannya akan menjadi mimpi buruk yang tak pernah Nova bayangkan sebelumnya. Nova bersumpah, ia tak akan melupakan malam yang sudah membuat seluruh dunianya direnggut paksa oleh penderitaan tak berujung.
"Uwek!! Uwek!! Akh! Astaga."Entah sudah berapa kali Nova berusaha mengeluarkan sesuatu yang mengganjal di perutnya. Rasanya tak nyaman tiap kali hidungnya mencium aroma yang mengganggu.Nova memandang dirinya sendiri dari pantulan cermin di depannya. Beberapa titik bagian tubuhnya sudah mengalami perubahan besar sejak mengandung calon anak pertamanya dengan Angga.Usia kandungannya sudah memasuki bulan kesembilan, waktu yang sangat ditunggu-tunggu olehnya sebelum janin berjenis kelamin perempuan itu lahir ke dunia.Dengan langkah
Jika bisa memilih nasib, tentu hidup Nova saat ini bukanlah hidup yang Nova inginkan. Bayangan masa lalu masih seringkali menghantuinya. Entah sampai kapan perasaan takut dan bersalah itu akan mengisi hari-hari Nova, ia sudah pasrah dengan hidup yang harus dijalani."Kamu mau menguji kesabaranku berapa lama lagi?" Suara tinggi Angga menggema di seluruh penjuru kamar. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan dua tangannya bersedekap di depan dada.“Aku sudah selesai,” jawab Nova lantas bangkut dari kursi meja rias yang ia tempati.Dress putih polos dengan pita berukuran besar di bagian pundak Nova membuat penampilan wa
Nova menyeret Angga ke sisi ruang yang lebih sepi dengan langkah hati-hati. Gaun panjangnya ternyata cukup membatasi pergerakannya di tengah orang-orang yang menghadiri pesta.Di belakangnya Angga sama sekali tidak memberontak.“Sejak kapan kamu merencanakan hal gila itu?” Seloroh Nova tanpa basa-basi.“Rencana apa maksudmu?”“Pesta kelahiran anak kita? Kamu bahkan tidak memberitahuku untuk hal itu, Angga.”Nova frustasi. Ia pikir, setelah kelahiran anak mereka nantinya, Angga akan memberikan sedikit r
Nova terperangah saat kaitan tangannya di bisep Angga dienyahkan begitu saja ketika mereka sudah sampai di rumah.“Jangan lupa diri. Aktingmu sudah berakhir,” ujar Angga sinis kemudian melangkah lebih dulu memasuki rumah. Para pelayan menyambut kedatangan mereka dengan dua buah baki berisi selop rumahan untuk bos mereka.“Aku hanya sedang menyeimbangkan langkahku. Memakai dres panjang ini dalam keadaan hamil besar itu menyiksaku,” Nova membalas sembari bernafas lega.Di rumah, Nova tidak perlu khawatir aktingnya akan dikuliti oleh para pelayan karena sebelum mereka dipilih dan memilih untuk mengabdikan diri mereka untuk Angga, s
Nova baru pertama kali merasakan sakit yang begitu menghujam. Mulas menjalar di sekujur tubuhnya hingga ke punggung. Pikiran negatifnya semakin menjadi saat mendengar suara Angga yang naik satu oktaf disusul dengan cairan dingin turun dari area sensitifnya. "Awh, Angga. Awh! Sakit," ucap Nova meringis kesakitan. Sprei yang mengalasi kulitnya dengan tempat tidur menjadi pelampiasan Nova melepas sakit. "Kita ke rumah sakit sekarang!" Angga bergegas melepaskan belenggunya dari Nova. Terdengar panik menyusuri sudut kamar menuju lemari pakaian. Sakit semakin menjadi. Separuh tubuh Nova perlahan melemas seolah nyawanya sudah diujung kepala. Ruangan besar berukuran 5x6 meter itu terasa seperti sebuah gudang dengan kadar oksigen rendah, menyesakkan dada. Setengah kesadaran Nova masih bisa meraba pergerakan Angga yang panik melihat darah semakin mengalir deras dari pahanya. "Bangun perlahan, darahmu semakin banyak." Hampir saja Nova terjengkat kaget mendengar nada bicara Angga yang semak
“Tuan Angga, semua urusan administrasi dan media sudah saha urus.” Angga berdiri mematung di depan pintu ruang UGD dengan raut wajah datarnya yang khas. Aldo—tangan kanan pria itu melangkah gagah mendekat ketika melihat tuannya.“Pastikan tidak ada satu media pun yang tahu masalah ini. Jikapun ada kebocoran informasi, persiapkan jawaban paling masuk akal,” perintah Angga, tak mengindahkan laporan Aldo untuknya.“Baik, tuan.” Angga kembali ke mode diamnya. Aura kekuasaan yang selalu menyelimuti pria itu perlahan terkikis dengan kegelisahan yang mulai bisa diraba oleh sang asisten. Sorot mata Angga sendu, seolah ia sedang mempertaruhkan sebuah hal paling penting dalam hidupnya. Antara hidup dan mati Angga tengah digadaikan demi menebus sebuah ancaman kehilangan.“Tuan, apakah mau aku belikan kopi untuk sedikit penenang?” tanya Aldo ikut gusar. Melalui ekor matanya, Angga mengamati sosok di sampingnya, “jangan bertingkah seolah kamu dekat denganku. Jelaskan padaku hasil kerjamu hari
Nova tidak menyangka kelahiran bayinya akan lebih cepat dari perkiraan dokter. Ditambah lagi dengan cara yang tak pernah ia inginkan sebelumnya. Calon ibu mana yang tidak khawatir jika kelahiran anaknya disambut dengan adegan menegangkan antara hidup dan mati? Sepanjang iringan brankar yang ia tempati menuju ruang UGD, hati Nova terus bergemuruh dibalut kekhawatiran dan berbagai pikiran negatif yang menjajah pikirannya. Masih terasa jelas bagaimana cairan merah itu terus mengalir di antara kedua kakinya. Membuat Nova hampir tak bisa mempertahankan kesadarannya. Rasa sakit di sekujur tubuhnya tak bisa mengalahkan kegelisahan yang membelenggu Nova saat ini. Sayup-sayup pendengarannya masih menangkap suara suster yang terus berusaha membuat Nova dalam keadaan terjaga. Namun, Nova hanya manusia biasa yang bisa kalah dengan keadaan kapanpun. “Angga..” cicitnya lemah. Berharap pria yang turut mendorong tempat tidurnya sedikit peka akan kesakitan yang ia rasakan. Sayang seribu sayang, h
Tidak pernah terpikirkan oleh Nova sebelumnya akan melewati masa-masa kritis sebelum resmi menjadi seorang ibu. Pertarungan antara hidup dan mati seolah digadaikan di ujung nadinya. Bayi mungil berjenis kelamin perempuan dalam gendongannya kini, setidaknya melengkapi hidup Nova yang tidak diselimuti kebahagiaan sejak menikah dengan Angga.“Kamu cantik sekali, sayang,” ucap Nova. Dua jam setelah kelahiran bayi itu, seolah menjadi babak baru hidupnya yang mulai dipenuhi harapan. “Parasmi persis sekali dengan papamu. Ternyata kamu memang mewarisi segala lekuk dan sudut papa. Kalau begitu, mama beri kamu nama…” “Celvasea.” Ucapan Nova tertahan ketika sebuah nama terlontar dari mulut seseorang yang suaranya tak asing terdengar. Angga, masuk ke ruang rawat VIP yang ditempati oleh Nova saat ini. Sikap angkuhnya tak pernah luntur. Meski di hadapan istri dan anaknya kini, pria itu tetap melangkah sambil membusungkan dada. “Aku sudah memutuskan nama depannya. Kamu hanya boleh memberikan sa
Cukup lama Angga dan Mark bersitegang. Tidak ada satupun diantara dua pria itu yang berniat untuk membuka obrolan. Dibatasi oleh stroller yang ditempati Noa. Baik Angga maupun Mark, sama-sama sibuk dengan isi pikirannya sendiri. “Kenapa kau ada di sini? Kau belum menjawab pertanyaanku. “ Mark pada akhirnya mengalah. Nada bicaranya berubah lebih santai. Tidak ada lagi sorot kejam yang menghunus dan menyudutkan Angga. “Seharusnya kamu tahu tanpa perlu bertanya.” Angga melirik ke arah Noa. Mark tahu maksud terselubung atas kode yang diberikan oleh Angga. Mark terkekeh, menertawakan nasib Angga yang mengenaskan. “Kau lebih rela mengalah demi sahabatmu?” ejek Mark. Senyum lebarnya sengaja dipampang di depan Angga karena berhasil memenangkan keadaan. “Bukan urusanmu. Jadi tutuplah mulut.” “Apapun yang menyangkut Nova adalah urusanku,” Mark mendengus. Emosinya terpancing kala sadar Angga tidak terpengaruh sedikitpun dengan ejekannya tadi. “Kalau begitu, kenapa kau masih di sini? Bukan
Reno meraih rahan Anya untuk menatapnya. Sikap Anya yang berbeda membuat Reno mengikuti arah pandang wanita itu.Tidak ada siapapun di sana. Apakah Anya sedang berhalusianasi? Pikir Reno.“Anya, tenanglah. Apa yang terjadi?” tanya Reno penasaran. Kekhawatiran pria itu tidak bisa dibendung lagi. Anya tidak menjawab, melainkan beralih menatap dua manik hitam di hadapannya dengan pandangan kosong. Isi kepalanya terlalu penuh. Bahkan sudah disesaki oleh sekian banyak masalah yang menimpa hidup. Kini, satu-satunya orang yang peduli dengan kondisinya selain Reno di tempat kerja mungkin tidak akan bisa menaruh kepercayaan lagi pada Anya.“Aku baik-baik saja, Ren. Lebih baik kita pergi dari sini,” ajak Anya menarik tangan Reno keluar dari lorong.Anya yakin, Diana sudah melihat semua adegan mesra yang dilakukan oleh Reno untuknya. Rasa bersalah kembali menghantam batin Anya. Bagaimana caranya agar Diana mau mendengarkan ucapannya?Dalam hati, anya terus bertanya-tanya, apakah dirinya salah m
Menyusuri koridor di mana unitnya berada, Lita berjalan dengan langkah gontai. Riasan di wajah sudah tidak beraturan. Meski demikian, kecantikan wanita berusia 29 tahun itu tak kunjung luntur terhanyut oleh air mata yang sebelumnya mengalir dengan deras. Tok tok tok! “Mario, buka pintu!” teriak Lita dari luar unitnya. “Mario!”Tetap tidak ada jawaban. Lita baru menyadari, ia tidak membawa kunci akses unitnya sendiri sebelum pergi tadi. Dengan perasaan kesal Lita mengutuk kebodohannya hari ini. “Selamat malam, Nyonya Lita?” suara petugas yang bertugas di lantai itu menyapa Lita. “Malam.” “Kelihatannya anda sedang kebingungan, ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” Ah, akhirnya bantuan datang tanpa membuat Lita repot harus turun ke meja resepsionis untuk meminta akses baru. “Bisakah anda membantu saya membukakan pintu unit? Saya lupa membawa kuncinya di dalam.” Senyum hangat menghiasi wajah yang mulai menampakkan keriput di bawah mata pria itu, “Dengan senang hati, Nyonya. “Krek.
Angga menurunkan pandangan cukup lama. Bukan kehilangan kepercayaan diri namun, tak kuasa melihat keintiman diantara dua sejoli yang bertemu malam ini. “Untung kamu sama om, Noa,” ucap Angga bermonolog. Bayi di dalam stroller itu menatap Angga lama. Seakan setuju dengan pernyataan omnya. Sedangkan, di seberang meja Angga saat ini. Ada dua sejoli yang sedang melakukan pendekatan satu sama lain. Mario nampak memamerkan senyum terbaiknya di depan Nova. Sedangkan Angga berusaha menahan napas karena pemandangan romantis itu menyakiti hatinya. Ya, Angga cemburu. “Ini untuk aku, Mario?” suara lemah lembut yang khas, menjalar disekitar telinga Angga. Terasa menggelitik hatinya meski pertanyaan itu ditujukan untuk Mario. “Iya, Nova. Ini untuk kamu. Kamu sudah berjuang sejauh ini, kamu wanita hebat.” Angga tidak tidak memiliki masalah dengan pendengaran. Tetapi ia sengaja menutup kedua telinga dengan penyumbat tak kasat mata. Dikala pujian demi pujian dilontarkan Mario untuk Nova, Angga m
Bab 31“Saya hanya berniat mengingatkan saja, tanpa bermaksud untuk ikut campur lebih jauh urusan nona dan tuan. Maafkan saya,” kata Astri merasa bersalah.Sarah berusaha untuk memaklumi kekhawatiran Astri. Tapi untuk seseorang yang cukup peka, Sarah tidak menelan mentah-mentah ucapan Astri tadi. Instingnya mengatakan Astri tahu hal lain yang disembunyikan oleh semua orang. Dan Astri penasaran akan hal itu.“Tidak masalah, aku senang kamu mengkhawatirkanku. Artinya kamu peduli padaku,” balas Sarah. Ia menampilkan senyumnya yang terpantul dari cermin di hadapannya. Dari sana terlihat Astri yang juga membalas senyuman Sarah.“Saya sangat peduli dengan nona. Dari sekian banyak wanita yang menjadi selir tuan, cuma nona Sarah yang sangat rendah hati.” Astri mengakui. Sambil menata rambut Sarah, sang asisten dengan cekatan memberikan polesan-polesan riasan tipis di wajah Sarah. Setengah jam sudah berlalu, namun dua wanita itu masih sibuk dengan segala tetek bengek bersolek. Brak!!Sarah da
“Bagaimana menurutmu, mana hadiah yang cocok untuk wanita pujaanku?” tanya Mario pada Angga. Sahabatnya itu tersenyum lebar tanpa beban. Menyeret Angga ke dalam sebuah toko perhiasan ternama.Angga belum sepenuhnya mengerti maksud Mario, hanya mengernyitkan dahi. “Untuk siapa?” Mario menghembuskan napas lelah. “Jadi, sejak tadi aku mengoceh di jalan, kau tidak mendengarkan aku?” keluh Mario kecewa. Wajahnya berubah masam. “Um, itu–” “Sudahlah, aku tahu apa yang mau kamu ucapkan. Sekarang bantu aku.memilih perhiasan yang cocok untuk Nova.” Deg! Berat rasanya menelan ludah saat mendengar nama Nova terlontar dari mulut Mario. Tatapan Mario yang dalam menyiratkan cinta yang besar untuk wanita yang justru masih berstatus sebagai istri Angga.Andai Mario tahu kebenarannya, apakah pria itu masih bisa bersikap hangat pada Angga dan menganggapnya sebagai sahabat?Belum tentu. Sebuah kenyataan pahit yang harus siap Angga telan mentah-mentah. “Diantara dua kalung ini, menurutmu, mana yang
Duduk diantara banyak pepohonan rimbun demi kenyamanan bayi mungil yang terlelap dalam stroller. Dua orang yang sempat terlibat perang dingin memilih taman di belakang swalayan untuk sekedar menghalau ego yang menggebu. Atas saran Nova, Mark dan Angga diasingkan ke tempat ini. Supaya kalian tahu, bagaimana seharusnya menjadi pria dewasa. Itu pesan Nova saat menengahi perseteruan diantara dua pria yang menggilainya. Sedangkan wanita itu, memilih untuk menyendiri di bagian lain swalayan. Mark berinisiatif mengambil alih penjagaan atas Noa dari Nova setelah melakukan bujuk rayu yang kesekian hingga akhirnya Nova luluh juga. Itu Mark lakukan demi kenyamanan kekasihnya. “Setelah kau melakukan itu pada Nova, kau masih punya nyali untuk menemuinya?” Mark membuka obrolan di tengah keheningan sebelumnya mencabik batin dua pria itu. “Tahu apa kau tentang aku?” “Banyak hal. Banyak yang Nova bagikan padaku, termasuk tentang dirimu yang sudah melukai hatinya. Aku tidak habis pikir, apa kuran
“Nova, kamu kenapa menghindar dariku?” Tubuh Nova berbalik secara paksa ketika sebuah tangan mencegat pergelangannya. Nova tahu siapa pembuat onar di tengah keramaian swalayan yang sedang ia sambangi. Membelakangi stroller putranya, Nova memandang malas Mark yang kini berdiri menjulang di hadapannya. Manik keoranyean, menyorot tajam. Pandangan Mark turun ke arah dua tas belanjaan yang tersampir di kanan dan kiri stroller milik Noa. “Kenapa?” tanya Nova sinis. Awalnya, ia tidak ingin membuka topik pembicaraan dengan pertanyaan singkat itu. Tetapi, gerah semakin menjadi. Bahkan hanya ditatap Mark beberapa saat saja berhasil membuat sesuatu di dada Nova bergejolak. Tentu, gejolak aneh itu nova yakini sebagai bentuk tidak nyaman semata. Bukan karena perasaan nyaman atau cinta sekalipun.Terlalu lelah untuk bicara tentang cinta saat ini. Keberadaan Noa adalah yang paling utama baginya melebihi apapun. Mark memamerkan ekspresi bersalah, dan Nova tahu itu hanya sebuah upaya untuk memani
Tin! Tin!Suara klakson mobil membuyarkan obrolan pagi diantara Ameera dengan asisten rumah tangganya. Keduanya mengerutkan kening bingung. Siapa gerangan yang pagi-pagi sekali sudah bertamu? “Sepertinya ada tamu, non. Bibi ke depan dulu, ya,” kata bibi seraya menaruh kembali sebuah piring di meja makan. Ameera mengangguk, membiarkan wanita itu menyambut kehadiran sosok tak diundang itu kemudian melanjutkan makannya. Seperti biasa, Ameera bertugas jaga pagi hari ini. Deretan jadwal konsultasi bagi pasiennya sudah menunggu untuk di rampungkan hingga nanti sore. Setelah menyelesaikan makannya, terdengar suara langkah kaki menghampiri Ameera yang sedang meneguk air putih.“Non, mas itu datang lagi,” kata bibi. Raut wajahnya khawatir ketika mencium bau-bau perang dingin yang akan terjadi diantara majikannya dengan pria yang ia maksud. “Mas siapa, bi?” Ameera kebingungan. Pasalnya ia tidak memiliki bayangan sedikitpun. Hari masih terlalu pagi untuk mencerna sebuah teka-teki.“Pria yang