“Bu Nova? Ibu sedang apa di sini?”Nova langsung mengangkat kepalanya ketika sebuah suara memanggil namanya. Tubuh Nova bergetar hebat, kedua matanya menatap nanar ke arah pria yang memergokinya tengah menggeledah isi ruang kerja Angga. “Bu Nova? Apa kamu baik-baik saja?” Chris mendekat. Pandangannya menelisik ke arah Nova dan bagi Nova pandangan Chris padanya saat ini terkesan mengulitinya. Nova menyadari. Ia belum membereskan semua kekacauan yang telah ia buat. Tumpukkan uang masih berserakan. Begitu juga emas-emas batangan yang tergeletak di lantai.“Stop! Kumohon diam di situ, Chris,” perintah Nova. Langkah kaki Chris langsung terhenti di pijakan terakhir. Kedua tangan pria itu diangkat ke udara, takut-takut jika Nova menyelundupkan benda tajam atau sejenisnya. “Baiklah, aku akan berhenti di sini. Tapi kumohon jawab pertanyaanku, bu,” ucap Chris meminta Nova untuk berkata jujur. Gelagat Nova menimbulkan kecurigaan dalam benak Chris. Ruang kerja Angga adalah area privat yang tak
“Aku akan mengirimkan detail laporan yang kau minta besok pagi, pak. Kalau begitu, aku permisi dulu. Selamat beristirahat.” “Ya, hati-hati di jalan. Sampai bertemu besok.” Angga membalikkan tubuhnya setelah mobil yang dikendarai oleh Chris melaju meninggalkan pelataran rumahnya. Sekilas Angga melirik jam tangan di pergelangan tangannya. Langit malam nampak lebih gelap dari biasanya. Padahal jam baru menunjukkan pukul delapan malam. “Sayang?” Angga membuka pintu kamar dengan penuh semangat. Namun, pemandangan pertama yang ia lihat hanyalah sebuah ruangan kosong tak berpenghuni. Beberapa helai pakaian Nova dibiarkan begitu saja tergeletak di atas ranjang namun ia tak menemukan sedikitpun jejak Nova di sana. Angga menyusuri area kamar mandi. Kosong. Semua perlengkapan mandi masih tertata dengan sangat rapi seperti sebelumnya. “Nova? Nova kamu dimana, sayang?” teriakan Angga memenuhi seisi ruangan. Panggilan untuk sang istri justru mengundang rasa penasaran dari beberapa ajudan dan
Suasana rumah sakit semakin tegang kala lampu tanda darurat di atas pintu ruang IGD berubah hijau. Seorang dokter dalam balutan baju operasi keluar dengan wajah lelah.Empat jam penantian Chris di depan ruang IGD berakhir sudah. Ia menghampiri dokter itu sambil melontarkan banyak pertanyaan sekaligus. "Bagaimana keadaan bos saya, dok? Dia baik-baik saja 'kan? Apa aku bisa menjenguknya sekarang?" cerocos Chris tanpa henti. Kekhawatirannya tak terbendung lagi. Saat mendapatkan kabar mengejutkan itu, Chris langsung bergegas menuju rumah sakit. Tak menyangka penderitaan bosnya semakin menjadi. Dokter menghela napas berat. Terlihat jelas beban yang sedang ia tanggung begitu berat saat tuntutan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan Chris barusan. "Dok, bagaimana kondisi bos saya?" Chris bertanya lagi. "Kondisi Pak Angga saat ini masih kritis, pak. Beliau mengalami koma karena benturan keras di kepalanya. Kami akan terus memantau kondisi beliau dan melakukan perawatan intensif. Mohon
Berbekal uang tabungan yang sudah Nova tarik tunai, wanita itu memutuskan untuk meninggalkan ibu kota dengan segenap rasa sakit yang ditinggalkan dalam setiap jejak langkahnya.Perjalanan kurang lebih delapan jam telah ia tempuh untuk mengasingkan diri dari rasa sakit setelah menemukan sebuah kenyataan yang tak pernah Nova bayangkan sebelumnya.Ia memasuki sebuah rumah sederhana di tengah kota yang terkenal dengan segala hiruk pikuk entertainnya, Nova mati-matian menyangkal semua perasaan yang berkecamuk dalam dada.“If you need our help, please don’t mind to call us to this number,” ucap seorang wanita paruh baya dengan aksen bahasa inggrisnya yang terbata. Nova mengulas senyum, menerima secarik kartu nama dengan tulisan berbahasa inggri dan Hangul di atasnya.Setelah menjelaskan semua detail tentang rumah yang akan Nova tempati, wanita bernama Park Yoon Jin itu pamit undur diri dari hadapan Nova.“Huhft, aku tidak menyangka akan mengambil keputusan gila seperti ini,” ucap Nova bermo
“Kami sudah mencoba mencari hampir ke seluruh perusahaan maskapai penerbangan, tapi mereka tidak menemukan satupun nama Nyonya Nova di sana.”Gemeretak gigi tanda emosi terdengar di telinga dua ajudan yang ditugaskan oleh Chris. Suasana di ruang inap Angga berubah tegang saat kabar tak sedap itu terdengar.“Cari dengan lebih teliti. Jangan hanya mencarinya di daftar penumpang pesawat. Alat transportasi tidak itu!” Entah bagaimana lagi Chris harus menahan emosinya. Enam bulan sudah pencarian Chris dan anggota ajudan di bawah naungannya saat ini menggurita hanya untuk mencari sosok wanita yang telah lama hilang. Di tengah-tengah mereka, Angga terkulai tak berdaya seolah tak peduli dengan perdebatkan yang sedang melibatkan tiga orang bawahannya.“Kami sudah mengerahkan tim untuk mencari hingga ke pelosok, pak. Tapi belum menunjukkan hasil juga. Sepertinya Nyonya Nova tidak hanya pergi sendiri. Ada orang yang membantunya pergi dari rumah,” ucap salah satu ajudan. Dugaan itu langsung meng
*Percakapan sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia*Suasana kafe semakin ramai di jam makan siang. Beberapa orang pelajar masuk ke dalam area kafe sambil menghela napas lelah. Sementara di balik meja kasir, Nova menyapa anak-anak itu dengan senyum paling ramah.“Selamat datang di kafe kami,” katanya dengan suara lantang namun terdengar ramah dan bersahaja. Enam bulan sudah Nova bergulat dengan pekerjaan di balik meja kasir. Menyambut tamu-tamu yang datang dan melayani pembayaran mereka tanpa kesalahan sekecil apapun. “Terima kasih, sampai bertemu lagi,” katanya sambil menyerahkan beberapa lembar uang kembalian pelanggan yang membayar tagihan mereka. Hari ini rasanya jauh lebih melelahkan, pelanggan yang datang ke kafe tempat Nova bekerja silih berganti dalam hitungan jam. “Kak Nova, lebih baik kamu istirahat dulu, aku khawatir kamu kelelahan karena terus berdiri selama berjam-jam,” ucap rekan kerja Nova. Seorang wanita berusia dua puluh tahun berparas cantik khas wanita korea pa
Sosok pria yang baru saja datang, bersama dengan pertanyaan yang terdengar khawatir itu membuat Nova menoleh. Sosok pria tampan dengan tubuh tinggi tegap kini menetap Nova lekat. Pria berwajah tegas namun terlihat manis dengan lesung pipi di kanan dan kiri, belum lagi mata sipitnya yang menyorot sendu, seharusnya mampu membuat Nova teralihkan dari sakitnya masa lalu. Pria itu menyentuh lengan Nova, sensasi hangat lantas menjalar di sepanjang lengan Nova ketika kulit mereka bersentuhan.“Ya, aku baik-baik saja. Kamu sudah sampai ternyata,” ucap Nova terbata. “Kamu mau minum apa?”“Apapun yang menurutmu enak. Tapi tunggu,” jawab pria itu. Namun, sedetik kemudian tangannya kembali menghalau niat Nova yang hendak membuatkannya minuman. “Kamu benar baik-baik saja?” Ini sudah kedua kali Mark, pria berdarah Korea-Amerika itu melayangkan pertanyaan yang sama pada Nova. Nova membalasnya dengan senyuman tipis, lalu mengangguk. “Aku baik-baik saja. Lebih baik kamu duduk dulu. Pasti kamu lel
“Nova..” Chris menggelengkan kepalanya mengumpulkan secercah nyawa yang sempat menguap saat tidur tadi. Kepalanya diangkat bersamaan dengan mata sipitnya yang memicing tajam.Rasa-rasanya barusan Chris mendengar gumaman yang menyebutkan satu nama yang tak asing di telinga. Ia terpaksa memfokuskan pikirannya pada sosok yang masih terbaring di atas ranjang, tempat dimana tadi ia menyandarkan kepalanya sejenak demi melepas kantuk yang mendera. Namun, apa yang Chris dengar barusan bukan hanya sembarang ilusi. Kedua matanya membelalak ketika melihat pergerakan jemari Agga yang terkulai tak jauh dari tempat Chris bersandar tadi. Bagaikan sebuah keajaiban, Chris hampir tak bisa memberikan reaksi apapun. Bibirnya bergetar ketika niatnya memanggil petugas medis jadi tersendat.Dengan gerakan terbata, ia bangkit dari kursi. Lantas menekan tombol pemanggil tim medis tepat di atas ranjang Angga. “Nova..” Angga bergumam. Kali ini Chris semakin yakin pendengarannya tak salah. Jelas-jelas ia mel
Lampu remang-remang di dalam klub malam di tengah kota Seoul ini membatasi pandangan Chris yang masuk ke dalamnya. Muda-mudi berlenggak-lenggok di lantai dansa. Di bawah lampu sorot mengikuti irama musik beat yang menggila. Pandangan Chris mengedar ke segala penjuru. Ia langsung bergegas dari bandara ke sini setelah menghubungi Angga. Kabarnya, pria itu berada di sini, namun sampai sekarang Chris belum menemukan petunjuk tentang keberadaan bosnya. Pergerakan Chris di tengah kerumunan orang-orang yang berdansa, menarik perhatian beberapa wanita di sana. Sesekali terdengar mereka mencoba menggoda Chris dengan panggilan-panggilan nakal. “Hai, tampan. Kau sendiri saja?” Seorang wanita mendekati Chris. Dua bingkai lensa di mata Chris ia koreksi saat berhadapan dengan wanita itu. “Kalau kau datang sendiri, aku mau menemani,” ucap wanita itu lagi. Rambut panjangnya sengaja dikibaskan di depan wajah Chris. Aroma bunga menguar setelahnya. Jelas, wanita itu sedang berusaha untuk menarik perh
“Bagaimana bisa Anda membiarkan orang dengan kondisi mental yang terganggu, bepergian sendirian bahkan, mengurus bayi? Apalagi Anda bukan suaminya.” Seorang pria paruh baya dengan seragam kepolisian menginterogasi Mario dengan segerombol pertanyaan. Ia menghela napas panjang, hendak menyela ucapan sang polisi namun pria itu terus berceloteh, tidak memberikan kesempatan bagi Mario untuk menjelaskan. “Anda tahu ‘kan? Apa yang Anda lakukan bisa disebut sebagai bentuk kelalaian dan berpotensi menyakiti orang lain.” “Saya paham, Pak. Itu mengapa saya ada di sini sekarang. Saya akan menebus Nova dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Tolong beri sedikit keringanan untuk Nova. Bagaimanapun dia masih punya tanggung jawab untuk mengurus anaknya yang masih bayi,” ucap Mario panjang lebar. Tidak akan ia sia-siakan kesempatan untuk bicara. Tujuannya saat ini adalah membebaskan Nova dari hukuman paling berat. Mario mengikuti semua prosedur hukum yang berlaku atas pelanggaran yang Nova laku
Kesibukan terlihat padat di pintu kedatangan Bandara Incheon. Seorang pria mengenakan setelan jas lengkap berwarna keabuan menarik beberapa mata di sana. Di balik kacamata hitam yang nangkring di hidung mancung pria itu, ada sepasang mata yang awas mengintai pergerakan seseorang dari arah lain bandara. Seorang wanita, dengan stroller bayi menemaninya duduk di ruang tunggu menuju pintu keberangkatan. Tujuannya bertolak belakang dengan kedatangan pria tadi. Pria itu melirik arlojinya, tiga puluh menit lagi seluruh penumpang jurusan penerbangan domestik lepas landas. Pria itu bergegas mendekati sang wanita. Dengan penampilan, tidak, ketampanannya yang sedikit mencolok dan menarik perhatian, Chris–pria itu–mendekati targetnya. “Selamat pagi, Nyonya.” Wanita berambut panjang, dengan iris mata hazel yang indah itu mendongak. Dahinya berkerut pun dengan kedua matanya yang memicing. Mencoba menilik sosok asing di depannya. “Ya? Anda siapa?” tanyanya. Ada sedikit getaran dalam suaranya.
Secangkir kopi panas di hadapannya sama sekali tidak menarik perhatian Angga. Di sudut salah satu kafe di jalan utama kota Seoul, ia membiarkan segala pikirannya berterbangan bebas terbawa angin. Laptop dengan layar yang masih menyala berakhir sama mengenaskannya dengan secangkir kopi itu. Padahal, deretan daftar pekerjaan yang seharusnya ia selesaikan secepatnya, meraung meminta dikerjakan. Suara di kepala Angga terlalu berisik. Bahkan membuat pria berusia 37 tahun itu kewalahan mengatur jam tidurnya. ‘Sudah waktunya kau mengejar kebahagiaanmu.” Untaian kalimat yang diucapkan Dalton tempo hari kian memperparah kegundahan hati yang selama beberapa hari ini meraung perhatian Angga agar tidak diabaikan. Lagi-lagi, hanya helaan napas berat yang menjadi penghujung keglisahan Angga. “Tidak seharusnya aku terjebak dalam kegalauan ini,” gumamnya, Angga mencoba mengalihkan pikirannya dengan menggeser pesan dengan seseorang yang jauh di belahan dunia sana. Deretan foto putri kecilnya mend
Seminggu setelah Mario memutuskan untuk mencabut perjanjian kerja perusahaan mereka, Angga memilih hengkang dari apartemen pria itu. Ia cukup tahu diri untuk tidak menjadi benalu sahabatnya. Saat ini, Angga tengah berhadapan dengan pria paruh baya. Mario bilang, itu adalah koleganya yang akan memberikan suntikan dana untuk perusahaan cabang milik Angga yang hampir bangkrut. “Aku tertarik dengan konsep perusahaanmu. Hanya saja, Kerugian selama periode dua tahun ini cukup menarik perhatianku. Dan akan lebih berisiko jika aku investasikan uangku di sana. Bagaimana kalau begini saja,” ucap pria itu. Pria bernama Dalton, berusia sekitar lima puluh tahunan menjabat sebagai pemilik perusahan olahan ginseng paling terkenal di Korea.Meski terlihat kecewa dengan Angga, Mario tetap bertanggung jawab atas apa yang sudah ia janjikan. Satu alasan yang membuat Angga semakin tak enak hati padanya. Dalton memajukan tubuhnya, menatap Angga dengan sorot penuh rasa ketertarikan yang begitu besar namun
Nova hendak mendekati Mark, namun langkahnya ditahan oleh Mario yang kini menatapnya dengan sorot menuntut. Sekujur tubuh Nova meremang. Pegangan Mario di lengannya seolah memiliki aliran magnet yang membuat pandangan Nova tidak beralih padanya. “Apa yang kamu lakukan, Mario? Tolong lepaskan aku,” pinta Nova. Ia membalas tatapan Mario tak kalah tegas, kemudian beralih pada kaitan tangan mereka. “Jawab yang sejujurnya, Nova. Apa benar yang dikatakan Mark?” Nada bicara Mario berubah dingin. Nova bisa merasakan pria itu sedang bergelut dengan kekecewaan yang begitu kental di dadanya. Dengan sedikit keras Nova menghempaskan pegangan Mario seraya berkata. “Benar atau tidak, masa laluku adalah urusanku. Baik kamu ataupun Mark tidak berhak mengintervensi hidupku,” balas Nova tegas. Kini jaraknya dengan Mark terkikis. Wajah mantan kekasihnya itu sama tegangnya dengan Mario setelah kalimat ultimatum Nova ucapkan. “Dan untuk kamu, Mark,” ucap Nova dingin. “Bukan hakmu juga mengatur hidupku.
Cukup lama Angga dan Mark bersitegang. Tidak ada satupun diantara dua pria itu yang berniat untuk membuka obrolan. Dibatasi oleh stroller yang ditempati Noa. Baik Angga maupun Mark, sama-sama sibuk dengan isi pikirannya sendiri. “Kenapa kau ada di sini? Kau belum menjawab pertanyaanku. “ Mark pada akhirnya mengalah. Nada bicaranya berubah lebih santai. Tidak ada lagi sorot kejam yang menghunus dan menyudutkan Angga. “Seharusnya kamu tahu tanpa perlu bertanya.” Angga melirik ke arah Noa. Mark tahu maksud terselubung atas kode yang diberikan oleh Angga. Mark terkekeh, menertawakan nasib Angga yang mengenaskan. “Kau lebih rela mengalah demi sahabatmu?” ejek Mark. Senyum lebarnya sengaja dipampang di depan Angga karena berhasil memenangkan keadaan. “Bukan urusanmu. Jadi tutuplah mulut.” “Apapun yang menyangkut Nova adalah urusanku,” Mark mendengus. Emosinya terpancing kala sadar Angga tidak terpengaruh sedikitpun dengan ejekannya tadi. “Kalau begitu, kenapa kau masih di sini? Bukan
Reno meraih rahan Anya untuk menatapnya. Sikap Anya yang berbeda membuat Reno mengikuti arah pandang wanita itu.Tidak ada siapapun di sana. Apakah Anya sedang berhalusianasi? Pikir Reno.“Anya, tenanglah. Apa yang terjadi?” tanya Reno penasaran. Kekhawatiran pria itu tidak bisa dibendung lagi. Anya tidak menjawab, melainkan beralih menatap dua manik hitam di hadapannya dengan pandangan kosong. Isi kepalanya terlalu penuh. Bahkan sudah disesaki oleh sekian banyak masalah yang menimpa hidup. Kini, satu-satunya orang yang peduli dengan kondisinya selain Reno di tempat kerja mungkin tidak akan bisa menaruh kepercayaan lagi pada Anya.“Aku baik-baik saja, Ren. Lebih baik kita pergi dari sini,” ajak Anya menarik tangan Reno keluar dari lorong.Anya yakin, Diana sudah melihat semua adegan mesra yang dilakukan oleh Reno untuknya. Rasa bersalah kembali menghantam batin Anya. Bagaimana caranya agar Diana mau mendengarkan ucapannya?Dalam hati, anya terus bertanya-tanya, apakah dirinya salah m
Menyusuri koridor di mana unitnya berada, Lita berjalan dengan langkah gontai. Riasan di wajah sudah tidak beraturan. Meski demikian, kecantikan wanita berusia 29 tahun itu tak kunjung luntur terhanyut oleh air mata yang sebelumnya mengalir dengan deras. Tok tok tok! “Mario, buka pintu!” teriak Lita dari luar unitnya. “Mario!”Tetap tidak ada jawaban. Lita baru menyadari, ia tidak membawa kunci akses unitnya sendiri sebelum pergi tadi. Dengan perasaan kesal Lita mengutuk kebodohannya hari ini. “Selamat malam, Nyonya Lita?” suara petugas yang bertugas di lantai itu menyapa Lita. “Malam.” “Kelihatannya anda sedang kebingungan, ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” Ah, akhirnya bantuan datang tanpa membuat Lita repot harus turun ke meja resepsionis untuk meminta akses baru. “Bisakah anda membantu saya membukakan pintu unit? Saya lupa membawa kuncinya di dalam.” Senyum hangat menghiasi wajah yang mulai menampakkan keriput di bawah mata pria itu, “Dengan senang hati, Nyonya. “Krek.