"Lepaskan aku! Aku harus mencari istriku sekarang!" Sudah setengah jam Angga bergumul dengan emosinya. Dua orang perawat bahu membahu menyanggah setiap pergerakannya yang masih terhubung oleh selang infus dan alat medis vital lainnya."Tolong tenang dulu, pak. Bapak masih dalam masa pemulihan. Lebih baik bapak istirahat dulu. Nanti akan kami bantu untuk mencari istri bapak," ucap salah seorang perawat pria yang memegangi tubuh Angga. Di sampingnya, Chris turut memegangi kaki Angga yang masih terbalut perban dan gip penyangga kaki. Meski kondisi fisik Angga tak mumpuni untuk melakukan pemberontakan, di luar dugaan pria itu bertindak layaknya ada sebuah suntikan tenaga yang membuat Angga bertingkah di luar keadaannya sekarang. "Pak Angga, kumohon. Untuk sekarang, dengarkan ucapanku." Chris berusaha mengambil alih perhatian Angga. Dalam hitungan detik pria itu bungkam, tatapannya terpaku dengan Chris yang kini memampangkan wajahnya di hadapan Angga. Chris memastikan Angga telah benar
"Enggh.." Lenguhan Kania tak membuat niat Bryan untuk menjamah tubuh sang istri reda. Bukannya menjeda aktivitasnya demi kenyamanan Kania, Bryan justru semakin gencar menyentuh setiap inchi tubuh Kania dengan brutal. Tak rela jejaknya tertinggal denga penuh kesia-siaan."Enggh.. apa yang kamu lakukan?" tanua Kania di tengah kesadarannya yang tipis. "Lanjutkan tidurmu, ini hanya sebuah permainan pembuka saja. Tidak lebih," bisik Bryan tepat di telinga Kania.Posisi Kania yang memunggungi Bryan semakin mendukung pergerakan tangan Bryan yang mulai turun ke bagian dada istrinya.Kania sendiri, sudah lelah dengan segala pergulatan batin dan kondisi fisiknya yang tak mendukung untuk mencari tahu lebih lanjut apa yang sedang terjadi padanya. Lenguhan demi lenguhan terlontar dari mulut Kania dengan bebasnya. Namun matanya terlalu berat untuk terbuka. Kania memilih untuk mengabaikan pergerakan di atas tubuhnya. Kembali ke alam mimpi yang membawanya pada bayangan masa kecil. Cup!Cup!Dua
"Makanlah, kau sudah seharian berkutat dengan dokumen. Jangan sampai lupa memberikan tubuh dan bayi kita nutrisi yang cukup."Semangkuk miyeok guk tersaji di atas meja kerja Nova. Wanita itu, meski dalam keadaan hamil besar dan tinggal menghitung bulan menuju persalinan, tetap aktif beraktivitas. Ia mengangkat kepalanya, menatap Mark yang sudah mengisi kursi kosong di depannya. Pria itu tersenyum manis. Penampilannya hari ini seketika membuat Nova terperangah. Mark mengenakan kemeja lengan panjang yang bagian tangannya dilipat hingga ke siku. Celana chino warna mustard seakan mendukung kombinasi yang ciamik pada penampilan pria berusia dua puluh delapan tahun itu.Ya, usia Mark hanya selisih satu tahun lebih muda dari Nova. Itu kenapa Nova kerap kali merasa nyaman ketika membahas berbagai topik dengan pria pemilikata sipit ini. Mark adalah pria yang sangat ramah, ia juga tak pernah kehabisan topik pembicaraan tiap kali dilibatkan ke dalam sebuah percakapan. Tidak seperti Angga, gen
Suasana berubah canggung, begitu pula dengan nafsu makan Nova yang semakin memudar. Wanita itu, mengulurkan tangannya ke depan ketika Mark.menyuapkan satu sendok sup rumput laut lagi padanya."Sudah, Mark. Aku sudah kenyang sekali," katanya menolak halus bujukan Mark. "Kamu yakin sudah kenyang? Kamu baru makan dua suap lho." "Iya, semakin kandunganku bertambah usia, porsi makanku jadi lebih sedikit. Aku lebih memperhatikan nutrisi dari buah yang setiap pagi kumakan. Kamu tidak perlu khawatir, aku selalu memastikan gizi untuk bayiku." Alasan Nova cukup masuk akal sehingga Mark tidak bisa menyanggah, ia pasrah. Meletakkan kembali sendoknya dan menyingkirkan alat makan lainnya ke sisi lain. Tangan Nova tergeletak di atas meja, namun kini berpindah ke dalam genggaman Mark yang terasa hangat. Pria itu menatapnya dalam, seolah ini adalah kali terakhir ia bisa menatap Nova sepuasnya. "Kamu kenapa, Mark? Apa ada yang salah dengan wajahku? Penampilanku?" Wanita mana yang tidak salah tin
Pemandangan di depan mata tak bisa membuat Angga beralih dari segala bayangan tentang sosok yang saat ini menyebabkan kerinduan yang begitu mendalam.Jika saat tersadar dari koma ia tahu kalau pada akhirnya, Nova akan tetap meninggalkannya, Angga akan memilih mati saja.Untuk pertama kalinya, ditinggalkan Nova mengukir trauma mendalam dalam benak Angga. Ia terlalu menikmati kesendiriannya hingga tak menyadari seseorang telah mengisi posisi kursi kosong di samping Angga. "Kelihatannya kau sedang bergulat dengan pikiran yang menumpuk. Tidakkah kau berniat untuk membaginya padaku, pak?" Suara Chris membuat Angga menoleh. Ia menatap sang asisten yang duduk di sampingnya sambil menjilat es krim di tangan. "Kau sengaja makan es krim di depanku, ya?" ujar Angga sinis. Bisa-bisanya Chris menikmati manisnya es krim di saat Angga bahkan tak bisa menikmati makanan atau cemilannya sekalipun. Chris nyengir kuda. Ia melebarkan senyumnya tanpa rasa bersalah seraya berkata, "aku tidak ingin memb
Chris mengukuti langkah kaki bosnya ke sana kemari sambil mulutnya terus mencerocosi pria itu untuk menghentikan aksi gilanya. Setelah obrolan di taman tadi, tiba-tiba Angga memutuskan sebuah hal gila yang tak pernah terbayangkan oleh Chris sekalipun. "Pak, kondisimu masih lemah. Kau masih butuh waktu untuk pemulihan, jangan mengambil keputusan gila seperti ini, kumohon. Pikirkan kondisimu," pinta Chris. Ia bergidik ngeri saat melihat Angga menarik selang infus yang masih menempel di punggung tangannya dengan kasar. Langkah kaki terburu-buru mengantar Angga pada tindakan yang gegabah. "Aku tidak bisa diam saja ketika istriku menghilang entah kemana, Chris. Seharusnya kau mendukung keputusanku," katanya sambil masih sibuk dengan aktivitas mengganti baju rumah sakit dengan kaus polo dan celana jeans. Kaki Angga belum sepenuhnya pulih, itulah kenapa sepanjang langkahnya Chris tak tega melihat bosnya tertatih. Belum lagi sebelah tangannya yang baru terlepas dari kungkungan gip seming
Sesampainya di rumah, Angga bergegas menuju ruang kerjanya. Tak ada waktu lagi untuk menjelajah setiap sudut rumah dengan. membawa harapan sang istri pulang dan menyambutnya dengan penuh cinta. Brak!Brak!Semua yang ada di hadapan Angga dienyahkan tanpa pandang bulu. Benda-benda berjatuhan ke lantai menimbulkan riuh kegaduhan yang mengundang perhatian para penghuni rumah ini. Langkah cepatnya membawa Angga ke hadapan sebuab brankas berukuran besar. Kotak baja itu terlihat gagah diantara rak buku-buku filsafat dan bisnis koleksi Angga. Angga bersimpuh dengan segala upaya yang ia kerahkan. Kondisi kakinya belum sepenuhnya pulih hingga Angga harus menahan nyeri sekaligus ruang gerak yang terbatas. Jemari Angga menari lincah di atas tombol-tombol brankas. Memasukkan pin yang tak pernah lepas dari ingatannya. Ceklek. Brankas terbuka disusul suara bip tanda kunci ganda telah dimatikan. Tak ada yang aneh dengan pemandangan di depannya. Tumpukkan uang dan emas batangan tertata rapi pa
"Silahkan dinikmati, pak. Ini sup buntut yang saya buat tadi sebelum bapak pulang dari rumah sakit. Saya dengar, Pak Angga sangat suka sup buntut, jadi saya memasakkannya untuk bapak dan Celva." Semangkuk sup buntut sudah tersaji di hadapan Angga. Ia menatap sup itu dan wanita pemilik rambut hitam legam ini bergantian."Terima kasih, maaf jadi merepotkanmu," jawab Angga. Seulas senyum tipis terukir di wajahnya yang tampan. Pemandangan itu lantas membuat seluruh kupu-kupu di perut Rachel menggelitik. "Ku harap Pak Angga suka dengan masakanku," katanya. Lagi-lagi Angga hanya tersenyum tipis. Namun senyuman itu sudah membuat Rachel hampir mati berdiri karena efek menggila yang ditimbulkan oleh pesona Angga."Papap. Mam." Sesi makan Angga terpaksa ditunda ketika putri kecil kesayangannya memanggil, dengan suara berat nan lembut, Angga membalas,"Ya, sayang? Celva mau makan sup buntut?" Manik bulat Celva terpaku menatap sendok yang dipegang ayahnya. Kedipannya mengisyaratkan isi kepala
Kamar hotel yang Nova pijaki saat ini terlihat lebih layak untuk dihuni dirinya dan bayi mungil yang kini terlelap di dalam stroller. Ketika memasuki kamar itu, rasanya jauh lebih tenang dibandingkan kamar hotel yang Nova tinggali sebelumnya. Setelah perbincangan panjang yang ia lakukan dengan Angga, pada akhirnya Nova menyetujui ajakan Angga untuk meninggalkan tempat itu. Dua hari Angga memberikan Nova waktu untuk berpikir keputusan mana yang akan ia ambil antara menetap di Korea sendirian atau menerima ajakan Angga untuk kembali ke Indonesia. “Ini kamar yang akan kamu tempati selama tiga hari ke depan,” kata Angga. Pria itu mensejajarkan langkahnya dengan Nova ikut memindai desain interior yang estetik didominasi warna putih dan biru. “Berkas pemindahanmu sedang aku urus. Tiga hari lagi kamu bisa kembali ke Indonesia. Dan jika kamu butuh apapun, kamu bisa panggil aku. Kamarku ada di sebelah,” ucap Angga lagi. Ia tersenyum canggung pada Nova, dan dibalas dengan hal yang sama. “
Tidak ada sedikitpun kebohongan di mata Angga ketika Nova mencoba menjelajah titik kejujuran di iris hitam Angga. Pria itu, masih berdiri di posisi yang sama. Sorot matanya cukup mampu membuat nyali Nova menciut. Angga tidak hanya memaparkan sebuah fakta, melainkan juga membujuk Nova untuk mengakui ada sesuatu yang hilang dalam diri wanita itu.Nva berkata lirih, ketika ia sadar situasi tidak berpihak padanya. “Kalau kamu tahu aku yang membunuh adikmu, kenapa kamu tidak penjarakan aku saja alih-alih balas dendam?” tanya Nova.Angga masih menatapnya lamat, dari bagaimana pria itu bersikap Nova tahu Angga tidak memiliki sedikitpun niat untuk menjerumuskan ke dalam bui. “Menyeretmu ke dalam penjara juga butuh bukti dan pengakuan langsung. Aku sempat merencanakan itu sebelumnya tapi…” ucap Angga menjeda. Sesuatu di dadanya mulai mengusik. “Rasa cintaku padamu saat ini jauh lebih besar dari dendam yang pernah tertanam di hatiku.” Setitik euforia kecil bergema di hati Nova. Sebuah alasan y
Hari itu, seharian langit tidak secerah biasanya. Rintih hujan terus membasahi setiap sudut kota dan menyelimutinya dengan aroma romantis. Seorang wanita berjalan di antara lalu lalang orang-orang yang sibuk menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Sedangkan dirinya, sepeninggalannya dari rumah tadi, hanya kekesalan yang berusaha ia kendalikan. Langkah kaki wanita itu terasa berat. Apalagi tiap kali melirik ke ponselnya dan membuka pesan berisi video yang membuat dadanya berkecamuk. Sesampainya di depan sebuah gedung kos, wanita itu melepas sepatu flatnya yang basah. Menggedor pintu kayu di depannya dengan tidak sabar. Tak lama, seorang pria keluar dari kamar itu sambil memamerkan raut wajah bingung. “Kamu mau kesini kenapa tidak bilang dulu, sayang?” tanya pria itu. “Kamu harus jelasin sama aku akan satu hal,” balas wanita didepannya. Sorot mata tajam menghunus langsung ke ulu hati Andre, pria itu. “Jelasin apa, Nova? Apa aku buat salah?” Alih-alih menjawab, Nova malah menero
Sofa biru muda di depan ranjang menjadi tempat Nova singgah sejak beberapa saat lalu. Di depannya sudah tersaji sepiring pasta yang Angga beli dari layanan pesan antar. Pria itu, kini tengah disibukkan dengan teko portable yang mengeluarkan kepulan asap. Aroma kopi menguar memenuhi setiap sudut kamar ini. Pergerakan Angga diam-diam menjadi objek pengamatan Nova. Setiap hal yang pria itu lakukan kini menjadi perhatiannya. “Kenapa tidak dimakan? Apakah menunya tidak sesuai seleramu?” tanya Angga. Ia mengambil posisi duduk di depan Nova. Sambil menaruh secangkir kopi di hadapan wanita itu. “Aku kenyang. Kamu saja makan masakan buatanmu,” jawab Nova ketus. Pandangannya sengaja beralih ke arah lain demi menghindari sesuatu yang terasa menggetarkan dadanya tiap kali menatap Angga. Angga menarik piring pasta dari hadapan Nova. Mengaduk pasta itu perlahan, kemudian menyodorkannya ke hadapan Nova. “Biar aku suapi,” kata Angga. Nova terlalu lama tenggelam dalam lamunan, hingga ia tidak me
Kata orang, cinta juga bisa datang terlambat. Sama halnya seperti momen ini. Momen dimana sekujur tubuh Nova mematung saat berhadapan dengan sosok yang menghujam hatinya dengan kerinduan mendalam. Otaknya terasa mati karena Nova tidak bisa mendeteksi perintah apapun dari sana. Sedang Nova bergeming, ada sosok yang kini menatapnya penuh harap. Sosok itu berdiri tegak. Setegar karang yang tak jera menghantamnya dengan gelombang. Banyak cara Nova lakoni untuk menghabiskan keberanian Angga agar tak lagi menemuinya. Berharap dengan memupuk benci, hal itu akan membuat jarak diantara mereka semakin panjang. Sayang, yang terjadi justru kebalikannya. Angga lantang menerabas gelombang, hingga sebagian kecil dari dirinya enyah. Tidak lagi Nova lihat sorot angkuh di mata Angga, pun gestur cinta berlebihan terhadap diri sendiri pada pria itu. Berat Nova mencoba untuk menelan ludah, tapi, Angga justru mulai kembali bersuara. “Aku tahu ini keterlaluan. Tapi aku mohon, kali ini kita bicarakan dar
Secarik kertas di tangan Angga konsisten membuat pikiran pria itu terus berputar. Di dalam kursi pesawat, pemandangan kota-kota kecil di bawah sana sama sekali tidak menarik minat Angga untuk beralih sedetikpun dari kertas itu. “Kau sudah menatap kertas itu hampir satu jam lamanya, Tuan. Apa kau tidak ingin melihat pemandangan indah di luar jendela itu?” Suara Chris membuat Angga mendongak. Ia menatap sang asisten dengan sorot jengah seraya menghembuskan napas berat. “Kapan pesawat akan landing?” tanya Angga. Responnya sangat jauh dari konteks obrolan yang dibangun oleh Chris. “Bukannya ini sudah dua jam?” “Kurang lebih lima menit lagi kita mendarat, Tuan. Bersabarlah, kesabaran akan berbuah manis,” jawab Chris. Pria itu kembali memandang lurus ke depan. Dimana para pramugari tengah sibuk memberikan peringatan untuk mengencangkan sabuk pengaman. Angga kembali berkutat pada pikirannya. Bayangan ekspresi wajah Nova berubah-ubah di sana sesuai dengan asumsi-asumsi yang Angga ciptakan
Sudah satu minggu lamanya, Mario menetap di hotel yang sama dengan Nova. Menjadi garda terdepan bagi nova tanpa diminta. Sore ini langit cukup cerah namun perlahan beranjak mengabu sebelum matahari benar-benar pamit dari altarnya. Mario bangkit dari sofa, diikuti sang asisten di belakangnya. “Kau sudah dapat informasi yang aku minta?” tanyanya sambil melangkah menuju mini bar di sudut ruang santai. “Sudah, Tuan. Saya dihubungkan oleh asisten beliau yang kebetulan sedang berada di Korea saat ini. Menurut informasi, Pak Angga sedang sakit.” “Sakit?” Mario mengulang. “Iya, Pak. Saya sudah coba mencari tahu tentang penyakit beliau, tapi Asisten pribadinya tidak bersedia memberi informasi detail.” “Tapi, kau sudah lakukan apa yang aku minta ‘kan?” Sang asisten mengangguk mantap. “Sudah, Pak. Beliau bersedia untuk bertemu malam ini jam tujuh.” Melihat pemandangan di luar jendela besar kamar hotelnya, Mario beralih pada arloji di tangan. “Sudah pukul enam. Kita berangkat sekarang saj
Lampu remang-remang di dalam klub malam di tengah kota Seoul ini membatasi pandangan Chris yang masuk ke dalamnya. Muda-mudi berlenggak-lenggok di lantai dansa. Di bawah lampu sorot mengikuti irama musik beat yang menggila. Pandangan Chris mengedar ke segala penjuru. Ia langsung bergegas dari bandara ke sini setelah menghubungi Angga. Kabarnya, pria itu berada di sini, namun sampai sekarang Chris belum menemukan petunjuk tentang keberadaan bosnya. Pergerakan Chris di tengah kerumunan orang-orang yang berdansa, menarik perhatian beberapa wanita di sana. Sesekali terdengar mereka mencoba menggoda Chris dengan panggilan-panggilan nakal. “Hai, tampan. Kau sendiri saja?” Seorang wanita mendekati Chris. Dua bingkai lensa di mata Chris ia koreksi saat berhadapan dengan wanita itu. “Kalau kau datang sendiri, aku mau menemani,” ucap wanita itu lagi. Rambut panjangnya sengaja dikibaskan di depan wajah Chris. Aroma bunga menguar setelahnya. Jelas, wanita itu sedang berusaha untuk menarik perh
“Bagaimana bisa Anda membiarkan orang dengan kondisi mental yang terganggu, bepergian sendirian bahkan, mengurus bayi? Apalagi Anda bukan suaminya.” Seorang pria paruh baya dengan seragam kepolisian menginterogasi Mario dengan segerombol pertanyaan. Ia menghela napas panjang, hendak menyela ucapan sang polisi namun pria itu terus berceloteh, tidak memberikan kesempatan bagi Mario untuk menjelaskan. “Anda tahu ‘kan? Apa yang Anda lakukan bisa disebut sebagai bentuk kelalaian dan berpotensi menyakiti orang lain.” “Saya paham, Pak. Itu mengapa saya ada di sini sekarang. Saya akan menebus Nova dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Tolong beri sedikit keringanan untuk Nova. Bagaimanapun dia masih punya tanggung jawab untuk mengurus anaknya yang masih bayi,” ucap Mario panjang lebar. Tidak akan ia sia-siakan kesempatan untuk bicara. Tujuannya saat ini adalah membebaskan Nova dari hukuman paling berat. Mario mengikuti semua prosedur hukum yang berlaku atas pelanggaran yang Nova laku