Chris mengukuti langkah kaki bosnya ke sana kemari sambil mulutnya terus mencerocosi pria itu untuk menghentikan aksi gilanya. Setelah obrolan di taman tadi, tiba-tiba Angga memutuskan sebuah hal gila yang tak pernah terbayangkan oleh Chris sekalipun. "Pak, kondisimu masih lemah. Kau masih butuh waktu untuk pemulihan, jangan mengambil keputusan gila seperti ini, kumohon. Pikirkan kondisimu," pinta Chris. Ia bergidik ngeri saat melihat Angga menarik selang infus yang masih menempel di punggung tangannya dengan kasar. Langkah kaki terburu-buru mengantar Angga pada tindakan yang gegabah. "Aku tidak bisa diam saja ketika istriku menghilang entah kemana, Chris. Seharusnya kau mendukung keputusanku," katanya sambil masih sibuk dengan aktivitas mengganti baju rumah sakit dengan kaus polo dan celana jeans. Kaki Angga belum sepenuhnya pulih, itulah kenapa sepanjang langkahnya Chris tak tega melihat bosnya tertatih. Belum lagi sebelah tangannya yang baru terlepas dari kungkungan gip seming
Sesampainya di rumah, Angga bergegas menuju ruang kerjanya. Tak ada waktu lagi untuk menjelajah setiap sudut rumah dengan. membawa harapan sang istri pulang dan menyambutnya dengan penuh cinta. Brak!Brak!Semua yang ada di hadapan Angga dienyahkan tanpa pandang bulu. Benda-benda berjatuhan ke lantai menimbulkan riuh kegaduhan yang mengundang perhatian para penghuni rumah ini. Langkah cepatnya membawa Angga ke hadapan sebuab brankas berukuran besar. Kotak baja itu terlihat gagah diantara rak buku-buku filsafat dan bisnis koleksi Angga. Angga bersimpuh dengan segala upaya yang ia kerahkan. Kondisi kakinya belum sepenuhnya pulih hingga Angga harus menahan nyeri sekaligus ruang gerak yang terbatas. Jemari Angga menari lincah di atas tombol-tombol brankas. Memasukkan pin yang tak pernah lepas dari ingatannya. Ceklek. Brankas terbuka disusul suara bip tanda kunci ganda telah dimatikan. Tak ada yang aneh dengan pemandangan di depannya. Tumpukkan uang dan emas batangan tertata rapi pa
"Silahkan dinikmati, pak. Ini sup buntut yang saya buat tadi sebelum bapak pulang dari rumah sakit. Saya dengar, Pak Angga sangat suka sup buntut, jadi saya memasakkannya untuk bapak dan Celva." Semangkuk sup buntut sudah tersaji di hadapan Angga. Ia menatap sup itu dan wanita pemilik rambut hitam legam ini bergantian."Terima kasih, maaf jadi merepotkanmu," jawab Angga. Seulas senyum tipis terukir di wajahnya yang tampan. Pemandangan itu lantas membuat seluruh kupu-kupu di perut Rachel menggelitik. "Ku harap Pak Angga suka dengan masakanku," katanya. Lagi-lagi Angga hanya tersenyum tipis. Namun senyuman itu sudah membuat Rachel hampir mati berdiri karena efek menggila yang ditimbulkan oleh pesona Angga."Papap. Mam." Sesi makan Angga terpaksa ditunda ketika putri kecil kesayangannya memanggil, dengan suara berat nan lembut, Angga membalas,"Ya, sayang? Celva mau makan sup buntut?" Manik bulat Celva terpaku menatap sendok yang dipegang ayahnya. Kedipannya mengisyaratkan isi kepala
"TARA!! Aku akan pergi ke Indonesia. Kamu mau ikut?" Jantung Nova hampir mencelos saat suara Mark tiba-tiba bergaung tepat di belakang telinganya. Tak hanya itu, kehadirannya di pagi hari yang dingin ini membuat Nova tercengang. Segelas kopi di atas meja kerja Niva diabaikan sementara, tak lagi menjadi obat penenang untuk segala gundah di dada Nova. Ia mendelik, di depan matanya terpampang nyata secarik kertas dengan desain yang menarik. Foto Mark yang penuh pesona terpampang nyata di sana tepat di sebelah tulisan "ASIAN TOUR FAN MEETING OF MARK" di kertas itu. Nova belum sepenuhnya mengerti, puzzle-puzzle yang harus ia pecahkan pagi ini, tak bisa membuatnya fokus. "Kertas apa ini?" tanyanya polos. Dahi Nova mengernyit bingung padahal secara kasar mata seharusnya ia tahu maksud Marks memamerkan secarik kertas itu. "Aku akan mengadakan pertemuan dengan fans se-Asia Tenggara. Dan kampung halamanmu menjadi salah satu negara yang akan aku kunjungi. Bagaimama menurutmu?" Mark duduk
Dua jam lagi Nova akan menghadapi situasi antara hidup dan matinya. Bukan, bukan tentang melahirkan sosok malaikat kecilnya, melainkan Nova harus terlibat dengan orang-orang yang cepat atau lambat akan terlibat dengan masa depannya. Ya, masa depan yang dibangun oleh Mark. "Kau sudah siap sayang?" Nova mengalihkan pandangannya ke arah cermin di depannya. Kepala Mark menyembul dari arah luar kamar hotel yang disewa oleh pria itu sebagai tempat persinggahan mereka. Nova mengangguk, dua sejoli itu saling bertukar pandang lewat pantulan diri mereka di cermin. Gaun putih polos selutut dengan pernak-pernik di bagian dada membalut tubuh Nova dengan elegan. Perut buncitnya tak menghalangi efek cantik yang terpancar dari dalam diri wanita itu. Polesan riasan natural khas wanita Korea semakin menambah keanggunan. Nova memoles bibirnya dengan lipstik merah muda untuk sentuhan terakhir. "Ya, aku sudah siap," jawab Nova disusul seulas senyum yang membuat hati Mark meleleh. Mark melangkah se
Mark sadar seseorang di sampingnya tadi menjauh. Ia melepaskan pelukannya dari sang ayah, lantas beralih pada Nova dengan nyali wanita itu yang semakin mengerucut. "Sayang, kemarilah," kata Mark, baru saat itu Nova berani mengangkat kepalanya. Semua orang kini menatap Nova dengan pandangan aneh. Penampilan Nova tak luput dari proses pindaian dari mata ke mata. Tak jarang beberapa orang memiringkan tubuhnya ke samping. Mencibir beberapa hal di diri Nova yang tak sesuai dengan standar mereka. Nova hampir berkecil hati, karena di sini, semua orang menatapnya dengan tatapan yang memilukan. Seolah Nova adalah sosok asing yang tak layak untuk berada di sekitar mereka. Karena Nova tak kunjung membalas panggilannya, Mark lantas menghampirinya. Terlihat jelas Nova tak nyaman dengan situasi yang sedang mereka hadapi sekarang. Jauh dalam hati Nova, rasanya ingin mengubur diri saja dari situasi ini. Kepercayaan dirinya luntur seketika. Namun, sentuhan Mark di tangannya membuat Nova kembali m
"Kau yakin dengan keputusanmu, pak? Sudah enam bulan aku sengaja menutupi masalah ini dari mereka." Angga menangkap sorot kekhawatiran yang begitu besar di sorot mata sang asisten. Sudah semalaman Angga menimbang baik-buruknya atas keputusan yang ia ambil kali ini. Kian hari, saham perusahaan yang sempat terancam bangkrut setahun lalu semakin turun. Angga tak mungkin melakukan pendanaan silang dengan perusahaannya yang lain hanya untuk mempertahankan satu perusahaan. "Ya, aku akan mendatangi Jhony. Kau tidak perlu khawatir, aku akan memberikan alasan paling logis padanya. Kupastikan namamu tak terseret sedikitpun," janji Angga. Tepat ketika ia menyelesaikan kalimatnya, sesosok wanita datang. Rachel menghampiri dua pria yang diselimuti oleh perasaan tegang itu dengan senyum manis yang tak pernah lepas dari wajahnya. Di gendongan Rachel, ada Celva yang menjulurkan tangannya ke depan. Antusias melihat kehadiran sosok ayah yang selalu ia rindukan."Papap!" panggilnya untuk Angga. Boc
Suasana di ruangan besar yang didominasi oleh warna hitam dan merah itu berubah tegang. Di balik meja kebesarannya, Jhony menyambut kedatangan Angga dengan sebelah sudut bibir yang naik ke atas. "Kau punya nyali juga ternyata," ucap Jhony angkuh diiringi dengan hembusan napas dan senyum meremehkan. "Apa yang bisa kulakukan untukmu, Tuan Angga yang terhormat?" Sungguh, jika Angga tak memiliki tujuan yang jelas saat memutuskan untuk datang ke kediaman Jhony saat ini, bisa Angga pastikan dirinya akan menghabisi Jhony saat ini juga. Keangkuhannya patut untuk dimusnahkan, begitu juga dengan perangainya yang suka membuat pria itu jatuh ke dalam lubang kelam akibat lidahnya sendiri.Seorang ajudan yang mendampingi Angga sejak tadi, mengisyaratkannya untuk masuk semakin dalam memasuki ruang kerja Jhony. Kini, dua pria yang pernah menjalin hubungan sebagai kolega akrab itu hanya dipisahkan oleh jarak kurang dari satu meter saja. Angga memaku tatapannya tepat di manik hitam legam Jhony. Seca
Kamar hotel yang Nova pijaki saat ini terlihat lebih layak untuk dihuni dirinya dan bayi mungil yang kini terlelap di dalam stroller. Ketika memasuki kamar itu, rasanya jauh lebih tenang dibandingkan kamar hotel yang Nova tinggali sebelumnya. Setelah perbincangan panjang yang ia lakukan dengan Angga, pada akhirnya Nova menyetujui ajakan Angga untuk meninggalkan tempat itu. Dua hari Angga memberikan Nova waktu untuk berpikir keputusan mana yang akan ia ambil antara menetap di Korea sendirian atau menerima ajakan Angga untuk kembali ke Indonesia. “Ini kamar yang akan kamu tempati selama tiga hari ke depan,” kata Angga. Pria itu mensejajarkan langkahnya dengan Nova ikut memindai desain interior yang estetik didominasi warna putih dan biru. “Berkas pemindahanmu sedang aku urus. Tiga hari lagi kamu bisa kembali ke Indonesia. Dan jika kamu butuh apapun, kamu bisa panggil aku. Kamarku ada di sebelah,” ucap Angga lagi. Ia tersenyum canggung pada Nova, dan dibalas dengan hal yang sama. “
Tidak ada sedikitpun kebohongan di mata Angga ketika Nova mencoba menjelajah titik kejujuran di iris hitam Angga. Pria itu, masih berdiri di posisi yang sama. Sorot matanya cukup mampu membuat nyali Nova menciut. Angga tidak hanya memaparkan sebuah fakta, melainkan juga membujuk Nova untuk mengakui ada sesuatu yang hilang dalam diri wanita itu.Nva berkata lirih, ketika ia sadar situasi tidak berpihak padanya. “Kalau kamu tahu aku yang membunuh adikmu, kenapa kamu tidak penjarakan aku saja alih-alih balas dendam?” tanya Nova.Angga masih menatapnya lamat, dari bagaimana pria itu bersikap Nova tahu Angga tidak memiliki sedikitpun niat untuk menjerumuskan ke dalam bui. “Menyeretmu ke dalam penjara juga butuh bukti dan pengakuan langsung. Aku sempat merencanakan itu sebelumnya tapi…” ucap Angga menjeda. Sesuatu di dadanya mulai mengusik. “Rasa cintaku padamu saat ini jauh lebih besar dari dendam yang pernah tertanam di hatiku.” Setitik euforia kecil bergema di hati Nova. Sebuah alasan y
Hari itu, seharian langit tidak secerah biasanya. Rintih hujan terus membasahi setiap sudut kota dan menyelimutinya dengan aroma romantis. Seorang wanita berjalan di antara lalu lalang orang-orang yang sibuk menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Sedangkan dirinya, sepeninggalannya dari rumah tadi, hanya kekesalan yang berusaha ia kendalikan. Langkah kaki wanita itu terasa berat. Apalagi tiap kali melirik ke ponselnya dan membuka pesan berisi video yang membuat dadanya berkecamuk. Sesampainya di depan sebuah gedung kos, wanita itu melepas sepatu flatnya yang basah. Menggedor pintu kayu di depannya dengan tidak sabar. Tak lama, seorang pria keluar dari kamar itu sambil memamerkan raut wajah bingung. “Kamu mau kesini kenapa tidak bilang dulu, sayang?” tanya pria itu. “Kamu harus jelasin sama aku akan satu hal,” balas wanita didepannya. Sorot mata tajam menghunus langsung ke ulu hati Andre, pria itu. “Jelasin apa, Nova? Apa aku buat salah?” Alih-alih menjawab, Nova malah menero
Sofa biru muda di depan ranjang menjadi tempat Nova singgah sejak beberapa saat lalu. Di depannya sudah tersaji sepiring pasta yang Angga beli dari layanan pesan antar. Pria itu, kini tengah disibukkan dengan teko portable yang mengeluarkan kepulan asap. Aroma kopi menguar memenuhi setiap sudut kamar ini. Pergerakan Angga diam-diam menjadi objek pengamatan Nova. Setiap hal yang pria itu lakukan kini menjadi perhatiannya. “Kenapa tidak dimakan? Apakah menunya tidak sesuai seleramu?” tanya Angga. Ia mengambil posisi duduk di depan Nova. Sambil menaruh secangkir kopi di hadapan wanita itu. “Aku kenyang. Kamu saja makan masakan buatanmu,” jawab Nova ketus. Pandangannya sengaja beralih ke arah lain demi menghindari sesuatu yang terasa menggetarkan dadanya tiap kali menatap Angga. Angga menarik piring pasta dari hadapan Nova. Mengaduk pasta itu perlahan, kemudian menyodorkannya ke hadapan Nova. “Biar aku suapi,” kata Angga. Nova terlalu lama tenggelam dalam lamunan, hingga ia tidak me
Kata orang, cinta juga bisa datang terlambat. Sama halnya seperti momen ini. Momen dimana sekujur tubuh Nova mematung saat berhadapan dengan sosok yang menghujam hatinya dengan kerinduan mendalam. Otaknya terasa mati karena Nova tidak bisa mendeteksi perintah apapun dari sana. Sedang Nova bergeming, ada sosok yang kini menatapnya penuh harap. Sosok itu berdiri tegak. Setegar karang yang tak jera menghantamnya dengan gelombang. Banyak cara Nova lakoni untuk menghabiskan keberanian Angga agar tak lagi menemuinya. Berharap dengan memupuk benci, hal itu akan membuat jarak diantara mereka semakin panjang. Sayang, yang terjadi justru kebalikannya. Angga lantang menerabas gelombang, hingga sebagian kecil dari dirinya enyah. Tidak lagi Nova lihat sorot angkuh di mata Angga, pun gestur cinta berlebihan terhadap diri sendiri pada pria itu. Berat Nova mencoba untuk menelan ludah, tapi, Angga justru mulai kembali bersuara. “Aku tahu ini keterlaluan. Tapi aku mohon, kali ini kita bicarakan dar
Secarik kertas di tangan Angga konsisten membuat pikiran pria itu terus berputar. Di dalam kursi pesawat, pemandangan kota-kota kecil di bawah sana sama sekali tidak menarik minat Angga untuk beralih sedetikpun dari kertas itu. “Kau sudah menatap kertas itu hampir satu jam lamanya, Tuan. Apa kau tidak ingin melihat pemandangan indah di luar jendela itu?” Suara Chris membuat Angga mendongak. Ia menatap sang asisten dengan sorot jengah seraya menghembuskan napas berat. “Kapan pesawat akan landing?” tanya Angga. Responnya sangat jauh dari konteks obrolan yang dibangun oleh Chris. “Bukannya ini sudah dua jam?” “Kurang lebih lima menit lagi kita mendarat, Tuan. Bersabarlah, kesabaran akan berbuah manis,” jawab Chris. Pria itu kembali memandang lurus ke depan. Dimana para pramugari tengah sibuk memberikan peringatan untuk mengencangkan sabuk pengaman. Angga kembali berkutat pada pikirannya. Bayangan ekspresi wajah Nova berubah-ubah di sana sesuai dengan asumsi-asumsi yang Angga ciptakan
Sudah satu minggu lamanya, Mario menetap di hotel yang sama dengan Nova. Menjadi garda terdepan bagi nova tanpa diminta. Sore ini langit cukup cerah namun perlahan beranjak mengabu sebelum matahari benar-benar pamit dari altarnya. Mario bangkit dari sofa, diikuti sang asisten di belakangnya. “Kau sudah dapat informasi yang aku minta?” tanyanya sambil melangkah menuju mini bar di sudut ruang santai. “Sudah, Tuan. Saya dihubungkan oleh asisten beliau yang kebetulan sedang berada di Korea saat ini. Menurut informasi, Pak Angga sedang sakit.” “Sakit?” Mario mengulang. “Iya, Pak. Saya sudah coba mencari tahu tentang penyakit beliau, tapi Asisten pribadinya tidak bersedia memberi informasi detail.” “Tapi, kau sudah lakukan apa yang aku minta ‘kan?” Sang asisten mengangguk mantap. “Sudah, Pak. Beliau bersedia untuk bertemu malam ini jam tujuh.” Melihat pemandangan di luar jendela besar kamar hotelnya, Mario beralih pada arloji di tangan. “Sudah pukul enam. Kita berangkat sekarang saj
Lampu remang-remang di dalam klub malam di tengah kota Seoul ini membatasi pandangan Chris yang masuk ke dalamnya. Muda-mudi berlenggak-lenggok di lantai dansa. Di bawah lampu sorot mengikuti irama musik beat yang menggila. Pandangan Chris mengedar ke segala penjuru. Ia langsung bergegas dari bandara ke sini setelah menghubungi Angga. Kabarnya, pria itu berada di sini, namun sampai sekarang Chris belum menemukan petunjuk tentang keberadaan bosnya. Pergerakan Chris di tengah kerumunan orang-orang yang berdansa, menarik perhatian beberapa wanita di sana. Sesekali terdengar mereka mencoba menggoda Chris dengan panggilan-panggilan nakal. “Hai, tampan. Kau sendiri saja?” Seorang wanita mendekati Chris. Dua bingkai lensa di mata Chris ia koreksi saat berhadapan dengan wanita itu. “Kalau kau datang sendiri, aku mau menemani,” ucap wanita itu lagi. Rambut panjangnya sengaja dikibaskan di depan wajah Chris. Aroma bunga menguar setelahnya. Jelas, wanita itu sedang berusaha untuk menarik perh
“Bagaimana bisa Anda membiarkan orang dengan kondisi mental yang terganggu, bepergian sendirian bahkan, mengurus bayi? Apalagi Anda bukan suaminya.” Seorang pria paruh baya dengan seragam kepolisian menginterogasi Mario dengan segerombol pertanyaan. Ia menghela napas panjang, hendak menyela ucapan sang polisi namun pria itu terus berceloteh, tidak memberikan kesempatan bagi Mario untuk menjelaskan. “Anda tahu ‘kan? Apa yang Anda lakukan bisa disebut sebagai bentuk kelalaian dan berpotensi menyakiti orang lain.” “Saya paham, Pak. Itu mengapa saya ada di sini sekarang. Saya akan menebus Nova dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Tolong beri sedikit keringanan untuk Nova. Bagaimanapun dia masih punya tanggung jawab untuk mengurus anaknya yang masih bayi,” ucap Mario panjang lebar. Tidak akan ia sia-siakan kesempatan untuk bicara. Tujuannya saat ini adalah membebaskan Nova dari hukuman paling berat. Mario mengikuti semua prosedur hukum yang berlaku atas pelanggaran yang Nova laku