Pemandangan di depan mata tak bisa membuat Angga beralih dari segala bayangan tentang sosok yang saat ini menyebabkan kerinduan yang begitu mendalam.Jika saat tersadar dari koma ia tahu kalau pada akhirnya, Nova akan tetap meninggalkannya, Angga akan memilih mati saja.Untuk pertama kalinya, ditinggalkan Nova mengukir trauma mendalam dalam benak Angga. Ia terlalu menikmati kesendiriannya hingga tak menyadari seseorang telah mengisi posisi kursi kosong di samping Angga. "Kelihatannya kau sedang bergulat dengan pikiran yang menumpuk. Tidakkah kau berniat untuk membaginya padaku, pak?" Suara Chris membuat Angga menoleh. Ia menatap sang asisten yang duduk di sampingnya sambil menjilat es krim di tangan. "Kau sengaja makan es krim di depanku, ya?" ujar Angga sinis. Bisa-bisanya Chris menikmati manisnya es krim di saat Angga bahkan tak bisa menikmati makanan atau cemilannya sekalipun. Chris nyengir kuda. Ia melebarkan senyumnya tanpa rasa bersalah seraya berkata, "aku tidak ingin memb
Chris mengukuti langkah kaki bosnya ke sana kemari sambil mulutnya terus mencerocosi pria itu untuk menghentikan aksi gilanya. Setelah obrolan di taman tadi, tiba-tiba Angga memutuskan sebuah hal gila yang tak pernah terbayangkan oleh Chris sekalipun. "Pak, kondisimu masih lemah. Kau masih butuh waktu untuk pemulihan, jangan mengambil keputusan gila seperti ini, kumohon. Pikirkan kondisimu," pinta Chris. Ia bergidik ngeri saat melihat Angga menarik selang infus yang masih menempel di punggung tangannya dengan kasar. Langkah kaki terburu-buru mengantar Angga pada tindakan yang gegabah. "Aku tidak bisa diam saja ketika istriku menghilang entah kemana, Chris. Seharusnya kau mendukung keputusanku," katanya sambil masih sibuk dengan aktivitas mengganti baju rumah sakit dengan kaus polo dan celana jeans. Kaki Angga belum sepenuhnya pulih, itulah kenapa sepanjang langkahnya Chris tak tega melihat bosnya tertatih. Belum lagi sebelah tangannya yang baru terlepas dari kungkungan gip seming
Sesampainya di rumah, Angga bergegas menuju ruang kerjanya. Tak ada waktu lagi untuk menjelajah setiap sudut rumah dengan. membawa harapan sang istri pulang dan menyambutnya dengan penuh cinta. Brak!Brak!Semua yang ada di hadapan Angga dienyahkan tanpa pandang bulu. Benda-benda berjatuhan ke lantai menimbulkan riuh kegaduhan yang mengundang perhatian para penghuni rumah ini. Langkah cepatnya membawa Angga ke hadapan sebuab brankas berukuran besar. Kotak baja itu terlihat gagah diantara rak buku-buku filsafat dan bisnis koleksi Angga. Angga bersimpuh dengan segala upaya yang ia kerahkan. Kondisi kakinya belum sepenuhnya pulih hingga Angga harus menahan nyeri sekaligus ruang gerak yang terbatas. Jemari Angga menari lincah di atas tombol-tombol brankas. Memasukkan pin yang tak pernah lepas dari ingatannya. Ceklek. Brankas terbuka disusul suara bip tanda kunci ganda telah dimatikan. Tak ada yang aneh dengan pemandangan di depannya. Tumpukkan uang dan emas batangan tertata rapi pa
"Silahkan dinikmati, pak. Ini sup buntut yang saya buat tadi sebelum bapak pulang dari rumah sakit. Saya dengar, Pak Angga sangat suka sup buntut, jadi saya memasakkannya untuk bapak dan Celva." Semangkuk sup buntut sudah tersaji di hadapan Angga. Ia menatap sup itu dan wanita pemilik rambut hitam legam ini bergantian."Terima kasih, maaf jadi merepotkanmu," jawab Angga. Seulas senyum tipis terukir di wajahnya yang tampan. Pemandangan itu lantas membuat seluruh kupu-kupu di perut Rachel menggelitik. "Ku harap Pak Angga suka dengan masakanku," katanya. Lagi-lagi Angga hanya tersenyum tipis. Namun senyuman itu sudah membuat Rachel hampir mati berdiri karena efek menggila yang ditimbulkan oleh pesona Angga."Papap. Mam." Sesi makan Angga terpaksa ditunda ketika putri kecil kesayangannya memanggil, dengan suara berat nan lembut, Angga membalas,"Ya, sayang? Celva mau makan sup buntut?" Manik bulat Celva terpaku menatap sendok yang dipegang ayahnya. Kedipannya mengisyaratkan isi kepala
"TARA!! Aku akan pergi ke Indonesia. Kamu mau ikut?" Jantung Nova hampir mencelos saat suara Mark tiba-tiba bergaung tepat di belakang telinganya. Tak hanya itu, kehadirannya di pagi hari yang dingin ini membuat Nova tercengang. Segelas kopi di atas meja kerja Niva diabaikan sementara, tak lagi menjadi obat penenang untuk segala gundah di dada Nova. Ia mendelik, di depan matanya terpampang nyata secarik kertas dengan desain yang menarik. Foto Mark yang penuh pesona terpampang nyata di sana tepat di sebelah tulisan "ASIAN TOUR FAN MEETING OF MARK" di kertas itu. Nova belum sepenuhnya mengerti, puzzle-puzzle yang harus ia pecahkan pagi ini, tak bisa membuatnya fokus. "Kertas apa ini?" tanyanya polos. Dahi Nova mengernyit bingung padahal secara kasar mata seharusnya ia tahu maksud Marks memamerkan secarik kertas itu. "Aku akan mengadakan pertemuan dengan fans se-Asia Tenggara. Dan kampung halamanmu menjadi salah satu negara yang akan aku kunjungi. Bagaimama menurutmu?" Mark duduk
Dua jam lagi Nova akan menghadapi situasi antara hidup dan matinya. Bukan, bukan tentang melahirkan sosok malaikat kecilnya, melainkan Nova harus terlibat dengan orang-orang yang cepat atau lambat akan terlibat dengan masa depannya. Ya, masa depan yang dibangun oleh Mark. "Kau sudah siap sayang?" Nova mengalihkan pandangannya ke arah cermin di depannya. Kepala Mark menyembul dari arah luar kamar hotel yang disewa oleh pria itu sebagai tempat persinggahan mereka. Nova mengangguk, dua sejoli itu saling bertukar pandang lewat pantulan diri mereka di cermin. Gaun putih polos selutut dengan pernak-pernik di bagian dada membalut tubuh Nova dengan elegan. Perut buncitnya tak menghalangi efek cantik yang terpancar dari dalam diri wanita itu. Polesan riasan natural khas wanita Korea semakin menambah keanggunan. Nova memoles bibirnya dengan lipstik merah muda untuk sentuhan terakhir. "Ya, aku sudah siap," jawab Nova disusul seulas senyum yang membuat hati Mark meleleh. Mark melangkah se
Mark sadar seseorang di sampingnya tadi menjauh. Ia melepaskan pelukannya dari sang ayah, lantas beralih pada Nova dengan nyali wanita itu yang semakin mengerucut. "Sayang, kemarilah," kata Mark, baru saat itu Nova berani mengangkat kepalanya. Semua orang kini menatap Nova dengan pandangan aneh. Penampilan Nova tak luput dari proses pindaian dari mata ke mata. Tak jarang beberapa orang memiringkan tubuhnya ke samping. Mencibir beberapa hal di diri Nova yang tak sesuai dengan standar mereka. Nova hampir berkecil hati, karena di sini, semua orang menatapnya dengan tatapan yang memilukan. Seolah Nova adalah sosok asing yang tak layak untuk berada di sekitar mereka. Karena Nova tak kunjung membalas panggilannya, Mark lantas menghampirinya. Terlihat jelas Nova tak nyaman dengan situasi yang sedang mereka hadapi sekarang. Jauh dalam hati Nova, rasanya ingin mengubur diri saja dari situasi ini. Kepercayaan dirinya luntur seketika. Namun, sentuhan Mark di tangannya membuat Nova kembali m
"Kau yakin dengan keputusanmu, pak? Sudah enam bulan aku sengaja menutupi masalah ini dari mereka." Angga menangkap sorot kekhawatiran yang begitu besar di sorot mata sang asisten. Sudah semalaman Angga menimbang baik-buruknya atas keputusan yang ia ambil kali ini. Kian hari, saham perusahaan yang sempat terancam bangkrut setahun lalu semakin turun. Angga tak mungkin melakukan pendanaan silang dengan perusahaannya yang lain hanya untuk mempertahankan satu perusahaan. "Ya, aku akan mendatangi Jhony. Kau tidak perlu khawatir, aku akan memberikan alasan paling logis padanya. Kupastikan namamu tak terseret sedikitpun," janji Angga. Tepat ketika ia menyelesaikan kalimatnya, sesosok wanita datang. Rachel menghampiri dua pria yang diselimuti oleh perasaan tegang itu dengan senyum manis yang tak pernah lepas dari wajahnya. Di gendongan Rachel, ada Celva yang menjulurkan tangannya ke depan. Antusias melihat kehadiran sosok ayah yang selalu ia rindukan."Papap!" panggilnya untuk Angga. Boc