Di rumah besar nan mewah itu, Nova tak bisa duduk diam menunggu begitu saja. Sudah tiga jam lamanya Nova menunggu kepastian dari sang suami yang tengah berjuang menegakkan kebenaran. Kemarin, pada akhirnya Nova mengetahui semua masalah tentang perusahaan Angga yang hampir goyah. Alasan pria itu banyak menghabiskan waktu di kantor dan pulang dengan wajah lelah dan pias. “Permisi Nyonya, makan siang anda sudah siap.” Kedatangan seorang pelayan dengan troli makanan mengagetkan Nova yang tengah duduk di sofa malas di kamarnya. Beberapa hari ke belakang, tubuhnya terasa lemas seakan tak ada tenaga yang bisa ia gunakan bahkan untuk bergerak. Itu kenapa, hari ini Nova meminta para pelayan untuk mengantarkan makanannya ke kamar. “Tolong bantu aku siapkan, ya. Terima kasih,” jawabnya. Ia belum berniat untuk beranjak dari sana. “Sudah saya siapkan, nyonya. Jika butuh bantuan lain, nyonya bisa panggil kami,” ucap sang pelayan. Nova hanya mengangguk pelan, kemudian memberikan isyarat pada wa
“Minumlah dulu. Kamu kelihatan lelah sekali. Apa ada yang sedang mengganggumu?” Secangkir teh hangat tersaji di hadapan Nova. Asapnya tipis-tipis masih mengepul di udara. Begitu juga aroma melati yang menguar dari sana menggoda penciuman Nova untuk segera menikmatinya.“Terima kasih, bu kepala,” jawab Nova.Wanita itu tersenyum, kerutan di sekitar matanya terlihat semakin jelas. “Panggil saja Bu Retha,” katanya.Sekian lama mengenal bu kepala, tak pernah sekalipun Nova menanyakan identitas asli. Dahi Nova berkerut bingung, menatap sosok wanita yang telah ia anggap sebagai ibunya sendiri itu dengan sorot penuh tanya.“Nama asliku, Margaretha. Orang-orang biasanya memanggilku Bu Retha, kecuali di lingkungan rumah tuan Angga.” Tanpa diminta bu kepala menjelaskan hal yang sudah membuat Nova bingung. “Oh, astaga. Aku pikir kau sedang menyebut nama orang lain. Aku juga baru menyadari, sekian lama kita saling mengenal, aku tidak pernah tahu namamu, bu.” “Itu karena aku meminta tuan Angga
Pintu utama rumah besar itu tertutup rapat. Seraya Angga melangkah lesu memasuki area ruang tengah. Tak disangka, persiapan yang dianggap matang untuk menyerang lawan justru berbalik menjadi senjata makan tuan. Raut wajah lelah Angga sudah tidak bisa dikondisikan lagi. Ia juga tidak peduli pulang dengan penampilan yang berantakan. Tubuh dan pikirannya lelah dan butuh tempat sandaran untuk melepaskan keluh kesah. Tepat di saat kakinya menapaki anak tangga, riuh suara terompet dan sorak sorai beberapa orang yang meneriaki nama Angga membuatnya membalikkan badan. Tepat di dekat anak tangga, Nova, para pelayan dan juga ajudannya menyambut kedatangan Angga dengan sebuah kehebohan. “Selamat ulang tahun, Tuan Angga!!” Sorak mereka semua bersamaan. Nova yang berdiri di tengah-tengah mereka melangkah maju mendekati sang suami yang belum terlalu jauh menaiki tangga.Di tangannya, kue berukuran sedang dengan gambar wajah Angga di atasnya membuat Nova terkekeh geli. Beberapa kali ia mengamati
“Bagaimana hasil pemeriksaannya, dokter? Apakah istri saya baik-baik saja?” Di ruang periksa yang didominasi oleh warna biru itu Angga tak sabar melayangkan pertanyaan yang sudah bersarang di kepalanya. Pria itu memajukan tubuhnya hingga menghimpit sisi depan meja kerja dokter. “Tidak ada masalah dengan kesehatan Bu Nova, begitu juga dengan rahimnya,” jawab Dokter. Helaan napas lega terdengar keluar dari mulut Nova. Di samping Angga, sejak selesai pemeriksaan oleh dokter kandungan, Nova tak bisa duduk diam. Ia diselimuti kegelisahan yang membuat sekujur tubuhnya panas dingin. Butuh usaha keras untuk meyakinkan diri sendiri ketika Angga mengajaknya pergi ke dokter. Pengalaman terakhir kali dirinya menginap di rumah sakit, menjadi pengalaman paling memilukan. “Lalu, bagaimana dengan rahim istri saya, dok?“ pertanyaan itu terdengar ambigu. Namun Angga tak terlalu peduli. Di pikirannya saat ini hanyalah harapan yang sempat terkubur beberapa waktu lalu. Anggap saja Angga terlalu opti
Suara Nova terdengar jelas di telinga. Angga lantas menoleh ke arah sumber suara dengan gerakan terbata bak robot rusak.Tatapan Angga bertemu dengan tatapan Nova yang dipenuhi kecurigaan. “Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku, mas?” tanyanya lagi untuk kedua kalinya.Angga menelan ludahnya berat saat berhadapan langsung dengan Nova. Wanita itu masih setia di posisinya sampai Angga menjawab pertanyaan Nova.“Um, kamu hanya salah dengar. Aku tidak bicara apapun.” angga mengelak. “Bohong. Aku mendengar dengan jelas apa yang kamu katakan tadi, mas.” Ya, Angga tidak bisa berkata-kata lagi. Otaknya tidak mampu mengolah kata hingga pada akhirnya Angga tak bisa mengatakan apapun. “Baiklah aku akan mengaku,” kata Angga. Ia memasrahkan nasibnya saat ini pada Nova. Senyum penuh kemenangan Nova diiringi oleh aksinya yang memundurkan tubuhnya sendiri. “Baiklah, tolong katakan dengan sejujurnya, bapak Angga yang terhormat.” Nova sengaja menekankan panggilan khusus untuk sang suami saat me
“Maafkan aku ya, aku belum bisa mewujudkan harapan yang sudah kamu nanti-nanti.” Guratan kesedihan di wajah Nova menunjukkan betapa besar penyesalan yang sedang ia rasakan saat ini. Di depannya, wajah Angga terpampang nyata. Saat menatap pria itu, ada gejolak rasa bersalah yang membelenggu hati Nova. Apalagi ketika mengingat bagaimana reaksi Angga saat di rumah sakit tadi. Terlihat jelas raut penuh harapan dibalik emosinya yang menggebu.“Kenapa kamu meminta maaf? Ini bukan salahmu,” balas Angga. Ucapannya terdengar sangat lembut, hingga begitu nyaman saat menelusup ke telinga. Nova menurunkan pandangannya, tak berani menatap Angga karena tiap kali melihat wajah pria itu, Nova selalu teringat dengan sebuah kenyataan tentang Angga yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. “Aku tahu saat kita harus melepaskan calon anak kita kemarin, kamu pasti sangat kecewa. Seharusnya aku bisa menjaganya dengan lebih baik. Seharusnya aku bisa mengendalikan pikiranku dan seharusnya aku yang pergi bu
Terlalu sulit untuk Nova membayangkan bahwa selama ini sang suami menaruh hati padanya. Permainan dendam yang Angga lakukan sangatlah rapi hingga tak pernah terbesit di pikiran Nova akan hal itu. Kini, keduanya tengah berada di dalam mobil menuju sebuah tempat yang dirahasiakan oleh Nova. "Kita mau kemana, Nova? Kenapa mataku ditutup seperti ini? Gelap sekali," kata Angga mengeluh. Selain memiliki trauma mendalam atas kehilangan keluarganya, Nova juga baru mengetahui bahwa pria itu takut akan kegelapan.Tetapi, saat ini Nova harus sedikit tega pada sang suami demi kelancaran kejutan kecil yang sudah ia rancang sebelumnya. "Tenang saja, mas. Aku tidak akan membawamu kemanapun. Lebih baik sekarang kamu tidur dulu. Setelah sampai di tujuan, aku akan membangunkanmu," kata Nova. Angga mengangguk, kemudian menyandar kepalanya pada bantalan kursi mobil. Dari sisi kanan Angga, Nova bisa melihat betapa Angga berusaha keras untuk menyembunyikan kelelahannya. Pria itu bahkan tak menolak saat
Kalimat itu menggelitik telinga Angga. Deru napas Nova disusul dengan aroma sakura dari parfum yang dipakai Nova kali ini sontak membangunkan setan kecil dalam diri Angga. Menggodanya untuk terus menghirup aroma tubuh Nova yang memabukkan.Dua puncak hidung mereka saling beradu. Sesekali meninggalkan kecupan-kecupan kecil di wajah sang istri. “Jadi, sekarang kita resmi memanggil satu sama lain dengan sebutan sayang, ya?” ucap Angga dengan senyum puas.“Iya, masku sayang…” balas Nova tak kalah romantis. Keduanya terkekeh akan tingkah konyol mereka. Sedangkan Angga tertawa puas saat ia berhasil mencubit sebelah pipi Nova yang memerah.“Awh, sakit, mas,” protes Nova. Bibirnya mengerut bak karet. Melihat itu, Angga justru semakin tertantang untuk melakukan kejahilan-kejahilan lain. “Habisnya, kamu menggemaskan sekali, sayang.”“Masa? Ah, aku tidak percaya! Pria dingin sepertimu bagaimana bisa bersikap romantis? Yang ada sejak kita memutuskan untuk membangun rumah tangga berdasarkan cint
Cukup lama Angga dan Mark bersitegang. Tidak ada satupun diantara dua pria itu yang berniat untuk membuka obrolan. Dibatasi oleh stroller yang ditempati Noa. Baik Angga maupun Mark, sama-sama sibuk dengan isi pikirannya sendiri. “Kenapa kau ada di sini? Kau belum menjawab pertanyaanku. “ Mark pada akhirnya mengalah. Nada bicaranya berubah lebih santai. Tidak ada lagi sorot kejam yang menghunus dan menyudutkan Angga. “Seharusnya kamu tahu tanpa perlu bertanya.” Angga melirik ke arah Noa. Mark tahu maksud terselubung atas kode yang diberikan oleh Angga. Mark terkekeh, menertawakan nasib Angga yang mengenaskan. “Kau lebih rela mengalah demi sahabatmu?” ejek Mark. Senyum lebarnya sengaja dipampang di depan Angga karena berhasil memenangkan keadaan. “Bukan urusanmu. Jadi tutuplah mulut.” “Apapun yang menyangkut Nova adalah urusanku,” Mark mendengus. Emosinya terpancing kala sadar Angga tidak terpengaruh sedikitpun dengan ejekannya tadi. “Kalau begitu, kenapa kau masih di sini? Bukan
Reno meraih rahan Anya untuk menatapnya. Sikap Anya yang berbeda membuat Reno mengikuti arah pandang wanita itu.Tidak ada siapapun di sana. Apakah Anya sedang berhalusianasi? Pikir Reno.“Anya, tenanglah. Apa yang terjadi?” tanya Reno penasaran. Kekhawatiran pria itu tidak bisa dibendung lagi. Anya tidak menjawab, melainkan beralih menatap dua manik hitam di hadapannya dengan pandangan kosong. Isi kepalanya terlalu penuh. Bahkan sudah disesaki oleh sekian banyak masalah yang menimpa hidup. Kini, satu-satunya orang yang peduli dengan kondisinya selain Reno di tempat kerja mungkin tidak akan bisa menaruh kepercayaan lagi pada Anya.“Aku baik-baik saja, Ren. Lebih baik kita pergi dari sini,” ajak Anya menarik tangan Reno keluar dari lorong.Anya yakin, Diana sudah melihat semua adegan mesra yang dilakukan oleh Reno untuknya. Rasa bersalah kembali menghantam batin Anya. Bagaimana caranya agar Diana mau mendengarkan ucapannya?Dalam hati, anya terus bertanya-tanya, apakah dirinya salah m
Menyusuri koridor di mana unitnya berada, Lita berjalan dengan langkah gontai. Riasan di wajah sudah tidak beraturan. Meski demikian, kecantikan wanita berusia 29 tahun itu tak kunjung luntur terhanyut oleh air mata yang sebelumnya mengalir dengan deras. Tok tok tok! “Mario, buka pintu!” teriak Lita dari luar unitnya. “Mario!”Tetap tidak ada jawaban. Lita baru menyadari, ia tidak membawa kunci akses unitnya sendiri sebelum pergi tadi. Dengan perasaan kesal Lita mengutuk kebodohannya hari ini. “Selamat malam, Nyonya Lita?” suara petugas yang bertugas di lantai itu menyapa Lita. “Malam.” “Kelihatannya anda sedang kebingungan, ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” Ah, akhirnya bantuan datang tanpa membuat Lita repot harus turun ke meja resepsionis untuk meminta akses baru. “Bisakah anda membantu saya membukakan pintu unit? Saya lupa membawa kuncinya di dalam.” Senyum hangat menghiasi wajah yang mulai menampakkan keriput di bawah mata pria itu, “Dengan senang hati, Nyonya. “Krek.
Angga menurunkan pandangan cukup lama. Bukan kehilangan kepercayaan diri namun, tak kuasa melihat keintiman diantara dua sejoli yang bertemu malam ini. “Untung kamu sama om, Noa,” ucap Angga bermonolog. Bayi di dalam stroller itu menatap Angga lama. Seakan setuju dengan pernyataan omnya. Sedangkan, di seberang meja Angga saat ini. Ada dua sejoli yang sedang melakukan pendekatan satu sama lain. Mario nampak memamerkan senyum terbaiknya di depan Nova. Sedangkan Angga berusaha menahan napas karena pemandangan romantis itu menyakiti hatinya. Ya, Angga cemburu. “Ini untuk aku, Mario?” suara lemah lembut yang khas, menjalar disekitar telinga Angga. Terasa menggelitik hatinya meski pertanyaan itu ditujukan untuk Mario. “Iya, Nova. Ini untuk kamu. Kamu sudah berjuang sejauh ini, kamu wanita hebat.” Angga tidak tidak memiliki masalah dengan pendengaran. Tetapi ia sengaja menutup kedua telinga dengan penyumbat tak kasat mata. Dikala pujian demi pujian dilontarkan Mario untuk Nova, Angga m
Bab 31“Saya hanya berniat mengingatkan saja, tanpa bermaksud untuk ikut campur lebih jauh urusan nona dan tuan. Maafkan saya,” kata Astri merasa bersalah.Sarah berusaha untuk memaklumi kekhawatiran Astri. Tapi untuk seseorang yang cukup peka, Sarah tidak menelan mentah-mentah ucapan Astri tadi. Instingnya mengatakan Astri tahu hal lain yang disembunyikan oleh semua orang. Dan Astri penasaran akan hal itu.“Tidak masalah, aku senang kamu mengkhawatirkanku. Artinya kamu peduli padaku,” balas Sarah. Ia menampilkan senyumnya yang terpantul dari cermin di hadapannya. Dari sana terlihat Astri yang juga membalas senyuman Sarah.“Saya sangat peduli dengan nona. Dari sekian banyak wanita yang menjadi selir tuan, cuma nona Sarah yang sangat rendah hati.” Astri mengakui. Sambil menata rambut Sarah, sang asisten dengan cekatan memberikan polesan-polesan riasan tipis di wajah Sarah. Setengah jam sudah berlalu, namun dua wanita itu masih sibuk dengan segala tetek bengek bersolek. Brak!!Sarah da
“Bagaimana menurutmu, mana hadiah yang cocok untuk wanita pujaanku?” tanya Mario pada Angga. Sahabatnya itu tersenyum lebar tanpa beban. Menyeret Angga ke dalam sebuah toko perhiasan ternama.Angga belum sepenuhnya mengerti maksud Mario, hanya mengernyitkan dahi. “Untuk siapa?” Mario menghembuskan napas lelah. “Jadi, sejak tadi aku mengoceh di jalan, kau tidak mendengarkan aku?” keluh Mario kecewa. Wajahnya berubah masam. “Um, itu–” “Sudahlah, aku tahu apa yang mau kamu ucapkan. Sekarang bantu aku.memilih perhiasan yang cocok untuk Nova.” Deg! Berat rasanya menelan ludah saat mendengar nama Nova terlontar dari mulut Mario. Tatapan Mario yang dalam menyiratkan cinta yang besar untuk wanita yang justru masih berstatus sebagai istri Angga.Andai Mario tahu kebenarannya, apakah pria itu masih bisa bersikap hangat pada Angga dan menganggapnya sebagai sahabat?Belum tentu. Sebuah kenyataan pahit yang harus siap Angga telan mentah-mentah. “Diantara dua kalung ini, menurutmu, mana yang
Duduk diantara banyak pepohonan rimbun demi kenyamanan bayi mungil yang terlelap dalam stroller. Dua orang yang sempat terlibat perang dingin memilih taman di belakang swalayan untuk sekedar menghalau ego yang menggebu. Atas saran Nova, Mark dan Angga diasingkan ke tempat ini. Supaya kalian tahu, bagaimana seharusnya menjadi pria dewasa. Itu pesan Nova saat menengahi perseteruan diantara dua pria yang menggilainya. Sedangkan wanita itu, memilih untuk menyendiri di bagian lain swalayan. Mark berinisiatif mengambil alih penjagaan atas Noa dari Nova setelah melakukan bujuk rayu yang kesekian hingga akhirnya Nova luluh juga. Itu Mark lakukan demi kenyamanan kekasihnya. “Setelah kau melakukan itu pada Nova, kau masih punya nyali untuk menemuinya?” Mark membuka obrolan di tengah keheningan sebelumnya mencabik batin dua pria itu. “Tahu apa kau tentang aku?” “Banyak hal. Banyak yang Nova bagikan padaku, termasuk tentang dirimu yang sudah melukai hatinya. Aku tidak habis pikir, apa kuran
“Nova, kamu kenapa menghindar dariku?” Tubuh Nova berbalik secara paksa ketika sebuah tangan mencegat pergelangannya. Nova tahu siapa pembuat onar di tengah keramaian swalayan yang sedang ia sambangi. Membelakangi stroller putranya, Nova memandang malas Mark yang kini berdiri menjulang di hadapannya. Manik keoranyean, menyorot tajam. Pandangan Mark turun ke arah dua tas belanjaan yang tersampir di kanan dan kiri stroller milik Noa. “Kenapa?” tanya Nova sinis. Awalnya, ia tidak ingin membuka topik pembicaraan dengan pertanyaan singkat itu. Tetapi, gerah semakin menjadi. Bahkan hanya ditatap Mark beberapa saat saja berhasil membuat sesuatu di dada Nova bergejolak. Tentu, gejolak aneh itu nova yakini sebagai bentuk tidak nyaman semata. Bukan karena perasaan nyaman atau cinta sekalipun.Terlalu lelah untuk bicara tentang cinta saat ini. Keberadaan Noa adalah yang paling utama baginya melebihi apapun. Mark memamerkan ekspresi bersalah, dan Nova tahu itu hanya sebuah upaya untuk memani
Tin! Tin!Suara klakson mobil membuyarkan obrolan pagi diantara Ameera dengan asisten rumah tangganya. Keduanya mengerutkan kening bingung. Siapa gerangan yang pagi-pagi sekali sudah bertamu? “Sepertinya ada tamu, non. Bibi ke depan dulu, ya,” kata bibi seraya menaruh kembali sebuah piring di meja makan. Ameera mengangguk, membiarkan wanita itu menyambut kehadiran sosok tak diundang itu kemudian melanjutkan makannya. Seperti biasa, Ameera bertugas jaga pagi hari ini. Deretan jadwal konsultasi bagi pasiennya sudah menunggu untuk di rampungkan hingga nanti sore. Setelah menyelesaikan makannya, terdengar suara langkah kaki menghampiri Ameera yang sedang meneguk air putih.“Non, mas itu datang lagi,” kata bibi. Raut wajahnya khawatir ketika mencium bau-bau perang dingin yang akan terjadi diantara majikannya dengan pria yang ia maksud. “Mas siapa, bi?” Ameera kebingungan. Pasalnya ia tidak memiliki bayangan sedikitpun. Hari masih terlalu pagi untuk mencerna sebuah teka-teki.“Pria yang