Lucas memarkirkan mobil di area parkir yang lumayan luas. Sudah lama tidak ke tempat makan sebagus ini, membuat aku menjadi minder ketemu banyak orang-orang asing. Aku melirik Lucas, mendadak merasa tidak sepadan dengan dia yang bersinar terang di luar, akan tetapi aku malah meredup.
"Ayo turun, Flo! Kenapa malah lihat ke arahku kaya gitu?"
Lidahku kaku untuk menjawab. "Banyak manusia di sini, Mas."
"Kita juga manusia, Flo. Bukan Alien atau jin."
"Ya, aku bukan manusia aku bidadari." Aku pura-pura becanda karena terlanjur malu dengan sikapku.
Lucas tersenyum. "Ya, kamu secantik bidadari, Flo."
Kami berdua masuk ke dalam restauran. Berjalan berdua dengannya membuat peluhku bercucuran karena tegang. Ada banyak yang aku pikirkan. Lucas sering ke sini tanpa mengajakku, apa aku ini membuat malu dirinya sehingga satu tahun menikah baru diajak ke tempat favoritnya. Aku butuh cermin, penampilanku gak buruk juga 'kan?
"Kenapa lagi, Flo? Apa kamu gak suka tempatnya?"
"Suka, kok."
"Tapi wajahmu resah."
"Ah, masa, sih? Perasaan biasa aja, deh."
Sebenarnya aku ingin menarik Lucas, mengajaknya pulang. Orang-orang di sini terlihat fashionable dan juga sosialita, sementara aku tidak. Namun, apa kabar dengan perut suamiku. Sungguh, cacing di perut Lucas memiliki tampang sangar seperti Lucas. Buktinya, Lucas sering marah-marah, jika perutnya telat di isi.
Lucas menggenggam tanganku. Aku kaget atas reaksinya. "Kenapa menuntunku? Aku bukan manula masih bisa berjalan sendiri, kok."
Lucas malah mencium tanganku tanpa menjawab pertanyaanku tadi. Ayo, lah. Ini tempat umum. Aku malu.
Kami memilih meja, dekat dengan jendela. Kami sama-sama suka tempat duduk dekat jendela. Di rumah pun, meja makan posisinya tidak jauh beda.
"Kamu mau makan apa? Tapi jangan bilang terserah. Karena tidak ada menu terserah di sini," kata Lucas, sesaat setelah dia duduk dengan rapi.
"Aku lagi pengen makan Steak daging."
Lucas memesan untuk aku dan dirinya. Kami pun menunggu makanan tersaji. Sambil menunggu, Lucas malah sibuk dengan smartphone, mungkin dia lupa aku berada di hadapannya. Namun, aku malah tidak bisa melepas pandangan darinya. Garis wajahnya lebih terlihat tegas, nampak serius saat memegang benda pipih itu, dari gerakan tangannya, dia pasti sedang mengetik teks yang panjang.
Ulahku menatapnya membuat dia melirik. "Maaf, Flo. Aku hanya mengecek sedikit naskahku yang harus selesai bulan ini. Masih ada bagian yang rancu dan cacat logika."
"Oh iya, gak apa-apa." Aku mengiyakan walau sedikit tidak paham maksudnya.
Lucas menaruh hapenya tanpa diminta. Aku tersenyum, dia sedikit lebih peka dari sebelum-sebelumnya. Akan tetapi, kalau dia benar-benar sibuk, tidak masalah juga jika dia ingin mengedit naskahnya.
"Naskah yang mana, Mas? Yang baru? Aku belum baca bukumu yang 'Danger Line' tapi sudah ada cerita baru lagi, ya?"
Alis Lucas bertaut. "Kamu juga baca? Kupikir bukuku yang kukasih waktu itu, sudah dipakai ganjel lemari sama kamu."
"Sebenernya, baru aku buka juga, sih. Baru 10 halaman. Aku agak pusing sama ceritanya, gak paham. Tapi kucoba lanjut baca kemarin, ternyata seru juga."
"Really? Pusing kenapa? Aku gunakan kalimat efektif, kok."
"Banyak istilah yang aku gak paham. Ya, maklum saja aku emang jarang baca. Sekalinya baca, paling buku romantis biasa."
Lucas tersenyum. "Oh, yang itu aku tahu. Aku sempat kepikiran nulis satu gendre romantis biar kamu baca juga. Tapi kayanya aku gak sanggup."
"Jangan, lah. Jangan maksain diri. Sesuai yang kamu minati saja, kalau suka action dan thriller, kenapa harus cape-cape nulis gendre lain."
Aku memberi saran seperti itu karena tidak sanggup membayang seorang yang cuek dan tidak peka seperti Lucas menulis romansa. Bukannya jadi romantis bisa-bisa membuat pembaca jadi geram dan marah.
"Haha ... Iya, juga. Btw buku Danger Line, ada kisah romantisnya juga dikit. Bahkan agak unik menurutku, kisah cinta antara anak korban pembunuhan dan narapidana."
"Oh, ya? Di halaman berapa?"
Lucas menaikan alis. "Baca saja, nanti gak seru kalau banyak spoiler."
Aku mengangguk. Tak lama, makanan kami datang. Lucas menggeser pesananku mendekat padaku. "Makasih, Mas!"
Lucas sangat lahap. Ya, dia sudah lapar sejak tadi. Aku membiarkan dia menikmati makanannya sampai habis.
***"Tidur, yuk! Sudah malam, Mas," kataku saat melirik jam dinding di ruang kerja Lucas.
"Tunggu bentar lagi! Kamu juga jangan ke mana-mana dulu, stay with me, please." Lucas menjawab sambil matanya masih saja lekat menatap laptop.
"Tumben minta ditemenin?"
Lucas hanya tersenyum, dan itu tidak menjawab pertanyaan dariku.
"Daripada aku melongo gak jelas. Aku mau sambil mijitin kamu aja, ya!" Aku menghampiri Lucas. Berdiri di belakang kursinya.
"Silakan! Sayang!"
Aku memijat bahu suamiku, sambil sesekali melihat apa yang dia tulis. Gaya bahasanya agak sedikit berbeda dari buku Danger Line. Aku mudah paham dengan apa yang kubaca. Bahkan, majasnya terlalu indah. "Kamu nulis Romance? Kok kalimat-kalimatnya bikin baper."
"Bukan. Hanya menulis kisah hidup. Mungkin kelihatan baper karena tokoh di ceritaku, hampir putus asa karena lumpuh."
"Oh. Masih lama ending-nya?"
"Sudah selesai, aku hanya merevisi beberapa bagian yang kurang pas."
Aku berhenti bertanya. Akan tetapi Lucas tiba-tiba berkata padaku.
"Nanti kamu bantu aku pilihan gambar cover yang bagus, ya, Flo."
"Iya, boleh. Sekarang aja."
Lucas mengklik logo minimize dokumen word, lalu membuka file gambar. Menampilkan desain cover entah buatan siapa, palingan Lucas memesan pada cover shop. Aku hanya diminta memilih.
"Bagus yang mana, Flo?"
Aku menunjuk pada warna Salem karena warnanya yang kalem. Juga sesuai dengan gambar vector seorang wanita berambut panjang yang berada di kursi roda, dengan latar langit senja di pantai.
"Tokohnya cewek?" tanyaku
"Iya."
"Diluar kebiasaan kamu banget, ya? walaupun baru baca kemarin-kemarin. Aku tahu, loh, ceritamu selalu pakai sudut pandang cowok."
"Cuman mau menantang diri sendiri aja, keluar dari zona nyaman."
"Oh."
"By the way makasih buat pilihannya tadi. Fix, Aku pilih sesuai pilihanmu."
"Ya udah, tidur yuk! Besok Mas harus kerja, Mas suka keterusan kalau udah di depan laptop. Kita harus tetap jaga kondisi badan kita, Mas."
Lucas menurut menutup semua lembar kerjanya. "Aku belum shalat isa, nih, kamu duluan ke kamar. Nanti Aku nyusul."
"Oke."
Aku ke kamar duluan, karena sudah shalat duluan dari tadi. Lucas kalau sudah bikin novel suka lupa diri. Shalat pun sudah di akhir waktu, dia malah baru ambil wudhu.
Aku mematikan lampu kamar, menggantinya dengan lampu tidur yang bersinar redup. Kemudian naik ke atas kasur, berbaring senyaman mungkin.
Ada cahaya ponsel di tengah kasur, seseorang sedang melakukan panggilan. Pasti ini ulah Lucas yang sembrono menaruh ponsel di atas tempat tidur, untung saja aku tidak menindih benda pipih miliknya.
Aku tidak berani mengangkat panggilan telepon di ponsel Lucas. Akan tetapi, badan ini menjadi kaku, malam seakan mencekik hingga remuk hatiku. Saat melihat foto profil seorang wanita yang melakukan panggilan ini. Aku pernah melihat wajahnya, sama persis dengan wajah wanita pada foto yang kutemukan di laci meja kerja Lucas. Ini Amanda, aku yakin.
Selama ini aku tidak pernah kepo Lucas menerima panggilan dari siapa saja, kenalan Lucas banyak sekali, baik pria atau wanita, tapi kali ini aku harus berbuat sesuatu. Aku mengangkatnya, sengaja tidak memberi salam terlebih dulu, ingin tahu dia mau bicara apa.
"Hallo, Mas Lucas. Kamu belum tidur? Aku lihat masih online jadi memberanikan diri untuk telepon."
"Kamu Amanda?" tanyaku tanpa basa-basi.
Hening, sepertinya dia kaget aku yang mengangkat. Lucas tidak pernah menaruh Smartphone sembarangan, sebelumnya. Jika saja smartphone Lucas tidak ketinggalan di kamar, mungkin aku tidak pernah tahu si Amanda ini suka menelepon.
"Kamu kenapa tidak jawab?" Lucas memberi nama kontak ini dengan nama Nda. Aku harus buat Nda mengaku bahwa dirinya adalah Amanda.
"Ya, aku Amanda. Ini sama Mbak Flora, ya? Mas Lucasn lagi ke mana, ya?"
Wanita tidak tahu malu, sudah tahu Aku yang angkat telepon. Dia dengan polosnya menanyakan suamiku berada di mana.
***Dadaku sesak, hati bagai terhimpit bebatuan besar saat mendengar suara wanita halus dan memanja pada Lucas pada sambungan telepon ini. Mungkin saja Lucas sudah berkali-kali memanjakan wanita yang bernama Amanda ini, sehingga Amanda berani bernada manis saat berbicara, membuat aku ingin menarik sampai putus bibir indahnya. Lebih parahnya lagi, dia tahu namaku Flora. Berarti tahu, Lucas sudah mempunyai istri. Tapi kenapa masih nekad menelpon pada malam hari seperti ini."Hallo, Mbak Flora. Mas Lucas memangnya lagi ke mana?" tanya Amanda kembali, karena aku tidak menjawabnya tadi."Aku gak perlu bilang sama kamu Lucas ada di mana. Kamu harusnya tau diri untuk tidak menanyakan suami orang malam-malam kaya gini. Gak punya etika kamu.""Aku minta maaf, aku gak berniat ganggu kalian. Aku hanya ingin tanya-tanya soal Novel padanya.""Kalau bisa tanya siang hari, kenapa harus malam harim? Jangan cari-cari alasan kamu.""Biasanya aku telpon malam juga
Tenaga habis terkuras semalam karena marah-marah lalu bersenggama dengan Lucas, membuat aku jadi rakus saat pagi hari. Aku menyantap nasi goreng buatan suamiku dengan lahap dan dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Ternyata, pria bodoh tukang selingkuh itu bisa juga masak enak.Aku memegang gelas yang berisi susu murni hangat. Merasa takjub pria macam Lucas mau membuatkan ini untukku. Kerasukan apa dia? Takut kutinggal gara-gara ketahuan sering telepon wanita lain. Mereka sepertinya saling suka, tidak ada alasan yang masuk akal selain cinta mereka tidak direstui orang tua. Aku ingat, Lucas pernah bilang jangan bilang-bilang orang tua masalah penemuan foto wanita lain di laci.Tapi, itu cuma dugaan dan rasa cemburu butaku loh, ya! Aku harus memastikannya lagi.Aku mengacak rambut dengan frustasi. Tidak menyangka, bahwa aku akan mengalami apa yang pernah teman-temanku alami. Dea temanku, menjanda diusia muda karena suaminya pergi dengan wanita lain. Aku
Ini tempat umum, Lucas masih saja berdiri menatapku dengan tatapan tajam dan menghakimi. Seolah aku istri yang bandel, beberapa pasang mata menatap penuh cibir pada kami. Membuat aku menjadi kaku, tidak bisa membela diri. Aku takut saat membela diri suara Lucas akan meninggi di sini. Walaupun kemungkinan kejadian seperti itu kecil, karena Lucas biasanya akan menjaga wibawa di hadapan umum. Entah jika dia sedang terlalu kesal, atau kesabarannya sedang runtuh."Duduk dulu, Lucas!" Alan berkata pada Lucas membuatku sedikit lega."Gak usah, Kak. Gak apa-apa. Kami harus langsung pulang.""Flora bisa balik bareng gua, kok. Gua kan kakaknya.""Gak apa-apa. Flora biar pulang sama gua aja, Kak.""Aku tidak mau. Aku mau pulang bareng Kak Alan aja."Alan menatap ke arahku, memberi kode lewat mata supaya aku pulang bersama Lucas. Aku tidak mau, aku malas."Kenapa gak mau, Flo? Ini sudah sore, nanti kita bisa kemalaman di jalan.""Gak apa-apa, just
Satu Minggu berlalu semenjak aku pergi ke luar bersama Alan. Seminggu kemarin Lucas selalu mewanti-wanti supaya aku harus ijin ke manapun. Bukan hanya itu, walaupun tidak ke luar aku wajib mengirim share location setiap jam 12 siang, sebagai bukti bahwa aku stay at home. Sudah kaya tahanan dalam kota aja, padahal hanya tidak ijin satu kali, itupun gak sengaja. Dasar Lucas, nyebelin.Ada paket masuk, rupanya buku yang waktu itu Lucas buat sudah selesai proses cetak. Aku membuka paketnya, menyimpan puluhan tumpukan buku yang masih tersegel ke meja kerja suamiku. Lalu memfoto tumpukan buku tersebut kemudian mengirimnya pada Lucas sebagai laporan. "Paket datang, nih!""Makasih sudah dirapikan, Flo.""Sama-sama, Mas. Kamu beneran pilih cover sesuai pilihanku, ya, Mas?" tanyaku lewat pesan WhatsApp, karena merasa senang sampul warna Salem yang kupilih waktu itu menjadi sampul buku Lucas."Pilihan kamu yang terbaik, sayang."Kata Lucas, sebagian lagi dibe
Aku mencari keberadaan Lucas. Aku abaikan kondisi kesehatan yang kurang baik ini demi mengetahui fakta yang sesungguhnya. Kaki sudah semakin letih berjalan, tapi tetap saja belum melihat keberadaanya di mana. Apa orang yang memberitahu Lucas ada di pantai ini berkata jujur? Jangan-jangan, aku kena prank lagi oleh nomer Gaje itu.Semakin lelah, aku pun jongkok. Pasir putih ini, membuat kaki merasa sedikit terbebani. Aku kembali berdiri setelah beberapa detik termenung, berniat akan pulang karena tidak mendapat apa pun di sini, kecuali rasa letih.Aku tidak jadi pulang, saat melihat di depanku ada pria mirip Lucas.Dari jarak beberapa meter, aku melihat seorang pria sedang menggendong wanita muda. Wanita itu, nampak bahagia berada di punggung pria. Adegan yang aku lihat mirip drama Korea stairway to heaven. Aku menghampiri mereka, karena merasa kenal dengan t-shirt yang dipakai pria itu. T-shirt yang kemarin malam baru aku strika dan di simpan di lemari pada
Untuk pertama kalinya setelah menikah aku berada malam-malam di luar tanpa Lucas. Aku masih akan menjadi istri yang penurut, berkomitmen tidak akan keluar malam tanpa suami jika saja Lucas tidak berselingkuh. Sia-sia saja jika aku terus yang berjuang mempertahankan rumah tangga ini. Sialnya, aku berada di tempat ini bersama pria lain.Sebisa mungkin, aku tidak terlalu dekat dengan Dean. Walaupun niat Dean hanya murni menolongku.Aku mengunyah burgers yang dibelikan Dean dengan lahap. Beruntung, perutku bisa menerimanya. Walaupun rasa dagingnya menjadi aneh. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku, biasanya aku suka daging, dan sekarang malah memilih bagian roti dan sayurannya saja."Makan yang banyak, Flo. Bukannya katamu belum makan dari pagi."Aku hanya mengangguk sambil mengambil kentang goreng karena burgernya sudah habis. Pria di hadapanku melongo, melihat aku menandaskan makanan dengan cepat. Maklum, mencari Lucas di pantai membuatku kelel
Terbangun pukul setengah lima dini hari, saat pertama membuka mata rasanya memilukan. Ini bukan di kamarku, rasanya masih belum ikhlas walaupun aku yang memilih pergi dari Lucas. Biasanya Lucas akan mengajakku shalat berjamaah saat subuh, tapi sekarang tidak ada dia. Semua itu hanya ada di dalam khayalan saja sepertinya.Semalam, Ririn pergi ke mini market hanya untuk membeli alat tes kehamilan. Dia takut aku salah minum obat. Dia melarangku minum obat mag sebelum aku tes kehamilan.Aku tahu waktu yang paling akurat adalah pagi hari. Aku pun pergi ke kamar kecil untuk memastikan apakah ada nyawa di dalam perutku atau tidak. Tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, mungkin jika hasilnya positif, akan aku rahasiakan bahwa aku telah mengandung demi menghindar dari Lucas.Beberapa menit menunggu hasil, jantungku berdebar untuk melihat benda itu. Kakiku melemas, dada terasa sesak dan dihimpit kepasrahan saat kutahu hasil tesnya positif. Aku menjatuhkan diri di lant
Lucas membawaku masuk ke dalam mobilnya, aku tidak meronta karena ingat sedang hamil. Hanya bisa minta dia menurunkan secara baik-baik. "Tolong turunkan aku!""Suruh siapa tidak menurut kalau diajak pulang.""Aku lagi nunggu cemilan via kurir. Aku mau ngemil sekarang. Gak mau pergi ke mana-mana.""Kita akan beli cemilan lain di jalan."Gerak tubuhku menolak saat masuk mobil, tapi Lucas mendorongku hingga tubuh terasa sakit. Dia tidak cinta padaku, dia hanya mencintai harga dirinya. Harga dirinya pasti terusik jika istri sendiri sampai kabur. Aku melihat wajah arogan Lucas saat memaksaku masuk.Aku duduk di jok depan, berpikir hal lain. Bagaimana kalau sekalian saja ambil pakaian ganti dan beberapa uang di laci. Bukankah saat pergi aku hanya membawa baju yang menempel di badan. Aku bisa pergi kapan pun, bahkan ke tempat yang jauh jika dibekali uang."Kamu lagi mikirin apa?" tanya Lucas, dia sadar rupanya aku melamun."Gak ada. Aku hanya ingin
Aku seakan bermimpi, saat membuka mata di pagi hari, dan yang pertama kali aku lihat adalah sosok wanita yang kucinta. Dulu, dia mengisi hati ini kemudian pergi dengan membawa luka. Aku tidak bisa mencegahnya walaupun sudah berusaha menahannya. Dia tidak setuju dengan tawaran yang aku berikan. Tawaran untuk berpoligami. Entahlah, aku merasa tidak ada yang salah waktu itu. Hatiku tetap ada untuknya. Lalu sudah aku katakan berulang kali bahwa menikahi wanita lain hanya sebatas alasan yang mendesak. Bukankah pria mempunyai hak jika mampu? Tapi istriku tidak mau peduli dengan apa pun alasannya. Amanda mantanku, dia kembali setelah cukup lama tidak berjumpa. Dia datang dengan tidak berdaya, sakit dan menyedihkan. Dia memintaku untuk melindunginya. Karena katanya, tidak ada satu pria pun yang mencintai wanita lumpuh dengan tulus. Karena akulah penyebab dia kecelakaan. Aku merasa bersalah mendengar kata-katanya. Dia memukul terus kakinya yang pincang, dan ha
Semua mata tertuju padaku bukan karena pernyataan Lucas, tapi karena aku tersedak dengan tiba-tiba. Wajahku pasti terlihat konyol saat ini, aku malu. Lucas memberiku segelas air putih dan aku menandaskannya dengan segera. Saat ada kalimat selamat yang terlontar dari mulut mereka secara bergantian, hatiku belum sepenuhnya sadar. Seakan Lucas sedang membuat konten prank di Chanel YouTube untuk menjahiliku. Tapi saat aku melirik ke arahnya dia nampak serius. Kami pulang. Sepanjang perjalanan pulang Lucas nampak tersenyum. Pria gila itu selalu berhasil mewujudkan keinginannya. Sementara aku mendadak gugup, tak berselera untuk bicara namun jiwaku terasa hangat. Walau caranya membuat aku jengkel, tapi aku suka saat dia meminta aku kembali jadi miliknya. Lucas menerima panggilan telepon, entah dari siapa. Namun raut wajahnya nampak lesu dan risau. "Huh, merepotkan!" umpat Lucas. "Ada apa?" tanyaku ragu-ragu. "Papah masuk rumah sakit, dia pecah pembul
Aku paham, butuh waktu cukup lama untuk seseorang memahami isi hati orang lain. Begitupun bagi Andrean, meskipun Lucas sudah merangkul dan meminta maaf. Dia mematung, tidak ada minat sedikitpun untuk berbicara dengan Lucas. Tak lama dia memilih pulang. Dia hanya pamit kepadaku dan tidak menanggap Lucas ada di dekatnya. Lucas menatap punggung Andrean hingga menghilang. Tertunduk dan melamun, mungkin saja Lucas ingin hubungannya baik seperti dulu kala. Menjalani masa kecil bersama, sekolah dan masuk universitas yang sama dan kini hubungannya retak hanya karena masalah hati. Aku paham pahitnya ditinggalkan sahabat sendiri. Cukup lama aku dan Lucas berada di ruang yang sama namun memilih saling diam dari tadi. Akhirnya Lucas menatap ke arahku dan tersenyum. "Flora, lagi sibuk? Apa bisa minta waktumu sebenar saja buat ikut denganku?" Aku tersenyum, tidak biasanya dia meminta waktuku dengan sesopan itu. Lucas berkata kembal
Aku melempar pakaian Lucas ke lantai di kamar. "Cepat pakai pakaianmu! Memalukan! Mentang-mentang tidak ada Renata, so merasa jadi anak muda? Jangan coba-coba tebar pesona padaku! Tidak akan mempan." "Siapa yang tebar pesona? Terus menurutmu, cara pakai handuk seorang bapak satu anak bagaimana? Apa dililitkan di leher, hah? Atau diikat pada dua kaki seperti orang yang sedang diculik penjahat? Kamu akan lebih menjerit histeris jika melihat aku seperti itu." Ah sialan, kenapa Lucas berkata seperti itu aku malah membayangkan Lucas melilitkan handuk ke leher dan kaki. Aku jadi frustrasi membayangkan visual aneh itu. Sepertinya Lucas melangkah mengambil pakaiannya yang tercecer. Entahlah, setelah dengar ocehannya aku langsung menutup pintu tanpa menatap ke arahnya. Kemudian aku menyeduh macchiato untuk kami berdua. Lucas keluar kamar dengan stelan casual warna denim. Seingatku, pakaian itu aku yang pilihkan, belanja di online shop saat ada diskon dan grati
Lucas menggendong Andrean. "Mau kita buang ke mana pria brengsek ini?"Aku teramat resah, masa iya Lucas mau membuang Andrean seperti barang bekas. Apa mungkin dia akan melempar Andrean ke lapangan yang tandus seperti halnya membuang Amanda kemarin itu?"Jangan becanda, Lucas." Aku mengikuti langkah Lucas yang pelan karena beban di punggungnya."Kamu parkir mobil di mana?" tanya Lucas."Aku gak bawa mobil, mobil ada di parkiran Cofee Shop. By the way, aku hanya berniat membawa Andrean ke pinggir dekat pohon itu. Kita bisa taruh dia di sana saja, lalu pura-pura tidak tahu apa yang terjadi." Aku menunjuk pohon besar yang di depannya terdapat tong sampah."Andrean tidak akan muat jika masuk ke tempat sampah sekecil itu. Kita butuh TPS berukuran besar.""Ayolah, Lucas! Kamu tahu sendiri maksudku adalah taruh Andrean di pinggir pohon, supaya tidak menghalangi jalan. Bukan menaruh Dean di tong sampah."Lucas tersenyum, sambil terus berjalan
Sejenak, aku merasa diri ini kehilangan akal sehat karena membiarkan mantan suami mengecup puncak kepalaku. Dan bisa-bisanya aku memejamkan mata menahan degup jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Bibir Lucas enggan berpindah selama beberapa menit, mungkin dia keterusan. Aku membuka mata, tersentak saat melihat ada orang yang lewat sehingga tanpa sengaja menyundul kepala Lucas. Menyisir rambut dengan jari, dan merapikan posisi baju yang hampir kusut. Aku hampir melupakan Lucas yang sedang meringis menahan sakit pada bibir. Dia menutup mulut dengan kedua tangannya, dengan ekspresi bodoh sedang menahan sakit. Lucas menatapku. "Agghh ... dasar cewek preman! Lihat ini! lukaku bertambah lagi di bibir. Apa bedanya kamu dengan scurity di kantor Papah?" Sembarangan, bisa-biaanya Lucas menyamakan aku dengan scurity kantor yang bertubuh besar. "Suruh siapa kamu begitu lancang mencium kepalaku? Lagian kamu pikir kepalaku juga tidak sakit beradu dengan
Saat itu, Ibuku yang selama ini tidak pernah tahu menahu urusanku tiba-tiba hadir di pemakaman mamahnya Lucas. Ternyata bukan tanpa alasan, karena Mamah Lusi yang memanggil beliau sebelum wafat. Hanya untuk menyampaikan satu permohonan terakhir sebelum melepas nyawanya satu Minggu yang lalu. Dia meminta aku dan Lucas rujuk demi kebahagiaan Renata.Aku diam sebagai tanda protes. Ibuku datang-datang menodong dengan permintaannya tanpa berniat memperbaiki hubungan dulu denganku. Dan apakah tidak pernah terbersit dalam hatinya, meminta maaf padaku? Maaf karena dulu berniat melenyapkan aku dari dunia ini. Walau belum lahir, tapi aku hidup di dalam perutnya. Untung usahanya gagal.Ibu berkata padaku dan Lucas, "Flora, Lucas! Ibu rasa permintaan Lusi adalah satu amanah yang harus dipenuhi. Kalian mungkin bisa menurunkan ego masing-masing karena sudah terikat oleh seorang anak."Aku berdiri, memberi senyum ke arahnya. "Ibu! Aku bukan orang yang dengan mudah terpengaruh
"Kenapa dari kemarin pesan dariku tidak kamu baca?" Andrean bertanya padaku saat dia berkunjung ke rumah tanpa persetujuan dariku.Satu pertanyaan itu membuatku tertekan. Aku masih terlarut dalam duka, dua Minggu yang lalu mamah Lusi meninggal, aku pun sedang malas menerima tamu. Namun dia tidak pernah mengerti. Ditambah, sudah ketahuan bahwa Andrean sekongkol bersama Amanda membuat aku tidak ingin menemuinya dulu.Andrean mencengkram pundakku. Aku menepisnya. "Tolong jangan kasar gini, Andrean! Aku mau istirahat, lebih baik kamu pulang saja!""Kita harus lanjutkan membahas pernikahan kita! Please!" Andrean mendesak."Tidak sekarang!""Kapan kamu bisa?""Tidak sekarang dan tidak juga untuk selamanya. Aku rasa kita lebih cocok jadi teman dan partner bisnis. Aku kehilangan kamu yang dulu. Kamu sudah berubah jadi over protektif padaku."Andrean meraup udara yang banyak disekitarnya, wajahnya nampak resah bercampur kesal. "Kamu pikir, aku
Rungan ini pengap dan gerah karena tidak ada pendingin ruangan, ditambah melihat Amanda dari tadi meraung-raung seperti kucing di dalam karung yang hendak dibuang ke hutan, membuat kepalaku terkena sakit kepala sebelah gara-gara mendengar suaranya. Dia lebay dan bikin pusing, aku tidak bisa membayangkan bagaimana saat Amanda di samping Lucas. Pasti hidup Lucas bagaikan lelucon bernuansa tragedi.Aku membuka pintu untuk keluar dari tempat ini. Saat pintu terbuka aku melihat wajah Lucas yang penuh tanda tanya saat melihatku. Aku yakin, dia yang mengetuk pintu dari tadi.Lucas bertanya lirih setelah sebelumnya melirik ke belakangku ada Amanda di sana. "Ngapain kalian ada di tempat ini?""Lagi bicara sesuatu."Tangan Lucas bergerak, perlahan terangkat hendak menyentuh pipiku namun tertahan di udara, kemudian dia mengepalkan tangannya dan menaruhnya lagi ke tempat semula. Dia mendengus dan menyimpan semua hasrat untuk diri sendiri."Di sini panas, kamu