Aku mencari keberadaan Lucas. Aku abaikan kondisi kesehatan yang kurang baik ini demi mengetahui fakta yang sesungguhnya. Kaki sudah semakin letih berjalan, tapi tetap saja belum melihat keberadaanya di mana. Apa orang yang memberitahu Lucas ada di pantai ini berkata jujur? Jangan-jangan, aku kena prank lagi oleh nomer Gaje itu.
Semakin lelah, aku pun jongkok. Pasir putih ini, membuat kaki merasa sedikit terbebani. Aku kembali berdiri setelah beberapa detik termenung, berniat akan pulang karena tidak mendapat apa pun di sini, kecuali rasa letih.
Aku tidak jadi pulang, saat melihat di depanku ada pria mirip Lucas.
Dari jarak beberapa meter, aku melihat seorang pria sedang menggendong wanita muda. Wanita itu, nampak bahagia berada di punggung pria. Adegan yang aku lihat mirip drama Korea stairway to heaven. Aku menghampiri mereka, karena merasa kenal dengan t-shirt yang dipakai pria itu. T-shirt yang kemarin malam baru aku strika dan di simpan di lemari pada lipatan paling atas. Itu milik Lucas.
Seakan dicekik kenyataan, ternyata itu benar-benar Lucas, suamiku.
"Mas Lucas!" Aku menyapanya sedikit keras.
Dia melirik. Terpaku tanpa suara ke arahku. Wajahnya tanpa ekspresi, tidak marah juga tidak takut saat menatapku. Wanita yang berada di punggung Lucas juga menatap ke arahku, dia semakin mempererat pelukan pada bahu suamiku. Apa-apaan ini bisa-bisanya Lucas memanjakan wanita lain seperti ini? Bahkan, aku belum pernah pergi ke pantai bersama Lucas.
Lucas berbalik badan dan melangkah menjauh tanpa berkata apa-apa. Apa Lucas masih waras? Aku datang bukannya menurunkan wanita itu dulu. Malah lanjut bermesraan membuatku ingin muntah dan meledakan ke dua orang itu dengan granat.
Aku mengikuti mereka dari belakang, sambil sesekali mengusap air mata yang entah sejak kapan sudah membanjiri pipi. Pandangan mata berkabut. Namun aku harus menyelesaikannya sekarang. Aku ingin bercerai. Aku ingin melabrak mereka terlebih dahulu.
Dalam langkah yang semakin berat, dalam detak jantung yang sulit untuk stabil kembali, mata ini menangkap sesuatu yang ganjil. Amanda hanya memiliki satu kaki. Apa yang harus aku lakukan? Alam akan mempermalukan ku kalau aku sampai melabrak seorang wanita yang sudah tidak bisa berjalan.
Aku mendengkus. Saat melihat Lucas menurunkan Amanda di depan kursi roda dan membantunya untuk duduk kembali dengan tenang. Lucas bersimpuh di depan kursi roda, aku bisa merasakan Lucas memberi ketenangan pada Amanda "Aku mau temui istriku bentar, ya!"
"Iya, silakan."
Lucas berdiri, berbalik ke arahku. Aku mengusap air mata sialan yang tidak bisa dihentikan ini.
"Kamu diam-diam nyelidiki aku, Flo?" tanya Lucas.
Aku jawab sambil terisak. "Sudah ketahuan pun kamu masih nyalahin aku?"
"Ya, bukan itu maksudku." Lucas menggaruk kulit kepala. Dia gelagapan. Baru kali ini aku lihat tampang dia yang konyol.
"Sudah aku bilang, aku gak punya ruang untuk membela diri. Silakan, sesuka hati kamu. Aku ingin pisah."
"Flora, jangan berkata yang macam-macam. Aku tidak akan menceraikanmu sampai kapan pun."
"Egois."
"Aku hanya mengajak dia main ke sini. Dia ingin melihat pantai, aku sebatas membantunya mendekati ombak, karena dia suka."
Aku meringis mendengarnya. "Memangnya harus sama kamu? Kalau gak salah, Mas Dean juga kenal sama Amanda. Kenapa gak Mas Dean aja yang ngajak dia ke pantai?"
Lucas terdiam. Pria dengan beragam alasan ini kehabisan stock kata-kata.
"Kamu bahkan nekad pergi walau tahu aku sedang sakit. Sekarang pun masih sakit. Memangnya cinta banget sama wanita itu?"
"Kamu masih sakit, Flo? Sudah diminum obatnya?" Lucas mendekat ke arahku menyentuh dahiku. Namun aku tepis.
"Aku gak jadi berobat. Coba cek WA makannya bukannya pacaran terus sama dia."
"Hapeku gak aktif." Lucas menatap ke atas langit dan sekitar kita. "Udah mau malam, pulang, yuk!"
"Kamu gak niat lihat matahari terbenam sama Amanda? Pasti aku ganggu momen romantis kalian, ya. Hahaha." Aku tertawa frustasi.
"Ikut pulang denganku, Flo!"
Lucas mengajakku tapi dia menghampiri Amanda. Sepertinya, Lucas lebih khawatir dengan kesehatan Amanda. Lucas mendorong kursi roda milik Amanda.
Aku menghampiri, ada perasaan tidak rela saat Lucas menjaga mantannya. Lebih baik, aku yang mendorong kursi roda daripada melihat Lucas yang melakukannya. Seolah, aku melihat Lucas yang diperbudak cinta tapi bukan padaku.
"Sin, aku yang dorong!"
Lucas mengalah, membiarkanku melakukannya.
"Terimakasih banyak, Mbak Flora." Ular ini berkata ramah padaku. Apa-apan maksudnya."
"Lebih baik kamu jangan berkata apa pun padaku. Kalau tidak, aku akan membuatmu tersungkur hingga tewas."
Aku lirik Lucas, dia tidak bereaksi apa pun. Pasti dia tahu, aku tidak serius dan tidak akan pernah berani melakukan hal demikian. Walaupun seluruh hatiku sudah hancur, tak terselamatkan.
Kami berjalan bertiga, Lucas tidak berbicara sedikitpun. Saat kulirik tatapannya hampa, kesedihan terpancar dari matanya. Kenapa saat bersama Amanda dia menjadi pria luluh dan melankolis. Sementara saat bersamaku, dia menjadi pribadi yang tegas dan berwibawa. Aku penasaran, seperti apa hubungan mereka di masa lalu.
Saat, sudah di depan pintu mobil. Lucas menggendong Amanda, kemudian membantunya duduk di dalam mobil. Hatiku tersayat kembali, sudah cukup pemandangan ini kusaksikan. Malah semakin menyesakan hati.
Aku memundurkan langkah, di saat Lucas sedang sibuk dengan Amanda. Berjalan lunglai entah ke mana tujuan, yang penting menghilang dari kehidupan mereka. Sudah aku putuskan, aku tidak akan kembali ke rumah itu lagi.
Aku terisak kembali, sambil terus berjalan. Sesekali perutku bergejolak, isinya minta dikeluarkan. Aku bahkan baru ingat, bahwa aku belum makan dari pagi. Setelah berhasil memakan bubur ayam tadi pagi dengan terpaksa, aku malas makan apapun kecuali rujak yang aku berhentikan saat penjualnya lewat di depan rumah.
Sementara, langit semakin menghitam. Sebentar lagi akan malam. Dan aku masih di tempat ini sendirian. Kepala berdenyut sakit, pandangan sedikit kabur, keseimbangan berjalan mulai terganggu. Aku tak kuasa melangkah lagi, berniat mencari tempat duduk tapi terlanjur ambruk duluan.
Seseorang memegangi aku. Lalu mengangkat tubuh ini yang sudah lemas. Aku melihat manik pria itu lekat menatap ke arahku tampak khawatir. "Flora, kamu gak apa-apa?"
"Dean?"
Dean membawaku entah ke mana. Aku sebenarnya tidak mau digendong oleh pria selain suamiku. "Turunkan aku, Dean!"
"Berjalan saja kamu sulit, Flo. Kamu benci banget sama aku, sampai ditolong pun gak mau?"
"Bukannya kaya gitu, kita bukan muhrim. Aku risih."
"Ini lagi darurat, ijinkan aku menggendongmu sampai naik ke mobilku. Aku antar pulang."
"Oh, gitu. Maaf merepotkanmu. Jadi Lucas berlibur bertiga sama kamu juga?"
Dean tidak menjawab pertanyaanku. Itu artinya, dia tidak berlibur bersama mereka. Sedikit aneh memang, kalau tidak berlibur bersama. Kenapa Dean bisa ada di tempat ini?
Untuk pertama kalinya setelah menikah aku berada malam-malam di luar tanpa Lucas. Aku masih akan menjadi istri yang penurut, berkomitmen tidak akan keluar malam tanpa suami jika saja Lucas tidak berselingkuh. Sia-sia saja jika aku terus yang berjuang mempertahankan rumah tangga ini. Sialnya, aku berada di tempat ini bersama pria lain.Sebisa mungkin, aku tidak terlalu dekat dengan Dean. Walaupun niat Dean hanya murni menolongku.Aku mengunyah burgers yang dibelikan Dean dengan lahap. Beruntung, perutku bisa menerimanya. Walaupun rasa dagingnya menjadi aneh. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku, biasanya aku suka daging, dan sekarang malah memilih bagian roti dan sayurannya saja."Makan yang banyak, Flo. Bukannya katamu belum makan dari pagi."Aku hanya mengangguk sambil mengambil kentang goreng karena burgernya sudah habis. Pria di hadapanku melongo, melihat aku menandaskan makanan dengan cepat. Maklum, mencari Lucas di pantai membuatku kelel
Terbangun pukul setengah lima dini hari, saat pertama membuka mata rasanya memilukan. Ini bukan di kamarku, rasanya masih belum ikhlas walaupun aku yang memilih pergi dari Lucas. Biasanya Lucas akan mengajakku shalat berjamaah saat subuh, tapi sekarang tidak ada dia. Semua itu hanya ada di dalam khayalan saja sepertinya.Semalam, Ririn pergi ke mini market hanya untuk membeli alat tes kehamilan. Dia takut aku salah minum obat. Dia melarangku minum obat mag sebelum aku tes kehamilan.Aku tahu waktu yang paling akurat adalah pagi hari. Aku pun pergi ke kamar kecil untuk memastikan apakah ada nyawa di dalam perutku atau tidak. Tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, mungkin jika hasilnya positif, akan aku rahasiakan bahwa aku telah mengandung demi menghindar dari Lucas.Beberapa menit menunggu hasil, jantungku berdebar untuk melihat benda itu. Kakiku melemas, dada terasa sesak dan dihimpit kepasrahan saat kutahu hasil tesnya positif. Aku menjatuhkan diri di lant
Lucas membawaku masuk ke dalam mobilnya, aku tidak meronta karena ingat sedang hamil. Hanya bisa minta dia menurunkan secara baik-baik. "Tolong turunkan aku!""Suruh siapa tidak menurut kalau diajak pulang.""Aku lagi nunggu cemilan via kurir. Aku mau ngemil sekarang. Gak mau pergi ke mana-mana.""Kita akan beli cemilan lain di jalan."Gerak tubuhku menolak saat masuk mobil, tapi Lucas mendorongku hingga tubuh terasa sakit. Dia tidak cinta padaku, dia hanya mencintai harga dirinya. Harga dirinya pasti terusik jika istri sendiri sampai kabur. Aku melihat wajah arogan Lucas saat memaksaku masuk.Aku duduk di jok depan, berpikir hal lain. Bagaimana kalau sekalian saja ambil pakaian ganti dan beberapa uang di laci. Bukankah saat pergi aku hanya membawa baju yang menempel di badan. Aku bisa pergi kapan pun, bahkan ke tempat yang jauh jika dibekali uang."Kamu lagi mikirin apa?" tanya Lucas, dia sadar rupanya aku melamun."Gak ada. Aku hanya ingin
Setelah semua yang telah terjadi, aku malas satu kamar dengan Lucas. Aku pura-pura nonton televisi sampai larut, menunggu Lucas terpejam duluan, lalu memilih tidur di sofa sendirian. Namun kenyataannya tidak terjadi, karena Lucas malah menungguku untuk pergi ke kamar bersamanya."Kamu besok harus kerja 'kan? Sana, tidur duluan aku masih mau nonton televisi.""Acaranya sampah, tidak bermutu dan lebay lebih baik kita ke kamar karena malam ini adalah jadwal untuk berhubungan badan kita.""Aku lagi menonton realiti show, kalau aku nonton sampah saat ini dihadapanku tong sampah bukan TV.""Ya sudah terserah kamu saja, suka-suka. Tapi yang jelas, layani aku sekarang! Buka bajumu!"Aku tahu, Lucas sulit untuk ditentang keinginannya. Semakin ditentang semakin dia memaksaku, kalau tidak dia akan marah besar nantinya. Daripada cape-cape melawan, lebih baik aku pura-pura mendengkur biar dia ilfil dan menjauh. Soalnya, aku gak tahu juga hubungan badan saat hamil mu
Tadinya aku akan pergi pagi hari, akan tetapi jam sudah menunjukan pukul 1 siang. Di luar cuaca sedang terik-teriknya sedikit menyesal kenapa tidak berangkat pagi saja sesuai rencana.Aku bingung dengan hatiku, padahal sudah mau pergi. Namun masih saja teringat baju kotor Lucas yang dua hari belum dicuci, aku pun mencuci bajunya dulu, menjemur dan menunggu hingga kering. Sementara menunggu kering, aku menyetrika baju yang ada di bak strikaan. Selain itu, kupastikan tanaman sudah disiram tadi, semoga nanti setelah pergi, Lucas tidak mengabaikan mereka.Atau mungkin saja Amanda punya ide lebih bagus tentang konsep taman yang asri. Rasanya tak rela saat membayangkan ular itu menggantikanku merawat taman kecil ini. Bahkan lebih tak rela, saat membayangkan Amanda memasak untuk Lucas, semoga masakan Amanda tidak enak dan membuat Lucas keselek tiap hari sampai keracunan.Setelah semua selesai, barulah aku meraih tas yang kusiapkan dari pagi. Aku melangkah ke l
Aku masih termenung mengingat bagaimana Aku dan Lucas bisa kenal satu sama lain, dipersatukan oleh takdir yang singkat ini. Masih lekat dalam ingatan bagaimana cara dia memintaku jadi istrinya satu tahun lalu.Aku pikir, Lucas hanya basa-basi menanyakan kapan aku main lagi bertemu dengan Cherry, adiknya. Aku memang saat itu sedang jenuh sehabis ikut lomba desain grafis dan ilustrasi, membuat otak mumet ingin bercanda bersama Cherry seperti waktu dulu, maka aku pun berkunjung ke rumah Cherry lagi.Tanpa ada prasangka apa pun, tiba-tiba Lucas duduk di sampingku sambil mulutnya penuh dengan cemilan yang kubuat untuk Cherry dan mamahnya, bukan untuk Lucas, loh itu ."Kamu yang bikin?" tanya Lucas yang masih mengunyah kue pastry buatanku."Iya." Aku deg-degan, kalau tahu Lucas ikut makan, aku pasti bikin pakai bahan premium semua biar makin mantap."Enak banget.""Makasih." Aku tersipu hanya dengan satu kalimat pujian pendek."Pintar masak
Sudah tiga bulan aku tinggal di kontrakan ini sendirian, Ririn terkadang menginap jika dia tidak sibuk. Usia kandunganku pun sudah menginjak 5 bulan. Perut ini mulai membesar tapi wajah makin tirus, mungkin karena banyak pikiran. Aku sudah berusaha menstabilkan hati, demi buah hati. Namun ternyata, pura-pura bahagia itu sulit. Kita bisa saja tersenyum di depan dunia tapi hati siapa yang tahu.Aku pergi ke mini market sore hari, membeli satu box coklat seduh dan teh celup. Selain itu, aku juga membeli susu Ibu hamil untuk nutrisi buah hati. Aku melirik ke arah samping, ada pria tegap tampan tapi jomblo sedang berbelanja juga. Aku memalingkan wajah, sebisa mungkin menghindar. Kenapa juga dia belanja di sini. Perasaan kontrakanku jauh dengan jangkauan keluarga dan teman."Flora? Flora tunggu! Kamu Flora 'kan?" Dean mengikuti dan menegurku, aku tidak kuasa membalikan badan."Aku tahu kamu Flora dari pakaianmu." Dean memberi jarak, dia menungguku mengaku duluan.
Aku pergi ke rumah Lucas lagi, karena harus mengambil berkas penting milikku yang tertinggal. Bodohnya aku karena lupa hal penting semacam itu. Berkas yang isinya terdapat akta dan ijazah.Lucas sedang kerja, sementara aku masih punya kunci rumah yang dari dulu memang ada duplikatnya. Rencananya, aku akan mengendap seperti pencuri. Bedanya, kalau pencuri membobol pintu tapi aku bisa langsung masuk karena pegang kuncinya.Tertegun sejenak di depan rumah, aku merasa hati bergetar hebat mengingat rumah ini satu tahun kurawat dengan penuh perasaan. Aku berdiri di pintu gerbang, sekilas terlihat tanaman tidak seasri dulu, rumput liar tumbuh dengan cepat, apa Lucas tidak menyewa tukang kebun saja. Masa harus tanganku yang menjadikan huniannya indah.Aku mendengkus, sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat untuk masuk karena ternyata mobil ada di garasi, itu artinya Lucas tidak berangkat kerja. Apa dia cuti? Tapi cuti untuk apa? Dia rajin, tidak mungkin s
Aku seakan bermimpi, saat membuka mata di pagi hari, dan yang pertama kali aku lihat adalah sosok wanita yang kucinta. Dulu, dia mengisi hati ini kemudian pergi dengan membawa luka. Aku tidak bisa mencegahnya walaupun sudah berusaha menahannya. Dia tidak setuju dengan tawaran yang aku berikan. Tawaran untuk berpoligami. Entahlah, aku merasa tidak ada yang salah waktu itu. Hatiku tetap ada untuknya. Lalu sudah aku katakan berulang kali bahwa menikahi wanita lain hanya sebatas alasan yang mendesak. Bukankah pria mempunyai hak jika mampu? Tapi istriku tidak mau peduli dengan apa pun alasannya. Amanda mantanku, dia kembali setelah cukup lama tidak berjumpa. Dia datang dengan tidak berdaya, sakit dan menyedihkan. Dia memintaku untuk melindunginya. Karena katanya, tidak ada satu pria pun yang mencintai wanita lumpuh dengan tulus. Karena akulah penyebab dia kecelakaan. Aku merasa bersalah mendengar kata-katanya. Dia memukul terus kakinya yang pincang, dan ha
Semua mata tertuju padaku bukan karena pernyataan Lucas, tapi karena aku tersedak dengan tiba-tiba. Wajahku pasti terlihat konyol saat ini, aku malu. Lucas memberiku segelas air putih dan aku menandaskannya dengan segera. Saat ada kalimat selamat yang terlontar dari mulut mereka secara bergantian, hatiku belum sepenuhnya sadar. Seakan Lucas sedang membuat konten prank di Chanel YouTube untuk menjahiliku. Tapi saat aku melirik ke arahnya dia nampak serius. Kami pulang. Sepanjang perjalanan pulang Lucas nampak tersenyum. Pria gila itu selalu berhasil mewujudkan keinginannya. Sementara aku mendadak gugup, tak berselera untuk bicara namun jiwaku terasa hangat. Walau caranya membuat aku jengkel, tapi aku suka saat dia meminta aku kembali jadi miliknya. Lucas menerima panggilan telepon, entah dari siapa. Namun raut wajahnya nampak lesu dan risau. "Huh, merepotkan!" umpat Lucas. "Ada apa?" tanyaku ragu-ragu. "Papah masuk rumah sakit, dia pecah pembul
Aku paham, butuh waktu cukup lama untuk seseorang memahami isi hati orang lain. Begitupun bagi Andrean, meskipun Lucas sudah merangkul dan meminta maaf. Dia mematung, tidak ada minat sedikitpun untuk berbicara dengan Lucas. Tak lama dia memilih pulang. Dia hanya pamit kepadaku dan tidak menanggap Lucas ada di dekatnya. Lucas menatap punggung Andrean hingga menghilang. Tertunduk dan melamun, mungkin saja Lucas ingin hubungannya baik seperti dulu kala. Menjalani masa kecil bersama, sekolah dan masuk universitas yang sama dan kini hubungannya retak hanya karena masalah hati. Aku paham pahitnya ditinggalkan sahabat sendiri. Cukup lama aku dan Lucas berada di ruang yang sama namun memilih saling diam dari tadi. Akhirnya Lucas menatap ke arahku dan tersenyum. "Flora, lagi sibuk? Apa bisa minta waktumu sebenar saja buat ikut denganku?" Aku tersenyum, tidak biasanya dia meminta waktuku dengan sesopan itu. Lucas berkata kembal
Aku melempar pakaian Lucas ke lantai di kamar. "Cepat pakai pakaianmu! Memalukan! Mentang-mentang tidak ada Renata, so merasa jadi anak muda? Jangan coba-coba tebar pesona padaku! Tidak akan mempan." "Siapa yang tebar pesona? Terus menurutmu, cara pakai handuk seorang bapak satu anak bagaimana? Apa dililitkan di leher, hah? Atau diikat pada dua kaki seperti orang yang sedang diculik penjahat? Kamu akan lebih menjerit histeris jika melihat aku seperti itu." Ah sialan, kenapa Lucas berkata seperti itu aku malah membayangkan Lucas melilitkan handuk ke leher dan kaki. Aku jadi frustrasi membayangkan visual aneh itu. Sepertinya Lucas melangkah mengambil pakaiannya yang tercecer. Entahlah, setelah dengar ocehannya aku langsung menutup pintu tanpa menatap ke arahnya. Kemudian aku menyeduh macchiato untuk kami berdua. Lucas keluar kamar dengan stelan casual warna denim. Seingatku, pakaian itu aku yang pilihkan, belanja di online shop saat ada diskon dan grati
Lucas menggendong Andrean. "Mau kita buang ke mana pria brengsek ini?"Aku teramat resah, masa iya Lucas mau membuang Andrean seperti barang bekas. Apa mungkin dia akan melempar Andrean ke lapangan yang tandus seperti halnya membuang Amanda kemarin itu?"Jangan becanda, Lucas." Aku mengikuti langkah Lucas yang pelan karena beban di punggungnya."Kamu parkir mobil di mana?" tanya Lucas."Aku gak bawa mobil, mobil ada di parkiran Cofee Shop. By the way, aku hanya berniat membawa Andrean ke pinggir dekat pohon itu. Kita bisa taruh dia di sana saja, lalu pura-pura tidak tahu apa yang terjadi." Aku menunjuk pohon besar yang di depannya terdapat tong sampah."Andrean tidak akan muat jika masuk ke tempat sampah sekecil itu. Kita butuh TPS berukuran besar.""Ayolah, Lucas! Kamu tahu sendiri maksudku adalah taruh Andrean di pinggir pohon, supaya tidak menghalangi jalan. Bukan menaruh Dean di tong sampah."Lucas tersenyum, sambil terus berjalan
Sejenak, aku merasa diri ini kehilangan akal sehat karena membiarkan mantan suami mengecup puncak kepalaku. Dan bisa-bisanya aku memejamkan mata menahan degup jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Bibir Lucas enggan berpindah selama beberapa menit, mungkin dia keterusan. Aku membuka mata, tersentak saat melihat ada orang yang lewat sehingga tanpa sengaja menyundul kepala Lucas. Menyisir rambut dengan jari, dan merapikan posisi baju yang hampir kusut. Aku hampir melupakan Lucas yang sedang meringis menahan sakit pada bibir. Dia menutup mulut dengan kedua tangannya, dengan ekspresi bodoh sedang menahan sakit. Lucas menatapku. "Agghh ... dasar cewek preman! Lihat ini! lukaku bertambah lagi di bibir. Apa bedanya kamu dengan scurity di kantor Papah?" Sembarangan, bisa-biaanya Lucas menyamakan aku dengan scurity kantor yang bertubuh besar. "Suruh siapa kamu begitu lancang mencium kepalaku? Lagian kamu pikir kepalaku juga tidak sakit beradu dengan
Saat itu, Ibuku yang selama ini tidak pernah tahu menahu urusanku tiba-tiba hadir di pemakaman mamahnya Lucas. Ternyata bukan tanpa alasan, karena Mamah Lusi yang memanggil beliau sebelum wafat. Hanya untuk menyampaikan satu permohonan terakhir sebelum melepas nyawanya satu Minggu yang lalu. Dia meminta aku dan Lucas rujuk demi kebahagiaan Renata.Aku diam sebagai tanda protes. Ibuku datang-datang menodong dengan permintaannya tanpa berniat memperbaiki hubungan dulu denganku. Dan apakah tidak pernah terbersit dalam hatinya, meminta maaf padaku? Maaf karena dulu berniat melenyapkan aku dari dunia ini. Walau belum lahir, tapi aku hidup di dalam perutnya. Untung usahanya gagal.Ibu berkata padaku dan Lucas, "Flora, Lucas! Ibu rasa permintaan Lusi adalah satu amanah yang harus dipenuhi. Kalian mungkin bisa menurunkan ego masing-masing karena sudah terikat oleh seorang anak."Aku berdiri, memberi senyum ke arahnya. "Ibu! Aku bukan orang yang dengan mudah terpengaruh
"Kenapa dari kemarin pesan dariku tidak kamu baca?" Andrean bertanya padaku saat dia berkunjung ke rumah tanpa persetujuan dariku.Satu pertanyaan itu membuatku tertekan. Aku masih terlarut dalam duka, dua Minggu yang lalu mamah Lusi meninggal, aku pun sedang malas menerima tamu. Namun dia tidak pernah mengerti. Ditambah, sudah ketahuan bahwa Andrean sekongkol bersama Amanda membuat aku tidak ingin menemuinya dulu.Andrean mencengkram pundakku. Aku menepisnya. "Tolong jangan kasar gini, Andrean! Aku mau istirahat, lebih baik kamu pulang saja!""Kita harus lanjutkan membahas pernikahan kita! Please!" Andrean mendesak."Tidak sekarang!""Kapan kamu bisa?""Tidak sekarang dan tidak juga untuk selamanya. Aku rasa kita lebih cocok jadi teman dan partner bisnis. Aku kehilangan kamu yang dulu. Kamu sudah berubah jadi over protektif padaku."Andrean meraup udara yang banyak disekitarnya, wajahnya nampak resah bercampur kesal. "Kamu pikir, aku
Rungan ini pengap dan gerah karena tidak ada pendingin ruangan, ditambah melihat Amanda dari tadi meraung-raung seperti kucing di dalam karung yang hendak dibuang ke hutan, membuat kepalaku terkena sakit kepala sebelah gara-gara mendengar suaranya. Dia lebay dan bikin pusing, aku tidak bisa membayangkan bagaimana saat Amanda di samping Lucas. Pasti hidup Lucas bagaikan lelucon bernuansa tragedi.Aku membuka pintu untuk keluar dari tempat ini. Saat pintu terbuka aku melihat wajah Lucas yang penuh tanda tanya saat melihatku. Aku yakin, dia yang mengetuk pintu dari tadi.Lucas bertanya lirih setelah sebelumnya melirik ke belakangku ada Amanda di sana. "Ngapain kalian ada di tempat ini?""Lagi bicara sesuatu."Tangan Lucas bergerak, perlahan terangkat hendak menyentuh pipiku namun tertahan di udara, kemudian dia mengepalkan tangannya dan menaruhnya lagi ke tempat semula. Dia mendengus dan menyimpan semua hasrat untuk diri sendiri."Di sini panas, kamu