Pahing turun dengan mantap dari mobil setelah memakirkannya disamping rumah, memang perumahan yang dia huni bersama Kiran tidak memiliki gerbang depan. Tidak lupa ia membawa makanan seafood untuk Kiran yang telah dibelinya tadi, langkahnya terasa hingga sampai ketika ia mengetuk pintu tapi tidak ada respon dari dalam. Pahing sedikit mengerutkan dahinya, apakah Kiran tidak ada di rumah? Tapi tidak mungkin juga, biasanya jika Kiran akan berpergian keluar akan menghubungi dirinya terlebih dahulu. Merasa tidak sabar, Pahing pun menekan gagang pintu dan mencoba untuk mendorongnya ke dalam akan tetapi ia merasa seperti ada benda berat dibalik pintu yang menghalangi jalan masuk. Ia berhasil membuat sedekit celah sehingga pandangan jatuh pada apa yang ia anggap benda tadi yang menghalangi pintu masuk ternyata sesosok manusia, apakah itu Kiran? Sepertinya iya. Dia langsung mengenalinya ketika Pahing mengamatinya lamat-lamat. Pahing membeku ditempat sebelum berh
Pahing mengusap lembut pipi Kiran, berniat mencoba untuk membangunkannya secara perlahan. Ia tidak ingin membuat tubuh Kiran sakit jika dia mencoba untuk mengguncang tubuh halus ini. Merasakan tangan hangat serta bisikan berat di dekat daun telinganya, Kiran pun mencoba untuk membuka kedua kelopak mata walau masih terasa berat. Kepalanya terasa ditumbuk berton-ton batu, sakit sekali. Pahing melihat bulu mata lentik Kiran bergetar, tak dihentikan tindakannya sampai ia bisa mengungkapkan kedua bola mata Kiran secara penuh.
Suasana hening menyelimuti mereka berdua, ketegangan terjadi diudara. Seluruh tubuh Pahing terasa terpaku ke tanah, bibirnya kelu tidak bisa mengecap kata sementara Kiran mulai mengatur napasnya yang memburu akibat dari tangisan yang kian ingin dihabiskan.Rentetan kalimat sedang Pahing susun dalam benaknya agar tidak tertangkap dan Kiran pun tidak menaruh curiganya padanya, ia pun mulai berpikir untuk mengecek ponselnya. Namun, segera dia urungkan niatnya tersebut. Tidak mungkin, Pahing mengecek daftar panggilan dihadapan Kiran, itu pasti akan membuat istrinya menaruh curiga padanya.Pahing tidak sempat menyusun kalimat jika suatu saat Kiran mulai curiga, ia tidak tahu hari itu akan datang secepat ini. Seharusnya sudah jauh-jauh hari ia persiapkan, dia muali meruntuki kebodohannya sendiri.“Mas..” Panggil Kiran pelan dan terdengar begitu lirih, jadi apa diamnya Pahing ini adalah iya?“Jadi itu benarkan?
Keheningan udara untuk kedua kalinya, suara napas dari keduanya tak terdengar jelas. Yang satu bernapas lebih lambat dan lainnya bahkan tidak bisa mengontrol napasnya. Ketegangan yang dirasakan Pahing begitu kentara, bahkan tangan tangannya ikut basah. Bulir-bulir keringat sebiji jagung diproduksi oleh dahinya padahal AC tidak pernah dimatikan. Kiran yang sedari mengamati perubahan wajah ekpresi Pahing membuat hati bergetir, apakah wanita gatal yang mencoba untuk menghubungi suaminya? Ia tidak akan membiarkan begitu saja, dia akan berusaha untuk melindungi mili
Eri menatap ponselnya dengan tatapan tidak percaya, ketika ia sedang mencoba untuk menghubungi Pahing dan tersambung lalu sambungan telepon terputus begitu saja karena pihak lain mematikan ponselnya secara tiba-tiba.“Mengesalkan saja.” Keluh Eri sembari mencebikkan bibirnya, hari ini sungguh sial baginya.Ketakutan sedari tadi yang dimilikinya menjadi kenyataan, ia gagal untuk menemui orang penting tersebut karena terlambat datang ke tempat perjanjian yang telah disepakati.Eri hanya menggerutu kesal dan menyalahkan kesialannya pada Pahing karena Pahing merupakan sumber kesialan itu sendiri, jika saja dia bisa memaafkan masa lalu mungkin dia tidak akan repot-repot untuk membalaskan dendamnya.Pasalnya, kesalahan Pahing tidak bisa dimaafkan begitu saja. Tidak semudah itu memaafkan seseorang yang bisa dengan mudahnya mengambil orang penting dalam hidup Eri, begitu dengan Kiran.Mereka berdua pa
Pahing sudah berusaha untuk menghubungi kekasihnya, akan tetapi tetap tidak tersambung dan terus di alihkan. Ini sudah masuk yang kelima kali, membuat dirinya kalut. Biasanya Eri tidak pernah mengabaikan panggilan darinya, biasanya dalam deringan kedua langsung di angkat. Namun, sekarang bahkan dalam panggilan yang kelima tak kunjung di angkat juga. ‘Apa yang sebenarnya terjadi pada Eri?’ Pertanyaan tersebut terus berputar di dalam pikirannya sembari menatap ponsel yang berada dalam genggamannya yang sudah ia remas sekuat tenaga, seperti berniat menghancurkan benda persegi panjang tersebut dengan urat-urat di tangan yang begitu menonjol. Pahing memang baru berpisah dalam hitungan jam tapi rasa rindu ingin mendengar suara Eri sudah menyeruak dalam hati dan rasa rindu tersebut ingin segera ia bebaskan, walau hanya mendengar tanpa wujud fisik dari kekasihnya di depannya. Itu sudah sedikit mengobati rasa rindu miliknya dan bagian lainnya yang memang tidak bisa di puaskan jika tidak
Kiran berusaha untuk membuka paksa matanya agar bisa terbangun dari mimpi buruk yang bisa membuatnya gila, dadanya pun naik turun tidak karuan. Kedua tanganya mencengkeram seprei dengan erat, keringat memenuhi dahinya yang tadinya hanya sebiji jantung saja. Jantung pun berdebar lebih cepat akan tetapi napas terasa tersendat. Jika Kiran tidak bisa bangun dari mimpi buruk ini, mungkin dia bukan hanya akan di buat gila melainkan akan mati secara perlahan. Entah itu karena rongga dadanya yang terasa menyempit sehingga menyumbat oksigen yang akan masuk ataupun bisa membuat lidahnya patah karena terlalu keras mengigitnya. Gerakan Kiran tampak makin abnormal dalam tidur yang kali ini tampak tidak damai, badai memang terlalu menghantam terlalu keras walaupun masih terlalu dini. Efek yang di berikan luar biasa bukan main, membuat seluruh tubuhnya bekerja sama untuk memproduksi tingkat kecemasan yang meningkat tajam. Ketakutan yang memeluk erat tubuh, dari ujung rambut hingga ujung
Sebelum Kiran melangkahkan kakinya keluar dari kamar, ia melihat pintu kamar mandi yang tertutup rapat biasanya dia akan meninggalkan sedikit celah di sana sehingga memudahkannya tahu bahwa ada orang di dalam sana atau tidak walaupun hanya mereka berdua yang menghuni kamar serta rumah ini. Sepertinya cara yang satu begitu efektif bagi Kiran, tujuan utamanya pun mendekat ke arah pintu kamar mandi. Tentu saja tidak mudah, bahkan beberapa kali ia hampir kehilangan keseimbangan tubuhnya serta kepalanya yang masih agak terasa sedikit pusing hingga membuat pandangnya juga ikut tidak fokus dan buram. Namun, karena memiliki tekad yang begitu kuat sampai pada akhirnya bisa mendorong Kiran sampai di tempat yang dia tuju dengan postur tubuhnya yang sedikit membungkuk ke depan. Lalu Kiran pun mengetuk pintu kamar luar dengan tenaga terakhir yang dia miliki karena sesungguhnya ia merasa tubuhnya akan tumbang sebentar lagi, napasnya juga terengah-engah. “M-mas.. Pahing.” Akhirnya Kiran
Sebelum Kiran melangkahkan kakinya keluar dari kamar, ia melihat pintu kamar mandi yang tertutup rapat biasanya dia akan meninggalkan sedikit celah di sana sehingga memudahkannya tahu bahwa ada orang di dalam sana atau tidak walaupun hanya mereka berdua yang menghuni kamar serta rumah ini. Sepertinya cara yang satu begitu efektif bagi Kiran, tujuan utamanya pun mendekat ke arah pintu kamar mandi. Tentu saja tidak mudah, bahkan beberapa kali ia hampir kehilangan keseimbangan tubuhnya serta kepalanya yang masih agak terasa sedikit pusing hingga membuat pandangnya juga ikut tidak fokus dan buram. Namun, karena memiliki tekad yang begitu kuat sampai pada akhirnya bisa mendorong Kiran sampai di tempat yang dia tuju dengan postur tubuhnya yang sedikit membungkuk ke depan. Lalu Kiran pun mengetuk pintu kamar luar dengan tenaga terakhir yang dia miliki karena sesungguhnya ia merasa tubuhnya akan tumbang sebentar lagi, napasnya juga terengah-engah. “M-mas.. Pahing.” Akhirnya Kiran
Kiran berusaha untuk membuka paksa matanya agar bisa terbangun dari mimpi buruk yang bisa membuatnya gila, dadanya pun naik turun tidak karuan. Kedua tanganya mencengkeram seprei dengan erat, keringat memenuhi dahinya yang tadinya hanya sebiji jantung saja. Jantung pun berdebar lebih cepat akan tetapi napas terasa tersendat. Jika Kiran tidak bisa bangun dari mimpi buruk ini, mungkin dia bukan hanya akan di buat gila melainkan akan mati secara perlahan. Entah itu karena rongga dadanya yang terasa menyempit sehingga menyumbat oksigen yang akan masuk ataupun bisa membuat lidahnya patah karena terlalu keras mengigitnya. Gerakan Kiran tampak makin abnormal dalam tidur yang kali ini tampak tidak damai, badai memang terlalu menghantam terlalu keras walaupun masih terlalu dini. Efek yang di berikan luar biasa bukan main, membuat seluruh tubuhnya bekerja sama untuk memproduksi tingkat kecemasan yang meningkat tajam. Ketakutan yang memeluk erat tubuh, dari ujung rambut hingga ujung
Pahing sudah berusaha untuk menghubungi kekasihnya, akan tetapi tetap tidak tersambung dan terus di alihkan. Ini sudah masuk yang kelima kali, membuat dirinya kalut. Biasanya Eri tidak pernah mengabaikan panggilan darinya, biasanya dalam deringan kedua langsung di angkat. Namun, sekarang bahkan dalam panggilan yang kelima tak kunjung di angkat juga. ‘Apa yang sebenarnya terjadi pada Eri?’ Pertanyaan tersebut terus berputar di dalam pikirannya sembari menatap ponsel yang berada dalam genggamannya yang sudah ia remas sekuat tenaga, seperti berniat menghancurkan benda persegi panjang tersebut dengan urat-urat di tangan yang begitu menonjol. Pahing memang baru berpisah dalam hitungan jam tapi rasa rindu ingin mendengar suara Eri sudah menyeruak dalam hati dan rasa rindu tersebut ingin segera ia bebaskan, walau hanya mendengar tanpa wujud fisik dari kekasihnya di depannya. Itu sudah sedikit mengobati rasa rindu miliknya dan bagian lainnya yang memang tidak bisa di puaskan jika tidak
Eri menatap ponselnya dengan tatapan tidak percaya, ketika ia sedang mencoba untuk menghubungi Pahing dan tersambung lalu sambungan telepon terputus begitu saja karena pihak lain mematikan ponselnya secara tiba-tiba.“Mengesalkan saja.” Keluh Eri sembari mencebikkan bibirnya, hari ini sungguh sial baginya.Ketakutan sedari tadi yang dimilikinya menjadi kenyataan, ia gagal untuk menemui orang penting tersebut karena terlambat datang ke tempat perjanjian yang telah disepakati.Eri hanya menggerutu kesal dan menyalahkan kesialannya pada Pahing karena Pahing merupakan sumber kesialan itu sendiri, jika saja dia bisa memaafkan masa lalu mungkin dia tidak akan repot-repot untuk membalaskan dendamnya.Pasalnya, kesalahan Pahing tidak bisa dimaafkan begitu saja. Tidak semudah itu memaafkan seseorang yang bisa dengan mudahnya mengambil orang penting dalam hidup Eri, begitu dengan Kiran.Mereka berdua pa
Keheningan udara untuk kedua kalinya, suara napas dari keduanya tak terdengar jelas. Yang satu bernapas lebih lambat dan lainnya bahkan tidak bisa mengontrol napasnya. Ketegangan yang dirasakan Pahing begitu kentara, bahkan tangan tangannya ikut basah. Bulir-bulir keringat sebiji jagung diproduksi oleh dahinya padahal AC tidak pernah dimatikan. Kiran yang sedari mengamati perubahan wajah ekpresi Pahing membuat hati bergetir, apakah wanita gatal yang mencoba untuk menghubungi suaminya? Ia tidak akan membiarkan begitu saja, dia akan berusaha untuk melindungi mili
Suasana hening menyelimuti mereka berdua, ketegangan terjadi diudara. Seluruh tubuh Pahing terasa terpaku ke tanah, bibirnya kelu tidak bisa mengecap kata sementara Kiran mulai mengatur napasnya yang memburu akibat dari tangisan yang kian ingin dihabiskan.Rentetan kalimat sedang Pahing susun dalam benaknya agar tidak tertangkap dan Kiran pun tidak menaruh curiganya padanya, ia pun mulai berpikir untuk mengecek ponselnya. Namun, segera dia urungkan niatnya tersebut. Tidak mungkin, Pahing mengecek daftar panggilan dihadapan Kiran, itu pasti akan membuat istrinya menaruh curiga padanya.Pahing tidak sempat menyusun kalimat jika suatu saat Kiran mulai curiga, ia tidak tahu hari itu akan datang secepat ini. Seharusnya sudah jauh-jauh hari ia persiapkan, dia muali meruntuki kebodohannya sendiri.“Mas..” Panggil Kiran pelan dan terdengar begitu lirih, jadi apa diamnya Pahing ini adalah iya?“Jadi itu benarkan?
Pahing mengusap lembut pipi Kiran, berniat mencoba untuk membangunkannya secara perlahan. Ia tidak ingin membuat tubuh Kiran sakit jika dia mencoba untuk mengguncang tubuh halus ini. Merasakan tangan hangat serta bisikan berat di dekat daun telinganya, Kiran pun mencoba untuk membuka kedua kelopak mata walau masih terasa berat. Kepalanya terasa ditumbuk berton-ton batu, sakit sekali. Pahing melihat bulu mata lentik Kiran bergetar, tak dihentikan tindakannya sampai ia bisa mengungkapkan kedua bola mata Kiran secara penuh.
Pahing turun dengan mantap dari mobil setelah memakirkannya disamping rumah, memang perumahan yang dia huni bersama Kiran tidak memiliki gerbang depan. Tidak lupa ia membawa makanan seafood untuk Kiran yang telah dibelinya tadi, langkahnya terasa hingga sampai ketika ia mengetuk pintu tapi tidak ada respon dari dalam. Pahing sedikit mengerutkan dahinya, apakah Kiran tidak ada di rumah? Tapi tidak mungkin juga, biasanya jika Kiran akan berpergian keluar akan menghubungi dirinya terlebih dahulu. Merasa tidak sabar, Pahing pun menekan gagang pintu dan mencoba untuk mendorongnya ke dalam akan tetapi ia merasa seperti ada benda berat dibalik pintu yang menghalangi jalan masuk. Ia berhasil membuat sedekit celah sehingga pandangan jatuh pada apa yang ia anggap benda tadi yang menghalangi pintu masuk ternyata sesosok manusia, apakah itu Kiran? Sepertinya iya. Dia langsung mengenalinya ketika Pahing mengamatinya lamat-lamat. Pahing membeku ditempat sebelum berh
Keduanya mengenakan pakaian tadi malam sambil melenggang pergi meningalkan kamar motel yang sebelumnya sudah berbagi sebuah kecupan sana sini dibalik pintu yang masih tertutup rapat. Pahing mengajak kekasih wanitanya untuk mengisi perut dahulu yang sudah masuk ke dalam jam makan siang, jadwal sarapan yang sudah terlewatkan karena mereka begitu pulas tertidur saling terkait di atas ranjang. Tidak lupa tangan besar milik Pahing memegang erat tangan kecil milik Eri yang memiliki jari-jari lentik, terasa begitu pas dengan miliknya. Serasa mereka berdua memang sudah di takdirkan, mungkin Pahing harus segera merealisasikannya agar dapat terus memegang erat Eri tanpa harus ada penghalang di antara mereka berdua. “Mas, kok berhenti?” Tanya Eri sambil mendongkakkan kepalanya karena ada jarak yang besar di antara tinggi badan mereka berdua. Pahing langsung terbangun dari lamunannya tadi, ia bahkan tidak sadar bahwa sedang melamun. “Tidak apa-apa, mungkin ini ef