"Papa ngga serius 'kan?"
Ana menatap Rita, jelas sekali tergambar raut tak terima di wajah wanita paruh baya itu. Lalu pandangannya beralih pada Barata yang tetap terlihat tenang. Meski ketiga orang di sini dengan jelas memperlihatkan rasa tidak suka pada keputusan laki-laki tua itu.
Jangan tanyakan perasaannya sebab sejujurnya dia pun bingung dengan keputusan mendadak ini. Baru saja beberapa hari menjadi bagian keluarga Wijaya, tapi hidupnya sudah jungkir balik seperti ini. Meski dalam sudut hatinya dia merasa senang.
Bekerja di kantor merupakan keinginannya. Tak hanya itu dia berharap bisa memberi kehidupan yang layak untuk ayahnya jika nanti keluar dari penjara.
"Tentu saja aku serius," jawab Barata tegas. Satu per satu dia tatap wajah di sekelilingnya. Tak ada raut berarti, tapi ketenangan itu tentu berhasil menciptakan keresahan di hati orang-orang.
"Tapi dia bukan wanita berpendidikan!" geram Rita. Wanita itu bahkan sudah melayangkan tatapan tajam pada Ana. Bagaimana bisa sosok rendahan seperti Ana seberuntung ini?
"Apa kamu lupa Rita? Aku pun bukan orang yang berpendidikan, aku juga lulusan SMA sama seperti Ana," ujar Barata. Dia dulu memang memulai semuanya dari bawah, baru setelah sukses dia melanjutkan pendidikan demi meningkatkan kemampuan diri.
"Tapi, Pa—"
"Ingat Rita! Ana sudah menjadi bagian dari keluarga ini, bahkan dia lebih berhak bekerja di sana daripada Rena. Karena bagaimana pun Ana adalah menantu keluarga ini."
Rita tidak lagi protes karena nada tegas Barata, meski raut pria itu terlihat tenang tak menunjukkan emosi apapun. Lagipula siapapun pasti tidak akan berani membantah. Pada akhirnya Rita hanya mampu menggenggam sendok lebih kuat untuk melampiaskan amarah.
Arjuna sendiri hanya diam, tidak berani membantah kalimat sang kakek. Karena hidupnya masih ditopang oleh kakek. Lagipula juga bukan urusannya Ana mau bekerja apa tidak. Selama wanita itu tidak menyusahkannya, dia tidak masalah sama sekali. Toh, bukan dia yang ditugaskan membimbing Ana, jadi masih aman.
Sedangkan Rena yang duduk di hadapan Ana, hanya menunduk. Sama seperti sang ibu wanita itu mencekeram sendok dan garpunya lebih erat. Dalam hati terus meruntuki Ana dan menganggap perempuan itu adalah musuhnya.
"Ada lagi yang mau kalian tanyakan?"
Semua diam. Tidak ada yang menjawab pertanyaan Barata karena entah mengapa suasana tiba-tiba menjadi menegangkan. Lagipula kalimat itu terdengar seperti pertanyaan yang tak butuh jawaban.
"Ana," panggil Barata.
"Iya," jawab Ana sambil menatap laki-laki tua yang tengah menatapnya hangat. Senyumnya pun terlihat tulus.
"Kamu mau 'kan?" tanya Barata penuh harap.
Wanita berumur 28 tahun itu gelagapan, bingung harus menjawab apa. Ini terlalu mendadak dan membingungkan baginya. Bagaimana bisa dia terjebak dalam situasi seperti ini?
Sebesar apapun keinginannya untuk bekerja, tapi ditanya saat suasana sedang memanas tentu dia tak siap. Apalagi saat Rita seolah tengah membakarnya dengan tatapan tajam. Terus terang dia sedikit merinding.
Mungkin melihat Ana yang tidak kunjung menjawab, Barata kembali berkata, "jangan khawatir, nanti akan ada seseorang yang membantu kamu. Dan Kakek tidak memberi pilihan menolak."
Mendengar itu, Ana hanya bisa mengangguk. Lagipula Barata seperti punya kekuatan, untuk membuat siapapun menuruti keinginannya. Wibawa pria itu benar-benar kuat.
"Baiklah, Arjuna." Kakek Barata beralih menatap cucunya, "jangan lupa nanti antar Ana belanja."
Arjuna mengangguk, sedetik kemudian dia melirik tajam pada istrinya. Apa yang sudah dilakukan wanita itu? Hingga kakek terlihat begitu menyukainya. Dia saja sebagai cucu ketika meminta sesuatu sering dipersulit.
Banyak syarat yang harus dikerjakan sebelum mendapatkan keinginannya. Itupun tak mudah sebab sang kakek seolah tengah mempersulitnya.
"Apa perlu bantuanku, Kek?" tanya Rena tiba-tiba. Dia sampirkan rambutnya ke belakang telinga. Senyum lebar dia tunjukkan pada semuanya.
"Maksudnya?"
"Ya, mungkin saja nanti Ana kebingungan. Jadi aku bisa memberi saran mana yang harus dibeli, mana yang tidak. Ana, kan sepertinya belum punya pengalaman mengenai apa yang pantas dipakai ke kantor."
Ana membalas tatapan Rena dengan tenang, dia tersenyum lembut pada wanita cantik itu. Bukan mau berburuk sangka, tapi Ana jelas tahu kalau wanita itu tidak tulus menawarkan bantuan. Melainkan hal itu semata-mata dilakukan agar bisa mengawasi Arjuna.
Mana mungkin, kan perempuan yang belum saja jam membentaknya kini berubah menjadi baik? Hal yang sungguh mustahil!
"Jadi gimana? Aku bolehkan ikut?" tanya Rena, raut muka wanita itu begitu antusias. Ah, lebih tepatnya pura-pura antusias.
Sebelum Barata sempat menjawab, Ana lebih dulu menjawab pertanyaan rivalnya itu, "o ... tentu saja."
Rena mau ikut, kan? Maka dia akan mengajaknya sekaligus memberitahu posisi mereka yang sebenarnya. Dia akan menunjukkan dia lah seorang istri sah dari Arjuna Wijaya.
Suasana pusat perbelanjaan tampak lumayan ramai. Mengingat ini adalah akhir pekan. Keempat orang yang semuanya tidak menunjukkan raut bersemangat itu, berjalan bersama-sama.Masih jelas di ingatan Ana, bagaimana mata Rena yang memakai kontak lensa warna abu-abu itu memelotot, saat melihatnya dengan berani menggandeng lengan Arjuna. Sementara Arjuna sepertinya hanya bisa pasrah, mengingat Yuda—asisten pribadi Barata—ikut bersama mereka. Kalau dia macam-macam, sudah pasti Yuda akan melapor pada sang kakek. Dan mengingat Ana saat ini kesayangan Barata, bisa habis dia dimarahi.Langkah Ana terhenti begitu Rena akan mengajaknya masuk ke salah satu gerai pakaian. Wanita cantik itu menampilkan raut enggan yang begitu kentara."Kenapa?" tanya Arjuna yang ikut berhenti. Dia kesal karena Ana terus-terusan membuat ulah."Aku gak mau ke situ, aku mau ke sana." Ana menunjuk gerai yang terkenal mahal. Dia sering mendengar Mirna menceritakan artis yang memakai brand tersebut. Salah satu bajunya yan
"Astaga, ini bener kalian? Tadinya aku takut salah orang." Ana masih memperhatikan ketiga orang itu. Terlihat jelas Arjuna dan Rena beberapa kali melirik ke arahnya, seperti orang yang salah tingkah. Hal itu semakin membuat Ana yakin, ada sesuatu yang mencurigakan. Dia masih tetap mempertahankan. Menunggu drama apa lagi yang akan terjadi. Meski rasanya ingin tertawa melihat kepanikan pasangan itu. Heran, kadang dia merasa Rena itu terlalu mudah dibaca. Lantas kenapa harus susah-sudah menyembunyikan hubungan? Toh, kalau diperhatikan dengan jelas interaksi keduanya terlalu kentara. Apalagi Arjuna, sepertinya kesulitan berpura-pura tak menyukai siapapun. Karena baginya Cara sang suami menatap Rena itu berbeda. Jelas ada cinta di sana. "Oh, iya. Apa kabar Yuna?" Rena lebih dulu menjabat tangan wanita yang dia panggil Yuna. Namun, setelahnya dia lagi-lagi melirik Ana. Ingin tau ekspresi perempuan itu, sebagai antisipasi tindakan selanjutnya. Bukannya apa, Ana selalu tidak tertebak.
Mata Yuna membeliak. Tangannya masih menggenggam tangan Ana dengan erat, mungkin efek dia terlalu kaget dengan info yang didapatkannya. Hingga akhirnya Ana memilih menarik tangannya, membuat Yuna juga buru-buru melakukan hal yang sama.Yuna berdeham. "Maaf, ya, aku baru tau. Arjuna, sih, gak ngundang-ngundang," ujarnya dengan tertawa canggung."Memang kami tidak mengundang banyak orang, hanya keluarga saja."Ana membalas senyum kecil Yuna yang terlihat begitu canggung. Ya, dia bisa mengerti dengan sikap wanita itu. Siapa juga yang tidak canggung, jika salah mengartikan hubungan seseorang."Lho? Kenapa?" Yuna menatap Arjuna. "Teman kita banyak, lo.""Karena aku ingin sesuatu yang sederhana saja," jawab Arjuna. Matanya melirik kesal pada wanita bergamis toska yang tampak berdiri santai di sebelahnya. Apa maksud wanita itu membocorkan hubungan mereka? Sepertinya sang istri sengaja menguji kesabarannya."Arjuna? Sederhana?" cibir Yuna, bibir wanita itu mencebik seolah mengejek pernyataan
"Memangnya ada yang tak jelas?" Ana mengedikkan bahu."Jadi kamu mencurigai kami ada hubungan begitu?" desis Rena tajam.Ana tersenyum tipis. "Aku gak bilang begitu, bukankah teman kalian yang bilang seperti itu?" "Sudah hentikan! Makan!" perintah Arjuna.Kedua wanita itu langsung terdiam. Ya, Ana menyadari dibalik sikap suaminya yang terkadang masih kekanak-kanakan, ada sisi menyeramkan ketika laki-laki itu sudah marah.Karena dulu dia sempat beberapa kali mendapati Arjuna marah pada para pekerja, dan itu begitu menyeramkan. Mungkin efek mempunyai kuasa hingga laki-laki tak punya rasa takut menyuarakan pendapat.Selama makan siang kali ini, sama sekali tidak ada percakapan di antara mereka. Sepertinya semua enggan memancing amarah Arjuna, yang masih suka meledak-ledak.Waktu menunjukkan pukul dua siang, saat keempat orang itu keluar dari pusat perbelanjaan. Ketika sampai di parkiran, Ana segera beranjak ke pintu belakang mobil. Namun, gerakannya yang akan meraih gagang pintu terhent
"Mas, tunggu!" teriak Ana mencegah Yuda yang akan membuka pintu mobil. "Ada apa?""Aku masih penasaran! Dan aku ngga mau tidur dalam keadaan penasaran! Jadi, Arjuna menikah denganku karena disuruh kakek?" Bisa dibilang posisi Yuda lebih tinggi darinya, tapi sikap ramah laki-laki itu menyebabkan para pekerja tak sungkan mengajak bicara bahkan bercanda. Termasuk Ana. Walaupun hubungan mereka tak bisa dikatakan dekat."Aku ngga tau.""Aku kok masih curiga, ya?""Jangan mikir aneh-aneh!"Baru saja Ana akan membantah ucapan Yuda, suara jendela yang diketuk dengan keras membuat keduanya kaget."Mau sampai kapan kalian di sana?" Arjuna memandang sinis kedua orang yang berada di dalam mobil itu. Sebenarnya dia tidak terlalu peduli, hanya saja apa kata orang kalau istrinya berduaan dengan pria lain. Harga dirinya sebagai suami bisa langsung jatuh."Ini mau markir mobil, Mas," jawab Mas Yuda.Ana menatap polos pria yang masih belum beranjak itu. Arjuna terlihat marah, mengingat kulit putih pr
"Semua terserah aku, 'kan?" Arjuna tidak bergerak lagi, tapi senyum miring masih pria itu pertahankan. Ada perasaan menggelitik melihat kilat ketakutan di mata Ana walau hanya sekejap.Mau seberani apapun istrinya, tetap saja ada sisi lain yang berbeda. Seperti sekarang takut pada sentuhan fisik yang hampir dilakukannya.Sementara itu, tiba-tiba bulu kuduk Ana meremang, mendengar pertanyaan ambigu Arjuna. Seberapa pun dia mencoba mengusir pikiran yang tidak-tidak, tapi ekspresi sang suami seakan mendukung pikiran anehnya.Dia bukan anak kecil yang tak tahu apa-apa. Sebagai perempuan dewasa tentu paham ke mana arah pembicaraan sang suami. Toh, posisi mereka memang mengarah ke sana.Ana menahan napas, saat Arjuna mendekatkan wajahnya. Tidak mau kalah, Ana berusaha tetap terlihat tenang dan tidak memalingkan wajah, meski jujur saja saat ini jantungnya berdetak cepat. Hingga ...."Apa yang kalian lakukan?"Refleks Ana mendorong Arjuna, begitu teriakan yang menggelegar itu masuk dalam teli
Arjuna celingak-celinguk memastikan suasana lantai satu sepi, sebelum membuka pintu di depannya. Hal yang sering dia lakukan. Tepatnya, sejak sang kakek mengetahui hubungannya dengan Rena.Pria itu hanya bisa menyabarkan hati kala mendapati tatapan tajam Rena yang duduk di pinggir ranjang. Bisa menebak jika pertengkaran akan terjadi sebentar lagi."Ngapain kesini?" desis Rena tajam. Dia masih tak terima pada sikap Arjuna yang lebih memilih pembantu itu.Menutup pintu, Arjuna lalu berjalan ke arah sang kekasih. "Maaf, ya," ujarnya lembut. Berharap dengan itu bisa mencairkan kemarahan sang kekasih. Biasanya manjur, dan semoga sekarang juga demikian.Tunggu! Kenapa ada yang aneh pada hatinya, panggilan kekasih yang dia tujukan pada Rena terasa salah. Namun, belum sempat dia mencerna apa yang terjadi suara bentakan Rena telah memenuhi kamar tersebut."Maaf kamu bilang? Apa yang kamu lakukan tadi melukai harga diriku!""Oke, aku minta maaf. Tapi aku melakukan hal tadi agar Ana ngga curiga.
Menjatuhkan diri diatas ranjang, Arjuna memijat pelipisnya akibat rasa pusing yang sejak pagi menyerangnya. Ritme kerja yang padat, membuat badannya mulai protes.Kepalanya menoleh ke sebelah kanan saat mendapati pintu kamar hotel terbuka. "Gimana keadaan, Lo?" tanya Revan, pria yang menjadi partner kerjanya dalam rangka mengecek salah satu cabang hotel keluarga Wijaya."Masih agak pusing, Gue butuh istirahat.""Oke lah, biar nanti gue yang handle sisa pekerjaan. Lo butuh sesuatu?" Revan mendudukkan diri di ranjang satunya.Ya, mereka memang satu kamar dengan dua tempat tidur. Meski Arjuna berstatus sebagai pewaris, saat ini dia masih bekerja sebagai staf bisa. Maka tak ada perlakuan istimewa yang didapatkannya.Baru saja dia berkata agar dibelikan obat sakit kepala, tapi kalimat itu terhenti di ujung lidah kala teringat sesuatu. "Ngga usah, Gue bawa obat." Arjuna bangkit, berjalan menuju tasnya untuk mengeceknya.Tidak butuh waktu lama, pria itu berhasil menemukan pouch yang berisi
Ada pertemuan, ada perpisahan. Bukankah itu siklus kehidupan?Dan sekarang Arjuna berada dalam fase tersebut. Setelah satu bulan lalu mereka bertemu dengan putra yang selama sembilan bulan berada di kandungan Ana, saat ini mereka harus mengalami perpisahan dengan sosok tercinta.Ya, tepat pukul enam pagi tadi Barata yang kemarin penuh suka cita menyambut sang cicit, kini lebih dulu meninggalkan dunia. Laki-laki tua yang yang diberi kepercayaan Arjuna untuk memberi nama pada keturunan Wijaya tersebut, mengembuskan napas terakhir setelah dirawat di rumah sakit selama tiga hari akibat sakit jantung yang dideritanya.Tak ada yang meyangka, laki-laki yang tampak sehat hingga setiap hari menyempatkan waktu menggendong sang cicit telah pergi untuk selamanya. Meninggalkan banyak kenangan bagi orang-orang yang mengenalnya, terutama Arjuna."Hubungan kami bahkan baru membaik."Ana mengusap punggung sang suami yang belum mau beranjak sejak tadi. Setia berjongkok di samping makam salah satu orang
"Udah, jangan nangis." Ana meringis karena bukannya mereda, tangis sang suami malah semakin keras. Pelukan di tubuhnya pun semakin erat. Dia merasa sesak, tapi sebaik mungkin menahannya agar sang suami tak bertambah sedih.Setengah jam berlalu, Arjuna masih terus mendekapnya sambil menggumamkan kata maaf yang tak terhitung jumlahnya. Padahal Ana merasa dirinya baik-baik saja. Entah kenapa setelah bayinya lahir, ketenangannya pun kembali. Dia jadi bisa berpikir lebih jernih, tak lagi menggunakan emosi berlebih.Ya, tepat dua jam lalu dia berhasil melahirkan putranya dalam keadaan sehat dan tanpa kurang satu apapun. Dia bersyukur untuk itu. Sangat.Masalahnya, laki-laki dalam pelukannya itu tak henti mengutuk dirinya sendiri karena tidak menemaninya kala berjuang di antara hidup dan mati. Suaminya yang kemarin pergi ke Surabaya, datang setelah anak mereka lahir ke dunia. Arjuna tidak mendapatkan penerbangan tercepat, sementara dia yang merasakan kontraksi dini hari tadi mengalami proses
Arjuna merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku, lalu memijat tengkuk hingga bahunya sendiri. Satu bulan sudah dia menjadi pemimpin hotel atas amanah sang kakek. Baru saja dia bersiap pulang dengan merapikan meja serta memilih apa-apa saja yang akan dibawa pulang. Pintu ruangannya tiba-tiba terbuka, tanpa diketuk dulu.Protes yang akan Arjuna layangkan terpaksa ditelan kembali sebab perasaannya langsung tak enak. Wajah panik dan khawatir Yuda lah yang menjadi alasan. "Ana masuk rumah sakit, dia terpleset di kamar mandi."Satu kalimat yang menyebabkan tubuh Arjuna menegang. Wajahnya pucat seakan tidak ada darah yang mengalir di sana, bahkan bibirnya tak bisa diajak bekerja sama untuk menanggapi Yuda. "Ayo kita ke rumah sakit, Mas."Entah mendapat kekuatan dari mana, Arjuna berdiri dan berjalan cepat keluar dari ruangannya. Sampai-sampai Yuda pun tampak kesulitan mensejajarkan langkah. Hampir saja tangan Arjuna menyentuh pintu mobil, tapi sebuah tangan lebih dulu menahannya."Biar
"Belum tidur?""Kebangun. Mas belum tidur?"Ana merapikan rambut sang suami yang mulai memanjang, tangannya terulur bermaksud menghilangkan kerutan di kening Arjuna. Saat-saat seperti inilah yang dia rindukan. Saling tatap tanpa ada suara apapun. Tenang dan menyenangkan.Dulu awal-awal hubungan mereka membaik, hal seperti itu terjadi setiap hari. Bahkan melakukan pillow talk bisa sampai satu jam lebih. Namun, sekarang? Boro-boro membicarakan keseharian, Arjuna menanggapi ceritanya tanpa tertidur itu saja sudah bagus.Dia tahu beban sang suami semakin besar, tapi entah kenapa justru dirinya yang belum siap. Kedekatan mereka baru terjalin, tak rela rasanya harus kembali berjarak.Memang benar cinta ada di antara mereka, tapi jika tidak dipupuk bukankah akan pudar?Dan baginya komunikasi dan pertemuan adalah salah satu cara menjaga cinta. Sepertinya dia bukan orang yang betah menjalin hubungan jarak jauh. Apalagi ditambah moodnya yang belakangan naik turun, menyebabkan kekesalannya gampa
Ana menjatuhkan tubuhnya pada tempat tidur, lalu menutupnya dengan selimut hingga kepala. Mengabaikan gerah yang melanda, dia tetap menutup mulut meski berulang kali sang suami mengajak bicara."Maaf, An."Masih tidak ada tanggapan dari Ana menyebabkan Arjuna mengacak kasar rambutnya. Siapa yang menyangka acara perpisahan dengan Rena justru membuat sang istri salah paham.Apalagi sikap Ana yang menjadi aneh. Jika biasanya sang istri menghadapi Rena dengan tenang, tadi justru tak malu menunjukkan amarah secara langsung. Bahkan sampai meninggalkannya lebih dahulu tanpa peduli hal ini menimbulkan pertanyaan para pekerja."Sayang, aku bisa jelasin.""Kalau buat salah baru manggil sayang," gerutu Ana."Jadi kamu maunya dipanggil sayang terus?" tanya Arjuna yang menganggap sikap sang istri sangat menggemaskan. Telunjuknya pun mulai mengetuk-ngetuk punggung sang istri. "Kamu bisa jatuh kalau bergerak terus.""Makanya jangan sentuh!""Ngga bisa, aku kangen."Kalimat itu berhasil memancing Ana
"Baru pulang?""Hmm," jawab Arjuna singkat."Bisa kita bicara? Sebentar saja, tolong."Mudah bagi Arjuna menolak ajakan itu, toh dia tak lagi peduli dengan Rena. Sayangnya sudut hatinya tergerak saat melihat wajah sendu perempuan itu.Bukan, dia bukan luluh hanya saja keputusasaan yang tergambar di raut itu menjadikannya memenuhi keinginan Rena. Tanpa banyak berpikir pun dia tahu jika mantan kekasihnya seolah tengah menanggung beban yang sangat berat. "Di belakang."Setelah mengucapkan itu, Arjuna melangkah lebih dulu. Mencoba tak menghiraukan tatapan penasaran para pekerja, dia terus berjalan ke arah taman belakang. Setidaknya di tempat itu lebih aman sebab di dapur masih banyak pelayan yang tengah bersantai."Kalian tetap di tempat!" perintah Arjuna begitu orang-orang yang dilihatnya berdiri, tampak akan meninggalkan meja bundar yang terdapat di dapur."Ba–baik, Tuan," jawab Eka sembari menunduk. Namun, sesudah majikannya pergi langsung berkasak-kusuk dengan yang lain. "Kira-kira me
Pandu menggeleng. "Tentu saja tidak, tapi Pak Ari terus saja datang sampai akhirnya ayah luluh dan memaafkannya.""Lalu kenapa ayah tidak meminta dibebaskan? Meminta nama baik ayah diperbaiki.""Entah lah." Pandu mengedikkan bahu. "Ketika mendengar cerita Pak Ari tentang bagaimana dia tertekan karena menjadi menantu Pak Barata, dan juga bagaimana istri pria itu menuntutnya macam-macam, ayah jadi tidak tega."Ana mendengkus kencang. "Ayah suka ngga tegaan!""Dan maaf sudah menurunkan sifat itu pada kamu." Pandu tertawa melihat anaknya cemberut.Dia masih ingat bagaimana Ana bercerita tentang sifatnya yang mudah tidak tega itu begitu menyulitkannya. Namun, meski begitu Ana tidak segan menolong orang lain. Hingga terkadang kepentingannya sendiri terabaikan."Sekarang kamu sudah dengar semuanya, jadi pulang, ya?""Ayah ngusir aku?""Iya, ayah ngusir. Kamu itu udah jadi istri, apapun yang kamu lakukan harus seizin suamimu. Mengerti 'kan?"Ana mengangguk. "Tapi Ana masih marah. Dan satu lag
Bukankah manusia itu kadang bersikap begitu aneh? Seperti penuh keyakinan ketika mengambil keputusan, tapi hanya selang beberapa waktu merasa menyesal. Itulah yang dirasakan Ana saat ini.Sudah beberapa menit berlalu, tapi Ana baru berhasil memasukan sarapannya sebanyak tiga sendok. Rasa bersalah yang sejak semalam dia rasakan membuatnya malas untuk melakukan sesuatu. Bahkan makanan kali ini, sang ayah yang memasak.Sebenarnya bisa saja wanita itu menghubungi suaminya, dan menceritakan kegundahan hatinya. Tentang rasa marah, kecewa dan juga perasaan bersalah karena bertindak semena-mena terhadap sang suami. Namun, tidak seperti biasanya yang mengalah terasa mudah. Kini entah mengapa dia sulit melakukan itu.Memang benar apa yang dikatakan sang suami. Ibunya telah berhasil mendidiknya dengan baik, terbukti saat ini dia menjadi gelisah setelah menyebabkan suaminya sakit hati.Kesal dengan pikiran dan hatinya yang semrawut, tanpa sadar Ana meletakkan sendoknya sedikit keras."Makan yang
Arjuna kembali memutar kepala ke samping, kala mendengarkan isakan lirih di sebelahnya. Dia menghela napas saat melihat bahu istrinya bergetar. Wanita itu menangis. Hal yang selalu dia dapati beberapa hari ini.Kalau kemarin dia hanya diam saja, tapi tidak untuk kali ini. Lagipula sampai kapan mereka akan seperti ini? Saling menghindar satu sama lain.Mereka harus mulai menyelesaikan masalah ini! Agar tak sampai berlarut-larut.Maka dari itu, Arjuna membuang segala keraguannya. Dengan pelan dia memegang bahu sang istri, senyum kecut tersungging di bibirnya kala Ana menghindari sentuhannya."Mari bicara," ucap Arjuna yang sudah beralih posisi menjadi duduk bersila di atas tempat tidur. Tangannya masih berusaha membalikkan tubuh istrinya."Ana!" panggilnya sekali lagi. Sesungguhnya bukan hanya wanita itu yang frustasi, dia pun merasakan hal yang sama!Arjuna menghela napas lega, ketika melihat pergerakan sang istri. Lagi-lagi hatinya merasa nyeri, begitu mendapati wajah istrinya yang su