Share

Bab 5

"Apaan sih? Ngga ada, ya!" bantah Ana setelah beberapa detik terdiam memikirkan kemungkin jatuh cinta pada Arjuna.

"Ndak boleh ngomong gitu!" Eka memukul pundak sahabatnya. "Cinta itu yang ngasih Gusti Allah, yang juga bisa membolak-balikkan hati manusia. Mungkin sekarang kamu dan Mas Arjuna belum ada rasa. Tapi siapa tau, setelahnya Gusti Allah membalikkan hati kalian. Terus akhirnya jatuh cinta," ujar ibu satu anak itu memberi petuah dengan logat jawa yang kental.

"Tuh, dengerin!" Mirna ikut memukul bahu Ana, wanita itu merasa senang karena pendapatnya mendapat dukungan Eka. Sebagai penyuka drama dia sampai histeris karena sang sahabat menikah dengan majikannya. Bukan karena iri, tapi merasa itu adalah hal romantis. Dan berharap kisah Ana seperti kebanyakan drama, benci berubah menjadi cinta.

Menghela napas, Ana kembali menatap sahabatnya malas. "Terserah kalian lah!" Bukan saat yang tepat untuk berdebat masalah cinta. Lagipula dia takut ada yang mendengar. Setiap tembok di rumah ini seperti punya kuping, jadi sebuah berita bisa tersebar dengan cepat.

"Tak doain semoga segera timbul benih-benih cinta," bisik Mirna terakhir kali. Lantas wanita itu kembali fokus pada sayurannya. Ya, dia takut kena semprot Rita, si majikan arogan.

Ana sendiri hanya diam, tidak menanggapi lebih jauh. Buat apa? Toh, semuanya masih abu-abu untuknya. Lalu bunyi air mendidih, membuat Ana kembali pada fokusnya semula. Membuat kopi.

Setelah selesai, Ana menaruh cangkir dalam nampan. Dengan pelan berjalan ke meja makan, ternyata di sana tidak hanya Arjuna. Karena Barata sudah duduk di kursi kepala keluarga sambil membaca koran.

"Ini, Mas." Ana menaruh cangkir di depan suaminya yang tampak sibuk dengan ponsel. "Ada lagi yang Mas Juna butuhkan?" tanyanya lembut.

"Ngga ada!"

Sekilas, dia bisa melihat nama Rena di layar ponsel sang suami. Ana jadi penasaran, seberapa lama mereka mereka memiliki hubungan karena sepertinya perasaan satu sama lain sudah dalam. Mengingat Rena rela-rela saja Arjuna menikah dengannya. Bukankah itu berarti Rena benar-benar percaya kekasihnya tidak akan selingkuh?

Selingkuh? Kata itu terasa tidak tepat di telinganya. Dia 'kan istri sah, kenapa jadi berasa selingkuhan?

Akhirnya untuk menghentikan pertanyaan yang beterbangan di otaknya, Ana lebih memilih menyapa Barata yang tengah menyaksikan interaksi cucunya, "Kakek mau minum?" tawar Ana.

Sejak mereka menikah, Barata langsung menyuruh Ana merubah panggilan pada semua anggota keluarga. Laki-laki tua yang terkenal baik pada pegawainya itu, bahkan menerima Ana dengan tangan terbuka.

Memberinya berbagai fasilitas dan menyurut semua orang ikut menghormatinya. Baik, bukan? Kebaikan yang menurutnya menjadi sumber kekesalan Rita dan Rena yang berakhir membencinya.

Sejujurnya hal tersebut awalnya terasa aneh di pikiran Ana, tapi wanita itu lebih memilih berprasangka baik. Barata adalah orang kaya yang tidak memandang status sosial, itu adalah kesimpulannya.

"Kalau ngga merepotkan, tolong buatkan teh seperti biasa." Barata tersenyum lebar. Bahagia terpancar jelas di wajah yang penuh keriput itu.

"Tentu saja tidak merepotkan sama sekali," ujar Ana dengan tersenyum penuh ketulusan. 

Arjuna menatap interaksi sang kakek dengan istrinya dengan sebal. Kenapa kakeknya bisa begitu baik pada Ana?

Apa alasan sebenarnya sang kakek menyuruhnya untuk menikah dengan Ana?

Apa yang pria tua itu sembunyikan?

Suasana canggung benar-benar Ana rasakan, saat acara sarapan pertama yang dia lakukan sebagai keluarga Wijaya. Ana yang biasanya menyediakan makanan di meja, kini menjadi salah seorang yang dilayani dengan baik.

"Arjuna kamu masih cuti, kan?" Suara Barata membuat semua orang yang duduk di meja makan menoleh pada laki-laki tua itu.

"Iya, Kek," jawab Arjuna malas. Dia masih kesal karena harus diperintah menikah dengan Ana.

"Bagus lah. Kalau begitu, nanti kamu ajak Ana belanja baju."

Ana yang sedari tadi memperhatikan dua laki-laki itu, langsung terperanjat. "Gak usah, Kek. Bajuku masih banyak, kan kemarin Mas Arjuna memberi seserahan baju yang begitu banyak untukku."

Memang acara ketika acara pernikahan kemarin, Arjuna memberi Ana begitu banyak barang, dari baju, tas, sepatu hingga perhiasan. Meski kurang nyaman, wanita itu tetap menerimanya. Karena tahu kakek akan merasa tersinggung jika Ana menolak.

Barata menggeleng, mengungkapkan ketidaksetujuan. "Itukan baju untuk sehari-hari dan juga pesta. Kakek ingin kamu belanja baju kerja."

Kening Ana mengernyit. Tidak paham arah pembicaraan sang kakek. Kerja? Memangnya dia mau kerja apa? "Maksudnya apa, Kek?"

"Mulai besok kamu akan bekerja di perusahan bersama Arjuna dan Rena."

"Apa?!"

Bukan. Itu bukan suara teriakan Ana. Melainkan suara Arjuna, Rena dan juga Rita. Ketiganya bahkan dengan kompak menatap Ana penuh permusuhan.

Sementara Ana hanya terdiam. Sibuk mencerna kalimat Barata. Tunggu! Dia akan bekerja di kantor?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status