Suasana pusat perbelanjaan tampak lumayan ramai. Mengingat ini adalah akhir pekan. Keempat orang yang semuanya tidak menunjukkan raut bersemangat itu, berjalan bersama-sama.
Masih jelas di ingatan Ana, bagaimana mata Rena yang memakai kontak lensa warna abu-abu itu memelotot, saat melihatnya dengan berani menggandeng lengan Arjuna.
Sementara Arjuna sepertinya hanya bisa pasrah, mengingat Yuda—asisten pribadi Barata—ikut bersama mereka. Kalau dia macam-macam, sudah pasti Yuda akan melapor pada sang kakek. Dan mengingat Ana saat ini kesayangan Barata, bisa habis dia dimarahi.
Langkah Ana terhenti begitu Rena akan mengajaknya masuk ke salah satu gerai pakaian. Wanita cantik itu menampilkan raut enggan yang begitu kentara.
"Kenapa?" tanya Arjuna yang ikut berhenti. Dia kesal karena Ana terus-terusan membuat ulah.
"Aku gak mau ke situ, aku mau ke sana." Ana menunjuk gerai yang terkenal mahal. Dia sering mendengar Mirna menceritakan artis yang memakai brand tersebut. Salah satu bajunya yang menjadi seserahan pun juga ada brand di depannya.
"Ngapain? Udah, ikut kataku saja. Kita ke sana," ujar Rena tidak terima. Sejak tadi mantan pembantu itu seperti menguji emosinya dan sekarang mau berulah lagi? Tidak akan dia biarkan!
Ana menoleh pada laki-laki yang berada di belakang mereka, "Mas Yuda kata kakek aku boleh milih apapun, 'kan?" tanyanya penuh kemenangan.
Jangan harap Rena berhasil mengintimidasinya. Dia sendirian saja bisa melawan, apalagi ada Yuda yang merupakan kaki tangan Barata. Jelas dialah pemenangnya.
Yuda mengangguk seraya tersenyum sopan.
"Oke jadi kita ke sana." Tidak memedulikan raut kesal Rena, Ana langsung menarik sang suami menuju gerai yang dia maksud.
"Kenapa kamu gak nurut apa kata Rena saja?" bisik Arjuna. Sebenarnya wanita apa yang dia nikahi? Terlihat pendiam ternyata menyebalkan. Tak ada takut-takutnya sama sekali.
"Ngga apa-apa, aku cuma pengen masuk sini," ujar Ana bohong. Alasan sebenarnya hanya ingin membuat Rena jengkel saja.
Arjuna menatap tidak percaya pada istrinya. Dia mulai sadar, wanita di sampingnya ini tidak sepolos yang dia kira. Kentara sekali Ana tidak asal memilih tempat, wanita itu jelas tahu kalau barang mahal.
"Memangnya kenapa? Kamu keberatan kalau aku memilih tempat ini?" Ana mengerjap dengan wajah polos.
Pertanyaan sang istri menyadarkan Arjuna dari lamunannya, "terserah kamu!" jawabnya ketus. Lagipula apa maksud Ana menggunakan ekspresi seperti itu? Mau menggodanya! Tak akan bisa!
Mengedikkan bahu tanda tidak peduli, Ana mulai menyusuri toko, mencari baju mana yang sekiranya mau dibeli. Ya, meski sebenarnya dia tidak tertarik sama sekali untuk belanja. Hanya saja dia ingin mempermainkan kedua sejoli itu.
Apakah dia terlihat jahat? Masa bodoh, Ana tidak peduli. Toh, mereka dulu yang menjadikan Ana alat untuk mencapai keinginan mereka yang masih penuh misteri.
Sambil membawa beberapa baju di tangannya, Ana berjalan menuju sang suami dan saudara tirinya berada. Kedunya duduk bersama di kursi panjang yang disediakan toko.
Mana yang tadi berkata akan membantunya memilih baju? Yang ada Rena malah duduk menempeli Arjuna terus. Memuakkan!
"Sudah?" tanya Arjuna begitu melihat Ana.
"Iya."
"Sebanyak itu?" sinis Rena seraya menatap baju yang dibawa Ana. Baginya Ana adalah perempuan tak tahu malu. Tadi sok menolak, sekarang malah memborong sebegitu banyaknya.
"Iya. Memangnya kenapa Mbak? Ada yang salah?" Ana pura-pura melihat barang yang dibawanya dengan bingung. Seakan tak mengerti maksud pertanyaan Rena.
"Memang mau kamu buat apa baju sebanyak itu?"
"Dipakai lah," ujar Ana tenang yang semakin membuat Rena geram. Serius, berperilaku seperti ini membuat Ana seperti tokoh antagonis di sinteron yang sering dilihat Mirna dan Eka. Namun, entah mengapa rasanya menyenangkan. Wajah kesal Rena adalah hiburan tersendiri untuknya.
"Arjuna, lihat itu kelakuan istrimu? Memanfaatkan keadaan," ejek Rena.
Tidak mengindahkan kalimat Rena, Ana justru menatap pada suaminya, "Mas Arjuna keberatan membayar semua ini?" tanya Ana lembut.
Dia bahkan mengerjap berkali-kali seakan sedang menggoda sang suami agar keinginannya terpenuhi. Ada untungnya juga dia ikut menonton drama bersama pekerja lain, memudahkannya bermain peran.
"Ngga." Arjuna berdeham pelan, saat merasakan ada yang aneh di hatinya, saat sang istri menatapnya begitu intens. Sial! Dia kenapa?
"Tuh kan, Mas Arjuna ngga keberatan, kok. Jadi kenapa Mbak Rena harus marah-marah ngga jelas? Lagipula yang bayar suamiku bukan mbak," ucapnya penuh penekanan.
Mata Rena memelotot. Namun, belum sempat dia membalas ucapan Ana. Suara seseorang memanggil namanya membuat wanita itu menoleh ke belakang. Wanita itu mengumpat lirih begitu mengetahui siapa yang barusan memanggilnya.
Tidak jauh berbeda dengan Rena, Arjuna juga tampak terkejut mengetahui siapa yang memanggil kekasihnya. Apalagi ini? Kenapa banyak masalah yang harus dia hadapi saat pernikahannya baru berusia dua hari?
Sedangkan Ana mengerutkan kening, begitu menyadari sikap Rena dan Arjuna yang tampak salah tingkah. Pasti ada sesuatu! Jadi, siapa wanita cantik yang kini berjalan cepat ke arah mereka?
"Astaga, ini bener kalian? Tadinya aku takut salah orang." Ana masih memperhatikan ketiga orang itu. Terlihat jelas Arjuna dan Rena beberapa kali melirik ke arahnya, seperti orang yang salah tingkah. Hal itu semakin membuat Ana yakin, ada sesuatu yang mencurigakan. Dia masih tetap mempertahankan. Menunggu drama apa lagi yang akan terjadi. Meski rasanya ingin tertawa melihat kepanikan pasangan itu. Heran, kadang dia merasa Rena itu terlalu mudah dibaca. Lantas kenapa harus susah-sudah menyembunyikan hubungan? Toh, kalau diperhatikan dengan jelas interaksi keduanya terlalu kentara. Apalagi Arjuna, sepertinya kesulitan berpura-pura tak menyukai siapapun. Karena baginya Cara sang suami menatap Rena itu berbeda. Jelas ada cinta di sana. "Oh, iya. Apa kabar Yuna?" Rena lebih dulu menjabat tangan wanita yang dia panggil Yuna. Namun, setelahnya dia lagi-lagi melirik Ana. Ingin tau ekspresi perempuan itu, sebagai antisipasi tindakan selanjutnya. Bukannya apa, Ana selalu tidak tertebak.
Mata Yuna membeliak. Tangannya masih menggenggam tangan Ana dengan erat, mungkin efek dia terlalu kaget dengan info yang didapatkannya. Hingga akhirnya Ana memilih menarik tangannya, membuat Yuna juga buru-buru melakukan hal yang sama.Yuna berdeham. "Maaf, ya, aku baru tau. Arjuna, sih, gak ngundang-ngundang," ujarnya dengan tertawa canggung."Memang kami tidak mengundang banyak orang, hanya keluarga saja."Ana membalas senyum kecil Yuna yang terlihat begitu canggung. Ya, dia bisa mengerti dengan sikap wanita itu. Siapa juga yang tidak canggung, jika salah mengartikan hubungan seseorang."Lho? Kenapa?" Yuna menatap Arjuna. "Teman kita banyak, lo.""Karena aku ingin sesuatu yang sederhana saja," jawab Arjuna. Matanya melirik kesal pada wanita bergamis toska yang tampak berdiri santai di sebelahnya. Apa maksud wanita itu membocorkan hubungan mereka? Sepertinya sang istri sengaja menguji kesabarannya."Arjuna? Sederhana?" cibir Yuna, bibir wanita itu mencebik seolah mengejek pernyataan
"Memangnya ada yang tak jelas?" Ana mengedikkan bahu."Jadi kamu mencurigai kami ada hubungan begitu?" desis Rena tajam.Ana tersenyum tipis. "Aku gak bilang begitu, bukankah teman kalian yang bilang seperti itu?" "Sudah hentikan! Makan!" perintah Arjuna.Kedua wanita itu langsung terdiam. Ya, Ana menyadari dibalik sikap suaminya yang terkadang masih kekanak-kanakan, ada sisi menyeramkan ketika laki-laki itu sudah marah.Karena dulu dia sempat beberapa kali mendapati Arjuna marah pada para pekerja, dan itu begitu menyeramkan. Mungkin efek mempunyai kuasa hingga laki-laki tak punya rasa takut menyuarakan pendapat.Selama makan siang kali ini, sama sekali tidak ada percakapan di antara mereka. Sepertinya semua enggan memancing amarah Arjuna, yang masih suka meledak-ledak.Waktu menunjukkan pukul dua siang, saat keempat orang itu keluar dari pusat perbelanjaan. Ketika sampai di parkiran, Ana segera beranjak ke pintu belakang mobil. Namun, gerakannya yang akan meraih gagang pintu terhent
"Mas, tunggu!" teriak Ana mencegah Yuda yang akan membuka pintu mobil. "Ada apa?""Aku masih penasaran! Dan aku ngga mau tidur dalam keadaan penasaran! Jadi, Arjuna menikah denganku karena disuruh kakek?" Bisa dibilang posisi Yuda lebih tinggi darinya, tapi sikap ramah laki-laki itu menyebabkan para pekerja tak sungkan mengajak bicara bahkan bercanda. Termasuk Ana. Walaupun hubungan mereka tak bisa dikatakan dekat."Aku ngga tau.""Aku kok masih curiga, ya?""Jangan mikir aneh-aneh!"Baru saja Ana akan membantah ucapan Yuda, suara jendela yang diketuk dengan keras membuat keduanya kaget."Mau sampai kapan kalian di sana?" Arjuna memandang sinis kedua orang yang berada di dalam mobil itu. Sebenarnya dia tidak terlalu peduli, hanya saja apa kata orang kalau istrinya berduaan dengan pria lain. Harga dirinya sebagai suami bisa langsung jatuh."Ini mau markir mobil, Mas," jawab Mas Yuda.Ana menatap polos pria yang masih belum beranjak itu. Arjuna terlihat marah, mengingat kulit putih pr
"Semua terserah aku, 'kan?" Arjuna tidak bergerak lagi, tapi senyum miring masih pria itu pertahankan. Ada perasaan menggelitik melihat kilat ketakutan di mata Ana walau hanya sekejap.Mau seberani apapun istrinya, tetap saja ada sisi lain yang berbeda. Seperti sekarang takut pada sentuhan fisik yang hampir dilakukannya.Sementara itu, tiba-tiba bulu kuduk Ana meremang, mendengar pertanyaan ambigu Arjuna. Seberapa pun dia mencoba mengusir pikiran yang tidak-tidak, tapi ekspresi sang suami seakan mendukung pikiran anehnya.Dia bukan anak kecil yang tak tahu apa-apa. Sebagai perempuan dewasa tentu paham ke mana arah pembicaraan sang suami. Toh, posisi mereka memang mengarah ke sana.Ana menahan napas, saat Arjuna mendekatkan wajahnya. Tidak mau kalah, Ana berusaha tetap terlihat tenang dan tidak memalingkan wajah, meski jujur saja saat ini jantungnya berdetak cepat. Hingga ...."Apa yang kalian lakukan?"Refleks Ana mendorong Arjuna, begitu teriakan yang menggelegar itu masuk dalam teli
Arjuna celingak-celinguk memastikan suasana lantai satu sepi, sebelum membuka pintu di depannya. Hal yang sering dia lakukan. Tepatnya, sejak sang kakek mengetahui hubungannya dengan Rena.Pria itu hanya bisa menyabarkan hati kala mendapati tatapan tajam Rena yang duduk di pinggir ranjang. Bisa menebak jika pertengkaran akan terjadi sebentar lagi."Ngapain kesini?" desis Rena tajam. Dia masih tak terima pada sikap Arjuna yang lebih memilih pembantu itu.Menutup pintu, Arjuna lalu berjalan ke arah sang kekasih. "Maaf, ya," ujarnya lembut. Berharap dengan itu bisa mencairkan kemarahan sang kekasih. Biasanya manjur, dan semoga sekarang juga demikian.Tunggu! Kenapa ada yang aneh pada hatinya, panggilan kekasih yang dia tujukan pada Rena terasa salah. Namun, belum sempat dia mencerna apa yang terjadi suara bentakan Rena telah memenuhi kamar tersebut."Maaf kamu bilang? Apa yang kamu lakukan tadi melukai harga diriku!""Oke, aku minta maaf. Tapi aku melakukan hal tadi agar Ana ngga curiga.
Menjatuhkan diri diatas ranjang, Arjuna memijat pelipisnya akibat rasa pusing yang sejak pagi menyerangnya. Ritme kerja yang padat, membuat badannya mulai protes.Kepalanya menoleh ke sebelah kanan saat mendapati pintu kamar hotel terbuka. "Gimana keadaan, Lo?" tanya Revan, pria yang menjadi partner kerjanya dalam rangka mengecek salah satu cabang hotel keluarga Wijaya."Masih agak pusing, Gue butuh istirahat.""Oke lah, biar nanti gue yang handle sisa pekerjaan. Lo butuh sesuatu?" Revan mendudukkan diri di ranjang satunya.Ya, mereka memang satu kamar dengan dua tempat tidur. Meski Arjuna berstatus sebagai pewaris, saat ini dia masih bekerja sebagai staf bisa. Maka tak ada perlakuan istimewa yang didapatkannya.Baru saja dia berkata agar dibelikan obat sakit kepala, tapi kalimat itu terhenti di ujung lidah kala teringat sesuatu. "Ngga usah, Gue bawa obat." Arjuna bangkit, berjalan menuju tasnya untuk mengeceknya.Tidak butuh waktu lama, pria itu berhasil menemukan pouch yang berisi
Rasanya baru saja Arjuna tertidur kala dering ponselnya yang tidak mau berhenti berhasil mengusik tidurnya. Memutar tubuh, Arjuna tidak mendapati keberadaan Revan.Kemana anak itu?Namun, Arjuna tidak memikirkannya lebih lanjut karena saat ini tenggorokannya butuh perhatian lebih. Dia merasa lebih haus daripada biasanya.Memperhatikan gelas yang telah kosong, mendadak dia teringat oleh istrinya. Bagaimana perempuan itu setiap malam selalu membawa tumbler ke kamar.Sedang apa perempuan itu sekarang?Menatap pergelangan tangannya, dia tiba-tiba kepikiran untuk menghubungi perempuan aneh itu. Kepalanya sontak menggeleng menolak gagasan tersebut.Namun, tindakannya malah tidak sesuai pikiran sebab dia malah mengambil ponsel yang terletak di atas nakas. Ada nama Rena terletak di paling atas di deretan pesan yang dia terima. Mengabaikan hal itu, dia justru membuka ruang pesan bersama Ana.Beberapa detik berlalu dia habiskan untuk menatap foto profil sang istri. Tak ada yang spesial, hanya t