Menjatuhkan diri diatas ranjang, Arjuna memijat pelipisnya akibat rasa pusing yang sejak pagi menyerangnya. Ritme kerja yang padat, membuat badannya mulai protes.Kepalanya menoleh ke sebelah kanan saat mendapati pintu kamar hotel terbuka. "Gimana keadaan, Lo?" tanya Revan, pria yang menjadi partner kerjanya dalam rangka mengecek salah satu cabang hotel keluarga Wijaya."Masih agak pusing, Gue butuh istirahat.""Oke lah, biar nanti gue yang handle sisa pekerjaan. Lo butuh sesuatu?" Revan mendudukkan diri di ranjang satunya.Ya, mereka memang satu kamar dengan dua tempat tidur. Meski Arjuna berstatus sebagai pewaris, saat ini dia masih bekerja sebagai staf bisa. Maka tak ada perlakuan istimewa yang didapatkannya.Baru saja dia berkata agar dibelikan obat sakit kepala, tapi kalimat itu terhenti di ujung lidah kala teringat sesuatu. "Ngga usah, Gue bawa obat." Arjuna bangkit, berjalan menuju tasnya untuk mengeceknya.Tidak butuh waktu lama, pria itu berhasil menemukan pouch yang berisi
Rasanya baru saja Arjuna tertidur kala dering ponselnya yang tidak mau berhenti berhasil mengusik tidurnya. Memutar tubuh, Arjuna tidak mendapati keberadaan Revan.Kemana anak itu?Namun, Arjuna tidak memikirkannya lebih lanjut karena saat ini tenggorokannya butuh perhatian lebih. Dia merasa lebih haus daripada biasanya.Memperhatikan gelas yang telah kosong, mendadak dia teringat oleh istrinya. Bagaimana perempuan itu setiap malam selalu membawa tumbler ke kamar.Sedang apa perempuan itu sekarang?Menatap pergelangan tangannya, dia tiba-tiba kepikiran untuk menghubungi perempuan aneh itu. Kepalanya sontak menggeleng menolak gagasan tersebut.Namun, tindakannya malah tidak sesuai pikiran sebab dia malah mengambil ponsel yang terletak di atas nakas. Ada nama Rena terletak di paling atas di deretan pesan yang dia terima. Mengabaikan hal itu, dia justru membuka ruang pesan bersama Ana.Beberapa detik berlalu dia habiskan untuk menatap foto profil sang istri. Tak ada yang spesial, hanya t
"Eh, itu ada Mas Yuda." Kia, teman satu divisi Ana menyenggol lengan wanita yang sudah bersiap pulang itu ."Kamu selalu bilang, ngga ada hubungan apa-apa. Tapi tiap hari diantar jemput Mas Yuda," cibir Kia.Tidak mengindahkan perkataan teman barunya, Ana berlalu setelah berpamitan pada Lisa, juga Rio dan Riza yang merupakan teman barunya sama seperti Kia."Sudah?" tanya Yuda begitu Ana sampai di depannya.Sebenarnya Ana cukup risih mendapat perlakukan yang istimewa seperti ini. Namun, mau bagaimana lagi ini adalah perintah langsung dari Barata. Untuk menolak pun Ana tidak mampu, karena pria tua itu begitu berwibawa.Sampai akhirnya mau tidak mau kini dia menjadi bahan gosip sebagai kekasih Yuda. Karena tidak ada yang tahu perihal pernikahannya dengan Arjuna."Betah, 'kan?""Mas ngga bosen tanya kayak gitu? Dari awal kerja hal itu terus aja ditanyakan."Seperti yang sudah-sudah Yuda hanya tersenyum kecil menghadapi cibiran Ana. Sejak ditugaskan menjadi "pengawal" wanita berkulit putih
"Kamu sakit?" tanya Ana saat melihat wajah Arjuna yang sedikit pucat. Tak hanya itu, bibir selalu mengeluarkan kata-kata tajam tersebut tampak kering. Cara berjalan Arjuna pun tak setegap biasanya. Malah cenderung lemah.Sebenarnya dalam sekali lihat orang akan tahu. Namun, dia hanya ingin memastikan mengingat suaminya ini terkadang bersikap aneh. Daripada asal menebak lalu salah dan mendapat cibiran. Mending langsung tanya saja."Ngga, cuma capek aja." Arjuna duduk di tepi ranjang. Menatap datar lawan bicaranya. Rasanya kemarin tubuhnya telah mendingan. Namun, sekarang kembali drop. Apa mungkin efek perjalanan panjang yang dia lakukan?"O ...." Ana berjalan menuju almari untuk mengambil baju, dia ingin segera membersihkan diri. Walau sesungguhnya ingin mendebat Arjuna. Mana ada kecapekan sampai sepucat itu dengan keringat dingin yang membanjiri kening.Namun, sekali lagi Ana tak mau mendebat. Dia cukup lelah hari ini. Adaptasi dengan pekerjaan baru cukup menguras otaknya. Mau menjadi
Hidup sebagai piatu sejak kecil, menjadikan Arjuna tidak pernah merasakan kasih sayang serta perhatian yang tulus dari seorang wanita. Pun ketika sang papa menikah lagi, ibu tirinya merawat dia sebagai tanggung jawab saja. Rena juga sama, wanita itu terlalu sibuk mengaturnya meski embel-embel cinta selalu digunakan sebagai alasan. Meski tak menampik dia bahagia bersama Rena, tapi tetap saja keinginan diperhatikan lebih itu ada.Maka ketika dia terbangun dari tidurnya dengan handuk di keningnya, lalu saat menoleh ke samping dan menemukan Ana yang tengah tertidur dengan posisi duduk, dimana kepala wanita berada di ranjang. Hati pria itu mendadak merasa hangat.Tanpa sadar, tangan Arjuna bergerak perlahan mengusap kepala sang istri dengan gerakan teratur. Bagaimana bisa seseorang yang masih terasa asing bersikap setulus ini padanya?Boleh saja mulut Ana pedas, tapi tak mengurangi pendapatnya jika sang istri sungguh orang yang tulus.Beberapa detik setelahnya aktivitas Arjuna terhenti, k
Suasana kantin siang ini tidak seperti biasanya, semua sibuk berbisik-bisik seraya melirik kedatangan dua pria yang tidak pernah sekalipun berada di sini.Adalah Revan dan Arjuna, yang menjadi pusat perhatian. Membuat karyawan yang lain terang-terang menatap heran ke arah mereka, apa kiranya hal yang membawa pewaris keluarga Wijaya beserta sahabatnya makan di kantin?Sementara itu, bukannya tidak menyadari banyak pasang mata yang menatapnya dengan penasaran, tapi Arjuna mencoba tidak peduli meski rasanya dia sangat risih saat ini. Inilah faktor kenapa dia tidak pernah menginjakkan kaki di kantin, bukannya sombong hanya saja menjadi pusat perhatian ini bukan sesuatu yang menyenangkan untuknya.Lantas kenapa siang ini dia berada di kantin? Tentu saja akibat ulah Revan! Sahabatnya itu memaksa, dengan dalih ingin menunjukkan pada Arjuna seorang wanita yang telah berhasil mencuri perhatiannya.Sebenarnya bisa saja Arjuna menolak, tapi dia malas makan sendiri karena Rena sedang meeting di l
Arjuna mengembuskan napas lelah kala mendapati pesan dari Rena.[Ke kamarku!]Menoleh ke samping, dia melihat Ana yang sudah terlelap. Tiba-tiba rasa bersalah menghantui hatinya, dia seolah pria brengsek yang dengan tega berselingkuh di belakang sang istri.Ya, seperti itulah Arjuna. Di depan banyak orang dia berlagak menjadi pria yang angkuh demi menutupi rasa sepi yang selama ini sering dirasakannya.Kehadiran Rena memang sedikit menyamarkan rasa sepi. Namun, itu dulu. Sekarang berhubungan dengan wanita itu terasa mencekik. Setiap gerak-geriknya selalu diawasi. Jika dulu dia merasa itu sebagai bentuk perhatian yang tidak pernah dia rasakan. Kini perasaan ragu mulai menguasainya, benarkah cinta memang seperti ini? Seperti apa sebenarnya cinta yang tulus itu?Seperti kata Revan dia tidak berpengalaman sama sekali tentang cinta. Hanya Rena satu-satunya wanita yang mengisi hidupnya sekian lama. Akan tetapi, kini dia merasa lelah jika terus berhadapan dengan wanita itu.Mengusap kasar w
Ana sudah merasa ada yang tidak beres, sejak semalam Arjuna keluar dari kamar Rena dengan wajah tidak bersahabat. Bahkan menanyakan hal aneh padanya. Dan saat dia balas dengan pertanyaan, suaminya itu pergi begitu saja.Lalu kini suasana meja makan terasa begitu ... Ana sendiri bingung untuk mendeskripsikannya. Menegangkan? Menyeramkan?Karena sejak kedatangannya di sini, Rena langsung memberi tatapan tajam yang lebih parah dari biasanya. Dia sendiri merasa gerakannya selalu diawasi wanita itu. Jika ini adalah salah satu adegan di film kartun pasti sekarang dia sudah terbakar karena tatapan Rena."Arjuna, hari ini Rena bareng kamu, ya? Soalnya mobil Rena mau mama pakai.""Iya," jawab Arjuna singkat tanpa repot mendongak untuk melihat ibu tirinya.Katakanlah dia tidak sopan. Karena memang begitu kenyataannya. Mau bagaimana lagi, wanita itu yang dulu pernah dia harapkan menjadi pengganti ibunya ternyata hanya menjadikannya sebagi alat agar lebih disayang ayahnya.Belum pernah sekalipun
Ada pertemuan, ada perpisahan. Bukankah itu siklus kehidupan?Dan sekarang Arjuna berada dalam fase tersebut. Setelah satu bulan lalu mereka bertemu dengan putra yang selama sembilan bulan berada di kandungan Ana, saat ini mereka harus mengalami perpisahan dengan sosok tercinta.Ya, tepat pukul enam pagi tadi Barata yang kemarin penuh suka cita menyambut sang cicit, kini lebih dulu meninggalkan dunia. Laki-laki tua yang yang diberi kepercayaan Arjuna untuk memberi nama pada keturunan Wijaya tersebut, mengembuskan napas terakhir setelah dirawat di rumah sakit selama tiga hari akibat sakit jantung yang dideritanya.Tak ada yang meyangka, laki-laki yang tampak sehat hingga setiap hari menyempatkan waktu menggendong sang cicit telah pergi untuk selamanya. Meninggalkan banyak kenangan bagi orang-orang yang mengenalnya, terutama Arjuna."Hubungan kami bahkan baru membaik."Ana mengusap punggung sang suami yang belum mau beranjak sejak tadi. Setia berjongkok di samping makam salah satu orang
"Udah, jangan nangis." Ana meringis karena bukannya mereda, tangis sang suami malah semakin keras. Pelukan di tubuhnya pun semakin erat. Dia merasa sesak, tapi sebaik mungkin menahannya agar sang suami tak bertambah sedih.Setengah jam berlalu, Arjuna masih terus mendekapnya sambil menggumamkan kata maaf yang tak terhitung jumlahnya. Padahal Ana merasa dirinya baik-baik saja. Entah kenapa setelah bayinya lahir, ketenangannya pun kembali. Dia jadi bisa berpikir lebih jernih, tak lagi menggunakan emosi berlebih.Ya, tepat dua jam lalu dia berhasil melahirkan putranya dalam keadaan sehat dan tanpa kurang satu apapun. Dia bersyukur untuk itu. Sangat.Masalahnya, laki-laki dalam pelukannya itu tak henti mengutuk dirinya sendiri karena tidak menemaninya kala berjuang di antara hidup dan mati. Suaminya yang kemarin pergi ke Surabaya, datang setelah anak mereka lahir ke dunia. Arjuna tidak mendapatkan penerbangan tercepat, sementara dia yang merasakan kontraksi dini hari tadi mengalami proses
Arjuna merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku, lalu memijat tengkuk hingga bahunya sendiri. Satu bulan sudah dia menjadi pemimpin hotel atas amanah sang kakek. Baru saja dia bersiap pulang dengan merapikan meja serta memilih apa-apa saja yang akan dibawa pulang. Pintu ruangannya tiba-tiba terbuka, tanpa diketuk dulu.Protes yang akan Arjuna layangkan terpaksa ditelan kembali sebab perasaannya langsung tak enak. Wajah panik dan khawatir Yuda lah yang menjadi alasan. "Ana masuk rumah sakit, dia terpleset di kamar mandi."Satu kalimat yang menyebabkan tubuh Arjuna menegang. Wajahnya pucat seakan tidak ada darah yang mengalir di sana, bahkan bibirnya tak bisa diajak bekerja sama untuk menanggapi Yuda. "Ayo kita ke rumah sakit, Mas."Entah mendapat kekuatan dari mana, Arjuna berdiri dan berjalan cepat keluar dari ruangannya. Sampai-sampai Yuda pun tampak kesulitan mensejajarkan langkah. Hampir saja tangan Arjuna menyentuh pintu mobil, tapi sebuah tangan lebih dulu menahannya."Biar
"Belum tidur?""Kebangun. Mas belum tidur?"Ana merapikan rambut sang suami yang mulai memanjang, tangannya terulur bermaksud menghilangkan kerutan di kening Arjuna. Saat-saat seperti inilah yang dia rindukan. Saling tatap tanpa ada suara apapun. Tenang dan menyenangkan.Dulu awal-awal hubungan mereka membaik, hal seperti itu terjadi setiap hari. Bahkan melakukan pillow talk bisa sampai satu jam lebih. Namun, sekarang? Boro-boro membicarakan keseharian, Arjuna menanggapi ceritanya tanpa tertidur itu saja sudah bagus.Dia tahu beban sang suami semakin besar, tapi entah kenapa justru dirinya yang belum siap. Kedekatan mereka baru terjalin, tak rela rasanya harus kembali berjarak.Memang benar cinta ada di antara mereka, tapi jika tidak dipupuk bukankah akan pudar?Dan baginya komunikasi dan pertemuan adalah salah satu cara menjaga cinta. Sepertinya dia bukan orang yang betah menjalin hubungan jarak jauh. Apalagi ditambah moodnya yang belakangan naik turun, menyebabkan kekesalannya gampa
Ana menjatuhkan tubuhnya pada tempat tidur, lalu menutupnya dengan selimut hingga kepala. Mengabaikan gerah yang melanda, dia tetap menutup mulut meski berulang kali sang suami mengajak bicara."Maaf, An."Masih tidak ada tanggapan dari Ana menyebabkan Arjuna mengacak kasar rambutnya. Siapa yang menyangka acara perpisahan dengan Rena justru membuat sang istri salah paham.Apalagi sikap Ana yang menjadi aneh. Jika biasanya sang istri menghadapi Rena dengan tenang, tadi justru tak malu menunjukkan amarah secara langsung. Bahkan sampai meninggalkannya lebih dahulu tanpa peduli hal ini menimbulkan pertanyaan para pekerja."Sayang, aku bisa jelasin.""Kalau buat salah baru manggil sayang," gerutu Ana."Jadi kamu maunya dipanggil sayang terus?" tanya Arjuna yang menganggap sikap sang istri sangat menggemaskan. Telunjuknya pun mulai mengetuk-ngetuk punggung sang istri. "Kamu bisa jatuh kalau bergerak terus.""Makanya jangan sentuh!""Ngga bisa, aku kangen."Kalimat itu berhasil memancing Ana
"Baru pulang?""Hmm," jawab Arjuna singkat."Bisa kita bicara? Sebentar saja, tolong."Mudah bagi Arjuna menolak ajakan itu, toh dia tak lagi peduli dengan Rena. Sayangnya sudut hatinya tergerak saat melihat wajah sendu perempuan itu.Bukan, dia bukan luluh hanya saja keputusasaan yang tergambar di raut itu menjadikannya memenuhi keinginan Rena. Tanpa banyak berpikir pun dia tahu jika mantan kekasihnya seolah tengah menanggung beban yang sangat berat. "Di belakang."Setelah mengucapkan itu, Arjuna melangkah lebih dulu. Mencoba tak menghiraukan tatapan penasaran para pekerja, dia terus berjalan ke arah taman belakang. Setidaknya di tempat itu lebih aman sebab di dapur masih banyak pelayan yang tengah bersantai."Kalian tetap di tempat!" perintah Arjuna begitu orang-orang yang dilihatnya berdiri, tampak akan meninggalkan meja bundar yang terdapat di dapur."Ba–baik, Tuan," jawab Eka sembari menunduk. Namun, sesudah majikannya pergi langsung berkasak-kusuk dengan yang lain. "Kira-kira me
Pandu menggeleng. "Tentu saja tidak, tapi Pak Ari terus saja datang sampai akhirnya ayah luluh dan memaafkannya.""Lalu kenapa ayah tidak meminta dibebaskan? Meminta nama baik ayah diperbaiki.""Entah lah." Pandu mengedikkan bahu. "Ketika mendengar cerita Pak Ari tentang bagaimana dia tertekan karena menjadi menantu Pak Barata, dan juga bagaimana istri pria itu menuntutnya macam-macam, ayah jadi tidak tega."Ana mendengkus kencang. "Ayah suka ngga tegaan!""Dan maaf sudah menurunkan sifat itu pada kamu." Pandu tertawa melihat anaknya cemberut.Dia masih ingat bagaimana Ana bercerita tentang sifatnya yang mudah tidak tega itu begitu menyulitkannya. Namun, meski begitu Ana tidak segan menolong orang lain. Hingga terkadang kepentingannya sendiri terabaikan."Sekarang kamu sudah dengar semuanya, jadi pulang, ya?""Ayah ngusir aku?""Iya, ayah ngusir. Kamu itu udah jadi istri, apapun yang kamu lakukan harus seizin suamimu. Mengerti 'kan?"Ana mengangguk. "Tapi Ana masih marah. Dan satu lag
Bukankah manusia itu kadang bersikap begitu aneh? Seperti penuh keyakinan ketika mengambil keputusan, tapi hanya selang beberapa waktu merasa menyesal. Itulah yang dirasakan Ana saat ini.Sudah beberapa menit berlalu, tapi Ana baru berhasil memasukan sarapannya sebanyak tiga sendok. Rasa bersalah yang sejak semalam dia rasakan membuatnya malas untuk melakukan sesuatu. Bahkan makanan kali ini, sang ayah yang memasak.Sebenarnya bisa saja wanita itu menghubungi suaminya, dan menceritakan kegundahan hatinya. Tentang rasa marah, kecewa dan juga perasaan bersalah karena bertindak semena-mena terhadap sang suami. Namun, tidak seperti biasanya yang mengalah terasa mudah. Kini entah mengapa dia sulit melakukan itu.Memang benar apa yang dikatakan sang suami. Ibunya telah berhasil mendidiknya dengan baik, terbukti saat ini dia menjadi gelisah setelah menyebabkan suaminya sakit hati.Kesal dengan pikiran dan hatinya yang semrawut, tanpa sadar Ana meletakkan sendoknya sedikit keras."Makan yang
Arjuna kembali memutar kepala ke samping, kala mendengarkan isakan lirih di sebelahnya. Dia menghela napas saat melihat bahu istrinya bergetar. Wanita itu menangis. Hal yang selalu dia dapati beberapa hari ini.Kalau kemarin dia hanya diam saja, tapi tidak untuk kali ini. Lagipula sampai kapan mereka akan seperti ini? Saling menghindar satu sama lain.Mereka harus mulai menyelesaikan masalah ini! Agar tak sampai berlarut-larut.Maka dari itu, Arjuna membuang segala keraguannya. Dengan pelan dia memegang bahu sang istri, senyum kecut tersungging di bibirnya kala Ana menghindari sentuhannya."Mari bicara," ucap Arjuna yang sudah beralih posisi menjadi duduk bersila di atas tempat tidur. Tangannya masih berusaha membalikkan tubuh istrinya."Ana!" panggilnya sekali lagi. Sesungguhnya bukan hanya wanita itu yang frustasi, dia pun merasakan hal yang sama!Arjuna menghela napas lega, ketika melihat pergerakan sang istri. Lagi-lagi hatinya merasa nyeri, begitu mendapati wajah istrinya yang su