"Semua terserah aku, 'kan?" Arjuna tidak bergerak lagi, tapi senyum miring masih pria itu pertahankan. Ada perasaan menggelitik melihat kilat ketakutan di mata Ana walau hanya sekejap.Mau seberani apapun istrinya, tetap saja ada sisi lain yang berbeda. Seperti sekarang takut pada sentuhan fisik yang hampir dilakukannya.Sementara itu, tiba-tiba bulu kuduk Ana meremang, mendengar pertanyaan ambigu Arjuna. Seberapa pun dia mencoba mengusir pikiran yang tidak-tidak, tapi ekspresi sang suami seakan mendukung pikiran anehnya.Dia bukan anak kecil yang tak tahu apa-apa. Sebagai perempuan dewasa tentu paham ke mana arah pembicaraan sang suami. Toh, posisi mereka memang mengarah ke sana.Ana menahan napas, saat Arjuna mendekatkan wajahnya. Tidak mau kalah, Ana berusaha tetap terlihat tenang dan tidak memalingkan wajah, meski jujur saja saat ini jantungnya berdetak cepat. Hingga ...."Apa yang kalian lakukan?"Refleks Ana mendorong Arjuna, begitu teriakan yang menggelegar itu masuk dalam teli
Arjuna celingak-celinguk memastikan suasana lantai satu sepi, sebelum membuka pintu di depannya. Hal yang sering dia lakukan. Tepatnya, sejak sang kakek mengetahui hubungannya dengan Rena.Pria itu hanya bisa menyabarkan hati kala mendapati tatapan tajam Rena yang duduk di pinggir ranjang. Bisa menebak jika pertengkaran akan terjadi sebentar lagi."Ngapain kesini?" desis Rena tajam. Dia masih tak terima pada sikap Arjuna yang lebih memilih pembantu itu.Menutup pintu, Arjuna lalu berjalan ke arah sang kekasih. "Maaf, ya," ujarnya lembut. Berharap dengan itu bisa mencairkan kemarahan sang kekasih. Biasanya manjur, dan semoga sekarang juga demikian.Tunggu! Kenapa ada yang aneh pada hatinya, panggilan kekasih yang dia tujukan pada Rena terasa salah. Namun, belum sempat dia mencerna apa yang terjadi suara bentakan Rena telah memenuhi kamar tersebut."Maaf kamu bilang? Apa yang kamu lakukan tadi melukai harga diriku!""Oke, aku minta maaf. Tapi aku melakukan hal tadi agar Ana ngga curiga.
Menjatuhkan diri diatas ranjang, Arjuna memijat pelipisnya akibat rasa pusing yang sejak pagi menyerangnya. Ritme kerja yang padat, membuat badannya mulai protes.Kepalanya menoleh ke sebelah kanan saat mendapati pintu kamar hotel terbuka. "Gimana keadaan, Lo?" tanya Revan, pria yang menjadi partner kerjanya dalam rangka mengecek salah satu cabang hotel keluarga Wijaya."Masih agak pusing, Gue butuh istirahat.""Oke lah, biar nanti gue yang handle sisa pekerjaan. Lo butuh sesuatu?" Revan mendudukkan diri di ranjang satunya.Ya, mereka memang satu kamar dengan dua tempat tidur. Meski Arjuna berstatus sebagai pewaris, saat ini dia masih bekerja sebagai staf bisa. Maka tak ada perlakuan istimewa yang didapatkannya.Baru saja dia berkata agar dibelikan obat sakit kepala, tapi kalimat itu terhenti di ujung lidah kala teringat sesuatu. "Ngga usah, Gue bawa obat." Arjuna bangkit, berjalan menuju tasnya untuk mengeceknya.Tidak butuh waktu lama, pria itu berhasil menemukan pouch yang berisi
Rasanya baru saja Arjuna tertidur kala dering ponselnya yang tidak mau berhenti berhasil mengusik tidurnya. Memutar tubuh, Arjuna tidak mendapati keberadaan Revan.Kemana anak itu?Namun, Arjuna tidak memikirkannya lebih lanjut karena saat ini tenggorokannya butuh perhatian lebih. Dia merasa lebih haus daripada biasanya.Memperhatikan gelas yang telah kosong, mendadak dia teringat oleh istrinya. Bagaimana perempuan itu setiap malam selalu membawa tumbler ke kamar.Sedang apa perempuan itu sekarang?Menatap pergelangan tangannya, dia tiba-tiba kepikiran untuk menghubungi perempuan aneh itu. Kepalanya sontak menggeleng menolak gagasan tersebut.Namun, tindakannya malah tidak sesuai pikiran sebab dia malah mengambil ponsel yang terletak di atas nakas. Ada nama Rena terletak di paling atas di deretan pesan yang dia terima. Mengabaikan hal itu, dia justru membuka ruang pesan bersama Ana.Beberapa detik berlalu dia habiskan untuk menatap foto profil sang istri. Tak ada yang spesial, hanya t
"Eh, itu ada Mas Yuda." Kia, teman satu divisi Ana menyenggol lengan wanita yang sudah bersiap pulang itu ."Kamu selalu bilang, ngga ada hubungan apa-apa. Tapi tiap hari diantar jemput Mas Yuda," cibir Kia.Tidak mengindahkan perkataan teman barunya, Ana berlalu setelah berpamitan pada Lisa, juga Rio dan Riza yang merupakan teman barunya sama seperti Kia."Sudah?" tanya Yuda begitu Ana sampai di depannya.Sebenarnya Ana cukup risih mendapat perlakukan yang istimewa seperti ini. Namun, mau bagaimana lagi ini adalah perintah langsung dari Barata. Untuk menolak pun Ana tidak mampu, karena pria tua itu begitu berwibawa.Sampai akhirnya mau tidak mau kini dia menjadi bahan gosip sebagai kekasih Yuda. Karena tidak ada yang tahu perihal pernikahannya dengan Arjuna."Betah, 'kan?""Mas ngga bosen tanya kayak gitu? Dari awal kerja hal itu terus aja ditanyakan."Seperti yang sudah-sudah Yuda hanya tersenyum kecil menghadapi cibiran Ana. Sejak ditugaskan menjadi "pengawal" wanita berkulit putih
"Kamu sakit?" tanya Ana saat melihat wajah Arjuna yang sedikit pucat. Tak hanya itu, bibir selalu mengeluarkan kata-kata tajam tersebut tampak kering. Cara berjalan Arjuna pun tak setegap biasanya. Malah cenderung lemah.Sebenarnya dalam sekali lihat orang akan tahu. Namun, dia hanya ingin memastikan mengingat suaminya ini terkadang bersikap aneh. Daripada asal menebak lalu salah dan mendapat cibiran. Mending langsung tanya saja."Ngga, cuma capek aja." Arjuna duduk di tepi ranjang. Menatap datar lawan bicaranya. Rasanya kemarin tubuhnya telah mendingan. Namun, sekarang kembali drop. Apa mungkin efek perjalanan panjang yang dia lakukan?"O ...." Ana berjalan menuju almari untuk mengambil baju, dia ingin segera membersihkan diri. Walau sesungguhnya ingin mendebat Arjuna. Mana ada kecapekan sampai sepucat itu dengan keringat dingin yang membanjiri kening.Namun, sekali lagi Ana tak mau mendebat. Dia cukup lelah hari ini. Adaptasi dengan pekerjaan baru cukup menguras otaknya. Mau menjadi
Hidup sebagai piatu sejak kecil, menjadikan Arjuna tidak pernah merasakan kasih sayang serta perhatian yang tulus dari seorang wanita. Pun ketika sang papa menikah lagi, ibu tirinya merawat dia sebagai tanggung jawab saja. Rena juga sama, wanita itu terlalu sibuk mengaturnya meski embel-embel cinta selalu digunakan sebagai alasan. Meski tak menampik dia bahagia bersama Rena, tapi tetap saja keinginan diperhatikan lebih itu ada.Maka ketika dia terbangun dari tidurnya dengan handuk di keningnya, lalu saat menoleh ke samping dan menemukan Ana yang tengah tertidur dengan posisi duduk, dimana kepala wanita berada di ranjang. Hati pria itu mendadak merasa hangat.Tanpa sadar, tangan Arjuna bergerak perlahan mengusap kepala sang istri dengan gerakan teratur. Bagaimana bisa seseorang yang masih terasa asing bersikap setulus ini padanya?Boleh saja mulut Ana pedas, tapi tak mengurangi pendapatnya jika sang istri sungguh orang yang tulus.Beberapa detik setelahnya aktivitas Arjuna terhenti, k
Suasana kantin siang ini tidak seperti biasanya, semua sibuk berbisik-bisik seraya melirik kedatangan dua pria yang tidak pernah sekalipun berada di sini.Adalah Revan dan Arjuna, yang menjadi pusat perhatian. Membuat karyawan yang lain terang-terang menatap heran ke arah mereka, apa kiranya hal yang membawa pewaris keluarga Wijaya beserta sahabatnya makan di kantin?Sementara itu, bukannya tidak menyadari banyak pasang mata yang menatapnya dengan penasaran, tapi Arjuna mencoba tidak peduli meski rasanya dia sangat risih saat ini. Inilah faktor kenapa dia tidak pernah menginjakkan kaki di kantin, bukannya sombong hanya saja menjadi pusat perhatian ini bukan sesuatu yang menyenangkan untuknya.Lantas kenapa siang ini dia berada di kantin? Tentu saja akibat ulah Revan! Sahabatnya itu memaksa, dengan dalih ingin menunjukkan pada Arjuna seorang wanita yang telah berhasil mencuri perhatiannya.Sebenarnya bisa saja Arjuna menolak, tapi dia malas makan sendiri karena Rena sedang meeting di l