Dari sudut matanya Ana bisa melihat ekspresi kaget yang tergambar jelas di wajah wanita-wanita di ruangan ini. Namun, siapa peduli?
Tujuannya satu, memberi pelajaran pada perempuan yang baru saja bersikap songong dengan seenak jidat menyuruhnya ini itu. Memangnya mereka siapa?
Masa bodoh jika pada akhirnya ibu dan anak tersebut semakin membencinya. Toh, dia masih punya kakek yang selalu berada di pihaknya. Dan itu lebih dari cukup karena kakek adalah sosok yang paling berkuasa di rumah ini.
"Mas Arjuna mau minum?" tanya Ana dengan nada manja. Sebenarnya dalam hati Ana merasa geli dengan tindakannya, tapi dia harus tetap bermain peran, 'kan?
Ana menahan senyum merasakan tubuh Arjuna membeku, saat dia melingkarkan kedua tangan di lengan pria itu. Wanita berkulit putih itu tidak menyangka laki-laki yang biasanya sangat sombong, bisa juga terlihat polos seperti ini. Dipegang lengan saja sudah kaku seperti kanebo!
Sungguh lucu!
"Apa maksudmu?" desis Arjuna di telinga sang istri sembari melirik tajam tangan yang melingkar di lengannya. Astaga, siapa sebenarnya wanita yang dia nikahi?
Jelas saja pria itu berkata dengan pelan, meski nada tidak suka terdengar kentara sekali. Bisa Ana tebak, suaminya ini tidak mau sampai orang-orang tau apa yang sebenarnya. Ya, Arjuna dan gengsinya seakan tidak terpisahkan.
"Wajarkan sebagai seorang istri aku bertanya seperti itu?" Wajah Ana mendongak dengan senyum manis tercetak di bibir. Meskipun untuk ukuran wanita dia cukup tinggi, tapi berhadapan dengan Arjuna yang seperti tiang listrik, dia jadi terasa pendek.
Entah apa yang dimakan sang suami ketika kecil, hingga mempunyai tinggi diatas 180 sentimeter. Ditambah bahu lebar sungguh gelar pangeran Wijaya pantas disematkan pada pria muda di sampingnya.
Sementara itu Arjuna berdeham pelan. Salah tingkah. Sial!
Nada manja dan senyum manis itu berhasil membuat pertahanannya goyah. Bukannya apa, Ana memang terkenal cantik. Seringkali dia mendengar para pegawai membicarakan kecantikan wanita itu. Hal yang awalnya membuat dia heran, bagaimana bisa wanita secantik Ana menjadi pembantu?
Arjuna mengumpat dalam hati, karena baru saja sibuk memuji sang istri. Oke, tidak mungkin dia terpesona melihat senyum manis istrinya! Tidak mungkin! Rena jauh lebih cantik!
Kulit mulus kekasihnya jelas menang telak dari Ana yang mempunyai tiga jerawat di kening bagian atas. Belum lagi penampilan keduanya yang sangat jomplang. Rena yang modis dengan segala barang branded melekat di tubuh, berbandinh terbalik dengan Ana yang sehari-hari hanya tampil sederhana. Tunik panjang dan celana bahan selalu menjadi andalan istrinya.
Tapi kenapa otaknya justru berkhianat? Sebab bayang-bayang sang istri semalam yang mengurai rambut berlarian di kepalanya.
Tak mau sang istri curiga dengan sikapnya, Arjuna kembali mendesis tajam, "terserah lah!" Arjuna mengalihkan pandangan dari wajah manis perempuan di sampingnya.
Merasa menang, Ana tersenyum semakin lebar. Lalu menarik suaminya untuk duduk di meja makan, tapi sebelum beranjak wanita itu kembali membuat ulah dengan menepuk-nepuk pelan bahu Arjuna.
"Mbak Rena jadi minum? Ini aku mau buat untuk Mas Arjuna, kalau jadi sekalian aku bikinkan," ujar Ana saat melewati wanita yang melayangkan tatapan permusuhan padanya. Ya, wanita bak model itu tengah cemburu!
"Ngga!" bentak Rena lalu berlalu begitu saja.
"Mirna! Eka! Cepat selesaikan masakan kalian, saya harus pergi pagi hari ini!" Rita langsung mengikuti langkah anaknya. Perempuan berusia hampir lima puluh tahun itu memijat kening. Kepalanya mendadak pening, baru sehari saja mantan pembantunya itu sudah membuat ulah.
Sedangkan Ana mengedikkan bahu melihat sikap kedua wanita itu. Tadi bentak-bentak, sekarang pergi begitu saja. Benar-benar tidak punya sopan santun!
Menjerang air, Ana mulai menyiapkan cangkir untuk membuatkan Arjuna kopi. Selama bekerja, hal ini sudah rutin menjadi tugasnya. Sehingga Ana mengerjakan tanpa beban. Apalagi sekarang, pria itu sudah menjadi suaminya, sudah sewajarnya bukan dia melayani Arjuna dengan baik? Terlepas mereka menikah hanya untuk kepentingan masing-masing.
Ya, meskipun sampai saat ini Ana tidak tahu akan dibawa ke mana pernikahan ini, tapi didikan sang ibu mengajarkan dia untuk memuliakan suami. Hal yang melekat di otaknya.
Ana melirik Mirna dan Eka yang melirik ke arah sang tuan muda, lalu beralih menatapnya. Terlihat jelas kedua wanita itu tengah penasaran. Kejadian barusan memang sedikit menakjubkan. Ana dan sifat cueknya mendadak bersikap manis pada suaminya, aneh bukan?
"Apa?" Wanita cantik itu menatap malas pada sahabatnya.
"Kayaknya ada benih-benih cinta sebentar lagi," goda Mirna sambil menaik-turunkan alisnya. Telunjuknya pun mencolek lengan sang sahabat.
Cinta? Ana geli sendiri mendengarnya. Apalagi kelakuan Arjuna menurutnya di luar nalar. Rasanya masih belum pantas laki-laki itu menyandang gelar suami.
Jadi apakah dia bisa menggantungkan hidup pada pria kekanakan seperti Arjuna?
"Apaan sih? Ngga ada, ya!" bantah Ana setelah beberapa detik terdiam memikirkan kemungkin jatuh cinta pada Arjuna."Ndak boleh ngomong gitu!" Eka memukul pundak sahabatnya. "Cinta itu yang ngasih Gusti Allah, yang juga bisa membolak-balikkan hati manusia. Mungkin sekarang kamu dan Mas Arjuna belum ada rasa. Tapi siapa tau, setelahnya Gusti Allah membalikkan hati kalian. Terus akhirnya jatuh cinta," ujar ibu satu anak itu memberi petuah dengan logat jawa yang kental."Tuh, dengerin!" Mirna ikut memukul bahu Ana, wanita itu merasa senang karena pendapatnya mendapat dukungan Eka. Sebagai penyuka drama dia sampai histeris karena sang sahabat menikah dengan majikannya. Bukan karena iri, tapi merasa itu adalah hal romantis. Dan berharap kisah Ana seperti kebanyakan drama, benci berubah menjadi cinta.Menghela napas, Ana kembali menatap sahabatnya malas. "Terserah kalian lah!" Bukan saat yang tepat untuk berdebat masalah cinta. Lagipula dia takut ada yang mendengar. Setiap tembok di rumah in
"Papa ngga serius 'kan?"Ana menatap Rita, jelas sekali tergambar raut tak terima di wajah wanita paruh baya itu. Lalu pandangannya beralih pada Barata yang tetap terlihat tenang. Meski ketiga orang di sini dengan jelas memperlihatkan rasa tidak suka pada keputusan laki-laki tua itu.Jangan tanyakan perasaannya sebab sejujurnya dia pun bingung dengan keputusan mendadak ini. Baru saja beberapa hari menjadi bagian keluarga Wijaya, tapi hidupnya sudah jungkir balik seperti ini. Meski dalam sudut hatinya dia merasa senang.Bekerja di kantor merupakan keinginannya. Tak hanya itu dia berharap bisa memberi kehidupan yang layak untuk ayahnya jika nanti keluar dari penjara."Tentu saja aku serius," jawab Barata tegas. Satu per satu dia tatap wajah di sekelilingnya. Tak ada raut berarti, tapi ketenangan itu tentu berhasil menciptakan keresahan di hati orang-orang."Tapi dia bukan wanita berpendidikan!" geram Rita. Wanita itu bahkan sudah melayangkan tatapan tajam pada Ana. Bagaimana bisa sosok
Suasana pusat perbelanjaan tampak lumayan ramai. Mengingat ini adalah akhir pekan. Keempat orang yang semuanya tidak menunjukkan raut bersemangat itu, berjalan bersama-sama.Masih jelas di ingatan Ana, bagaimana mata Rena yang memakai kontak lensa warna abu-abu itu memelotot, saat melihatnya dengan berani menggandeng lengan Arjuna. Sementara Arjuna sepertinya hanya bisa pasrah, mengingat Yuda—asisten pribadi Barata—ikut bersama mereka. Kalau dia macam-macam, sudah pasti Yuda akan melapor pada sang kakek. Dan mengingat Ana saat ini kesayangan Barata, bisa habis dia dimarahi.Langkah Ana terhenti begitu Rena akan mengajaknya masuk ke salah satu gerai pakaian. Wanita cantik itu menampilkan raut enggan yang begitu kentara."Kenapa?" tanya Arjuna yang ikut berhenti. Dia kesal karena Ana terus-terusan membuat ulah."Aku gak mau ke situ, aku mau ke sana." Ana menunjuk gerai yang terkenal mahal. Dia sering mendengar Mirna menceritakan artis yang memakai brand tersebut. Salah satu bajunya yan
"Astaga, ini bener kalian? Tadinya aku takut salah orang." Ana masih memperhatikan ketiga orang itu. Terlihat jelas Arjuna dan Rena beberapa kali melirik ke arahnya, seperti orang yang salah tingkah. Hal itu semakin membuat Ana yakin, ada sesuatu yang mencurigakan. Dia masih tetap mempertahankan. Menunggu drama apa lagi yang akan terjadi. Meski rasanya ingin tertawa melihat kepanikan pasangan itu. Heran, kadang dia merasa Rena itu terlalu mudah dibaca. Lantas kenapa harus susah-sudah menyembunyikan hubungan? Toh, kalau diperhatikan dengan jelas interaksi keduanya terlalu kentara. Apalagi Arjuna, sepertinya kesulitan berpura-pura tak menyukai siapapun. Karena baginya Cara sang suami menatap Rena itu berbeda. Jelas ada cinta di sana. "Oh, iya. Apa kabar Yuna?" Rena lebih dulu menjabat tangan wanita yang dia panggil Yuna. Namun, setelahnya dia lagi-lagi melirik Ana. Ingin tau ekspresi perempuan itu, sebagai antisipasi tindakan selanjutnya. Bukannya apa, Ana selalu tidak tertebak.
Mata Yuna membeliak. Tangannya masih menggenggam tangan Ana dengan erat, mungkin efek dia terlalu kaget dengan info yang didapatkannya. Hingga akhirnya Ana memilih menarik tangannya, membuat Yuna juga buru-buru melakukan hal yang sama.Yuna berdeham. "Maaf, ya, aku baru tau. Arjuna, sih, gak ngundang-ngundang," ujarnya dengan tertawa canggung."Memang kami tidak mengundang banyak orang, hanya keluarga saja."Ana membalas senyum kecil Yuna yang terlihat begitu canggung. Ya, dia bisa mengerti dengan sikap wanita itu. Siapa juga yang tidak canggung, jika salah mengartikan hubungan seseorang."Lho? Kenapa?" Yuna menatap Arjuna. "Teman kita banyak, lo.""Karena aku ingin sesuatu yang sederhana saja," jawab Arjuna. Matanya melirik kesal pada wanita bergamis toska yang tampak berdiri santai di sebelahnya. Apa maksud wanita itu membocorkan hubungan mereka? Sepertinya sang istri sengaja menguji kesabarannya."Arjuna? Sederhana?" cibir Yuna, bibir wanita itu mencebik seolah mengejek pernyataan
"Memangnya ada yang tak jelas?" Ana mengedikkan bahu."Jadi kamu mencurigai kami ada hubungan begitu?" desis Rena tajam.Ana tersenyum tipis. "Aku gak bilang begitu, bukankah teman kalian yang bilang seperti itu?" "Sudah hentikan! Makan!" perintah Arjuna.Kedua wanita itu langsung terdiam. Ya, Ana menyadari dibalik sikap suaminya yang terkadang masih kekanak-kanakan, ada sisi menyeramkan ketika laki-laki itu sudah marah.Karena dulu dia sempat beberapa kali mendapati Arjuna marah pada para pekerja, dan itu begitu menyeramkan. Mungkin efek mempunyai kuasa hingga laki-laki tak punya rasa takut menyuarakan pendapat.Selama makan siang kali ini, sama sekali tidak ada percakapan di antara mereka. Sepertinya semua enggan memancing amarah Arjuna, yang masih suka meledak-ledak.Waktu menunjukkan pukul dua siang, saat keempat orang itu keluar dari pusat perbelanjaan. Ketika sampai di parkiran, Ana segera beranjak ke pintu belakang mobil. Namun, gerakannya yang akan meraih gagang pintu terhent
"Mas, tunggu!" teriak Ana mencegah Yuda yang akan membuka pintu mobil. "Ada apa?""Aku masih penasaran! Dan aku ngga mau tidur dalam keadaan penasaran! Jadi, Arjuna menikah denganku karena disuruh kakek?" Bisa dibilang posisi Yuda lebih tinggi darinya, tapi sikap ramah laki-laki itu menyebabkan para pekerja tak sungkan mengajak bicara bahkan bercanda. Termasuk Ana. Walaupun hubungan mereka tak bisa dikatakan dekat."Aku ngga tau.""Aku kok masih curiga, ya?""Jangan mikir aneh-aneh!"Baru saja Ana akan membantah ucapan Yuda, suara jendela yang diketuk dengan keras membuat keduanya kaget."Mau sampai kapan kalian di sana?" Arjuna memandang sinis kedua orang yang berada di dalam mobil itu. Sebenarnya dia tidak terlalu peduli, hanya saja apa kata orang kalau istrinya berduaan dengan pria lain. Harga dirinya sebagai suami bisa langsung jatuh."Ini mau markir mobil, Mas," jawab Mas Yuda.Ana menatap polos pria yang masih belum beranjak itu. Arjuna terlihat marah, mengingat kulit putih pr
"Semua terserah aku, 'kan?" Arjuna tidak bergerak lagi, tapi senyum miring masih pria itu pertahankan. Ada perasaan menggelitik melihat kilat ketakutan di mata Ana walau hanya sekejap.Mau seberani apapun istrinya, tetap saja ada sisi lain yang berbeda. Seperti sekarang takut pada sentuhan fisik yang hampir dilakukannya.Sementara itu, tiba-tiba bulu kuduk Ana meremang, mendengar pertanyaan ambigu Arjuna. Seberapa pun dia mencoba mengusir pikiran yang tidak-tidak, tapi ekspresi sang suami seakan mendukung pikiran anehnya.Dia bukan anak kecil yang tak tahu apa-apa. Sebagai perempuan dewasa tentu paham ke mana arah pembicaraan sang suami. Toh, posisi mereka memang mengarah ke sana.Ana menahan napas, saat Arjuna mendekatkan wajahnya. Tidak mau kalah, Ana berusaha tetap terlihat tenang dan tidak memalingkan wajah, meski jujur saja saat ini jantungnya berdetak cepat. Hingga ...."Apa yang kalian lakukan?"Refleks Ana mendorong Arjuna, begitu teriakan yang menggelegar itu masuk dalam teli